Share

Bab 117

Author: Bhay Hamid
last update Huling Na-update: 2025-04-24 10:51:13

Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.

Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam.

"Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.

Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."

Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.

Beberapa
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 118

    Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s

    Huling Na-update : 2025-04-24
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 119

    Di seantero Kota Madya Utama, nama Raka terus bergema—bukan sekadar sebagai siswa unggulan, melainkan pemecah rekor seratus tahun Kerajaan Surya Manggala. Nilainya yang mendekati sempurna menjadi bahan pembicaraan dari kedai jamu hingga aula pertemuan para bangsawan.“Tahukah kau?” bisik salah satu pejabat tinggi pada kawannya, “Nilai ujian anak itu memecahkan rekor Kakek Sepuh Raja Manggala! Bayangkan! Bocah dari desa berhasil menumbangkan catatan darah biru.”“Tapi… ia belum punya tunangan, bukan?” gumam yang lain, sambil melirik anak gadisnya yang duduk malu-malu di sisi ruangan. “Aku akan siapkan perjodohan. Siapa tahu ia butuh istri dari keluarga mapan.”“Jangan gegabah, ia sudah memiliki tiga istri dan seorang putra yang masih kecil.” Ujar Saudagar Malin“aku tidak perduli bahkan Kerajaan membolehkan memiliki istri sebanyak 5 orang dan itu di sahkan oleh hukum Kerajaan surya manggala.”“Wah kamu sudah termakan kekuasaan sepertinya tuan Tokin,”“kalau begitu Kita undang saja ia j

    Huling Na-update : 2025-04-25
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 120

    Senja belum turun sepenuhnya, tetapi angin di pelataran Istana Surya Manggala sudah membawa hawa yang tak biasa. Raja Mahesa Warman berdiri sendiri di pendapa keempat, memandangi langit yang mulai berganti warna. Di tangan kirinya tergenggam gulungan berita dari Perpustakaan Kota Madya Utama—kabar tentang lencana zamrud, kitab kuno Singgasana Merah, dan perjalanan Raka menuju makam Raja Agung Manggala.Ia tampak gelisah. Langkah kakinya mondar-mandir tak menentu.“Seharusnya aku bisa menahannya di istana. Anak itu terlalu cepat tumbuh...” desisnya.Namun suara lain bergema di benaknya—suara tua dari masa lampau. Suara mendiang kakeknya, Raja Surya Pratama, sang raja bijak yang pernah berkata:“Jika kelak ada pemuda yang menemukan kalung Raja Manggala, jangan halangi jalannya. Barang siapa mencoba menghalanginya, maka binasa ia oleh kehendak leluhur.”Raja Mahesa Warman mengepalkan tangan.“Aku tidak ingin binasa karena melawan arwah leluhur... Baiklah, Raka. Langkahmu tidak akan kuhal

    Huling Na-update : 2025-04-25
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 121

    Matahari mulai condong ke barat saat Raka melangkah perlahan meninggalkan Petirtaan Agung. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh. Ia membawa sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tapi terasa berat di dalam dada: warisan kehormatan dan tanggung jawab dari Raja Manggala sendiri.Ia kembali ke penginapan di Kota Madya Utama, disambut lirikan kagum dari para penginap lain. Tak sedikit yang menunduk hormat tanpa mereka sadari.“Kau baik-baik saja, Raka?” tanya petugas penginapan, seorang wanita tua bermata bening. “Aku baik, Nisanak. Hanya sedikit lelah berjalan jauh,” jawab Raka sambil tersenyum, menyembunyikan segala keajaiban yang baru saja ia alami.Esok paginya, ujian akhir pun dimulai. Ruang ujian kelas S kini seperti medan perang yang ditaburi ketegangan. Tujuh orang pengawas berjubah hitam duduk di sudut-sudut ruangan, mata mereka tajam seperti rajawali.“Ini... ini bahkan lebih ketat dari ujian kenaikan tahta!” bisik seorang siswa.“Hush! Jangan ganggu konsentrasi orang!”

