Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa
Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s
Di seantero Kota Madya Utama, nama Raka terus bergema—bukan sekadar sebagai siswa unggulan, melainkan pemecah rekor seratus tahun Kerajaan Surya Manggala. Nilainya yang mendekati sempurna menjadi bahan pembicaraan dari kedai jamu hingga aula pertemuan para bangsawan.“Tahukah kau?” bisik salah satu pejabat tinggi pada kawannya, “Nilai ujian anak itu memecahkan rekor Kakek Sepuh Raja Manggala! Bayangkan! Bocah dari desa berhasil menumbangkan catatan darah biru.”“Tapi… ia belum punya tunangan, bukan?” gumam yang lain, sambil melirik anak gadisnya yang duduk malu-malu di sisi ruangan. “Aku akan siapkan perjodohan. Siapa tahu ia butuh istri dari keluarga mapan.”“Jangan gegabah, ia sudah memiliki tiga istri dan seorang putra yang masih kecil.” Ujar Saudagar Malin“aku tidak perduli bahkan Kerajaan membolehkan memiliki istri sebanyak 5 orang dan itu di sahkan oleh hukum Kerajaan surya manggala.”“Wah kamu sudah termakan kekuasaan sepertinya tuan Tokin,”“kalau begitu Kita undang saja ia j
Senja belum turun sepenuhnya, tetapi angin di pelataran Istana Surya Manggala sudah membawa hawa yang tak biasa. Raja Mahesa Warman berdiri sendiri di pendapa keempat, memandangi langit yang mulai berganti warna. Di tangan kirinya tergenggam gulungan berita dari Perpustakaan Kota Madya Utama—kabar tentang lencana zamrud, kitab kuno Singgasana Merah, dan perjalanan Raka menuju makam Raja Agung Manggala.Ia tampak gelisah. Langkah kakinya mondar-mandir tak menentu.“Seharusnya aku bisa menahannya di istana. Anak itu terlalu cepat tumbuh...” desisnya.Namun suara lain bergema di benaknya—suara tua dari masa lampau. Suara mendiang kakeknya, Raja Surya Pratama, sang raja bijak yang pernah berkata:“Jika kelak ada pemuda yang menemukan kalung Raja Manggala, jangan halangi jalannya. Barang siapa mencoba menghalanginya, maka binasa ia oleh kehendak leluhur.”Raja Mahesa Warman mengepalkan tangan.“Aku tidak ingin binasa karena melawan arwah leluhur... Baiklah, Raka. Langkahmu tidak akan kuhal
Matahari mulai condong ke barat saat Raka melangkah perlahan meninggalkan Petirtaan Agung. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh. Ia membawa sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tapi terasa berat di dalam dada: warisan kehormatan dan tanggung jawab dari Raja Manggala sendiri.Ia kembali ke penginapan di Kota Madya Utama, disambut lirikan kagum dari para penginap lain. Tak sedikit yang menunduk hormat tanpa mereka sadari.“Kau baik-baik saja, Raka?” tanya petugas penginapan, seorang wanita tua bermata bening. “Aku baik, Nisanak. Hanya sedikit lelah berjalan jauh,” jawab Raka sambil tersenyum, menyembunyikan segala keajaiban yang baru saja ia alami.Esok paginya, ujian akhir pun dimulai. Ruang ujian kelas S kini seperti medan perang yang ditaburi ketegangan. Tujuh orang pengawas berjubah hitam duduk di sudut-sudut ruangan, mata mereka tajam seperti rajawali.“Ini... ini bahkan lebih ketat dari ujian kenaikan tahta!” bisik seorang siswa.“Hush! Jangan ganggu konsentrasi orang!”
