Semakin hari usaha rumah makan sekar kedaton makin ramai Sakar mulai bimbang dan Aryo juga mulai panas akan kemajuan usaha raka dimana sekarang Raka semakin sibuk dengan usaha perikannannya dan bebek.Sakar sangat bingung menghadapi gejolak di pasar kemusuk yang semakin hari semakin ramai karena kehadiran rumah makan sekar kedaton yang mulai dikenal luas oleh para pedagang yang akan menuju kepelabuhan desa petir.Disini desa petir memiliki Pelabuhan yang cukup besar dan dapat menampung dua kapal sekali gus untuk bersandar. Dan Pelabuhan ini juga tidak jauh dari teluk penyu kali bening.Sinar Mentari menerangi Pelabuhan desa petir disana banyak pedagang yang lalu Lalang membawa dagangan mereka ke pasar kemusuk di kecamatan.Aryo beserta pejabat desa petir dan beberapa pasukan Kerajaan mengawasi keadaan di Pelabuhan dan di jalan menuju pasar kemusuk.“Kalian perhatikan kapal-kapal itu silih berganti dari negeri angin dan negeri pasir mulai berdatangan kemari. Untuk berdagang dengan kita
Tiga bersaudari sangat kesal atas kejadian di pasar siang tadi dan membuat mereka semakin kesal adalah mendapati Raka tidak pulang malam ini. Hal tersebut di sampaikan paman Zeno yang singgah ke rumah mereka yang masih dalam tahap perbaikan.Mereka menghidupkan tungku dan memandangi pintu rumah mereka siapa tau Raka pulang larut malam. Hingga menjelang Tengah malam memang Raka tidak kunjung pulang. Mereka semakin jengkel dan khawatir juga.Selain kesal Aina juga merasa sakit di hatinya entah mengapa melihat adegan tadi siang dia merasa kecewa dengan sikap Raka. Namun hal itu bukan Raka yang melakukannya melainkan dua gadis dari negeri Angin yang sengaja memeluk Raka di depan Ayah mereka. Sehingga membuat Raka tidak bisa berkutik.Karena Raka memahami jika dia tidak berbuat sopan kepada pengunjung maka mereka akan di cap tidak sopan.Ya di zaman Kerajaan surya manggala hal yang wajar jika pemilik rumah makan meniduri pelanggannya itu hal yang lumrah dan biasa. Hal ini lah yang membuat
Ketika sedang memijat Raka, Aina tidak sengaja menempelkan gunung kembarnya yang montok dan besar seperti milik Aini. Raka menikmati kehangatan gunung kembar tersebut. Kemudian ia membalikkan badan dan mendapati Aina memerah padam wajahnya.Melihat tubuh kekar suaminya dan tatapan penuh nafsu. Raka segera meraih dada Aina dan mencium mi hingga Aina mendengus perlahan dan berbaring Raka dengan liar melucuti semua pakaian yang mereka pakai. Dan menjelajahi setiap tubuh istrinya ini.Dengan sigap Raka menyingkap tabir dan meraba serta bermain disana. Membuat Aina meraung seperti singah dan menggelinjang. Libido Raka tidak terbendung lagi dengan agresif dia menuju gua yang sangat nikmat dan menerjanganya dengan kecepatan tinggi.Aiiiiiii ahhhhhhh….kanda pelan pelan nanti aku sakit dan sulit berjalan. Raka langsung mencumbui istrinya dengan lembut dan membuat Aina terbang menikmati gempuran yang semakin kencang.Kini Aina berbalik berada di atas tubur Raka dan mulai memainkan keahliannya y
Pagi di bawah pohon rindang dan dingin tiga bersaudari dan Raka sudah membuka lapaknya serta sudah siap membakar ikan hasil tangkapan mereka di sebelah lapak Raka ada seorang penjual ikan juga. Dan di depannya ada penjual jeruk. Suasana pasar sangat ramai pagi ini karena para pekerja baru dapat upah hasil pekerjaan mereka. Ikan-bakar ikan bakar satu sen per ekor..suara itu terus menggema di hiruk pikuk suasana pasar. Tidak lama kemudian mereka para pengunjung berkerumun. Ada yang bilang” Bagaimana bisa ikan menjadi enak setelah hanya di panggang dan dilumuri kecap serta rempah begitu saja.” Pengunjung yang lainya.” Nona aku mau mencicipi nya terlebih dahulu bolehkah.” “Boleh tuan silahkan dicicipi jika tidak enak tuan tidak perlu membelinya.” Baik kesepakatan yang bagus. “Wah ini enak sekali aku beli sepuluh saja.” Ini sepuluh sen nya besok aku akan kemari lagi. Langsung para pengunjung membeli satu demi satu hasil panggangan ikan Raka. “Kamu memang cocok diposisi itu Aini.” U