    Huling Na-update : 2025-04-25
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 122

    Kabar kepulangan Raka dari kota madya utama menebar ke seluruh penjuru Desa Kali Bening seperti angin membawa harum bunga musim semi. Dalam sekejap, warga berkumpul di balai desa, sebagian besar membawa buah tangan, beberapa bahkan membentangkan kain batik panjang di jalan-jalan sempit desa sebagai tanda suka cita.“Sudah tiga bulan ia tinggalkan kampung ini,” ujar Pak Siman, si pembuat gerabah, sambil menyeka peluh dari keningnya. “Tapi rasanya seperti tiga tahun. Anak muda itu bukan cuma kepala desa, dia cahaya bagi Desa ini!”Raka yang baru turun dari kuda putihnya, tersenyum lirih menatap kerumunan. Wajahnya terlihat lebih matang, sorot matanya dalam namun teduh. Dalam dekapannya, tergolek bayi mungil berusia empat bulan—putranya yang lahir saat sebelum ia berjuang di kota. Air matanya hampir luruh begitu melihat Andini menunggu di depan rumah, ditemani Aina, Aini, dan Bi Arum.“Raka, Desa ini telah berubah banyak sejak engkau pergi,” sambut Zeno bangga. “Lihat pasar itu… di pingg

    Huling Na-update : 2025-04-26
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 123

    Angin pagi berembus lembut di Desa Kali Bening. Aroma kayu basah dan rerumputan dari hutan timur masih terasa segar, meski suara palu dan gergaji tak henti menggema dari penjuru desa. Kali Bening bukan lagi Desa pengemis seperti dahulu. Stigma buruk yang pernah melekat kini perlahan memudar, berganti dengan kekaguman dan rasa iri dari desa-desa sekitarnya.Raka, sang kepala desa muda, berdiri di beranda sekolah yang baru dibangunnya. Matanya menatap anak-anak yang berlarian di halaman dengan wajah penuh tawa."Sudah kubilang jangan main dekat kolam, Nak Danu!" seru Raka sambil tersenyum."Ampun, Kanda Raka!" sahut Danu sambil lari kecil, diikuti tawa teman-temannya.Dulu, Kali Bening hanyalah tempat pelarian orang-orang tak punya, tapi kini—berkat ketekunan dan visi besar Raka—desanya menjadi pembicaraan banyak orang. Gelar Siswa Terbaik yang diraihnya di Kerajaan Surya Manggala menjadi pemantik perubahan. Ia mengalahkan banyak bangsawan muda dan anak pejabat, membuat namanya harum hi

    Huling Na-update : 2025-04-26
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 124

    Sudah dua minggu Lurah Wiroguno tak lagi menginjakkan kaki di pendapa desa petir. Rumah panggung kayunya yang dulu selalu ramai kini sepi. Hanya suara angin dan sesekali ayam peliharaan yang memecah hening.Ia duduk termenung di amben panjang, memandangi peti-peti dokumen lama yang kini tak lagi berguna. Jabatannya telah dicopot. Surat pemberhentian dari Adipati turun mendadak, tanpa banyak kata, hanya cap merah dan goresan pena dingin."Waktu berganti cepat seperti air sungai...," gumamnya lirih, "dan aku disingkirkan seperti karung beras busuk."Di tangannya masih tergenggam lembaran kabar dari Balai Kecamatan Kemusuk, menyatakan bahwa Anom, mantan sekretarisnya yang licik dan pandai menjilat, kini resmi diangkat menjadi Lurah Desa Petir menggantikan dirinya.Tak jauh dari rumahnya, suara para tetua desa terdengar berdiskusi."Kasihan Lurah Wiroguno. Tapi… ya begitulah kalau terlalu sibuk memperkaya diri, lupa urus rakyat," bisik salah satu dari mereka."Aku dengar, sekarang nama Ra

    Huling Na-update : 2025-04-26
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 125

