Setelah Raka melunasi semua hutangnya kepada lurah desa petir. Banyak warga yang mulai kagum di desa petir termasuk kegembiraan bagi warga dusun kali bening yang kini semakin meningkat perekonomiannya. “Anak ini tidak bisa di remehkan begitu saja”. Dengan sekejap dia dapat melunasi hutang yang banyak ini.” Ujar lurah Wiroguno “Benar yah! Aku jadi khawatir bahwa ketenaranku bisa disaingi oleh bocah miskin ini.” Ujar Aryo Setelah perbicangan mereka berdua meninggalkan pasar kemusuk dengan wajah yang murung seperti telah di rampok kekayaannya. “Mengapa mereka terlihat murung kanda, padahal mereka kan mendapat banyak uang dari kanda.” Timpal Aini “Benar kanda, sampai dia susah membawa uang itu.” Cerocos Andini. Kalian berdua ini masih saja polos Raka sambil terkekeh dan mengelus kepala dua istrinya. Sudah jangan di pikirkan lagi ayo kita urus ini menunjuk barang-barang di rumah makan sekar kedaton. “Baik kanda! “Kanda..Kanda…apakah mereka berdua sudah pulang ku dengar dari tadi ka
Persaingan antara lurah desa petir dan Aryo dimulai saat itu juga karena Raka memiliki usaha yang semakin berkembang dan mulai banyak pelanggan di rumah makannya. Sehingga hal itu membuat akar permasalahan semakin intens.Desa petir memang terkenal dengan orang-orang kaya di dekat perbatasan dengan pasar kemusuk. Namun disisi lain ada dusun kali bening yang ditinggali oleh beberapa penduduk pengemis yang masih setia kepada Raka untuk bekerja membatu memancing Gurami, Nila dan memelihara Bebek.Suatu Ketika Ayah tiri Raka datang ke Dusun Kali Bening, ia menuntut untuk memberikan Sebagian hasil dari usaha Raka di pasar Kemusuk. Ia menuntut separoh hasil dari restoran sekar kedaton.“Rumah ini sedikit demi sedikit mulai bagus dan aku menyesal meberikannya secara Cuma-Cuma.” Gumam Santo“Raka….Raka…tok tok tok ayah tau kamu ada di rumah hari ini. Keluar lah pengecut.”Setelah mengumpat dan memaki anak tirinya Santo terus menggerutu dalam keadaan setengah mabuk.Seketika dia melihat gadis
Raka kemudian melancarkan aksinya yang kedua membuat Aini sedikit kesulitan melayani kekuatan dewa perang Raka dan merintih menikmati tusukan yang terus berguncang.Membuat gunung kembar Aini pontang panting seperti gempa. Sambil bertautan mereka bercumbu dengan penuh nafsu.Iyah teruskanda terus…mereka semakin seperti kuda liar berganti posisi dan ini itu hingga pada akhirnya fantasi mereka terselsaikan untuk kedua kalinya.Raka sambil berbaring yang di tindih Aini dengan gunung kembarnya yang menempel ke dada Raka sedangkan juniornya terus menusuk dengan cepat membuat Aini juga sampai ke puncak eferes.Kemudian keduanya terkulai lemah tak berdaya.Namun sebelum itu semua berakhir Raka teringat bahwa kedua istrinya menunggu mereka di pasar.“Aini ayo kita mandi dulu..sebelum kita kepasar.”Baik Kanda…Mereka berdua menuju bilik pemandian yang sudah selsai direnofasi dan memiliki kolam yang cukup untuk lima orang didalamnya.Air yang dingin membuat libido Raka membuncah lagi. Ketika A
Seorang pelayan menghampiri beberapa pelanggan dan menanyakan mengenai hidangan yang dan layanan yang diberikan rumah makan sekar kedaton dan mereka merasa senang dan menikmatinya.Di luar sana banyak orang yang mulai menaruh iri kepada Raka termasuk Sakar yang menyaksikan semakin banyak orang singgah di rumah makan sekar kedaton dan hampir menyaingin rumah makan mawar.“Benar sekali kata Aryo dia sungguh seperti peramal bahwa rumah makan ini semakin berkembang. Walau perlahan pasti akan menggulingkan hegemoni rumah makan ku.”“Kalau begitu aku akan masuk dan membeli beberapa hidangan yang ada.”Sakar pun masuk dan mengamati rumah makan sekar kedaton dengan takjub dia terus berkeliling membaca syair-syair Raka yang menghipnotis. Dan hingga ia di sapa oleh seorang pekerja Raka.“Kisanak ada yang bisa saya bantu.”“Ohhh…Iya…emmmm saya..pesan Bebek Goreng dan Nila Bakar.” Sakar buru-buru mencari tempat disudut lesehan.Silahkan tuan duduk ini minuman khas kita. Jeruk kecil hangat jaheSa