Kabar kepulangan Raka dari kota madya utama menebar ke seluruh penjuru Desa Kali Bening seperti angin membawa harum bunga musim semi. Dalam sekejap, warga berkumpul di balai desa, sebagian besar membawa buah tangan, beberapa bahkan membentangkan kain batik panjang di jalan-jalan sempit desa sebagai tanda suka cita.“Sudah tiga bulan ia tinggalkan kampung ini,” ujar Pak Siman, si pembuat gerabah, sambil menyeka peluh dari keningnya. “Tapi rasanya seperti tiga tahun. Anak muda itu bukan cuma kepala desa, dia cahaya bagi Desa ini!”Raka yang baru turun dari kuda putihnya, tersenyum lirih menatap kerumunan. Wajahnya terlihat lebih matang, sorot matanya dalam namun teduh. Dalam dekapannya, tergolek bayi mungil berusia empat bulan—putranya yang lahir saat sebelum ia berjuang di kota. Air matanya hampir luruh begitu melihat Andini menunggu di depan rumah, ditemani Aina, Aini, dan Bi Arum.“Raka, Desa ini telah berubah banyak sejak engkau pergi,” sambut Zeno bangga. “Lihat pasar itu… di pingg
Angin pagi berembus lembut di Desa Kali Bening. Aroma kayu basah dan rerumputan dari hutan timur masih terasa segar, meski suara palu dan gergaji tak henti menggema dari penjuru desa. Kali Bening bukan lagi Desa pengemis seperti dahulu. Stigma buruk yang pernah melekat kini perlahan memudar, berganti dengan kekaguman dan rasa iri dari desa-desa sekitarnya.Raka, sang kepala desa muda, berdiri di beranda sekolah yang baru dibangunnya. Matanya menatap anak-anak yang berlarian di halaman dengan wajah penuh tawa."Sudah kubilang jangan main dekat kolam, Nak Danu!" seru Raka sambil tersenyum."Ampun, Kanda Raka!" sahut Danu sambil lari kecil, diikuti tawa teman-temannya.Dulu, Kali Bening hanyalah tempat pelarian orang-orang tak punya, tapi kini—berkat ketekunan dan visi besar Raka—desanya menjadi pembicaraan banyak orang. Gelar Siswa Terbaik yang diraihnya di Kerajaan Surya Manggala menjadi pemantik perubahan. Ia mengalahkan banyak bangsawan muda dan anak pejabat, membuat namanya harum hi
Sudah dua minggu Lurah Wiroguno tak lagi menginjakkan kaki di pendapa desa petir. Rumah panggung kayunya yang dulu selalu ramai kini sepi. Hanya suara angin dan sesekali ayam peliharaan yang memecah hening.Ia duduk termenung di amben panjang, memandangi peti-peti dokumen lama yang kini tak lagi berguna. Jabatannya telah dicopot. Surat pemberhentian dari Adipati turun mendadak, tanpa banyak kata, hanya cap merah dan goresan pena dingin."Waktu berganti cepat seperti air sungai...," gumamnya lirih, "dan aku disingkirkan seperti karung beras busuk."Di tangannya masih tergenggam lembaran kabar dari Balai Kecamatan Kemusuk, menyatakan bahwa Anom, mantan sekretarisnya yang licik dan pandai menjilat, kini resmi diangkat menjadi Lurah Desa Petir menggantikan dirinya.Tak jauh dari rumahnya, suara para tetua desa terdengar berdiskusi."Kasihan Lurah Wiroguno. Tapi… ya begitulah kalau terlalu sibuk memperkaya diri, lupa urus rakyat," bisik salah satu dari mereka."Aku dengar, sekarang nama Ra
Sudah dua minggu Lurah Wiroguno tak lagi menginjakkan kaki di pendapa desa petir. Rumah panggung kayunya yang dulu selalu ramai kini sepi. Hanya suara angin dan sesekali ayam peliharaan yang memecah hening.Ia duduk termenung di amben panjang, memandangi peti-peti dokumen lama yang kini tak lagi berguna. Jabatannya telah dicopot. Surat pemberhentian dari Adipati turun mendadak, tanpa banyak kata, hanya cap merah dan goresan pena dingin."Waktu berganti cepat seperti air sungai...," gumamnya lirih, "dan aku disingkirkan seperti karung beras busuk."Di tangannya masih tergenggam lembaran kabar dari Balai Kecamatan Kemusuk, menyatakan bahwa Anom, mantan sekretarisnya yang licik dan pandai menjilat, kini resmi diangkat menjadi Lurah Desa Petir menggantikan dirinya.Tak jauh dari rumahnya, suara para tetua desa terdengar berdiskusi."Kasihan Lurah Wiroguno. Tapi… ya begitulah kalau terlalu sibuk memperkaya diri, lupa urus rakyat," bisik salah satu dari mereka."Aku dengar, sekarang nama Ra
