Pagi di bawah pohon rindang dan dingin tiga bersaudari dan Raka sudah membuka lapaknya serta sudah siap membakar ikan hasil tangkapan mereka di sebelah lapak Raka ada seorang penjual ikan juga. Dan di depannya ada penjual jeruk.
Suasana pasar sangat ramai pagi ini karena para pekerja baru dapat upah hasil pekerjaan mereka.
Ikan-bakar ikan bakar satu sen per ekor..suara itu terus menggema di hiruk pikuk suasana pasar.
Tidak lama kemudian mereka para pengunjung berkerumun. Ada yang bilang” Bagaimana bisa ikan menjadi enak setelah hanya di panggang dan dilumuri kecap serta rempah begitu saja.”
Pengunjung yang lainya.” Nona aku mau mencicipi nya terlebih dahulu bolehkah.”
“Boleh tuan silahkan dicicipi jika tidak enak tuan tidak perlu membelinya.” Baik kesepakatan yang bagus.
“Wah ini enak sekali aku beli sepuluh saja.” Ini sepuluh sen nya besok aku akan kemari lagi.
Langsung para pengunjung membeli satu demi satu hasil panggangan ikan Raka.
“Kamu memang cocok diposisi itu Aini.” Ujar Raka terimakasih kanda.
Tinggal berapa setok ikan kita ujar Aina.
Tinggal tujuh ekor kak.” Wah kita banyak mendapatkan ikan hari ini. Kita sudah mendapat 43 sen dan 20 sen bonus dari pengunjung. Total kita mendapatkan 63 sen hari ini.
Wah kalau begitu kitab isa kaya dalam satu bulan ini Kanda.
Heemmm benar bahkan kita harus bisa menghasilkan lebih banyak ikan. Dan menghasilkan lebih banyak uang lagi.’’ Ujar Raka
“Benar kanda kita harus menghasilkan banyak uang karena rumah kita harus diperbaiki untuk menghadapi musim dingin.” Tukas Andini
****
Kalau begitu kita akan berbelanja hari ini. Kita beli tepung dan beberapa bumbu serta perlengkapan untuk menangkap ikan agar lebih cepat mendapatkan ikan dengan banyak.
Dipasar mereka semakin membicarakan pedagang baru. Yang langsung mendapatkan keuntungan begitu banyak bahkan pedagang di pasar untuk mendapatkan begitu banyak uang harus memerlukan satu bulan penuh berdagang.
“Pemuda itu memiliki keterampilan diatas rata-rata ujar pedagang jeruk.” Coba kalian rasakan ini. Ikan ini jadi hidangan mewah dan nikmat di tangan pemuda itu.
“Iya benar ikan ini sangat lezat.” Dari mana asal pemuda itu?”
“Aku dengar sih dari desa Petir.”
Hahahahaaha mereka terbahak desa petir. Mereka berasal dari desa para pengemis. Sungguh miris dan mengenaskan ternyata di desa petir ada orang yang memiliki bakat.” Ujar kerumunan pedagang di pasar.
Iya benar sekali, mereka sangat mahir dalam menarik minat pelanggan dan hanya sekejap saja dagangan mereka ludes. Sungguh Teknik Ajaib
“salah satu dari mereka berujar aku mendengar dari tetua desa Anggur bahwa nanti di negeri ini akan lahir seorang yang pandai disegala bidang dan pemuda itu juga sangat cerdas.” Mungkinkah pemuda ini yang di maksud.
Ahhhh jangan bercanda bung. Bukanya pemuda yang dimaksud adalah Aryo Wiroguno pemuda yang berbagakat dan memiliki kepintaran diatas pemuda-pemuda di kota kecamatan ini.”
Aiihhh benar juga. Anak pak lurah itu juga sangat berbakat tapi dia terlalu sombong. Ujar kerumunan mereka sambil mengemasi dagangan mereka.
Di pasar bagian utara Raka dan ketiga istrinya segera membeli beberpa kebutuhan untuk mereka berjualan besok. Minyak, tepung, telur, margarin, keju dan beras sudah mereka dapatkan.
“wah belanja hari ini sangat banyak sekali.” Bagaimana kita membawanya ke desa.
