“Kanda, bagaimana buruan nya hari ini.”
“Tidak terlalu buruk di ujung des aini ada sebuah safana dengan pohon-pohon kecil beserta rumput yang bagus untuk bersembunyi dan memiliki banyak hewan liar disana serta aku dapat membidik dengan baik satu ekor kijang Jantan ini.”
Aina begitu terkejut Ketika Raka menunjukkan arah busurnya ke samping pagar rumah mereka yang reot.
“Wah kijang ini cukup untuk kita berempat sampai dua hari kedepan.”
Kemudian bagaimana dengan beras kita apakah masih ada?” Ujar Raka
Andini…kemari kakak mau menanyakan sesuatu padamu.”
“Iya kak sebentar aku kedepan.” Andini tergopoh-gopoh hingga kakinya tersandung dan langsung di sambut dengan sigap oleh Raka.
Mata mereka saling memanah dan raka merasakan empuk di tangannya sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Namun suara Aina membuat mereka berdua tersada.
Momen yang membagongkan dan membuat libido siapapun segera membuncah dan ingin segera rasanya melanjutkannya di ranjang panas.
Aihhh pikiran ini selalu….
Kemudian Aina memarahi adiknya yang selalu gopoh dan tidak berhati-hati.
“Sudah sudah itu hal wajar lagian kamu Aina jangan membuat adikmu ini panik.”
Sambil memeluk dan mengecup pipi istri ketiganya membuta Andini semakin berdekup kencang jantungnya.
Dan sambil melepas pelukan yang sebenarnya ia juga tidak mau namun keadaan harus melepas sekenario ini. Entah kapan aka nada adegan romantic seperti ini.
“Iya kak Aina ada apa?”
“Apakah beras kita masih ada.”
“Masih Kak terakhir kita dapatkan dari Mandor tiga hari yang lalu sebelum peristiwa memilukan ini terjadi.”
“Kira-kira cukup untuk berapa hari?” Ujar Raka
‘’Emmmm..kira-kira bisa lima hari kanda.” Suara Aina begitu menggoda
Sehingga Raka Kembali jatuh dalam hayalan fantasinya yang membara…sekali lagi isssssttttttt pikiran ini.
Betapa tidak di kehidupan sebelumnya Raka sibuk dengan kegiatan kantor dan buku-buku yang membosankan. Sedangkan disini dia mendapati tiga istri cantik yang begitu menggiurkan dan sangat seksi dengan bentuk….sempurna dan indah.
Sehingga setiap kali dia mendapati istrinya ada disampingnya segera ingin ia Bersama bertiga untuk memadu kasih. Namun hal itu urung dilakukan mengingat rumah mereka yang reot dan musim dingin juga akan menghantui mereka di zaman kuno ini.
Namun kesenangan dan hayayalan Raka di hentikan oleh isak tangis dari dalam rumah reot yang siap menunggu runtuh diterpa ranting jatuh.
“Ada apa dengan Aini kepada ia menangis.” Sela Raka
Kami takut dengan kejadian satu bulan lalu Kanda. Bahwa kita terlilit hutang hingga limaratus keping emas dan seratus keping perak hal ini terjadi karena kanda di buang di desa Kemusuk ini.
*****
Lima orang berbadan tegap dengan senjata lengkap berdiri dihalaman rumah mereka yang reot. Masing-masing mereka memiliki perawakan tinggi dan sangar serta memasang wajah galak seolah-olah sedang menatap ikan panggang di atas meja.
Mengapa mereka ada di halaman kita?
Raka menoleh kearah tiga bersaudari ini namun wajah mereka pucat pasi dan Aina pun langsung pingsan ditempat. Kemudian mereka berdua seraya memohon dan seperti meminta perlindungan dari Raka. Melihat hal ini jiwa kepahlawanan Raka muncul dan ia pun maju dengan wajah tenang dan santai.
Kisanak apa tujuan anda berlima kerumah kami yang buruk ini?
Hai bajingan jangan berlagag lupa kamu ya?
“Jangan pura-pura menghilangkan permasalahan kita ini, Mandor sudah memberikan tiga jalang itu untuk kami nikmati secara free karena kami berhasil mendapatkan titah raja untuk menemukan cendikiawan hebat didesa ini.”
Mendengar hal ini membuat Raka merah padam sehingga darahnya begitu deras seperti air terjun Niagara yang menggebu-gebu.
“Dasar manusia laknat berani-beraninya kau berbicara sekotor itu didepan istriku!”