Angin pagi berembus lembut di Desa Kali Bening. Aroma kayu basah dan rerumputan dari hutan timur masih terasa segar, meski suara palu dan gergaji tak henti menggema dari penjuru desa. Kali Bening bukan lagi Desa pengemis seperti dahulu. Stigma buruk yang pernah melekat kini perlahan memudar, berganti dengan kekaguman dan rasa iri dari desa-desa sekitarnya.Raka, sang kepala desa muda, berdiri di beranda sekolah yang baru dibangunnya. Matanya menatap anak-anak yang berlarian di halaman dengan wajah penuh tawa."Sudah kubilang jangan main dekat kolam, Nak Danu!" seru Raka sambil tersenyum."Ampun, Kanda Raka!" sahut Danu sambil lari kecil, diikuti tawa teman-temannya.Dulu, Kali Bening hanyalah tempat pelarian orang-orang tak punya, tapi kini—berkat ketekunan dan visi besar Raka—desanya menjadi pembicaraan banyak orang. Gelar Siswa Terbaik yang diraihnya di Kerajaan Surya Manggala menjadi pemantik perubahan. Ia mengalahkan banyak bangsawan muda dan anak pejabat, membuat namanya harum hi
Kabar kepulangan Raka dari kota madya utama menebar ke seluruh penjuru Desa Kali Bening seperti angin membawa harum bunga musim semi. Dalam sekejap, warga berkumpul di balai desa, sebagian besar membawa buah tangan, beberapa bahkan membentangkan kain batik panjang di jalan-jalan sempit desa sebagai tanda suka cita.“Sudah tiga bulan ia tinggalkan kampung ini,” ujar Pak Siman, si pembuat gerabah, sambil menyeka peluh dari keningnya. “Tapi rasanya seperti tiga tahun. Anak muda itu bukan cuma kepala desa, dia cahaya bagi Desa ini!”Raka yang baru turun dari kuda putihnya, tersenyum lirih menatap kerumunan. Wajahnya terlihat lebih matang, sorot matanya dalam namun teduh. Dalam dekapannya, tergolek bayi mungil berusia empat bulan—putranya yang lahir saat sebelum ia berjuang di kota. Air matanya hampir luruh begitu melihat Andini menunggu di depan rumah, ditemani Aina, Aini, dan Bi Arum.“Raka, Desa ini telah berubah banyak sejak engkau pergi,” sambut Zeno bangga. “Lihat pasar itu… di pingg
Matahari mulai condong ke barat saat Raka melangkah perlahan meninggalkan Petirtaan Agung. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh. Ia membawa sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tapi terasa berat di dalam dada: warisan kehormatan dan tanggung jawab dari Raja Manggala sendiri.Ia kembali ke penginapan di Kota Madya Utama, disambut lirikan kagum dari para penginap lain. Tak sedikit yang menunduk hormat tanpa mereka sadari.“Kau baik-baik saja, Raka?” tanya petugas penginapan, seorang wanita tua bermata bening. “Aku baik, Nisanak. Hanya sedikit lelah berjalan jauh,” jawab Raka sambil tersenyum, menyembunyikan segala keajaiban yang baru saja ia alami.Esok paginya, ujian akhir pun dimulai. Ruang ujian kelas S kini seperti medan perang yang ditaburi ketegangan. Tujuh orang pengawas berjubah hitam duduk di sudut-sudut ruangan, mata mereka tajam seperti rajawali.“Ini... ini bahkan lebih ketat dari ujian kenaikan tahta!” bisik seorang siswa.“Hush! Jangan ganggu konsentrasi orang!”
