Share

Bab 86

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-04-14 14:42:40

Angin pagi berhembus pelan di tepian Desa Kali Bening. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, dan suara burung hutan bersahut-sahutan. Tapi pagi itu, bukan hanya suara burung yang terdengar — dari arah timur, iring-iringan rombongan kecil berjalan kaki membawa karung, alat pertanian, dan raut muka penuh harap. Mereka adalah warga dari Desa Anggur, dari salah satu kampung miskin yang letaknya terpencil di balik perbukitan berbatu.

Raka, Kades Kali Bening, tengah duduk di pendopo saat berita kedatangan mereka sampai ke telinganya. Ia segera mendatangi rombongan itu, ditemani beberapa tetua dan pemuda kampung.

"Apa yang membuat kalian datang sejauh ini?" tanya Raka.

Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun melangkah maju, membungkuk hormat. Namanya nara, pemimpin kecil di antara rombongan itu.

"Maafkan kami, Tuan Raka. Kampung kami tak lagi sanggup menahan kemiskinan. Ladang kami subur, ternak kami sehat... tapi kami terkurung. Jalan keluar desa rusak, hutan rimba dan jurang m
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 87

    Udara pagi masih sejuk saat Raka memandang aliran sungai lebar yang membelah antara Desa Kali Bening dan wilayah timur yang mengarah ke dermaga baru. Arus sungainya tenang, namun cukup dalam, dan tiap sore banyak perahu kecil yang berlalu-lalang, membawa hasil bumi, ikan, dan barang dagangan.Di atas tanah berbukit kecil yang menghadap sungai, Raka membentangkan lembaran kulit pohon waru, tempat ia menggambar rancangan jembatan. Bentuknya setengah lingkaran, dengan lengkungan batu yang kokoh dan elegan.“Jika kita ingin jembatan ini bertahan puluhan tahun, bahkan seratus tahun,” ujar Raka kepada para tukang bangunan, “maka kita harus membangunnya dari batu alam dan bukan dari kayu. Lengkungannya harus kuat, tapi tak kaku. Seperti punggung seekor naga batu.”Raka menunjuk bagian tengah rancangan.“Sungai ini lebar. Kita buat tiga terowongan melengkung, agar kapal-kapal kecil tanpa layar bisa tetap melintas di bawahnya. Jembatan ini bukan penghalang, tapi penghubung.”Seorang tukang ban

    Last Updated : 2025-04-14
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 88

    Mentari baru saja naik ketika Raka, mengenakan ikat kepala coklat tua dan baju kerja dari kain kasar, berdiri di pinggir sungai tempat jembatan batu sedang dibangun. Matanya tajam memandang para pekerja yang sibuk: ada yang mengangkat batu, ada yang mengaduk semen, ada yang menurunkan muatan dari kereta kuda.Salah satu mandor, Pak Resno, menghampiri dengan gulungan rencana bangunan.“Yang Mulia Kades, bagian lengkung utama akan kita susun siang ini. Tapi butuh empat pekerja tambahan untuk pasang pilar tengah,” katanya.Raka mengangguk cepat. “Ambil dari kelompok barat, mereka sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Jangan lupa beri mereka makan siang sebelum lanjut.”Ia tidak sekadar memerintah dari jauh. Hampir tiap hari, Raka turun langsung ke lapangan, berjalan di antara debu dan batu, menyapa para buruh, memastikan setiap bagian jembatan dikerjakan dengan benar.“Kalau aku hanya duduk di balai desa,” ujar Raka suatu hari kepada Mirna, “maka jembatan ini tak akan punya jiwa.”Semen

    Last Updated : 2025-04-14
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 89

    Di perempatan jalan besar — yang sebelumnya hanya tanah lapang dan semak belukar — kini mulai berdiri tenda-tenda kain, meja kayu, dan bangku dagangan.Di tengah keramaian itu, Raka berdiri di atas panggung bata merah. Suaranya lantang namun bersahaja, menyapa para pedagang dan warga yang datang.“Hari ini, kita membuka lapak pasar kulon, mudah-mudahan penduduk kampung kulon tidak perlu berjalan jauh kepasar pusat desa kali bening, cukup di pasar kulon ini kitab isa berinteraksi !“Pasar ini bukan milik kita semua yang mau berdagang.”Warga bersorak. Tangan-tangan terangkat. Terlihat banyak wajah baru—dan lama—yang ikut berdiri di barisan.Mirna, sang bendahara desa, berdiri di samping Raka sambil mencatat nama-nama pedagang yang ingin mendaftar lapak resmi.“Ada yang menjual ikan asin dari tambak Kali Bening… ada yang bawa tembakau dari lereng timur,” bisik Mirna.Beberapa pedagang yang dulu meninggalkan desa karena sulitnya hidup, kini kembali dengan semangat baru.Salah satunya, Pak

    Last Updated : 2025-04-15
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 90