Setelah kejadian semalam suntuk Raka dan ketiga istrinya tidak berada di rumah makan sekar kedaton. Raka melimpahkan semua ini kepada Zio yang memiliki keterampilan setelah dilatih Raka.Dia Kembali dengan menaiki kuda berlainan dengan Aina. Namun Raka selalu berada di belakang Aina. Sebelum siang mereka sudah sampai di rumah.Dan Raka juga telah memesan batu bata merah serta beberapa kusen untuk memperbaiki kamar ketiga dan dua sehingga bisa digunakan dengan baik. Rumah mereka juga sudah mulai dipugar mereka bekerja Bersama untuk memperbaiki rumah.Raka juga membeli kayu terbaik di kecamatan dan mebawa ke kali bening. Kemudian raka mendesain ulang rumah mereka.Kanda kenapa tidak pulang kerumah tadi malam,” ujar Andini“Ya sebenarnya kanda mau pulang namun kakakmu menyusul kerumah makan sekar kedaton hingga kami batal pulang. Dan hujan pun sangat deras kan tadi malam.” Sahut Raka dengan ramah.Baik lah kita kerjakan perlahan rumah ini, sore nanti mungkin ada pekerja yang membantu kita
Di ruang tamu rumah Santo Anggoro, suasana tegang menyelimuti seluruh keluarga. Wajah-wajah cemas terpampang jelas di antara mereka yang duduk melingkar, sementara suara suara jangkrik terasa begitu nyaring di telinga."Bagaimana bisa Wara dituduh menculik istri Raka? Ini pasti ada kesalahpahaman!" ujar Santo dengan suara bergetar.Istrinya, Sarti, menangis tersedu-sedu di pojok ruangan, memegangi sapu tangan lusuh yang terus ia remas. "Wara itu anak baik, Tuan. Dia nggak mungkin melakukan hal seperti itu.Putra sulung mereka, Angga, yang sejak tadi mondar-mandir, akhirnya bersuara, "Kita harus cari saksi yang bisa membuktikan kalau Wara nggak bersalah. Kalau nggak, dia bisa dihukum mati!""Tapi siapa yang mau membela Wara? Semua orang di desa sudah mengetahui bahwa Wara terkenal bajingan!" sahut Santo dengan nada putus asa.Saat itu juga Sarti karena ia baru mengetahui hal ini dari suaminya bahwa Wara anaknya merupakan bajingan di desa petir.Tiba-tiba, dari luar pintu, masuklah Karmi
Kunto seorang warga kali bening yang menemani Raka malam itu memperkuat bahwa pemutar balikkan oleh Wara semuanya salah. Dan Wara lah yang berniat menculik istri Raka.“Yang mulia saya juga bersaksi bawa kami beberapa warga kampung kali bening. Telah memergoki Wara, Baurekso dan Bagong menyelinap ke rumah Raka namun hal itu dapat kami atasi.” Ujar KuntoKesaksian Kunto dan beberapa warga membuat Santo terkulai lemah dan di tuntun keluar ruang sidang untuk mendapat pengobatan dari tabib. Karena bekas lebam dan luka dalamnya belum pulih seutuhnya.Santo tidak berani menggugat Raka karena ia juga takut di hukum mati karena perbuatannya beberapa hari yang lalu.Wara Anggoro hanya menatap nanar keluarganya bahwa ini adalah akhir dari hidupnya. Karena pengadilan telah memutuskan untuk eksekusi di lakukan besok pagi di alun-alun pasar Kemusuk.Hari ini keluarga Santo Anggoro benar-benar terpukul atas hukuman yang diberikan kepada Wara yang selalu bertindak ceroboh dan gegabah serta keras kepa
