Kabar kepulangan Raka dari kota madya utama menebar ke seluruh penjuru Desa Kali Bening seperti angin membawa harum bunga musim semi. Dalam sekejap, warga berkumpul di balai desa, sebagian besar membawa buah tangan, beberapa bahkan membentangkan kain batik panjang di jalan-jalan sempit desa sebagai tanda suka cita.“Sudah tiga bulan ia tinggalkan kampung ini,” ujar Pak Siman, si pembuat gerabah, sambil menyeka peluh dari keningnya. “Tapi rasanya seperti tiga tahun. Anak muda itu bukan cuma kepala desa, dia cahaya bagi Desa ini!”Raka yang baru turun dari kuda putihnya, tersenyum lirih menatap kerumunan. Wajahnya terlihat lebih matang, sorot matanya dalam namun teduh. Dalam dekapannya, tergolek bayi mungil berusia empat bulan—putranya yang lahir saat sebelum ia berjuang di kota. Air matanya hampir luruh begitu melihat Andini menunggu di depan rumah, ditemani Aina, Aini, dan Bi Arum.“Raka, Desa ini telah berubah banyak sejak engkau pergi,” sambut Zeno bangga. “Lihat pasar itu… di pingg
Angin pagi berembus lembut di Desa Kali Bening. Aroma kayu basah dan rerumputan dari hutan timur masih terasa segar, meski suara palu dan gergaji tak henti menggema dari penjuru desa. Kali Bening bukan lagi Desa pengemis seperti dahulu. Stigma buruk yang pernah melekat kini perlahan memudar, berganti dengan kekaguman dan rasa iri dari desa-desa sekitarnya.Raka, sang kepala desa muda, berdiri di beranda sekolah yang baru dibangunnya. Matanya menatap anak-anak yang berlarian di halaman dengan wajah penuh tawa."Sudah kubilang jangan main dekat kolam, Nak Danu!" seru Raka sambil tersenyum."Ampun, Kanda Raka!" sahut Danu sambil lari kecil, diikuti tawa teman-temannya.Dulu, Kali Bening hanyalah tempat pelarian orang-orang tak punya, tapi kini—berkat ketekunan dan visi besar Raka—desanya menjadi pembicaraan banyak orang. Gelar Siswa Terbaik yang diraihnya di Kerajaan Surya Manggala menjadi pemantik perubahan. Ia mengalahkan banyak bangsawan muda dan anak pejabat, membuat namanya harum hi
Sudah dua minggu Lurah Wiroguno tak lagi menginjakkan kaki di pendapa desa petir. Rumah panggung kayunya yang dulu selalu ramai kini sepi. Hanya suara angin dan sesekali ayam peliharaan yang memecah hening.Ia duduk termenung di amben panjang, memandangi peti-peti dokumen lama yang kini tak lagi berguna. Jabatannya telah dicopot. Surat pemberhentian dari Adipati turun mendadak, tanpa banyak kata, hanya cap merah dan goresan pena dingin."Waktu berganti cepat seperti air sungai...," gumamnya lirih, "dan aku disingkirkan seperti karung beras busuk."Di tangannya masih tergenggam lembaran kabar dari Balai Kecamatan Kemusuk, menyatakan bahwa Anom, mantan sekretarisnya yang licik dan pandai menjilat, kini resmi diangkat menjadi Lurah Desa Petir menggantikan dirinya.Tak jauh dari rumahnya, suara para tetua desa terdengar berdiskusi."Kasihan Lurah Wiroguno. Tapi… ya begitulah kalau terlalu sibuk memperkaya diri, lupa urus rakyat," bisik salah satu dari mereka."Aku dengar, sekarang nama Ra
“Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.” “Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merug
Ingatan Raka begitu terus menerawang apa yang sebenarnya terjadi kapada dirinya dan kepada ketiga istrinya ini. Setelah mendengarkan cerita ini mereka begitu senang dan melihat pancaran kedewasaan muncul dari wajah Raka. “Kanda apakah semua ini sudah cukup menjelaskan keadaan kita saat ini.” “Sudah cukup aku sedikit mengingatnya.” Aku sangat berutang budi kepada kalian bertiga. Raka menatap dengan lekat tiga gadis cantik di depannya dengan begitu teliti hingga tidak terlewatkan satu incipun dan memperhatikan bagitu semangat. “Kamu kemarilah Raka memanggil gadis yang di sebelah kirinya dan menyurunya duduk di sebelah kiri Raka. “Coba kulihat tangan mu.” Raka memegang tangan yang begitu sempurna putih bersih dan harum. Kamu sedang haid sepertinya.” Gadis itu pun merah padam dan tersipu malu. Kali ini pertama dalam hidupnya ai di puji oleh lelaki yang begitu tampan dan berwibawa setelah bangun dari mati surinya. Dizaman ini laki-laki diberikan istri lebih dari tiga. Sehingga hal it