Raka merasa bersalah kepada ketiga istrinya untung saja ketiga istrinya tidak di nodai oleh mertuanya hanya mengalami cambukan saja.“Mari kita duduk dulu di pojok sambil menikmati makan siang dan melihat hamparan sawah di Seberang Sungai ini.” Ujar Raka membujuk ketiga istrinya.“Iya kanda” mereka kompak“Tuan dan Nona mau makan seperti biasa atau menu baru juga di hidangkan.” Ujar pelayan“Boleh dan kalian juga ikut makan di lesehan sebelah ajak semuanya makan dan buat bergantian hingga kalian tidak kualahan meladeni tamu.”Dio kemarilah kamu pergi kedepan panggil paman Nara, Tomi dan Zio untuk ikut makan juga Bersama kita di sini. Baik tuan ucap anak kecil berumur 9 tahun itu ya dia adalah Dio seorang yatim yang ayahnya tewas dalam konflik Kerajaan.Dio segera bergegas kedepan melalui pintu samping dan menelusuri pinggiran Sungai. Sesampainya di depan dia berujar. Paman Nara, Paman Tomi dan Paman Zio di panggil Tuan Raka untuk ikut makan siang Bersama.Ohhhh bocah pintar baik nanti
Semakin hari usaha rumah makan sekar kedaton makin ramai Sakar mulai bimbang dan Aryo juga mulai panas akan kemajuan usaha raka dimana sekarang Raka semakin sibuk dengan usaha perikannannya dan bebek.Sakar sangat bingung menghadapi gejolak di pasar kemusuk yang semakin hari semakin ramai karena kehadiran rumah makan sekar kedaton yang mulai dikenal luas oleh para pedagang yang akan menuju kepelabuhan desa petir.Disini desa petir memiliki Pelabuhan yang cukup besar dan dapat menampung dua kapal sekali gus untuk bersandar. Dan Pelabuhan ini juga tidak jauh dari teluk penyu kali bening.Sinar Mentari menerangi Pelabuhan desa petir disana banyak pedagang yang lalu Lalang membawa dagangan mereka ke pasar kemusuk di kecamatan.Aryo beserta pejabat desa petir dan beberapa pasukan Kerajaan mengawasi keadaan di Pelabuhan dan di jalan menuju pasar kemusuk.“Kalian perhatikan kapal-kapal itu silih berganti dari negeri angin dan negeri pasir mulai berdatangan kemari. Untuk berdagang dengan kita
Tiga bersaudari sangat kesal atas kejadian di pasar siang tadi dan membuat mereka semakin kesal adalah mendapati Raka tidak pulang malam ini. Hal tersebut di sampaikan paman Zeno yang singgah ke rumah mereka yang masih dalam tahap perbaikan.Mereka menghidupkan tungku dan memandangi pintu rumah mereka siapa tau Raka pulang larut malam. Hingga menjelang Tengah malam memang Raka tidak kunjung pulang. Mereka semakin jengkel dan khawatir juga.Selain kesal Aina juga merasa sakit di hatinya entah mengapa melihat adegan tadi siang dia merasa kecewa dengan sikap Raka. Namun hal itu bukan Raka yang melakukannya melainkan dua gadis dari negeri Angin yang sengaja memeluk Raka di depan Ayah mereka. Sehingga membuat Raka tidak bisa berkutik.Karena Raka memahami jika dia tidak berbuat sopan kepada pengunjung maka mereka akan di cap tidak sopan.Ya di zaman Kerajaan surya manggala hal yang wajar jika pemilik rumah makan meniduri pelanggannya itu hal yang lumrah dan biasa. Hal ini lah yang membuat