“Oh tenang kita sewa kereta kuda untuk membawa barang-barang ini.” Ujar Raka kepada istri-istrinya
Setelah mereka selesai berbelanja. Mereka pulang menuju desa dengan kepala tegak karena mereka dalam satu hari ini sudah menjadi perbincangan diseluruh pasar dan menjadi gossip di desa karena berhasil menjual ikan panggang dengan begitu cepat.
Sesampainya di desa warga banyak yang iri dengan pencapaian Raka yang tadinya tidak memiliki penghasilan menjadi memiliki penghasilan. Sebelum Raka dan tiga bersaudari menurunkan barang belanjaan mereka.
“Kak Raka baiar aku saja yang menurunkannya.” Ujar Roni dan Riko
“Oh iya ujar Aina sambil menatap Raka yang kebingungan. Aina berbisik ( Kanda mereka ini anaknya paman Zeno.
“Baiklah kebetulan sekali kalian kemari nanti ada hal yang ingin aku kerjakan.” Ucap Raka
“Raka…Raka tolong lah aku ini. Istriku akan melahirkan ucap Alvaro
Siapa lagi ini. Ini keponakan paman Vano yang sudah meninggal beberpa tahun lalu dan mereka merupakan kerabat Raka dari pihak ibunya.
Satu hari ini Raka banyak dikejutkan oleh orang-orang baru yang segera membantunya dalam segala hal sehingga membuatnya menjadi canggung. Namun hal itu tidak begitu asing karena ada tiga bersaudari yang menjelaskan kepada Raka hingga raka Kembali mengingat mereka semua.
Aina kemudian meyakinkan Raka untuk terus membantu warga disini. Pada pagi hari nya setelah kehebohan yang membagongkan itu. Didepan rumah reot Raka sudah banyak orang menanti. Raka yang sudah bangun sangat pagi sekali dengan seketika terkejut dan menanyai mereka dengan cepat. “Apa gerangan kisanak ke rumahku.” Ujar Raka “Tuan Raka kami mau mencari pekerjaan di desa ini kami tidak memiliki pekerjaan selain hanya sebagai pengemis yang selalu di maki-maki dan bahkan di tindas oleh kepala desa.” “Kanda warga disini hampir rata-rata tidak ada pekerjaan.” Lirih Aini “Kalau begitu banyak hal yang harus kita selsaikan, bisik Raka kepada Aini.” Iya kanda benar. “Kisanak beri aku waktu lima hari.” Lima hari baik Tuan Raka kami akan menunggu beberapa orang kemudian bergegas pergi. “Kanda bagaimana mau memberikan pekerjaan kepada mereka.” Sedangkan kita baru berjualan beberapa hari ini. “Tenang aku akan memikirkannya nanti.” Sekarang kita fokus memancing ikan di bantu Roni dan Riko dan j
Benar kemarin aku melihatnya berjualan ikan di pasar dan sekejap saja habis.”“Iya benar warga yang lain menimpali dambil menatap Raka sinis, bahkan dia membeli banyak rempah dan sebagainya.”Benar-benar manusia yang aneh untuk apa rempah-rempah itu.”Hahahahaha terdengar tawa dari beberapa warga.” Mungkin dia akan berjualan jamu di pasar.”Raka mendengar gunjingan dari warga desa petir tetap santai dan terus berjalan acuh dengan tatapan yang menindas hingga membuat warga seketika membubarkan diri dari tongkrongan di pinggir jalan.“Bagus tau diri kalian jika tidak batu bata ini akan melayang satu persatu kepada kalian.” Gumam Raka puas.Iya raka membawa beberapa batu bata dengan di panggul menggunakan bambu yang di imbangi dengan dua keranjang di kanan dan kirinya. Sebagai bahan perbaikan rumah mereka.“Kanda kamu membawa batu bata merah banyak sekali. Darimana uang nya kanda.” Aina panik“Tenang istriku yang cantik.” Ini semua keberuntungan kita jadi tadi di pasar kamu tau rumah mak