Senja belum turun sepenuhnya, tetapi angin di pelataran Istana Surya Manggala sudah membawa hawa yang tak biasa. Raja Mahesa Warman berdiri sendiri di pendapa keempat, memandangi langit yang mulai berganti warna. Di tangan kirinya tergenggam gulungan berita dari Perpustakaan Kota Madya Utama—kabar tentang lencana zamrud, kitab kuno Singgasana Merah, dan perjalanan Raka menuju makam Raja Agung Manggala.Ia tampak gelisah. Langkah kakinya mondar-mandir tak menentu.“Seharusnya aku bisa menahannya di istana. Anak itu terlalu cepat tumbuh...” desisnya.Namun suara lain bergema di benaknya—suara tua dari masa lampau. Suara mendiang kakeknya, Raja Surya Pratama, sang raja bijak yang pernah berkata:“Jika kelak ada pemuda yang menemukan kalung Raja Manggala, jangan halangi jalannya. Barang siapa mencoba menghalanginya, maka binasa ia oleh kehendak leluhur.”Raja Mahesa Warman mengepalkan tangan.“Aku tidak ingin binasa karena melawan arwah leluhur... Baiklah, Raka. Langkahmu tidak akan kuhal
Di seantero Kota Madya Utama, nama Raka terus bergema—bukan sekadar sebagai siswa unggulan, melainkan pemecah rekor seratus tahun Kerajaan Surya Manggala. Nilainya yang mendekati sempurna menjadi bahan pembicaraan dari kedai jamu hingga aula pertemuan para bangsawan.“Tahukah kau?” bisik salah satu pejabat tinggi pada kawannya, “Nilai ujian anak itu memecahkan rekor Kakek Sepuh Raja Manggala! Bayangkan! Bocah dari desa berhasil menumbangkan catatan darah biru.”“Tapi… ia belum punya tunangan, bukan?” gumam yang lain, sambil melirik anak gadisnya yang duduk malu-malu di sisi ruangan. “Aku akan siapkan perjodohan. Siapa tahu ia butuh istri dari keluarga mapan.”“Jangan gegabah, ia sudah memiliki tiga istri dan seorang putra yang masih kecil.” Ujar Saudagar Malin“aku tidak perduli bahkan Kerajaan membolehkan memiliki istri sebanyak 5 orang dan itu di sahkan oleh hukum Kerajaan surya manggala.”“Wah kamu sudah termakan kekuasaan sepertinya tuan Tokin,”“kalau begitu Kita undang saja ia j
Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s
Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa
Mentari pagi belum sepenuhnya tinggi saat seekor kuda cokelat berhenti di depan gerbang Desa Kali Bening. Di punggungnya duduk seorang pria berjubah hijau lumut dengan lambang Adipati Kota Madya Utama di dadanya. Di tangannya tergenggam gulungan surat berstempel lilin merah."Aku mencari Tetua Kades Zeno," ucap si utusan, suaranya mantap, tak tergesa.Warga yang sedang menjemur padi dan membersihkan jalanan langsung menoleh, lalu saling berbisik penasaran. Tak setiap hari utusan adipati datang ke desa kecil seperti mereka.Tak lama, Zeno keluar dari rumah panggungnya. Pria tua itu mengenakan ikat kepala kelabu dan sorot matanya menyimpan wibawa yang bijak."Aku Zeno. Ada urusan apakah dari Kota Madya Utama hingga membuat langit pagi di sini jadi lebih bergema?"Utusan itu menunduk hormat sebelum menyodorkan surat."Surat ini dari Adipati untuk keluarga Raka. Mohon disampaikan kepada yang berhak. Isinya... kabar yang mulia."Zeno mengangguk, memanggil anak kembarnya Riko dan Roni, lalu