Ketika sedang memijat Raka, Aina tidak sengaja menempelkan gunung kembarnya yang montok dan besar seperti milik Aini. Raka menikmati kehangatan gunung kembar tersebut. Kemudian ia membalikkan badan dan mendapati Aina memerah padam wajahnya.Melihat tubuh kekar suaminya dan tatapan penuh nafsu. Raka segera meraih dada Aina dan mencium mi hingga Aina mendengus perlahan dan berbaring Raka dengan liar melucuti semua pakaian yang mereka pakai. Dan menjelajahi setiap tubuh istrinya ini.Dengan sigap Raka menyingkap tabir dan meraba serta bermain disana. Membuat Aina meraung seperti singah dan menggelinjang. Libido Raka tidak terbendung lagi dengan agresif dia menuju gua yang sangat nikmat dan menerjanganya dengan kecepatan tinggi.Aiiiiiii ahhhhhhh….kanda pelan pelan nanti aku sakit dan sulit berjalan. Raka langsung mencumbui istrinya dengan lembut dan membuat Aina terbang menikmati gempuran yang semakin kencang.Kini Aina berbalik berada di atas tubur Raka dan mulai memainkan keahliannya y
Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k
Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di
Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini
Pagi itu, balairung utama pengadilan kecamatan Kemusuk dipenuhi rakyat yang penasaran. Bangunan batu kapur berukir dengan atap genting batu hitam itu terasa sesak, udara panas bercampur aroma keringat dan ketegangan. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tenang berwajah rupawan dengan tatapan mata teduh—Raka, Kepala Desa Kali Bening.Ia duduk di kursi pesakitan di temani Aina dan Roni di belakangnya. Tuduhannya berat: menerapkan pajak tanah sebesar 30 persen tanpa persetujuan kerajaan. Raka hanya menunduk, matanya tak berkedip menatap lantai kayu. Tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya, bahkan saat hakim memintanya memberi penjelasan."Raka, atas dasar apa kau menetapkan pajak tanah sebesar tiga puluh persen kepada warga Desa Kali Bening?"Hakim Bagas mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya, suaranya tegas dan menggema.Namun Raka tetap diam.Di kursi belakang, Aini, istri kedua Raka, mulai gelisah. Wajahnya yang putih pucat semakin tak berdarah. Ia menggenggam erat tangan k
Langit mendung menggantung di atas Desa Petir, seolah menyimpan amarah yang tak terucap. Di jalan menuju balai desa, kerumunan warga berkumpul dengan kain ikat kepala dan berteriak: “Turunkan Pajak! Rakyat Tertindas!”Seorang petani tua bernama Pak Suryo berdiri di tengah kerumunan. Suaranya serak, tapi cukup lantang:“Cucu-cucuku kelaparan, ladang tak laku dijual, semua dagang ke pasar baru di Kali Bening. Kami ingin pindah saja ke sana, ke desa yang rakyatnya dihargai!”Seorang pemuda berseru, “Di Kali Bening, tanah subur! Di sini, yang subur hanya pajak!”Kerumunan bergemuruh.Tapi saat warga mendatangi Balai Desa Petir, yang mereka dapati hanyalah Kades Wiroguno duduk di kursi rotan sambil menghisap tembakau kering. Di sekelilingnya berdiri para pengawal desa.“Protes ini sia-sia,” katanya dengan nada dingin. “Pajak itu sudah ditetapkan… Demi pembangunan desa kita juga.”Seorang Wanita dengan baju kain rami maju dengan mata berair.“Pembangunan apa, Pak Lurah? Rumah kami roboh tak