Iya paman benar, ujar Raka yang Kembali keceplosan. Bahwa warga di negeri Surya Manggala tidak mengenal Tuhan melainkan para dewa.“Besok pagi-pagi sekali kita ke rumah makan Sekar kedaton dan menyiapkan semua keperluan kita.” Semua sudah mendapatkan tugas masing-masing dan besok kalian langsung saja ke hulu Sungai.“Sisanya pergi ke sawah untuk menggembala bebek kalian. Untuk mengantar bebek dan ikan nanti serahkan saja kepada Roni dan Riko.” Oke kak Raka.Sebelum mereka selsai melakukan pertemuan dari depan terlihat tiga orang berlari menghampiri rumah Raka ya. Dia adalah teman Raka semasa masih menjadi buruh di desa sebelah dan dia selalu membantu Raka Ketika di tindas oleh mandor.“Raka kamu masih ingat aku kan.” Ujar NaraIya aku juga.” Tomi dan Zio kompak“Iya aku ingat kalian.” Oh dewa syukurlah…sepertinya kebaikan masih berpihak kepada kita. Ujar Zio“Raka bisakah kami membantu usaha mu, ya sebagai tukang cuci piring atau penjaga keamanan itu pun boleh.” Ujar TomiIya untuk up
“Kek aku tidak berhak menerima semua ini. Aku bukan keluarga sedarah dari pihak kakek. Apakah tidak ada keluarga lain dari pihak istri dan lain sebagainya.”Keluarga Nugroho dan Sanio sudah lama musnah karena terlibat dalam perang hingga menyisakkan kakek seorang diri.”“Jadi sudah saatnya rumah makan sekar kedaton memiliki pemilik baru.”Buat stempel ini di surat pernyataan ini agar pengadilan Kerajaan memiliki kekuatan untuk melindungi kalian.”Raka dengan berat hati menuangkan cap jempolnya di selembar kain yang sudah tertulis bahwa kepemilikan rumah dan sekar kedaton diberikan secara sah kepada Raka Wironegoro sebagai pembeli Tunggal.Perjanjian Raka dan Kakek Sarto sudah selsai dan hal yang tidak diinginkan Raka pun terjadi. Ia menyaksikan orang yang sangat berjasa pada dirinya dan pengemis desa petir telah Kembali moksa.Kejadian ini membuat beberapa rumah makan ikut berduka dan Sebagian besar senang karena merka tidak lagi melihat kakek tua penyakitan yang bisa merugikan dagang
Hal ini membuat Anom kesal karena perhatian warga sudah teralihkan kepada Raka bukan kepada anaknya Iza.“Yah bagaimana bisa Raka mendapatkan begitu banyak kekayaan secara singkat ini.”Ayah dengar dari warga di pasar kemarin bahwa Raka berhasil melakukan Kerjasama dengan rumah makan sekar kedaton.”“Bukannya pemilik si kakek bangka itu sudah mati yah.”“Benar!”Tapi ayah tidak tau hal apa yang terjadi sehingga Raka bisa mendapatkan ini semua.“Ini sebuah ide bagus yah.” Kita buat laporan kepengadilan bahwa Raka membunuh pemilik sekar kedaton dan menguasai hartanya.“Benar idemu bagus sekali.” Semenjak dulu Ayah tidak pernah setuju dengan pernikahan paman mu dan bibimu karena mereka ngeyel dan bersikeras menikah.” Hingga Ayah tidak merestui hubungan mereka. Pada akhirnya mereka memiliki anak malang si Raka ini.”Benar-benar merugi mereka ini. Besok kita akan kepengadilan melaporkan kejadian ini.****Di rumah kakek Sarto mereka berempat mengemasi rumah sehingga kelihatan bagus dan ter
Setelah Raka melunasi semua hutangnya kepada lurah desa petir. Banyak warga yang mulai kagum di desa petir termasuk kegembiraan bagi warga dusun kali bening yang kini semakin meningkat perekonomiannya. “Anak ini tidak bisa di remehkan begitu saja”. Dengan sekejap dia dapat melunasi hutang yang banyak ini.” Ujar lurah Wiroguno “Benar yah! Aku jadi khawatir bahwa ketenaranku bisa disaingi oleh bocah miskin ini.” Ujar Aryo Setelah perbicangan mereka berdua meninggalkan pasar kemusuk dengan wajah yang murung seperti telah di rampok kekayaannya. “Mengapa mereka terlihat murung kanda, padahal mereka kan mendapat banyak uang dari kanda.” Timpal Aini “Benar kanda, sampai dia susah membawa uang itu.” Cerocos Andini. Kalian berdua ini masih saja polos Raka sambil terkekeh dan mengelus kepala dua istrinya. Sudah jangan di pikirkan lagi ayo kita urus ini menunjuk barang-barang di rumah makan sekar kedaton. “Baik kanda! “Kanda..Kanda…apakah mereka berdua sudah pulang ku dengar dari tadi ka