“Kanda, bagaimana buruan nya hari ini.”“Tidak terlalu buruk di ujung des aini ada sebuah safana dengan pohon-pohon kecil beserta rumput yang bagus untuk bersembunyi dan memiliki banyak hewan liar disana serta aku dapat membidik dengan baik satu ekor kijang Jantan ini.”Aina begitu terkejut Ketika Raka menunjukkan arah busurnya ke samping pagar rumah mereka yang reot.“Wah kijang ini cukup untuk kita berempat sampai dua hari kedepan.”Kemudian bagaimana dengan beras kita apakah masih ada?” Ujar RakaAndini…kemari kakak mau menanyakan sesuatu padamu.”“Iya kak sebentar aku kedepan.” Andini tergopoh-gopoh hingga kakinya tersandung dan langsung di sambut dengan sigap oleh Raka.Mata mereka saling memanah dan raka merasakan empuk di tangannya sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Namun suara Aina membuat mereka berdua tersada.Momen yang membagongkan dan membuat libido siapapun segera membuncah dan ingin segera rasanya melanjutkannya di ranjang panas.Aihhh pikiran ini selalu….Kemudian
Lima pasukan kuno segera mengemasi temanya seperti sedang membungkus ikan asin di pasar, mereka segera meninggalkan neraka di sore itu dengan wajah yang babak belur dan penuh dengan ketakutan. “Kanda darimana kanda mempelajari Gerakan itu, dan bagaimana kanda begitu lentur menggunakan daun busur ini hingga membuat pasukan yang mengerikan itu tidak berarti di hadapan kanda.” “Aini istriku yang cantik setelah aku bangun dari matiku kemarin aku mempelajari banyak hal tentang ini.” Sambil menyentuh da…yang lembut membuat Aini memerah padam “Kanda jangan seperti ini aku malu sama kak Aina.” Aina yang melihat itu juga menelan ludah dan menundukkan kepalanya tidak berani menatap lelaki gagah dan kuat didepannya. “Andai malam itu datang apakah kami bertiga mampu menandingi lelaki ini” Aina termenung didalam tunduknya. Kemudian Raka memeluk Aina dengan penuh gairah dan menyentuh buah da…yang membuat ia sedikit terbang seakan lepas nyawanya. Kanda jangan begitu malu dilihat orang.” Raka
Raka membuka matanya yang mendapati tiga istrinya sudah tidak di ranjang mereka. Dari luar terdengar percakapan mereka bertiga dengan intens. Suasana desa sudah menghadapi musim dingin untuk beberapa bulan kedepan.Ketika Raka akan menyusul mereka. Dari kejauahan datang para pembuat onar yang pada beberapa hari yang lalu ingin menggoda gasi Raka.“Kalian bertiga….cepat..ber..lindung di dalam rumah.” Teriak Raka keras yang membuat tiga bersaudari ini segera masuk dengan tergopoh.” Siuuut..aaaaa..”Raka memegangi bahu sebelah kirinya. Dan warna merah mengucur dari punggungnya.“Kanda kamu…”Cepat berlindung gunakan apa saja yang bisa mengamankan diri kalian. Aku akan menghaadapi mereka.’’ Pagi yang tadinya indah berubah menjadi mencekam.Raka segera mencabut anak panah yang bersarang di bahu kirinya, kemudian menghunus panah tersebut ke arah para pembuat onar yang menghampiri rumah mereka.“Aiihhh!” Belong menahan langkahnya setelah tadi melepaskan anak panah. Kemudian dia memuntahkan d