    Matahari telah condong ke barat ketika Aryo Wiroguno duduk di serambi rumah besarnya. Udara desa terasa berat, penuh bisik-bisik tentang nama yang tak asing lagi di telinganya: Raka, Kepala Desa Kali Bening.Aryo menggenggam erat segulung surat kabar dari kecamatan, berisi daftar peringkat ujian Tingkat Kerajaan. Namanya memang tertera di antara lulusan terbaik, namun di atasnya, terukir dengan tinta emas, nama Raka — si pendatang baru dari desa kecil yang baru saja mekar.Ia menggeram, mengomel sendiri, "Huh, rakyat kecil mana peduli siapa yang lulus terbaik. Yang mereka tahu hanya si Raka itu... padahal aku yang bertahun-tahun belajar sampai remuk tulang."Ibunya, Nyi Wiroguno, menyusul keluar dengan nampan berisi teh hangat. Ia menatap putranya dengan prihatin."Sabar, Aryo... namamu tetap harum di hadapan para pejabat. Bukankah Bapak Camat sendiri datang membawa emas dari keluarga kita?"Aryo memalingkan wajah, mendesis, "Emas itu cuma buat menutupi malu! Kalau rakyat lebih memili

    Huling Na-update : 2025-04-27

Pinakabagong kabanata

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 127

    Embusan angin dari timur terasa lebih dingin dari biasanya—tanda musim dingin akan segera tiba.Di ruang tengah rumah panggungnya yang besar, Raka duduk di hadapan tiga istrinya—Aina, Aini, dan Andini. Wajah mereka tampak heran bercampur harap, apalagi setelah mendengar kabar bahwa Raka memanggil mereka untuk urusan penting.Raka menarik napas perlahan, lalu berkata,"Sudah waktunya kita menengok orangtua kalian di Desa Kelewer. Sudah terlalu lama mereka tak mendengar kabar dari kita."Andini memandang dua kakaknya, lalu menatap Raka."Kanda… benar-benar ingin ke sana, ketiga bersaudari ini saling tatap dan meneteskan air mata?"Raka mengangguk."Iya. Aku sudah mengirim utusan, dan mendapat kabar bahwa mereka masih sehat, tapi kaki Ibu kalian sudah lemah. Ayah pun sudah jarang keluar rumah. Aku tak ingin kita terlambat."Aina mengusap pelan lengan Raka."Kami... sangat rindu. Tapi, perjalanan itu jauh. Dan musim dingin sebentar lagi.""Justru itu," jawab Raka mantap, "kita harus beran

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 126

    Suara ayam jantan bersahut-sahutan dari pekarangan warga, menyambut hari baru yang penuh harap.Di balik rumah megah yang berdiri kokoh di atas batu-batu besar Sungai kali bening, seorang lelaki muda duduk di beranda, memandangi sawah yang mulai menguning. Di pangkuannya, bayi mungil tertidur lelap, bernama Rama, buah hatinya dari Aina."Aina, lihatlah… pipinya makin bulat, seperti tahu gempol di rumah makan milik kita," ucap Raka sambil tertawa pelan.Aini tersenyum dari balik dapur. "Kalau ia besar nanti, semoga hatinya juga selembut tahu gempol itu. Bukan seperti pejabat kecamatan yang suka menyeleweng."Raka tertawa, lalu menghela napas panjang."Aina… aku senang. Tapi entah kenapa, juga merasa berat. Seolah-olah semua orang menaruh harap yang tak bisa kutolak.""Itu karena kanda menerangi banyak jalan. Tapi kanda juga butuh istirahat dan itu pun kanda pasti di izinkan oleh para pejabat desa," kata Aina sambil menuangkan air panas ke kendi.Nama Raka kini lebih dari sekadar Kades D