“Oh ternyata dia sudah punya nyali sekarang.” Ujar salah seorang dari mereka yang buru-buru menghampiri dua gadis yang masih berdiri ketakutan dibelakang Raka.
Sebelum pria berseragam lengkap ala militer zaman kuno melewati Raka. Pukulan dengan satu tangan melemparkan pria itu hingga beberapa meter dari mereka.
Brakkkkkk….aduhhhh….
Empat tentara kuno itu tertegun sejenak sebelum tersadar bahwa mereka baru kali ini melihat kekuatan yang mengerikan dari seorang pria lemah. Namun Raka kini adalah orang yang memiliki kemampuan modern jauh jutaan kali di atas tentara kuno ini.
Dengan tatapan dingin yang menakutan Raka memalingkan wajah ke arah empat yang tersisa.
“Kalian masih mau lancang dengan mulut bau limbah itu!”
Dasar bodoh bunuh pria ini. Dan kita nikmati gadisnya sampai puas dan kita pesta malam ini. Serang jangan takut kita berempat dia hanya seorang yang lemah. Seru peria hitam gondrong.
Mereka menyerang bersamaan namun tidak disangka pria lemah ini juga dapat meladeni mereka dengan sangat epic pertarungan di halaman rumah Raka membuat dua gadisnya semakin terpana karena melihat kehebatan suaminya mengatasi lima tentara kuno dengan tangan kosong.
Brakkkk----brakkk….. teriakan kompak dari ke tiga pasukan kuno itu mengerang kesakitan setelah mendapatkan tendangan kilat dari Raka.
Kemudian Raka berjalan menghampiri pria krebo dengan mulut bau arak. Raka menatap dengan dingin sedinging puncak gunung everes yang abadi. “Sampaikan kepada penyuruhmu jangan sekali-kali menyentuh tanah dihalaman rumahku ini lagi.” Atau kalian akan berpindah alam. Camkan itu!” sekarang pergi dan enyah lah dari hadapan ku.”
Lima pasukan kuno segera mengemasi temanya seperti sedang membungkus ikan asin di pasar, mereka segera meninggalkan neraka di sore itu dengan wajah yang babak belur dan penuh dengan ketakutan. “Kanda darimana kanda mempelajari Gerakan itu, dan bagaimana kanda begitu lentur menggunakan daun busur ini hingga membuat pasukan yang mengerikan itu tidak berarti di hadapan kanda.” “Aini istriku yang cantik setelah aku bangun dari matiku kemarin aku mempelajari banyak hal tentang ini.” Sambil menyentuh da…yang lembut membuat Aini memerah padam “Kanda jangan seperti ini aku malu sama kak Aina.” Aina yang melihat itu juga menelan ludah dan menundukkan kepalanya tidak berani menatap lelaki gagah dan kuat didepannya. “Andai malam itu datang apakah kami bertiga mampu menandingi lelaki ini” Aina termenung didalam tunduknya. Kemudian Raka memeluk Aina dengan penuh gairah dan menyentuh buah da…yang membuat ia sedikit terbang seakan lepas nyawanya. Kanda jangan begitu malu dilihat orang.” Raka
Raka membuka matanya yang mendapati tiga istrinya sudah tidak di ranjang mereka. Dari luar terdengar percakapan mereka bertiga dengan intens. Suasana desa sudah menghadapi musim dingin untuk beberapa bulan kedepan.Ketika Raka akan menyusul mereka. Dari kejauahan datang para pembuat onar yang pada beberapa hari yang lalu ingin menggoda gasi Raka.“Kalian bertiga….cepat..ber..lindung di dalam rumah.” Teriak Raka keras yang membuat tiga bersaudari ini segera masuk dengan tergopoh.” Siuuut..aaaaa..”Raka memegangi bahu sebelah kirinya. Dan warna merah mengucur dari punggungnya.“Kanda kamu…”Cepat berlindung gunakan apa saja yang bisa mengamankan diri kalian. Aku akan menghaadapi mereka.’’ Pagi yang tadinya indah berubah menjadi mencekam.Raka segera mencabut anak panah yang bersarang di bahu kirinya, kemudian menghunus panah tersebut ke arah para pembuat onar yang menghampiri rumah mereka.“Aiihhh!” Belong menahan langkahnya setelah tadi melepaskan anak panah. Kemudian dia memuntahkan d