Persaingan antara lurah desa petir dan Aryo dimulai saat itu juga karena Raka memiliki usaha yang semakin berkembang dan mulai banyak pelanggan di rumah makannya. Sehingga hal itu membuat akar permasalahan semakin intens.Desa petir memang terkenal dengan orang-orang kaya di dekat perbatasan dengan pasar kemusuk. Namun disisi lain ada dusun kali bening yang ditinggali oleh beberapa penduduk pengemis yang masih setia kepada Raka untuk bekerja membatu memancing Gurami, Nila dan memelihara Bebek.Suatu Ketika Ayah tiri Raka datang ke Dusun Kali Bening, ia menuntut untuk memberikan Sebagian hasil dari usaha Raka di pasar Kemusuk. Ia menuntut separoh hasil dari restoran sekar kedaton.“Rumah ini sedikit demi sedikit mulai bagus dan aku menyesal meberikannya secara Cuma-Cuma.” Gumam Santo“Raka….Raka…tok tok tok ayah tau kamu ada di rumah hari ini. Keluar lah pengecut.”Setelah mengumpat dan memaki anak tirinya Santo terus menggerutu dalam keadaan setengah mabuk.Seketika dia melihat gadis
Raka kemudian melancarkan aksinya yang kedua membuat Aini sedikit kesulitan melayani kekuatan dewa perang Raka dan merintih menikmati tusukan yang terus berguncang.Membuat gunung kembar Aini pontang panting seperti gempa. Sambil bertautan mereka bercumbu dengan penuh nafsu.Iyah teruskanda terus…mereka semakin seperti kuda liar berganti posisi dan ini itu hingga pada akhirnya fantasi mereka terselsaikan untuk kedua kalinya.Raka sambil berbaring yang di tindih Aini dengan gunung kembarnya yang menempel ke dada Raka sedangkan juniornya terus menusuk dengan cepat membuat Aini juga sampai ke puncak eferes.Kemudian keduanya terkulai lemah tak berdaya.Namun sebelum itu semua berakhir Raka teringat bahwa kedua istrinya menunggu mereka di pasar.“Aini ayo kita mandi dulu..sebelum kita kepasar.”Baik Kanda…Mereka berdua menuju bilik pemandian yang sudah selsai direnofasi dan memiliki kolam yang cukup untuk lima orang didalamnya.Air yang dingin membuat libido Raka membuncah lagi. Ketika A
Mentari baru saja naik ketika Raka, mengenakan ikat kepala coklat tua dan baju kerja dari kain kasar, berdiri di pinggir sungai tempat jembatan batu sedang dibangun. Matanya tajam memandang para pekerja yang sibuk: ada yang mengangkat batu, ada yang mengaduk semen, ada yang menurunkan muatan dari kereta kuda.Salah satu mandor, Pak Resno, menghampiri dengan gulungan rencana bangunan.“Yang Mulia Kades, bagian lengkung utama akan kita susun siang ini. Tapi butuh empat pekerja tambahan untuk pasang pilar tengah,” katanya.Raka mengangguk cepat. “Ambil dari kelompok barat, mereka sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Jangan lupa beri mereka makan siang sebelum lanjut.”Ia tidak sekadar memerintah dari jauh. Hampir tiap hari, Raka turun langsung ke lapangan, berjalan di antara debu dan batu, menyapa para buruh, memastikan setiap bagian jembatan dikerjakan dengan benar.“Kalau aku hanya duduk di balai desa,” ujar Raka suatu hari kepada Mirna, “maka jembatan ini tak akan punya jiwa.”Semen
Udara pagi masih sejuk saat Raka memandang aliran sungai lebar yang membelah antara Desa Kali Bening dan wilayah timur yang mengarah ke dermaga baru. Arus sungainya tenang, namun cukup dalam, dan tiap sore banyak perahu kecil yang berlalu-lalang, membawa hasil bumi, ikan, dan barang dagangan.Di atas tanah berbukit kecil yang menghadap sungai, Raka membentangkan lembaran kulit pohon waru, tempat ia menggambar rancangan jembatan. Bentuknya setengah lingkaran, dengan lengkungan batu yang kokoh dan elegan.“Jika kita ingin jembatan ini bertahan puluhan tahun, bahkan seratus tahun,” ujar Raka kepada para tukang bangunan, “maka kita harus membangunnya dari batu alam dan bukan dari kayu. Lengkungannya harus kuat, tapi tak kaku. Seperti punggung seekor naga batu.”Raka menunjuk bagian tengah rancangan.“Sungai ini lebar. Kita buat tiga terowongan melengkung, agar kapal-kapal kecil tanpa layar bisa tetap melintas di bawahnya. Jembatan ini bukan penghalang, tapi penghubung.”Seorang tukang ban