Sudah dua minggu Lurah Wiroguno tak lagi menginjakkan kaki di pendapa desa petir. Rumah panggung kayunya yang dulu selalu ramai kini sepi. Hanya suara angin dan sesekali ayam peliharaan yang memecah hening.Ia duduk termenung di amben panjang, memandangi peti-peti dokumen lama yang kini tak lagi berguna. Jabatannya telah dicopot. Surat pemberhentian dari Adipati turun mendadak, tanpa banyak kata, hanya cap merah dan goresan pena dingin."Waktu berganti cepat seperti air sungai...," gumamnya lirih, "dan aku disingkirkan seperti karung beras busuk."Di tangannya masih tergenggam lembaran kabar dari Balai Kecamatan Kemusuk, menyatakan bahwa Anom, mantan sekretarisnya yang licik dan pandai menjilat, kini resmi diangkat menjadi Lurah Desa Petir menggantikan dirinya.Tak jauh dari rumahnya, suara para tetua desa terdengar berdiskusi."Kasihan Lurah Wiroguno. Tapi… ya begitulah kalau terlalu sibuk memperkaya diri, lupa urus rakyat," bisik salah satu dari mereka."Aku dengar, sekarang nama Ra
Angin pagi berembus lembut di Desa Kali Bening. Aroma kayu basah dan rerumputan dari hutan timur masih terasa segar, meski suara palu dan gergaji tak henti menggema dari penjuru desa. Kali Bening bukan lagi Desa pengemis seperti dahulu. Stigma buruk yang pernah melekat kini perlahan memudar, berganti dengan kekaguman dan rasa iri dari desa-desa sekitarnya.Raka, sang kepala desa muda, berdiri di beranda sekolah yang baru dibangunnya. Matanya menatap anak-anak yang berlarian di halaman dengan wajah penuh tawa."Sudah kubilang jangan main dekat kolam, Nak Danu!" seru Raka sambil tersenyum."Ampun, Kanda Raka!" sahut Danu sambil lari kecil, diikuti tawa teman-temannya.Dulu, Kali Bening hanyalah tempat pelarian orang-orang tak punya, tapi kini—berkat ketekunan dan visi besar Raka—desanya menjadi pembicaraan banyak orang. Gelar Siswa Terbaik yang diraihnya di Kerajaan Surya Manggala menjadi pemantik perubahan. Ia mengalahkan banyak bangsawan muda dan anak pejabat, membuat namanya harum hi
Kabar kepulangan Raka dari kota madya utama menebar ke seluruh penjuru Desa Kali Bening seperti angin membawa harum bunga musim semi. Dalam sekejap, warga berkumpul di balai desa, sebagian besar membawa buah tangan, beberapa bahkan membentangkan kain batik panjang di jalan-jalan sempit desa sebagai tanda suka cita.“Sudah tiga bulan ia tinggalkan kampung ini,” ujar Pak Siman, si pembuat gerabah, sambil menyeka peluh dari keningnya. “Tapi rasanya seperti tiga tahun. Anak muda itu bukan cuma kepala desa, dia cahaya bagi Desa ini!”Raka yang baru turun dari kuda putihnya, tersenyum lirih menatap kerumunan. Wajahnya terlihat lebih matang, sorot matanya dalam namun teduh. Dalam dekapannya, tergolek bayi mungil berusia empat bulan—putranya yang lahir saat sebelum ia berjuang di kota. Air matanya hampir luruh begitu melihat Andini menunggu di depan rumah, ditemani Aina, Aini, dan Bi Arum.“Raka, Desa ini telah berubah banyak sejak engkau pergi,” sambut Zeno bangga. “Lihat pasar itu… di pingg
Matahari mulai condong ke barat saat Raka melangkah perlahan meninggalkan Petirtaan Agung. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh. Ia membawa sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tapi terasa berat di dalam dada: warisan kehormatan dan tanggung jawab dari Raja Manggala sendiri.Ia kembali ke penginapan di Kota Madya Utama, disambut lirikan kagum dari para penginap lain. Tak sedikit yang menunduk hormat tanpa mereka sadari.“Kau baik-baik saja, Raka?” tanya petugas penginapan, seorang wanita tua bermata bening. “Aku baik, Nisanak. Hanya sedikit lelah berjalan jauh,” jawab Raka sambil tersenyum, menyembunyikan segala keajaiban yang baru saja ia alami.Esok paginya, ujian akhir pun dimulai. Ruang ujian kelas S kini seperti medan perang yang ditaburi ketegangan. Tujuh orang pengawas berjubah hitam duduk di sudut-sudut ruangan, mata mereka tajam seperti rajawali.“Ini... ini bahkan lebih ketat dari ujian kenaikan tahta!” bisik seorang siswa.“Hush! Jangan ganggu konsentrasi orang!”
