Share

Bab 110

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-04-22 13:46:24
Kabut pagi masih tipis menyelimuti halaman utama Akademi Surya Manggala. Hari itu, suasana terasa berbeda. Hari ujian kerajaan — momen penting di mana beberapa siswa terbaik dari berbagai kelas diundang untuk mengikuti seleksi lanjutan yang bisa menentukan masa depan mereka. Termasuk satu sesi rahasia: pertukaran sandera antar wilayah kekuasaan untuk misi diplomatik.

Namun semua tak berjalan seperti rencana.

Di lorong timur akademi, suara langkah kaki panik terdengar.

“Cepat! Panggil tabib! Dia pingsan!” seru seorang penjaga.

Seorang pelajar dari kelas B — bernama Dawa — tergeletak, darah merembes dari mulutnya. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Ujian pun dihentikan seketika.

Di sisi lain halaman, suara benturan terdengar keras. Di bawah tangga batu utama, Raka tergeletak sambil meringis menahan sakit. Tangannya menggantung tidak wajar.

“Rakaaa!” Temon berteriak, berlari dari arah perpustakaan. “Apa yang terjadi? Siapa yang dorong kau?”

Raka menahan rasa nyeri sambil mencoba bangk
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 111

    Langit Surya Manggala mulai menguning. Angin sore membawa bau tanah dan daun kering dari taman belakang Akademi Kerajaan. Suasana yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi arena sorak-sorai. Di tengah halaman utama, Raka berdiri dengan napas tenang, dikelilingi oleh murid-murid dari kelas A yang penuh amarah.Teknik Rahasia“Raka! Kau terlalu sombong! Kelas S seharusnya tahu diri!” bentak Darwa, pemimpin kelas A, sembari mengayunkan serangan cepat ke arah dada Raka.Raka menghindar tipis, langkahnya ringan seperti angin musim semi. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangkat tangan kanan, menekuk jari-jari dengan formasi aneh yang belum pernah dilihat siapa pun.“Ap—apa itu?” bisik salah satu murid di kerumunan.Dalam sekejap, Darwa terpental ke belakang. Suara desis halus terdengar, seperti angin memecah udara. Raka memutar badannya, tiga lawan lainnya terjatuh sebelum mereka sempat menyentuh jubahnya.Teknik itu... bukan berasal dari Surya Manggala.“Teknik apa itu, Raka?” tanya Ni

    Last Updated : 2025-04-22
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 112

    Hari itu, halaman utama Akademi Surya Manggala ramai luar biasa. Langit bersih, tapi ketegangan seperti menggantung di udara. Para murid berdesakan, tak ingin melewatkan ujian bela diri tingkat tinggi—yang akan mempertemukan Raka dengan Master Resi Kumara dalam pertandingan resmi di depan seluruh guru besar.Resi Kumara berdiri gagah, tongkatnya menyentuh tanah, dan suaranya bergema.“Raka dari kelas S. Ujian ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kehormatan seluruh angkatan. Jangan kira aku akan menahan diri.”Raka mengangguk hormat. “Aku tidak ingin menang dengan belas kasihan.”Lonceng ujian berdentang. Dalam sekejap, Resi Kumara menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tapi Raka sudah bersiap. Ia tak hanya menangkis—ia memutar tubuh, memanfaatkan momentum lawan, dan selalu menghindar Ketika resi kumara menyerang dengan keahlian resi yang di atas rata-rata penduduk Kerajaan surya manggala, namun tidak bagi raka.Raka terus mengelak hingga membuat resi jengkel dan mengeluarkan jurus

    Last Updated : 2025-04-22
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 113