Angin pagi berhembus pelan di tepian Desa Kali Bening. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, dan suara burung hutan bersahut-sahutan. Tapi pagi itu, bukan hanya suara burung yang terdengar — dari arah timur, iring-iringan rombongan kecil berjalan kaki membawa karung, alat pertanian, dan raut muka penuh harap. Mereka adalah warga dari Desa Anggur, dari salah satu kampung miskin yang letaknya terpencil di balik perbukitan berbatu.Raka, Kades Kali Bening, tengah duduk di pendopo saat berita kedatangan mereka sampai ke telinganya. Ia segera mendatangi rombongan itu, ditemani beberapa tetua dan pemuda kampung."Apa yang membuat kalian datang sejauh ini?" tanya Raka.Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun melangkah maju, membungkuk hormat. Namanya nara, pemimpin kecil di antara rombongan itu."Maafkan kami, Tuan Raka. Kampung kami tak lagi sanggup menahan kemiskinan. Ladang kami subur, ternak kami sehat... tapi kami terkurung. Jalan keluar desa rusak, hutan rimba dan jurang m
Di Kali Bening, bangunan-bangunan baru terus berdiri. Sebuah lumbung besar tengah dibangun tak jauh dari pelabuhan. Tak jauh dari sana, dermaga tambahan melengkapi Pelabuhan Sungai yang sudah ada disiapkan untuk kapal-kapal berukuran besar dari Sungai Manganti.Dari pendopo balai desa yang berdiri megah di atas batu tebing, Raka memandang ke arah pasar dan pelabuhan. Bersamanya, dua kepala dusun dan seorang saudagar dari Kadipaten.“Kegiatan bongkar muat sudah dua kali lipat dari bulan lalu,” lapor Kepala Dusun Tumo. “Dan para saudagar kini meminta agar pasar malam diadakan dua kali seminggu.”Raka mengangguk. “Bagus. Tapi pastikan keamanan dijaga. Jangan biarkan pedagang dari luar membawa kelicikan ke dalam desa ini.”Saudagar tua dari Kadipaten pun berkomentar, “Wahai Kades Raka, belum pernah hamba melihat desa semaju ini... bahkan di tengah kadipaten pun belum tentu ada jalan semen selurus ini.”Raka hanya tersenyum.“Semua karena rakyat percaya dan mau bergerak bersama. Tanpa mere
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati pasar rakyat dengan lapak-lapak dari kayu dan atap genting merah yang tersusun simetris. Di seberangnya, berdiri balai desa di atas tebing batu pinggir Kali Bening. Megah namun tetap menyatu dengan alam. Dindingnya dari batu andesit bebaur dengan bata merah yang dipahat tangan-tangan muda desa, dengan ukiran matahari dan aliran air.“Ini seperti bangunan kadipaten…” gumam salah satu pejabat. “Tapi dibangun oleh desa baru berdiri…”“Bukan istana, Tuan,” ujar Raka dengan tenang. “Ini rumah tempat rakyat menaruh harap. Karena itulah kami buat yang kuat, tegak, dan tak gampang roboh.”Di kejauhan, rumah besar Raka tampak menjulang dari balik pohon beringin tua. Bertiang batu alam membentuk pilar, beratap genting merah berdinding bata merah pula, halaman luas menghadap lembah dan sungai.Aryo yang turut berjalan dalam rombongan itu tertegun. Matanya melebar, dadanya mendadak sesak.“Rumah siapa itu?” bisiknya pada seorang pamong dari Kali Bening.“Ru