Senja belum turun sepenuhnya, tetapi angin di pelataran Istana Surya Manggala sudah membawa hawa yang tak biasa. Raja Mahesa Warman berdiri sendiri di pendapa keempat, memandangi langit yang mulai berganti warna. Di tangan kirinya tergenggam gulungan berita dari Perpustakaan Kota Madya Utama—kabar tentang lencana zamrud, kitab kuno Singgasana Merah, dan perjalanan Raka menuju makam Raja Agung Manggala.Ia tampak gelisah. Langkah kakinya mondar-mandir tak menentu.“Seharusnya aku bisa menahannya di istana. Anak itu terlalu cepat tumbuh...” desisnya.Namun suara lain bergema di benaknya—suara tua dari masa lampau. Suara mendiang kakeknya, Raja Surya Pratama, sang raja bijak yang pernah berkata:“Jika kelak ada pemuda yang menemukan kalung Raja Manggala, jangan halangi jalannya. Barang siapa mencoba menghalanginya, maka binasa ia oleh kehendak leluhur.”Raja Mahesa Warman mengepalkan tangan.“Aku tidak ingin binasa karena melawan arwah leluhur... Baiklah, Raka. Langkahmu tidak akan kuhal
Di seantero Kota Madya Utama, nama Raka terus bergema—bukan sekadar sebagai siswa unggulan, melainkan pemecah rekor seratus tahun Kerajaan Surya Manggala. Nilainya yang mendekati sempurna menjadi bahan pembicaraan dari kedai jamu hingga aula pertemuan para bangsawan.“Tahukah kau?” bisik salah satu pejabat tinggi pada kawannya, “Nilai ujian anak itu memecahkan rekor Kakek Sepuh Raja Manggala! Bayangkan! Bocah dari desa berhasil menumbangkan catatan darah biru.”“Tapi… ia belum punya tunangan, bukan?” gumam yang lain, sambil melirik anak gadisnya yang duduk malu-malu di sisi ruangan. “Aku akan siapkan perjodohan. Siapa tahu ia butuh istri dari keluarga mapan.”“Jangan gegabah, ia sudah memiliki tiga istri dan seorang putra yang masih kecil.” Ujar Saudagar Malin“aku tidak perduli bahkan Kerajaan membolehkan memiliki istri sebanyak 5 orang dan itu di sahkan oleh hukum Kerajaan surya manggala.”“Wah kamu sudah termakan kekuasaan sepertinya tuan Tokin,”“kalau begitu Kita undang saja ia j
Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s
Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa
Mentari pagi belum sepenuhnya tinggi saat seekor kuda cokelat berhenti di depan gerbang Desa Kali Bening. Di punggungnya duduk seorang pria berjubah hijau lumut dengan lambang Adipati Kota Madya Utama di dadanya. Di tangannya tergenggam gulungan surat berstempel lilin merah."Aku mencari Tetua Kades Zeno," ucap si utusan, suaranya mantap, tak tergesa.Warga yang sedang menjemur padi dan membersihkan jalanan langsung menoleh, lalu saling berbisik penasaran. Tak setiap hari utusan adipati datang ke desa kecil seperti mereka.Tak lama, Zeno keluar dari rumah panggungnya. Pria tua itu mengenakan ikat kepala kelabu dan sorot matanya menyimpan wibawa yang bijak."Aku Zeno. Ada urusan apakah dari Kota Madya Utama hingga membuat langit pagi di sini jadi lebih bergema?"Utusan itu menunduk hormat sebelum menyodorkan surat."Surat ini dari Adipati untuk keluarga Raka. Mohon disampaikan kepada yang berhak. Isinya... kabar yang mulia."Zeno mengangguk, memanggil anak kembarnya Riko dan Roni, lalu