Suasana di pasar kemusuk pagi itu sangat ramai karena banyak pedagang dari kota madya utama akan menuju Pelabuhan desa petir. Sekaligus mereka akan istirahat beberapa hari baru kemudian berlayar.Kentongan Kerajaan berbunyi lonceng juga berbunyi pertanda aka nada eksekusi di depan alun-alun pasar kemusuk.Warga segera berdatangan dan berkerumun. Menyaksikan beberapa warga yang terlibat kasus berat dan termasuk Wara di dalamnya.“Kisanak para hadirin saya selaku perwakilan pengadilan Kerajaan telah mendapat titah dari Raja Mahesa Warman untuk melaksanakan apa yang telah disidangkan kemarin.”“Dan juga untuk para terpidana apakah kalian ada permintaan terakhir.”Semua terpidanan tertunduk sambil gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Tidak ada satu patah katapun yang bisa mereka ucapkan karena nyawa mereka sudah di ujung tanduk.Keluarga Santo tidak serta merta menyaksikan eksekusi ini hanya Santo seorang diri dan pembantunya yang menyaksikan dari kejauhan. Sedangkan Angga, Ratmi dan
Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k
Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di
Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini
Pagi itu, balairung utama pengadilan kecamatan Kemusuk dipenuhi rakyat yang penasaran. Bangunan batu kapur berukir dengan atap genting batu hitam itu terasa sesak, udara panas bercampur aroma keringat dan ketegangan. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tenang berwajah rupawan dengan tatapan mata teduh—Raka, Kepala Desa Kali Bening.Ia duduk di kursi pesakitan di temani Aina dan Roni di belakangnya. Tuduhannya berat: menerapkan pajak tanah sebesar 30 persen tanpa persetujuan kerajaan. Raka hanya menunduk, matanya tak berkedip menatap lantai kayu. Tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya, bahkan saat hakim memintanya memberi penjelasan."Raka, atas dasar apa kau menetapkan pajak tanah sebesar tiga puluh persen kepada warga Desa Kali Bening?"Hakim Bagas mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya, suaranya tegas dan menggema.Namun Raka tetap diam.Di kursi belakang, Aini, istri kedua Raka, mulai gelisah. Wajahnya yang putih pucat semakin tak berdarah. Ia menggenggam erat tangan k
Langit mendung menggantung di atas Desa Petir, seolah menyimpan amarah yang tak terucap. Di jalan menuju balai desa, kerumunan warga berkumpul dengan kain ikat kepala dan berteriak: “Turunkan Pajak! Rakyat Tertindas!”Seorang petani tua bernama Pak Suryo berdiri di tengah kerumunan. Suaranya serak, tapi cukup lantang:“Cucu-cucuku kelaparan, ladang tak laku dijual, semua dagang ke pasar baru di Kali Bening. Kami ingin pindah saja ke sana, ke desa yang rakyatnya dihargai!”Seorang pemuda berseru, “Di Kali Bening, tanah subur! Di sini, yang subur hanya pajak!”Kerumunan bergemuruh.Tapi saat warga mendatangi Balai Desa Petir, yang mereka dapati hanyalah Kades Wiroguno duduk di kursi rotan sambil menghisap tembakau kering. Di sekelilingnya berdiri para pengawal desa.“Protes ini sia-sia,” katanya dengan nada dingin. “Pajak itu sudah ditetapkan… Demi pembangunan desa kita juga.”Seorang Wanita dengan baju kain rami maju dengan mata berair.“Pembangunan apa, Pak Lurah? Rumah kami roboh tak