Di perempatan jalan besar — yang sebelumnya hanya tanah lapang dan semak belukar — kini mulai berdiri tenda-tenda kain, meja kayu, dan bangku dagangan.Di tengah keramaian itu, Raka berdiri di atas panggung bata merah. Suaranya lantang namun bersahaja, menyapa para pedagang dan warga yang datang.“Hari ini, kita membuka lapak pasar kulon, mudah-mudahan penduduk kampung kulon tidak perlu berjalan jauh kepasar pusat desa kali bening, cukup di pasar kulon ini kitab isa berinteraksi !“Pasar ini bukan milik kita semua yang mau berdagang.”Warga bersorak. Tangan-tangan terangkat. Terlihat banyak wajah baru—dan lama—yang ikut berdiri di barisan.Mirna, sang bendahara desa, berdiri di samping Raka sambil mencatat nama-nama pedagang yang ingin mendaftar lapak resmi.“Ada yang menjual ikan asin dari tambak Kali Bening… ada yang bawa tembakau dari lereng timur,” bisik Mirna.Beberapa pedagang yang dulu meninggalkan desa karena sulitnya hidup, kini kembali dengan semangat baru.Salah satunya, Pak
Mentari baru saja naik ketika Raka, mengenakan ikat kepala coklat tua dan baju kerja dari kain kasar, berdiri di pinggir sungai tempat jembatan batu sedang dibangun. Matanya tajam memandang para pekerja yang sibuk: ada yang mengangkat batu, ada yang mengaduk semen, ada yang menurunkan muatan dari kereta kuda.Salah satu mandor, Pak Resno, menghampiri dengan gulungan rencana bangunan.“Yang Mulia Kades, bagian lengkung utama akan kita susun siang ini. Tapi butuh empat pekerja tambahan untuk pasang pilar tengah,” katanya.Raka mengangguk cepat. “Ambil dari kelompok barat, mereka sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Jangan lupa beri mereka makan siang sebelum lanjut.”Ia tidak sekadar memerintah dari jauh. Hampir tiap hari, Raka turun langsung ke lapangan, berjalan di antara debu dan batu, menyapa para buruh, memastikan setiap bagian jembatan dikerjakan dengan benar.“Kalau aku hanya duduk di balai desa,” ujar Raka suatu hari kepada Mirna, “maka jembatan ini tak akan punya jiwa.”Semen
Udara pagi masih sejuk saat Raka memandang aliran sungai lebar yang membelah antara Desa Kali Bening dan wilayah timur yang mengarah ke dermaga baru. Arus sungainya tenang, namun cukup dalam, dan tiap sore banyak perahu kecil yang berlalu-lalang, membawa hasil bumi, ikan, dan barang dagangan.Di atas tanah berbukit kecil yang menghadap sungai, Raka membentangkan lembaran kulit pohon waru, tempat ia menggambar rancangan jembatan. Bentuknya setengah lingkaran, dengan lengkungan batu yang kokoh dan elegan.“Jika kita ingin jembatan ini bertahan puluhan tahun, bahkan seratus tahun,” ujar Raka kepada para tukang bangunan, “maka kita harus membangunnya dari batu alam dan bukan dari kayu. Lengkungannya harus kuat, tapi tak kaku. Seperti punggung seekor naga batu.”Raka menunjuk bagian tengah rancangan.“Sungai ini lebar. Kita buat tiga terowongan melengkung, agar kapal-kapal kecil tanpa layar bisa tetap melintas di bawahnya. Jembatan ini bukan penghalang, tapi penghubung.”Seorang tukang ban
Angin pagi berhembus pelan di tepian Desa Kali Bening. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, dan suara burung hutan bersahut-sahutan. Tapi pagi itu, bukan hanya suara burung yang terdengar — dari arah timur, iring-iringan rombongan kecil berjalan kaki membawa karung, alat pertanian, dan raut muka penuh harap. Mereka adalah warga dari Desa Anggur, dari salah satu kampung miskin yang letaknya terpencil di balik perbukitan berbatu.Raka, Kades Kali Bening, tengah duduk di pendopo saat berita kedatangan mereka sampai ke telinganya. Ia segera mendatangi rombongan itu, ditemani beberapa tetua dan pemuda kampung."Apa yang membuat kalian datang sejauh ini?" tanya Raka.Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun melangkah maju, membungkuk hormat. Namanya nara, pemimpin kecil di antara rombongan itu."Maafkan kami, Tuan Raka. Kampung kami tak lagi sanggup menahan kemiskinan. Ladang kami subur, ternak kami sehat... tapi kami terkurung. Jalan keluar desa rusak, hutan rimba dan jurang m