    Langit mendung menggantung di atas Desa Petir, seolah menyimpan amarah yang tak terucap. Di jalan menuju balai desa, kerumunan warga berkumpul dengan kain ikat kepala dan berteriak: “Turunkan Pajak! Rakyat Tertindas!”Seorang petani tua bernama Pak Suryo berdiri di tengah kerumunan. Suaranya serak, tapi cukup lantang:“Cucu-cucuku kelaparan, ladang tak laku dijual, semua dagang ke pasar baru di Kali Bening. Kami ingin pindah saja ke sana, ke desa yang rakyatnya dihargai!”Seorang pemuda berseru, “Di Kali Bening, tanah subur! Di sini, yang subur hanya pajak!”Kerumunan bergemuruh.Tapi saat warga mendatangi Balai Desa Petir, yang mereka dapati hanyalah Kades Wiroguno duduk di kursi rotan sambil menghisap tembakau kering. Di sekelilingnya berdiri para pengawal desa.“Protes ini sia-sia,” katanya dengan nada dingin. “Pajak itu sudah ditetapkan… Demi pembangunan desa kita juga.”Seorang Wanita dengan baju kain rami maju dengan mata berair.“Pembangunan apa, Pak Lurah? Rumah kami roboh tak

    Last Updated : 2025-04-15
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 91

    Pagi itu, balairung utama pengadilan kecamatan Kemusuk dipenuhi rakyat yang penasaran. Bangunan batu kapur berukir dengan atap genting batu hitam itu terasa sesak, udara panas bercampur aroma keringat dan ketegangan. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tenang berwajah rupawan dengan tatapan mata teduh—Raka, Kepala Desa Kali Bening.Ia duduk di kursi pesakitan di temani Aina dan Roni di belakangnya. Tuduhannya berat: menerapkan pajak tanah sebesar 30 persen tanpa persetujuan kerajaan. Raka hanya menunduk, matanya tak berkedip menatap lantai kayu. Tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya, bahkan saat hakim memintanya memberi penjelasan."Raka, atas dasar apa kau menetapkan pajak tanah sebesar tiga puluh persen kepada warga Desa Kali Bening?"Hakim Bagas mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya, suaranya tegas dan menggema.Namun Raka tetap diam.Di kursi belakang, Aini, istri kedua Raka, mulai gelisah. Wajahnya yang putih pucat semakin tak berdarah. Ia menggenggam erat tangan k

    Last Updated : 2025-04-15
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 92

    Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini

    Last Updated : 2025-04-16
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 93

    Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di

    Last Updated : 2025-04-16
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 94

    Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k

    Last Updated : 2025-04-16

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 94

    Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 93

    Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 92

    Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 91

    Pagi itu, balairung utama pengadilan kecamatan Kemusuk dipenuhi rakyat yang penasaran. Bangunan batu kapur berukir dengan atap genting batu hitam itu terasa sesak, udara panas bercampur aroma keringat dan ketegangan. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tenang berwajah rupawan dengan tatapan mata teduh—Raka, Kepala Desa Kali Bening.Ia duduk di kursi pesakitan di temani Aina dan Roni di belakangnya. Tuduhannya berat: menerapkan pajak tanah sebesar 30 persen tanpa persetujuan kerajaan. Raka hanya menunduk, matanya tak berkedip menatap lantai kayu. Tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya, bahkan saat hakim memintanya memberi penjelasan."Raka, atas dasar apa kau menetapkan pajak tanah sebesar tiga puluh persen kepada warga Desa Kali Bening?"Hakim Bagas mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya, suaranya tegas dan menggema.Namun Raka tetap diam.Di kursi belakang, Aini, istri kedua Raka, mulai gelisah. Wajahnya yang putih pucat semakin tak berdarah. Ia menggenggam erat tangan k

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 90

    Langit mendung menggantung di atas Desa Petir, seolah menyimpan amarah yang tak terucap. Di jalan menuju balai desa, kerumunan warga berkumpul dengan kain ikat kepala dan berteriak: “Turunkan Pajak! Rakyat Tertindas!”Seorang petani tua bernama Pak Suryo berdiri di tengah kerumunan. Suaranya serak, tapi cukup lantang:“Cucu-cucuku kelaparan, ladang tak laku dijual, semua dagang ke pasar baru di Kali Bening. Kami ingin pindah saja ke sana, ke desa yang rakyatnya dihargai!”Seorang pemuda berseru, “Di Kali Bening, tanah subur! Di sini, yang subur hanya pajak!”Kerumunan bergemuruh.Tapi saat warga mendatangi Balai Desa Petir, yang mereka dapati hanyalah Kades Wiroguno duduk di kursi rotan sambil menghisap tembakau kering. Di sekelilingnya berdiri para pengawal desa.“Protes ini sia-sia,” katanya dengan nada dingin. “Pajak itu sudah ditetapkan… Demi pembangunan desa kita juga.”Seorang Wanita dengan baju kain rami maju dengan mata berair.“Pembangunan apa, Pak Lurah? Rumah kami roboh tak