Di perempatan jalan besar — yang sebelumnya hanya tanah lapang dan semak belukar — kini mulai berdiri tenda-tenda kain, meja kayu, dan bangku dagangan.Di tengah keramaian itu, Raka berdiri di atas panggung bata merah. Suaranya lantang namun bersahaja, menyapa para pedagang dan warga yang datang.“Hari ini, kita membuka lapak pasar kulon, mudah-mudahan penduduk kampung kulon tidak perlu berjalan jauh kepasar pusat desa kali bening, cukup di pasar kulon ini kitab isa berinteraksi !“Pasar ini bukan milik kita semua yang mau berdagang.”Warga bersorak. Tangan-tangan terangkat. Terlihat banyak wajah baru—dan lama—yang ikut berdiri di barisan.Mirna, sang bendahara desa, berdiri di samping Raka sambil mencatat nama-nama pedagang yang ingin mendaftar lapak resmi.“Ada yang menjual ikan asin dari tambak Kali Bening… ada yang bawa tembakau dari lereng timur,” bisik Mirna.Beberapa pedagang yang dulu meninggalkan desa karena sulitnya hidup, kini kembali dengan semangat baru.Salah satunya, Pak
Mentari baru saja naik ketika Raka, mengenakan ikat kepala coklat tua dan baju kerja dari kain kasar, berdiri di pinggir sungai tempat jembatan batu sedang dibangun. Matanya tajam memandang para pekerja yang sibuk: ada yang mengangkat batu, ada yang mengaduk semen, ada yang menurunkan muatan dari kereta kuda.Salah satu mandor, Pak Resno, menghampiri dengan gulungan rencana bangunan.“Yang Mulia Kades, bagian lengkung utama akan kita susun siang ini. Tapi butuh empat pekerja tambahan untuk pasang pilar tengah,” katanya.Raka mengangguk cepat. “Ambil dari kelompok barat, mereka sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Jangan lupa beri mereka makan siang sebelum lanjut.”Ia tidak sekadar memerintah dari jauh. Hampir tiap hari, Raka turun langsung ke lapangan, berjalan di antara debu dan batu, menyapa para buruh, memastikan setiap bagian jembatan dikerjakan dengan benar.“Kalau aku hanya duduk di balai desa,” ujar Raka suatu hari kepada Mirna, “maka jembatan ini tak akan punya jiwa.”Semen
Udara pagi masih sejuk saat Raka memandang aliran sungai lebar yang membelah antara Desa Kali Bening dan wilayah timur yang mengarah ke dermaga baru. Arus sungainya tenang, namun cukup dalam, dan tiap sore banyak perahu kecil yang berlalu-lalang, membawa hasil bumi, ikan, dan barang dagangan.Di atas tanah berbukit kecil yang menghadap sungai, Raka membentangkan lembaran kulit pohon waru, tempat ia menggambar rancangan jembatan. Bentuknya setengah lingkaran, dengan lengkungan batu yang kokoh dan elegan.“Jika kita ingin jembatan ini bertahan puluhan tahun, bahkan seratus tahun,” ujar Raka kepada para tukang bangunan, “maka kita harus membangunnya dari batu alam dan bukan dari kayu. Lengkungannya harus kuat, tapi tak kaku. Seperti punggung seekor naga batu.”Raka menunjuk bagian tengah rancangan.“Sungai ini lebar. Kita buat tiga terowongan melengkung, agar kapal-kapal kecil tanpa layar bisa tetap melintas di bawahnya. Jembatan ini bukan penghalang, tapi penghubung.”Seorang tukang ban
Angin pagi berhembus pelan di tepian Desa Kali Bening. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, dan suara burung hutan bersahut-sahutan. Tapi pagi itu, bukan hanya suara burung yang terdengar — dari arah timur, iring-iringan rombongan kecil berjalan kaki membawa karung, alat pertanian, dan raut muka penuh harap. Mereka adalah warga dari Desa Anggur, dari salah satu kampung miskin yang letaknya terpencil di balik perbukitan berbatu.Raka, Kades Kali Bening, tengah duduk di pendopo saat berita kedatangan mereka sampai ke telinganya. Ia segera mendatangi rombongan itu, ditemani beberapa tetua dan pemuda kampung."Apa yang membuat kalian datang sejauh ini?" tanya Raka.Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun melangkah maju, membungkuk hormat. Namanya nara, pemimpin kecil di antara rombongan itu."Maafkan kami, Tuan Raka. Kampung kami tak lagi sanggup menahan kemiskinan. Ladang kami subur, ternak kami sehat... tapi kami terkurung. Jalan keluar desa rusak, hutan rimba dan jurang m