    Tubuh Master Resi Kumara terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan hangat dan balur akar-akar langka dari Pegunungan Sembilak. Di sisi tempat tidurnya, berdiri seorang lelaki tua berjubah cokelat tanah dengan sabuk hijau zamrud—Tabib Nambi, sang penyembuh istana.“Sepempat Kekuatan Saja Sudah Cukup”Patih Nambi berdiri di sisi ranjang, wajahnya tenang namun suaranya berat saat berbicara kepada salah satu guru besar.“Jika benar seperti yang kalian katakan... bahwa Raka hanya menggunakan sepempat kekuatannya, maka bersyukurlah Master Kumara masih bisa bernapas.”“Separuh saja sudah seperti ini...” gumam Guru Lomas, menunduk.“Kalau separuh tenaganya dilepas,” lanjut Tabib Nambi, “aku tak yakin tubuh manusia bisa bertahan. Ia bisa lumpuh... bahkan mati, dalam sekejap.”Semua yang mendengar berita itu terdiam. Terbayang di kepala mereka: Raka yang santun, diam, ternyata menyimpan kekuatan seolah bukan milik manusia biasa.Keesokan harinya, Raka mendapat pesan khusus. Ia diminta datang ke

    Last Updated : 2025-04-23
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 114

    Hening menyelimuti langit Akademi Utama Kerajaan. Riuh para penonton yang tadi menggema di tanah latihan, kini terganti dengan desau angin dan napas para siswa yang masih tersisa. Tubuh-tubuh kelelahan bergelimpangan di pinggir arena. Namun satu sosok masih berdiri tegap di tengah lingkaran batu raksasa itu: Raka.Tubuhnya penuh memar. Biru keunguan menghiasi lengan, pundak, bahkan bagian samping wajahnya. Namun langkahnya tetap kokoh, napasnya masih teratur, dan sorot matanya masih setajam awal pertandingan.Seorang guru mendekatinya dengan ragu, lalu berbisik, "Raka... kau yakin tak perlu pengobatan dari tabib istana?"Raka hanya mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa mengubah nada suaranya,"Syukurlah tubuh ini cepat menyembuh. Sedikit nyeri seperti ini... takkan membuatku tumbang."Di atas podium kehormatan, Maha Patih Maheswara, panglima tertinggi yang mengawasi ujian itu, mematung dalam diam. Raut wajahnya kaku, mata menatap kosong ke arah Raka. Di balik jubah emasnya yang berat,

    Last Updated : 2025-04-23
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 115

    Hari itu, langit di atas Desa Dalam Raja memancarkan cahaya keemasan. Panji-panji Kerajaan Surya Manggala berkibar di setiap sudut, bunyi gamelan dan tabuhan kendang bersahut-sahutan mengisi udara. Di tengah alun-alun desa, sebuah panggung kayu didirikan, dikelilingi bunga kenanga, kemenyan, dan dupa yang mengepul halus ke langit.Hari itu, bukan hari biasa. Hari itu adalah Upacara untuk Raka.Penduduk dari berbagai dusun datang membawa sesajen dan buah-buahan, menaruhnya di meja panjang, berjejer dengan nasi tumpeng setinggi lutut orang dewasa.Seorang tetua desa—berjubah putih dengan tongkat ukiran ular kembar—berdiri dan mengangkat suaranya, "Mulai hari ini, Raka... bukan lagi hanya seorang pelajar. Tapi ia telah sejajar dengan para bangsawan muda Surya Manggala, meski usianya belum lagi lewat seperempat abad!"Orang-orang bersorak. Anak-anak berlarian, mengangkat miniatur pedang kayu dan meneriakkan nama Raka sambil tertawa.Raka sendiri duduk bersila di atas panggung, mengenakan

    Last Updated : 2025-04-23
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 116