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 89

    Di perempatan jalan besar — yang sebelumnya hanya tanah lapang dan semak belukar — kini mulai berdiri tenda-tenda kain, meja kayu, dan bangku dagangan.Di tengah keramaian itu, Raka berdiri di atas panggung bata merah. Suaranya lantang namun bersahaja, menyapa para pedagang dan warga yang datang.“Hari ini, kita membuka lapak pasar kulon, mudah-mudahan penduduk kampung kulon tidak perlu berjalan jauh kepasar pusat desa kali bening, cukup di pasar kulon ini kitab isa berinteraksi !“Pasar ini bukan milik kita semua yang mau berdagang.”Warga bersorak. Tangan-tangan terangkat. Terlihat banyak wajah baru—dan lama—yang ikut berdiri di barisan.Mirna, sang bendahara desa, berdiri di samping Raka sambil mencatat nama-nama pedagang yang ingin mendaftar lapak resmi.“Ada yang menjual ikan asin dari tambak Kali Bening… ada yang bawa tembakau dari lereng timur,” bisik Mirna.Beberapa pedagang yang dulu meninggalkan desa karena sulitnya hidup, kini kembali dengan semangat baru.Salah satunya, Pak

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 88

    Mentari baru saja naik ketika Raka, mengenakan ikat kepala coklat tua dan baju kerja dari kain kasar, berdiri di pinggir sungai tempat jembatan batu sedang dibangun. Matanya tajam memandang para pekerja yang sibuk: ada yang mengangkat batu, ada yang mengaduk semen, ada yang menurunkan muatan dari kereta kuda.Salah satu mandor, Pak Resno, menghampiri dengan gulungan rencana bangunan.“Yang Mulia Kades, bagian lengkung utama akan kita susun siang ini. Tapi butuh empat pekerja tambahan untuk pasang pilar tengah,” katanya.Raka mengangguk cepat. “Ambil dari kelompok barat, mereka sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Jangan lupa beri mereka makan siang sebelum lanjut.”Ia tidak sekadar memerintah dari jauh. Hampir tiap hari, Raka turun langsung ke lapangan, berjalan di antara debu dan batu, menyapa para buruh, memastikan setiap bagian jembatan dikerjakan dengan benar.“Kalau aku hanya duduk di balai desa,” ujar Raka suatu hari kepada Mirna, “maka jembatan ini tak akan punya jiwa.”Semen

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 87

    Udara pagi masih sejuk saat Raka memandang aliran sungai lebar yang membelah antara Desa Kali Bening dan wilayah timur yang mengarah ke dermaga baru. Arus sungainya tenang, namun cukup dalam, dan tiap sore banyak perahu kecil yang berlalu-lalang, membawa hasil bumi, ikan, dan barang dagangan.Di atas tanah berbukit kecil yang menghadap sungai, Raka membentangkan lembaran kulit pohon waru, tempat ia menggambar rancangan jembatan. Bentuknya setengah lingkaran, dengan lengkungan batu yang kokoh dan elegan.“Jika kita ingin jembatan ini bertahan puluhan tahun, bahkan seratus tahun,” ujar Raka kepada para tukang bangunan, “maka kita harus membangunnya dari batu alam dan bukan dari kayu. Lengkungannya harus kuat, tapi tak kaku. Seperti punggung seekor naga batu.”Raka menunjuk bagian tengah rancangan.“Sungai ini lebar. Kita buat tiga terowongan melengkung, agar kapal-kapal kecil tanpa layar bisa tetap melintas di bawahnya. Jembatan ini bukan penghalang, tapi penghubung.”Seorang tukang ban

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 86

    Angin pagi berhembus pelan di tepian Desa Kali Bening. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, dan suara burung hutan bersahut-sahutan. Tapi pagi itu, bukan hanya suara burung yang terdengar — dari arah timur, iring-iringan rombongan kecil berjalan kaki membawa karung, alat pertanian, dan raut muka penuh harap. Mereka adalah warga dari Desa Anggur, dari salah satu kampung miskin yang letaknya terpencil di balik perbukitan berbatu.Raka, Kades Kali Bening, tengah duduk di pendopo saat berita kedatangan mereka sampai ke telinganya. Ia segera mendatangi rombongan itu, ditemani beberapa tetua dan pemuda kampung."Apa yang membuat kalian datang sejauh ini?" tanya Raka.Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun melangkah maju, membungkuk hormat. Namanya nara, pemimpin kecil di antara rombongan itu."Maafkan kami, Tuan Raka. Kampung kami tak lagi sanggup menahan kemiskinan. Ladang kami subur, ternak kami sehat... tapi kami terkurung. Jalan keluar desa rusak, hutan rimba dan jurang m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status