Wah kalian sangat bekerja keras hari ini, baiklah ini ada oleh-oleh dari pasar yang Kanda beli.” Sebelum Raka selesai menjelaskan barang bawaan dari pasar. Aina menimpali“Kanda dapat uang dari mana sedangkan mandor beberpa hari yang lalu kan tidak memberi upah kepada kita.”“Benar Kanda uang dari mana..jangan..jangan ..sttttt sambil menyentuh bibir mungil Aini.”“Kalian berdua jangan khawatir ini adalah uang konpensasi atas penyerangan tiga bersaudara kemarin pagi.” Ujar Raka menjelaskan Panjang lebar.Ya sebelum Raka kepasar ia sempat kebalai kota untuk mengadukan semua yang dilakukan oleh tiga orang kemarin dan Raka mendapatkan konpensasi dari kelurahan sebanyak 100 sen perak. Karena ulah lurah Wiroguno.“Wah ternyata dengan Nasib yang hampir menjadikan kami janda Kanda masih bisa menghasilkan uang.” Jahat sambil terisak dua gadis itu lalu dipeluk Raka yang tinggi dan gagahSudah-sudah kalian berdua ini terlalu melankolis sehingga mudah menangis.” Kuatkan hati kalian biar kanda sem
Pagi di bawah pohon rindang dan dingin tiga bersaudari dan Raka sudah membuka lapaknya serta sudah siap membakar ikan hasil tangkapan mereka di sebelah lapak Raka ada seorang penjual ikan juga. Dan di depannya ada penjual jeruk.Suasana pasar sangat ramai pagi ini karena para pekerja baru dapat upah hasil pekerjaan mereka.Ikan-bakar ikan bakar satu sen per ekor..suara itu terus menggema di hiruk pikuk suasana pasar.Tidak lama kemudian mereka para pengunjung berkerumun. Ada yang bilang” Bagaimana bisa ikan menjadi enak setelah hanya di panggang dan dilumuri kecap serta rempah begitu saja.”Pengunjung yang lainya.” Nona aku mau mencicipi nya terlebih dahulu bolehkah.”“Boleh tuan silahkan dicicipi jika tidak enak tuan tidak perlu membelinya.” Baik kesepakatan yang bagus.“Wah ini enak sekali aku beli sepuluh saja.” Ini sepuluh sen nya besok aku akan kemari lagi.Langsung para pengunjung membeli satu demi satu hasil panggangan ikan Raka.“Kamu memang cocok diposisi itu Aini.” Ujar Raka
Aina kemudian meyakinkan Raka untuk terus membantu warga disini. Pada pagi hari nya setelah kehebohan yang membagongkan itu. Didepan rumah reot Raka sudah banyak orang menanti. Raka yang sudah bangun sangat pagi sekali dengan seketika terkejut dan menanyai mereka dengan cepat. “Apa gerangan kisanak ke rumahku.” Ujar Raka “Tuan Raka kami mau mencari pekerjaan di desa ini kami tidak memiliki pekerjaan selain hanya sebagai pengemis yang selalu di maki-maki dan bahkan di tindas oleh kepala desa.” “Kanda warga disini hampir rata-rata tidak ada pekerjaan.” Lirih Aini “Kalau begitu banyak hal yang harus kita selsaikan, bisik Raka kepada Aini.” Iya kanda benar. “Kisanak beri aku waktu lima hari.” Lima hari baik Tuan Raka kami akan menunggu beberapa orang kemudian bergegas pergi. “Kanda bagaimana mau memberikan pekerjaan kepada mereka.” Sedangkan kita baru berjualan beberapa hari ini. “Tenang aku akan memikirkannya nanti.” Sekarang kita fokus memancing ikan di bantu Roni dan Riko dan j
Benar kemarin aku melihatnya berjualan ikan di pasar dan sekejap saja habis.”“Iya benar warga yang lain menimpali dambil menatap Raka sinis, bahkan dia membeli banyak rempah dan sebagainya.”Benar-benar manusia yang aneh untuk apa rempah-rempah itu.”Hahahahaha terdengar tawa dari beberapa warga.” Mungkin dia akan berjualan jamu di pasar.”Raka mendengar gunjingan dari warga desa petir tetap santai dan terus berjalan acuh dengan tatapan yang menindas hingga membuat warga seketika membubarkan diri dari tongkrongan di pinggir jalan.“Bagus tau diri kalian jika tidak batu bata ini akan melayang satu persatu kepada kalian.” Gumam Raka puas.Iya raka membawa beberapa batu bata dengan di panggul menggunakan bambu yang di imbangi dengan dua keranjang di kanan dan kirinya. Sebagai bahan perbaikan rumah mereka.“Kanda kamu membawa batu bata merah banyak sekali. Darimana uang nya kanda.” Aina panik“Tenang istriku yang cantik.” Ini semua keberuntungan kita jadi tadi di pasar kamu tau rumah mak
