Desa Kali Bening dengan cahaya keemasan yang menembus celah-celah dedaunan. Di tengah kampung Puri, rumah besar milik Raka tampak lebih Tamai dari biasanya. Lantunan doa terdengar dari pendopo, diiringi aroma kemenyan dan wangi bunga kenanga.Raka berdiri di hadapan para tetua desa dengan wajah berseri-seri. Ia mengenakan pakaian adat berwarna cokelat tanah, dengan selempang tenun kuno melilit dadanya. Di sampingnya, dua istrinya, aini dan andini, duduk anggun.“Aku tak tahu harus berkata apa,” ucap Raka dengan suara parau karena haru. “Tapi hari ini, aku benar-benar diberkahi. Dua istriku mengandung bersamaan. Dua kehidupan akan segera hadir. Apakah ini bukan tanda restu para leluhur?”Orang-orang yang berkumpul bersorak kecil, diiringi tepuk tangan.“Kita adakan sukuran malam nanti!” seru Pak Tanu, tetua tertua di desa. “Kita sembelih kambing gemuk milik Karyo, yang sudah tiga bulan hanya makan daun pisang dan air kelapa!”“Wah, kambing yang itu? Dengar-dengar bisa mengobati sakit p
Desa Kali Bening kini tak lagi dikenal sebagai desa yang hanya dilewati kafilah dagang dari utara ke selatan. Sekarang, orang datang khusus untuk berkunjung, berdagang, bahkan untuk menetap.Di setiap sudut, terlihat geliat kemakmuran. Pabrik tepung ikan di pinggir dermaga mengepul tiap pagi, pabrik lilin di sisi barat mengirim hasilnya ke pasar besar, dan peternakan di dataran tinggi menghasilkan susu, daging, dan bahan kulit yang dibeli banyak pedagang dari luar.Di bawah pohon asam tua dekat pasar, dua warga sedang berbincang sambil menata anyaman bambu.“Kau dengar kabar dari rumah Pak Tarjo?” tanya salah satu, bernama Bado.“Apa itu?” jawab kawan duduknya, Leman.“Anaknya yang dulunya hanya buruh angkut, sekarang jadi kepala bagian di pabrik lilin. Gajinya cukup buat beli kebun kecil di lereng bukit.”Leman mengangguk pelan. “Dulu kita hanya bermimpi bisa begini. Sekarang, hidup di Kali Bening rasanya seperti tinggal di kota kecil.”Namun, tidak semua yang mendengar kabar baik me
Desa Kali Bening diselimuti awan tipis. Angin berembus lembut membawa aroma tanah basah dan bunga melati dari taman puri. Di balai paviliun utama, Raka berdiri di hadapan para tetua dan tokoh masyarakat. Hari ini, ia akan menyerahkan urusan desa untuk sementara.“Mulai hari ini, selama dua bulan ke depan, desa ini akan kuamanahkan pada dua orang yang telah lama membuktikan kesetiaannya,” ucap Raka lantang namun bersahaja.Warga yang hadir menyimak dalam diam. Di samping Raka berdiri Goro, lelaki tinggi berkulit sawo matang, dan Mirna, perempuan cekatan yang sudah sejak muda mengurus lumbung pangan desa.“Goro akan mengatur urusan pembangunan dan keamanan. Mirna akan mengurus kebutuhan rumah tangga desa, pangan, dan rakyat. Bila ada yang datang membawa kabar penting, arahkan ke mereka berdua.”Goro maju setapak. “Kami bukan pengganti, hanya pelaksana. Tapi selama Kakang Raka menuntut ilmu, desa ini takkan kehilangan arah.”Mirna menambahkan, “Kami akan menjaga, bukan hanya ladang dan p
Desa Kali Bening disambut semerbak wangi kayu manis dan harum pandan dari dapur Sekar Kedaton. Rumah makan yang dahulu hanyalah bangunan panggung sederhana dengan dinding bambu, kini berdiri megah setelah direnovasi oleh tangan-tangan muda penuh semangat: Roni dan Riko, keponakan Raka.Di dindingnya kini tergantung syair-syair karya Raka yang disetujui sebelum ia berangkat ke Kota Madya Utama:“Lidah rakyat tak selalu bersuara, Tapi rasa mereka selalu bicara.”Di bagian serambi, ada juga yang berbunyi:“Makanlah dengan hati lapang, Sebab rezeki terbaik datang dari rasa yang tenang.”Sore itu, pengunjung datang silih berganti. Ada saudagar dari barat yang mengelus janggutnya saat membaca syair di gerbang kayu. “Tempat ini… tidak hanya memuaskan perut, tapi juga menyentuh batin,” katanya sambil terkekeh.Seorang ibu pedagang rempah dari selatan bertanya pada pelayan, “Siapa yang menulis ini semua?”“Putra desa kami, Tuan Raka,” jawab pelayan itu bangga. “Kini ia tengah menuntut il