Malam menuruni Desa Petir perlahan. Angin membawa aroma padi matang dan tanah lembap. Di balai desa, suasana perlahan mereda. Namun mata Raka masih waspada.Ia memutuskan meninggalkan balai desa lebih awal. Bukan karena lelah, tapi karena firasatnya menguat. Ia mengenakan kain biasa dan berjalan menunduk, menyusuri gang-gang kecil yang tidak dikenali oleh orang luar. Seperti bayangan, ia menyelinap di balik warung tua, menjauh dari keramaian.Dari kejauhan, matanya menangkap siluet Aryo yang melangkah cepat, sendirian. Raka mengikutinya dalam diam. Langkah Aryo menuju sebuah bangunan kayu besar di ujung desa—gudang tua milik keluarga Wironegoro.Raka menahan napas, menyelip di balik gang sempit yang langsung menghadap ke gudang. Dari celah papan bambu yang renggang, ia melihat Aryo membuka pintu dan masuk, membawa sebuah lentera kecil.Di dalam gudang yang remang-remang, Andini duduk terikat di sudut ruangan. Tatapannya tegas meski tubuhnya lemah. Aryo mendekatinya lagi dengan gaya me
Ruangan gelap itu hanya diterangi cahaya minyak dari lentera kecil yang tergantung di langit-langit. Bau lembap dan debu memenuhi udara. Di sudut ruangan, Andini terbaring lemah dengan tangan terikat pada tiang kayu. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, tapi matanya masih menyala dengan semangat yang belum padam. Pintu kayu berderit pelan. Aryo masuk perlahan sambil membawa kendi berisi air. Ia tersenyum, senyum yang lebih mirip kepalsuan daripada ketulusan. “Andini... kau sudah siuman,” katanya lirih, seolah-olah tak pernah melakukan dosa. Ia mendekat, menuang air ke dalam cawan tanah liat. “Minumlah, kau pasti haus.” Andini mengalihkan wajahnya. “Apa yang kau inginkan, Aryo?” Dengan lembut yang dipaksakan, Aryo menyentuhkan kain basah ke pipi Andini, membersihkan sisa debu. “Aku hanya ingin kau tenang. Tak ada yang akan menyakitimu... selama kau tak membuatku marah.” Andini bersiap berteriak, namun Aryo buru-buru mencengkeram dagunya, matanya berubah buas. “Sekali saja kau berteriak.
Beberapa saat kemudian, Raka kembali ke rumah. Begitu ia melihat lentera padam dan dayang tua pingsan di tanah, ia segera menarik pedangnya. “Andini!” serunya, berlari ke dalam rumah. Namun rumah itu kosong. Hatinya bergemuruh. Raka berjongkok, menemukan bekas telapak kaki di tanah yang belum kering. Ia menyentuhnya. Masih hangat. “Baru saja...” Dalam waktu singkat, alarm darurat dipukul. Para prajurit Kali Bening berkuda ke segala arah, menyalakan obor dan menyisir hutan serta jalan-jalan gelap. Di Balai Agung, Roni dan Riko segera berkumpul bersama Raka. “Siapa yang berani menyentuh istrimu paman di wilayah kita sendiri?” geram Riko. Raka menatap ke arah barat—ke arah Desa Petir. Matanya menyipit. “Yang merasa tersingkir... dan menyimpan dendam.” “Beri aku waktu satu malam,” kata Roni sambil menggenggam gagang pedangnya. “Jika mereka membawa bibi Andini keluar dari wilayah Kali Bening, kita akan kejar mereka... sampai ke ujung negeri.” Raka mengepalkan tangan. “An
Langit sore itu menggantungkan awan kelabu di atas Desa Petir, seolah ikut merasakan kegundahan yang menyelimuti hati para gadis di sana. Di balai desa, para tetua telah berkumpul, berharap kabar baik dari dua pemuda terhormat yang baru saja tiba dari perjalanan panjang: Roni dan Riko, anak dari mantan Kades Zeno, serta keponakan dari kades Raka, sang pahlawan dari Kali Bening. Kepala Desa Wiroguno berdiri di tengah balai, berwajah sumringah namun sedikit tegang. Di sampingnya, Aryo, tangan kanannya, menunduk dengan tenang, sembari sesekali melirik ke arah para gadis desa yang berdandan lebih rapi dari biasanya. "Roni, Riko," ucap Wiroguno membuka pertemuan. "Kami, mewakili Desa Petir, dengan tulus menyampaikan lamaran dari keluarga-keluarga terbaik di sini. Anak-anak gadis kami telah memendam harapan besar atas kedatangan kalian." Namun, Riko menatap lurus ke depan. Ia menunduk sedikit sebagai bentuk hormat, lalu berkata pelan namun tegas, “Kami menghargai niat baik ini, namun kami