Iya paman benar, ujar Raka yang Kembali keceplosan. Bahwa warga di negeri Surya Manggala tidak mengenal Tuhan melainkan para dewa.“Besok pagi-pagi sekali kita ke rumah makan Sekar kedaton dan menyiapkan semua keperluan kita.” Semua sudah mendapatkan tugas masing-masing dan besok kalian langsung saja ke hulu Sungai.“Sisanya pergi ke sawah untuk menggembala bebek kalian. Untuk mengantar bebek dan ikan nanti serahkan saja kepada Roni dan Riko.” Oke kak Raka.Sebelum mereka selsai melakukan pertemuan dari depan terlihat tiga orang berlari menghampiri rumah Raka ya. Dia adalah teman Raka semasa masih menjadi buruh di desa sebelah dan dia selalu membantu Raka Ketika di tindas oleh mandor.“Raka kamu masih ingat aku kan.” Ujar NaraIya aku juga.” Tomi dan Zio kompak“Iya aku ingat kalian.” Oh dewa syukurlah…sepertinya kebaikan masih berpihak kepada kita. Ujar Zio“Raka bisakah kami membantu usaha mu, ya sebagai tukang cuci piring atau penjaga keamanan itu pun boleh.” Ujar TomiIya untuk up
“Kek aku tidak berhak menerima semua ini. Aku bukan keluarga sedarah dari pihak kakek. Apakah tidak ada keluarga lain dari pihak istri dan lain sebagainya.”Keluarga Nugroho dan Sanio sudah lama musnah karena terlibat dalam perang hingga menyisakkan kakek seorang diri.”“Jadi sudah saatnya rumah makan sekar kedaton memiliki pemilik baru.”Buat stempel ini di surat pernyataan ini agar pengadilan Kerajaan memiliki kekuatan untuk melindungi kalian.”Raka dengan berat hati menuangkan cap jempolnya di selembar kain yang sudah tertulis bahwa kepemilikan rumah dan sekar kedaton diberikan secara sah kepada Raka Wironegoro sebagai pembeli Tunggal.Perjanjian Raka dan Kakek Sarto sudah selsai dan hal yang tidak diinginkan Raka pun terjadi. Ia menyaksikan orang yang sangat berjasa pada dirinya dan pengemis desa petir telah Kembali moksa.Kejadian ini membuat beberapa rumah makan ikut berduka dan Sebagian besar senang karena merka tidak lagi melihat kakek tua penyakitan yang bisa merugikan dagang
Mentari baru saja naik ketika Raka, mengenakan ikat kepala coklat tua dan baju kerja dari kain kasar, berdiri di pinggir sungai tempat jembatan batu sedang dibangun. Matanya tajam memandang para pekerja yang sibuk: ada yang mengangkat batu, ada yang mengaduk semen, ada yang menurunkan muatan dari kereta kuda.Salah satu mandor, Pak Resno, menghampiri dengan gulungan rencana bangunan.“Yang Mulia Kades, bagian lengkung utama akan kita susun siang ini. Tapi butuh empat pekerja tambahan untuk pasang pilar tengah,” katanya.Raka mengangguk cepat. “Ambil dari kelompok barat, mereka sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Jangan lupa beri mereka makan siang sebelum lanjut.”Ia tidak sekadar memerintah dari jauh. Hampir tiap hari, Raka turun langsung ke lapangan, berjalan di antara debu dan batu, menyapa para buruh, memastikan setiap bagian jembatan dikerjakan dengan benar.“Kalau aku hanya duduk di balai desa,” ujar Raka suatu hari kepada Mirna, “maka jembatan ini tak akan punya jiwa.”Semen
Udara pagi masih sejuk saat Raka memandang aliran sungai lebar yang membelah antara Desa Kali Bening dan wilayah timur yang mengarah ke dermaga baru. Arus sungainya tenang, namun cukup dalam, dan tiap sore banyak perahu kecil yang berlalu-lalang, membawa hasil bumi, ikan, dan barang dagangan.Di atas tanah berbukit kecil yang menghadap sungai, Raka membentangkan lembaran kulit pohon waru, tempat ia menggambar rancangan jembatan. Bentuknya setengah lingkaran, dengan lengkungan batu yang kokoh dan elegan.“Jika kita ingin jembatan ini bertahan puluhan tahun, bahkan seratus tahun,” ujar Raka kepada para tukang bangunan, “maka kita harus membangunnya dari batu alam dan bukan dari kayu. Lengkungannya harus kuat, tapi tak kaku. Seperti punggung seekor naga batu.”Raka menunjuk bagian tengah rancangan.“Sungai ini lebar. Kita buat tiga terowongan melengkung, agar kapal-kapal kecil tanpa layar bisa tetap melintas di bawahnya. Jembatan ini bukan penghalang, tapi penghubung.”Seorang tukang ban