    Mentari pagi belum sepenuhnya tinggi saat seekor kuda cokelat berhenti di depan gerbang Desa Kali Bening. Di punggungnya duduk seorang pria berjubah hijau lumut dengan lambang Adipati Kota Madya Utama di dadanya. Di tangannya tergenggam gulungan surat berstempel lilin merah."Aku mencari Tetua Kades Zeno," ucap si utusan, suaranya mantap, tak tergesa.Warga yang sedang menjemur padi dan membersihkan jalanan langsung menoleh, lalu saling berbisik penasaran. Tak setiap hari utusan adipati datang ke desa kecil seperti mereka.Tak lama, Zeno keluar dari rumah panggungnya. Pria tua itu mengenakan ikat kepala kelabu dan sorot matanya menyimpan wibawa yang bijak."Aku Zeno. Ada urusan apakah dari Kota Madya Utama hingga membuat langit pagi di sini jadi lebih bergema?"Utusan itu menunduk hormat sebelum menyodorkan surat."Surat ini dari Adipati untuk keluarga Raka. Mohon disampaikan kepada yang berhak. Isinya... kabar yang mulia."Zeno mengangguk, memanggil anak kembarnya Riko dan Roni, lalu

    Last Updated : 2025-04-24
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 117

    Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa

    Last Updated : 2025-04-24
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 118

    Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s

    Last Updated : 2025-04-24

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 127

    Embusan angin dari timur terasa lebih dingin dari biasanya—tanda musim dingin akan segera tiba.Di ruang tengah rumah panggungnya yang besar, Raka duduk di hadapan tiga istrinya—Aina, Aini, dan Andini. Wajah mereka tampak heran bercampur harap, apalagi setelah mendengar kabar bahwa Raka memanggil mereka untuk urusan penting.Raka menarik napas perlahan, lalu berkata,"Sudah waktunya kita menengok orangtua kalian di Desa Kelewer. Sudah terlalu lama mereka tak mendengar kabar dari kita."Andini memandang dua kakaknya, lalu menatap Raka."Kanda… benar-benar ingin ke sana, ketiga bersaudari ini saling tatap dan meneteskan air mata?"Raka mengangguk."Iya. Aku sudah mengirim utusan, dan mendapat kabar bahwa mereka masih sehat, tapi kaki Ibu kalian sudah lemah. Ayah pun sudah jarang keluar rumah. Aku tak ingin kita terlambat."Aina mengusap pelan lengan Raka."Kami... sangat rindu. Tapi, perjalanan itu jauh. Dan musim dingin sebentar lagi.""Justru itu," jawab Raka mantap, "kita harus beran

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 126

    Suara ayam jantan bersahut-sahutan dari pekarangan warga, menyambut hari baru yang penuh harap.Di balik rumah megah yang berdiri kokoh di atas batu-batu besar Sungai kali bening, seorang lelaki muda duduk di beranda, memandangi sawah yang mulai menguning. Di pangkuannya, bayi mungil tertidur lelap, bernama Rama, buah hatinya dari Aina."Aina, lihatlah… pipinya makin bulat, seperti tahu gempol di rumah makan milik kita," ucap Raka sambil tertawa pelan.Aini tersenyum dari balik dapur. "Kalau ia besar nanti, semoga hatinya juga selembut tahu gempol itu. Bukan seperti pejabat kecamatan yang suka menyeleweng."Raka tertawa, lalu menghela napas panjang."Aina… aku senang. Tapi entah kenapa, juga merasa berat. Seolah-olah semua orang menaruh harap yang tak bisa kutolak.""Itu karena kanda menerangi banyak jalan. Tapi kanda juga butuh istirahat dan itu pun kanda pasti di izinkan oleh para pejabat desa," kata Aina sambil menuangkan air panas ke kendi.Nama Raka kini lebih dari sekadar Kades D

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 125

    Matahari telah condong ke barat ketika Aryo Wiroguno duduk di serambi rumah besarnya. Udara desa terasa berat, penuh bisik-bisik tentang nama yang tak asing lagi di telinganya: Raka, Kepala Desa Kali Bening.Aryo menggenggam erat segulung surat kabar dari kecamatan, berisi daftar peringkat ujian Tingkat Kerajaan. Namanya memang tertera di antara lulusan terbaik, namun di atasnya, terukir dengan tinta emas, nama Raka — si pendatang baru dari desa kecil yang baru saja mekar.Ia menggeram, mengomel sendiri, "Huh, rakyat kecil mana peduli siapa yang lulus terbaik. Yang mereka tahu hanya si Raka itu... padahal aku yang bertahun-tahun belajar sampai remuk tulang."Ibunya, Nyi Wiroguno, menyusul keluar dengan nampan berisi teh hangat. Ia menatap putranya dengan prihatin."Sabar, Aryo... namamu tetap harum di hadapan para pejabat. Bukankah Bapak Camat sendiri datang membawa emas dari keluarga kita?"Aryo memalingkan wajah, mendesis, "Emas itu cuma buat menutupi malu! Kalau rakyat lebih memili