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 125

    Matahari telah condong ke barat ketika Aryo Wiroguno duduk di serambi rumah besarnya. Udara desa terasa berat, penuh bisik-bisik tentang nama yang tak asing lagi di telinganya: Raka, Kepala Desa Kali Bening.Aryo menggenggam erat segulung surat kabar dari kecamatan, berisi daftar peringkat ujian Tingkat Kerajaan. Namanya memang tertera di antara lulusan terbaik, namun di atasnya, terukir dengan tinta emas, nama Raka — si pendatang baru dari desa kecil yang baru saja mekar.Ia menggeram, mengomel sendiri, "Huh, rakyat kecil mana peduli siapa yang lulus terbaik. Yang mereka tahu hanya si Raka itu... padahal aku yang bertahun-tahun belajar sampai remuk tulang."Ibunya, Nyi Wiroguno, menyusul keluar dengan nampan berisi teh hangat. Ia menatap putranya dengan prihatin."Sabar, Aryo... namamu tetap harum di hadapan para pejabat. Bukankah Bapak Camat sendiri datang membawa emas dari keluarga kita?"Aryo memalingkan wajah, mendesis, "Emas itu cuma buat menutupi malu! Kalau rakyat lebih memili

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 124

    Sudah dua minggu Lurah Wiroguno tak lagi menginjakkan kaki di pendapa desa petir. Rumah panggung kayunya yang dulu selalu ramai kini sepi. Hanya suara angin dan sesekali ayam peliharaan yang memecah hening.Ia duduk termenung di amben panjang, memandangi peti-peti dokumen lama yang kini tak lagi berguna. Jabatannya telah dicopot. Surat pemberhentian dari Adipati turun mendadak, tanpa banyak kata, hanya cap merah dan goresan pena dingin."Waktu berganti cepat seperti air sungai...," gumamnya lirih, "dan aku disingkirkan seperti karung beras busuk."Di tangannya masih tergenggam lembaran kabar dari Balai Kecamatan Kemusuk, menyatakan bahwa Anom, mantan sekretarisnya yang licik dan pandai menjilat, kini resmi diangkat menjadi Lurah Desa Petir menggantikan dirinya.Tak jauh dari rumahnya, suara para tetua desa terdengar berdiskusi."Kasihan Lurah Wiroguno. Tapi… ya begitulah kalau terlalu sibuk memperkaya diri, lupa urus rakyat," bisik salah satu dari mereka."Aku dengar, sekarang nama Ra

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 123

    Angin pagi berembus lembut di Desa Kali Bening. Aroma kayu basah dan rerumputan dari hutan timur masih terasa segar, meski suara palu dan gergaji tak henti menggema dari penjuru desa. Kali Bening bukan lagi Desa pengemis seperti dahulu. Stigma buruk yang pernah melekat kini perlahan memudar, berganti dengan kekaguman dan rasa iri dari desa-desa sekitarnya.Raka, sang kepala desa muda, berdiri di beranda sekolah yang baru dibangunnya. Matanya menatap anak-anak yang berlarian di halaman dengan wajah penuh tawa."Sudah kubilang jangan main dekat kolam, Nak Danu!" seru Raka sambil tersenyum."Ampun, Kanda Raka!" sahut Danu sambil lari kecil, diikuti tawa teman-temannya.Dulu, Kali Bening hanyalah tempat pelarian orang-orang tak punya, tapi kini—berkat ketekunan dan visi besar Raka—desanya menjadi pembicaraan banyak orang. Gelar Siswa Terbaik yang diraihnya di Kerajaan Surya Manggala menjadi pemantik perubahan. Ia mengalahkan banyak bangsawan muda dan anak pejabat, membuat namanya harum hi

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 122

    Kabar kepulangan Raka dari kota madya utama menebar ke seluruh penjuru Desa Kali Bening seperti angin membawa harum bunga musim semi. Dalam sekejap, warga berkumpul di balai desa, sebagian besar membawa buah tangan, beberapa bahkan membentangkan kain batik panjang di jalan-jalan sempit desa sebagai tanda suka cita.“Sudah tiga bulan ia tinggalkan kampung ini,” ujar Pak Siman, si pembuat gerabah, sambil menyeka peluh dari keningnya. “Tapi rasanya seperti tiga tahun. Anak muda itu bukan cuma kepala desa, dia cahaya bagi Desa ini!”Raka yang baru turun dari kuda putihnya, tersenyum lirih menatap kerumunan. Wajahnya terlihat lebih matang, sorot matanya dalam namun teduh. Dalam dekapannya, tergolek bayi mungil berusia empat bulan—putranya yang lahir saat sebelum ia berjuang di kota. Air matanya hampir luruh begitu melihat Andini menunggu di depan rumah, ditemani Aina, Aini, dan Bi Arum.“Raka, Desa ini telah berubah banyak sejak engkau pergi,” sambut Zeno bangga. “Lihat pasar itu… di pingg