Angin pagi berhembus pelan di tepian Desa Kali Bening. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, dan suara burung hutan bersahut-sahutan. Tapi pagi itu, bukan hanya suara burung yang terdengar — dari arah timur, iring-iringan rombongan kecil berjalan kaki membawa karung, alat pertanian, dan raut muka penuh harap. Mereka adalah warga dari Desa Anggur, dari salah satu kampung miskin yang letaknya terpencil di balik perbukitan berbatu.Raka, Kades Kali Bening, tengah duduk di pendopo saat berita kedatangan mereka sampai ke telinganya. Ia segera mendatangi rombongan itu, ditemani beberapa tetua dan pemuda kampung."Apa yang membuat kalian datang sejauh ini?" tanya Raka.Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun melangkah maju, membungkuk hormat. Namanya nara, pemimpin kecil di antara rombongan itu."Maafkan kami, Tuan Raka. Kampung kami tak lagi sanggup menahan kemiskinan. Ladang kami subur, ternak kami sehat... tapi kami terkurung. Jalan keluar desa rusak, hutan rimba dan jurang m
Di Kali Bening, bangunan-bangunan baru terus berdiri. Sebuah lumbung besar tengah dibangun tak jauh dari pelabuhan. Tak jauh dari sana, dermaga tambahan melengkapi Pelabuhan Sungai yang sudah ada disiapkan untuk kapal-kapal berukuran besar dari Sungai Manganti.Dari pendopo balai desa yang berdiri megah di atas batu tebing, Raka memandang ke arah pasar dan pelabuhan. Bersamanya, dua kepala dusun dan seorang saudagar dari Kadipaten.“Kegiatan bongkar muat sudah dua kali lipat dari bulan lalu,” lapor Kepala Dusun Tumo. “Dan para saudagar kini meminta agar pasar malam diadakan dua kali seminggu.”Raka mengangguk. “Bagus. Tapi pastikan keamanan dijaga. Jangan biarkan pedagang dari luar membawa kelicikan ke dalam desa ini.”Saudagar tua dari Kadipaten pun berkomentar, “Wahai Kades Raka, belum pernah hamba melihat desa semaju ini... bahkan di tengah kadipaten pun belum tentu ada jalan semen selurus ini.”Raka hanya tersenyum.“Semua karena rakyat percaya dan mau bergerak bersama. Tanpa mere
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati pasar rakyat dengan lapak-lapak dari kayu dan atap genting merah yang tersusun simetris. Di seberangnya, berdiri balai desa di atas tebing batu pinggir Kali Bening. Megah namun tetap menyatu dengan alam. Dindingnya dari batu andesit bebaur dengan bata merah yang dipahat tangan-tangan muda desa, dengan ukiran matahari dan aliran air.“Ini seperti bangunan kadipaten…” gumam salah satu pejabat. “Tapi dibangun oleh desa baru berdiri…”“Bukan istana, Tuan,” ujar Raka dengan tenang. “Ini rumah tempat rakyat menaruh harap. Karena itulah kami buat yang kuat, tegak, dan tak gampang roboh.”Di kejauhan, rumah besar Raka tampak menjulang dari balik pohon beringin tua. Bertiang batu alam membentuk pilar, beratap genting merah berdinding bata merah pula, halaman luas menghadap lembah dan sungai.Aryo yang turut berjalan dalam rombongan itu tertegun. Matanya melebar, dadanya mendadak sesak.“Rumah siapa itu?” bisiknya pada seorang pamong dari Kali Bening.“Ru