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 124

    Sudah dua minggu Lurah Wiroguno tak lagi menginjakkan kaki di pendapa desa petir. Rumah panggung kayunya yang dulu selalu ramai kini sepi. Hanya suara angin dan sesekali ayam peliharaan yang memecah hening.Ia duduk termenung di amben panjang, memandangi peti-peti dokumen lama yang kini tak lagi berguna. Jabatannya telah dicopot. Surat pemberhentian dari Adipati turun mendadak, tanpa banyak kata, hanya cap merah dan goresan pena dingin."Waktu berganti cepat seperti air sungai...," gumamnya lirih, "dan aku disingkirkan seperti karung beras busuk."Di tangannya masih tergenggam lembaran kabar dari Balai Kecamatan Kemusuk, menyatakan bahwa Anom, mantan sekretarisnya yang licik dan pandai menjilat, kini resmi diangkat menjadi Lurah Desa Petir menggantikan dirinya.Tak jauh dari rumahnya, suara para tetua desa terdengar berdiskusi."Kasihan Lurah Wiroguno. Tapi… ya begitulah kalau terlalu sibuk memperkaya diri, lupa urus rakyat," bisik salah satu dari mereka."Aku dengar, sekarang nama Ra

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 123

    Angin pagi berembus lembut di Desa Kali Bening. Aroma kayu basah dan rerumputan dari hutan timur masih terasa segar, meski suara palu dan gergaji tak henti menggema dari penjuru desa. Kali Bening bukan lagi Desa pengemis seperti dahulu. Stigma buruk yang pernah melekat kini perlahan memudar, berganti dengan kekaguman dan rasa iri dari desa-desa sekitarnya.Raka, sang kepala desa muda, berdiri di beranda sekolah yang baru dibangunnya. Matanya menatap anak-anak yang berlarian di halaman dengan wajah penuh tawa."Sudah kubilang jangan main dekat kolam, Nak Danu!" seru Raka sambil tersenyum."Ampun, Kanda Raka!" sahut Danu sambil lari kecil, diikuti tawa teman-temannya.Dulu, Kali Bening hanyalah tempat pelarian orang-orang tak punya, tapi kini—berkat ketekunan dan visi besar Raka—desanya menjadi pembicaraan banyak orang. Gelar Siswa Terbaik yang diraihnya di Kerajaan Surya Manggala menjadi pemantik perubahan. Ia mengalahkan banyak bangsawan muda dan anak pejabat, membuat namanya harum hi

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 122

    Kabar kepulangan Raka dari kota madya utama menebar ke seluruh penjuru Desa Kali Bening seperti angin membawa harum bunga musim semi. Dalam sekejap, warga berkumpul di balai desa, sebagian besar membawa buah tangan, beberapa bahkan membentangkan kain batik panjang di jalan-jalan sempit desa sebagai tanda suka cita.“Sudah tiga bulan ia tinggalkan kampung ini,” ujar Pak Siman, si pembuat gerabah, sambil menyeka peluh dari keningnya. “Tapi rasanya seperti tiga tahun. Anak muda itu bukan cuma kepala desa, dia cahaya bagi Desa ini!”Raka yang baru turun dari kuda putihnya, tersenyum lirih menatap kerumunan. Wajahnya terlihat lebih matang, sorot matanya dalam namun teduh. Dalam dekapannya, tergolek bayi mungil berusia empat bulan—putranya yang lahir saat sebelum ia berjuang di kota. Air matanya hampir luruh begitu melihat Andini menunggu di depan rumah, ditemani Aina, Aini, dan Bi Arum.“Raka, Desa ini telah berubah banyak sejak engkau pergi,” sambut Zeno bangga. “Lihat pasar itu… di pingg