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 121

    Matahari mulai condong ke barat saat Raka melangkah perlahan meninggalkan Petirtaan Agung. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh. Ia membawa sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tapi terasa berat di dalam dada: warisan kehormatan dan tanggung jawab dari Raja Manggala sendiri.Ia kembali ke penginapan di Kota Madya Utama, disambut lirikan kagum dari para penginap lain. Tak sedikit yang menunduk hormat tanpa mereka sadari.“Kau baik-baik saja, Raka?” tanya petugas penginapan, seorang wanita tua bermata bening. “Aku baik, Nisanak. Hanya sedikit lelah berjalan jauh,” jawab Raka sambil tersenyum, menyembunyikan segala keajaiban yang baru saja ia alami.Esok paginya, ujian akhir pun dimulai. Ruang ujian kelas S kini seperti medan perang yang ditaburi ketegangan. Tujuh orang pengawas berjubah hitam duduk di sudut-sudut ruangan, mata mereka tajam seperti rajawali.“Ini... ini bahkan lebih ketat dari ujian kenaikan tahta!” bisik seorang siswa.“Hush! Jangan ganggu konsentrasi orang!”

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 120

    Senja belum turun sepenuhnya, tetapi angin di pelataran Istana Surya Manggala sudah membawa hawa yang tak biasa. Raja Mahesa Warman berdiri sendiri di pendapa keempat, memandangi langit yang mulai berganti warna. Di tangan kirinya tergenggam gulungan berita dari Perpustakaan Kota Madya Utama—kabar tentang lencana zamrud, kitab kuno Singgasana Merah, dan perjalanan Raka menuju makam Raja Agung Manggala.Ia tampak gelisah. Langkah kakinya mondar-mandir tak menentu.“Seharusnya aku bisa menahannya di istana. Anak itu terlalu cepat tumbuh...” desisnya.Namun suara lain bergema di benaknya—suara tua dari masa lampau. Suara mendiang kakeknya, Raja Surya Pratama, sang raja bijak yang pernah berkata:“Jika kelak ada pemuda yang menemukan kalung Raja Manggala, jangan halangi jalannya. Barang siapa mencoba menghalanginya, maka binasa ia oleh kehendak leluhur.”Raja Mahesa Warman mengepalkan tangan.“Aku tidak ingin binasa karena melawan arwah leluhur... Baiklah, Raka. Langkahmu tidak akan kuhal

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 119

    Di seantero Kota Madya Utama, nama Raka terus bergema—bukan sekadar sebagai siswa unggulan, melainkan pemecah rekor seratus tahun Kerajaan Surya Manggala. Nilainya yang mendekati sempurna menjadi bahan pembicaraan dari kedai jamu hingga aula pertemuan para bangsawan.“Tahukah kau?” bisik salah satu pejabat tinggi pada kawannya, “Nilai ujian anak itu memecahkan rekor Kakek Sepuh Raja Manggala! Bayangkan! Bocah dari desa berhasil menumbangkan catatan darah biru.”“Tapi… ia belum punya tunangan, bukan?” gumam yang lain, sambil melirik anak gadisnya yang duduk malu-malu di sisi ruangan. “Aku akan siapkan perjodohan. Siapa tahu ia butuh istri dari keluarga mapan.”“Jangan gegabah, ia sudah memiliki tiga istri dan seorang putra yang masih kecil.” Ujar Saudagar Malin“aku tidak perduli bahkan Kerajaan membolehkan memiliki istri sebanyak 5 orang dan itu di sahkan oleh hukum Kerajaan surya manggala.”“Wah kamu sudah termakan kekuasaan sepertinya tuan Tokin,”“kalau begitu Kita undang saja ia j

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status