Malam menuruni Desa Petir perlahan. Angin membawa aroma padi matang dan tanah lembap. Di balai desa, suasana perlahan mereda. Namun mata Raka masih waspada.Ia memutuskan meninggalkan balai desa lebih awal. Bukan karena lelah, tapi karena firasatnya menguat. Ia mengenakan kain biasa dan berjalan menunduk, menyusuri gang-gang kecil yang tidak dikenali oleh orang luar. Seperti bayangan, ia menyelinap di balik warung tua, menjauh dari keramaian.Dari kejauhan, matanya menangkap siluet Aryo yang melangkah cepat, sendirian. Raka mengikutinya dalam diam. Langkah Aryo menuju sebuah bangunan kayu besar di ujung desa—gudang tua milik keluarga Wironegoro.Raka menahan napas, menyelip di balik gang sempit yang langsung menghadap ke gudang. Dari celah papan bambu yang renggang, ia melihat Aryo membuka pintu dan masuk, membawa sebuah lentera kecil.Di dalam gudang yang remang-remang, Andini duduk terikat di sudut ruangan. Tatapannya tegas meski tubuhnya lemah. Aryo mendekatinya lagi dengan gaya me
Ruangan gelap itu hanya diterangi cahaya minyak dari lentera kecil yang tergantung di langit-langit. Bau lembap dan debu memenuhi udara. Di sudut ruangan, Andini terbaring lemah dengan tangan terikat pada tiang kayu. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, tapi matanya masih menyala dengan semangat yang belum padam. Pintu kayu berderit pelan. Aryo masuk perlahan sambil membawa kendi berisi air. Ia tersenyum, senyum yang lebih mirip kepalsuan daripada ketulusan. “Andini... kau sudah siuman,” katanya lirih, seolah-olah tak pernah melakukan dosa. Ia mendekat, menuang air ke dalam cawan tanah liat. “Minumlah, kau pasti haus.” Andini mengalihkan wajahnya. “Apa yang kau inginkan, Aryo?” Dengan lembut yang dipaksakan, Aryo menyentuhkan kain basah ke pipi Andini, membersihkan sisa debu. “Aku hanya ingin kau tenang. Tak ada yang akan menyakitimu... selama kau tak membuatku marah.” Andini bersiap berteriak, namun Aryo buru-buru mencengkeram dagunya, matanya berubah buas. “Sekali saja kau berteriak.
Beberapa saat kemudian, Raka kembali ke rumah. Begitu ia melihat lentera padam dan dayang tua pingsan di tanah, ia segera menarik pedangnya. “Andini!” serunya, berlari ke dalam rumah. Namun rumah itu kosong. Hatinya bergemuruh. Raka berjongkok, menemukan bekas telapak kaki di tanah yang belum kering. Ia menyentuhnya. Masih hangat. “Baru saja...” Dalam waktu singkat, alarm darurat dipukul. Para prajurit Kali Bening berkuda ke segala arah, menyalakan obor dan menyisir hutan serta jalan-jalan gelap. Di Balai Agung, Roni dan Riko segera berkumpul bersama Raka. “Siapa yang berani menyentuh istrimu paman di wilayah kita sendiri?” geram Riko. Raka menatap ke arah barat—ke arah Desa Petir. Matanya menyipit. “Yang merasa tersingkir... dan menyimpan dendam.” “Beri aku waktu satu malam,” kata Roni sambil menggenggam gagang pedangnya. “Jika mereka membawa bibi Andini keluar dari wilayah Kali Bening, kita akan kejar mereka... sampai ke ujung negeri.” Raka mengepalkan tangan. “An
Langit sore itu menggantungkan awan kelabu di atas Desa Petir, seolah ikut merasakan kegundahan yang menyelimuti hati para gadis di sana. Di balai desa, para tetua telah berkumpul, berharap kabar baik dari dua pemuda terhormat yang baru saja tiba dari perjalanan panjang: Roni dan Riko, anak dari mantan Kades Zeno, serta keponakan dari kades Raka, sang pahlawan dari Kali Bening. Kepala Desa Wiroguno berdiri di tengah balai, berwajah sumringah namun sedikit tegang. Di sampingnya, Aryo, tangan kanannya, menunduk dengan tenang, sembari sesekali melirik ke arah para gadis desa yang berdandan lebih rapi dari biasanya. "Roni, Riko," ucap Wiroguno membuka pertemuan. "Kami, mewakili Desa Petir, dengan tulus menyampaikan lamaran dari keluarga-keluarga terbaik di sini. Anak-anak gadis kami telah memendam harapan besar atas kedatangan kalian." Namun, Riko menatap lurus ke depan. Ia menunduk sedikit sebagai bentuk hormat, lalu berkata pelan namun tegas, “Kami menghargai niat baik ini, namun kami