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 121

    Matahari mulai condong ke barat saat Raka melangkah perlahan meninggalkan Petirtaan Agung. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh. Ia membawa sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tapi terasa berat di dalam dada: warisan kehormatan dan tanggung jawab dari Raja Manggala sendiri.Ia kembali ke penginapan di Kota Madya Utama, disambut lirikan kagum dari para penginap lain. Tak sedikit yang menunduk hormat tanpa mereka sadari.“Kau baik-baik saja, Raka?” tanya petugas penginapan, seorang wanita tua bermata bening. “Aku baik, Nisanak. Hanya sedikit lelah berjalan jauh,” jawab Raka sambil tersenyum, menyembunyikan segala keajaiban yang baru saja ia alami.Esok paginya, ujian akhir pun dimulai. Ruang ujian kelas S kini seperti medan perang yang ditaburi ketegangan. Tujuh orang pengawas berjubah hitam duduk di sudut-sudut ruangan, mata mereka tajam seperti rajawali.“Ini... ini bahkan lebih ketat dari ujian kenaikan tahta!” bisik seorang siswa.“Hush! Jangan ganggu konsentrasi orang!”

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 120

    Senja belum turun sepenuhnya, tetapi angin di pelataran Istana Surya Manggala sudah membawa hawa yang tak biasa. Raja Mahesa Warman berdiri sendiri di pendapa keempat, memandangi langit yang mulai berganti warna. Di tangan kirinya tergenggam gulungan berita dari Perpustakaan Kota Madya Utama—kabar tentang lencana zamrud, kitab kuno Singgasana Merah, dan perjalanan Raka menuju makam Raja Agung Manggala.Ia tampak gelisah. Langkah kakinya mondar-mandir tak menentu.“Seharusnya aku bisa menahannya di istana. Anak itu terlalu cepat tumbuh...” desisnya.Namun suara lain bergema di benaknya—suara tua dari masa lampau. Suara mendiang kakeknya, Raja Surya Pratama, sang raja bijak yang pernah berkata:“Jika kelak ada pemuda yang menemukan kalung Raja Manggala, jangan halangi jalannya. Barang siapa mencoba menghalanginya, maka binasa ia oleh kehendak leluhur.”Raja Mahesa Warman mengepalkan tangan.“Aku tidak ingin binasa karena melawan arwah leluhur... Baiklah, Raka. Langkahmu tidak akan kuhal

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 119

    Di seantero Kota Madya Utama, nama Raka terus bergema—bukan sekadar sebagai siswa unggulan, melainkan pemecah rekor seratus tahun Kerajaan Surya Manggala. Nilainya yang mendekati sempurna menjadi bahan pembicaraan dari kedai jamu hingga aula pertemuan para bangsawan.“Tahukah kau?” bisik salah satu pejabat tinggi pada kawannya, “Nilai ujian anak itu memecahkan rekor Kakek Sepuh Raja Manggala! Bayangkan! Bocah dari desa berhasil menumbangkan catatan darah biru.”“Tapi… ia belum punya tunangan, bukan?” gumam yang lain, sambil melirik anak gadisnya yang duduk malu-malu di sisi ruangan. “Aku akan siapkan perjodohan. Siapa tahu ia butuh istri dari keluarga mapan.”“Jangan gegabah, ia sudah memiliki tiga istri dan seorang putra yang masih kecil.” Ujar Saudagar Malin“aku tidak perduli bahkan Kerajaan membolehkan memiliki istri sebanyak 5 orang dan itu di sahkan oleh hukum Kerajaan surya manggala.”“Wah kamu sudah termakan kekuasaan sepertinya tuan Tokin,”“kalau begitu Kita undang saja ia j

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status