Telah sebulan berlalu sejak Raka menapakkan kaki di Sekolah Kerajaan Surya Manggala. Dalam waktu yang relatif singkat, namanya mulai menggaung di antara para guru dan pelajar, bukan karena garis keturunan atau kekayaan, tapi karena ide-ide segarnya yang menyentuh akar kehidupan rakyat.Suatu pagi di Balairung Penguji, suara genderang dipukul tiga kali, menandai dimulainya pengumuman hasil evaluasi bulanan.Guru penguji, Tuan Suyatna, berdiri di tengah aula. Ia membuka gulungan perkamen besar, lalu membacakan nama-nama siswa yang naik ke kelas S, kelas unggulan yang hanya diisi oleh lima murid terbaik dari seluruh akademi.“Yang pertama, Putra Kadipaten Majenang: Raden Kalimastra.Yang kedua, Putri Kadipaten Wonoayu: Ayunda Reswari.Ketiga, Putra Kota Gading: Bagas Ratamanggala.Keempat, Putra Kadipaten Cempaka: Rangga Pralaya.Dan terakhir…” — suara Suyatna sengaja diturunkan, membuat ruangan tegang — “…Raka, Kepala Desa Kali Bening.”Ruangan hening sejenak. Lalu terdengar bisik-bisi
Mentari baru saja naik di ufuk timur ketika kabar itu datang seperti petir di langit cerah. Andini, salah satu istri Raka yang tengah mengandung, tidak pulang ke kediaman paviliun puri setelah berpamitan hendak pergi ke perbatasan desa untuk mengunjungi suaminya di kota madya utama. Bersama dua pengawal pribadi, ia meninggalkan rumah sejak pagi dua hari lalu. Kini, jejaknya hilang.Di dalam paviliun puri, Aini dan Aina gelisah, duduk berdampingan di serambi, mata mereka tak lepas dari jalan tanah yang biasa dilalui para pelancong dan pengantar barang.“Kau yakin ia hanya pergi menjenguk Kanda Raka?” tanya Aina, menggenggam erat tangan Aini.“Iya… Ia bilang begitu padaku. Hanya sehari saja, katanya. Tapi hingga kini, tak ada kabar…”Tak lama, Riko dan Roni, dua keponakan Raka, datang dengan langkah cepat dan wajah tegang.“Ada apa ini?” seru Aina.“Bibi Andini tak pulang,” jawab Riko. “Kami tak ingin membuat kekacauan, tapi... ini sudah hari kedua.”Roni segera menarik Riko ke samping.
Gua Tekukur, tempat sunyi yang tersembunyi di balik lembah hutan Kelewer, kini menjadi markas gelap penuh muslihat. Di dalam perut gua yang lembap itu, Andini terikat dengan kedua tangannya di atas kepala. Nafasnya berat, wajahnya pucat namun sorot matanya tetap menyala. Di sudut gua, dua pengawal yang menyertainya tergeletak babak belur, tubuh mereka luka-luka akibat pukulan dari pasukan Baurekso."Kau kira Raka akan datang menyelamatkanmu?" ejek Baron, menyeringai sembari menatap Andini.Bagong, berdiri tak jauh, mencibir, "Ia akan datang, tapi membawa 100 tael emas. Kalau tidak, jangan harap bisa melihat istrimu lagi."Baurekso, pemimpin kelompok itu, berdiri di tengah, tubuh tegapnya tampak bagaikan bayangan maut di tengah cahaya obor. Ia bicara pelan tapi jelas, "Pastikan pesan kita sampai ke Kali Bening. Tapi jangan terlalu cepat... biar mereka panik lebih dulu."Sementara itu di Desa Kali Bening, Zeno duduk termenung di pendopo rumah puri. Wajahnya keruh. Ia menyulut sebatang d
Suara jeritan lirih terdengar dari dalam gubuk tua yang reot di tepi hutan Gunung Tekukur. Angin sore menerobos celah-celah dinding bambu yang rapuh, menggoyangkan lampu minyak yang tergantung di salah satu tiang penyangga.“Andini...! Andini!” seru Zeno panik, menendang pintu gubuk yang tak terkunci.“Aku di dalam, Paman... di dalam... perutku sakit...” suara Andini terdengar lemah, menahan nyeri akibat ikatan yang terlalu kencang di perut dan pergelangan tangannya.Zeno segera berlari masuk, diikuti Riko dan sebelas penjaga Desa Kali Bening. Di tengah gubuk, Andini tergeletak dengan tubuh terikat pada tiang kayu. Wajahnya pucat, tapi matanya berbinar saat melihat Zeno.“Syukurlah kau selamat,” ucap Zeno sambil menghunus belati kecil dari pinggangnya dan memotong tali pengikat yang kasar. “Apa mereka melukaimu?”“Hanya mengikat terlalu kuat... tapi aku tak apa-apa, Paman. Kalian datang tepat waktu. Jika tidak...” ia melirik ke meja reyot di sudut ruangan, “...surat itu mungkin sudah
Matahari mulai condong ke barat saat Raka melangkah perlahan meninggalkan Petirtaan Agung. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh. Ia membawa sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tapi terasa berat di dalam dada: warisan kehormatan dan tanggung jawab dari Raja Manggala sendiri.Ia kembali ke penginapan di Kota Madya Utama, disambut lirikan kagum dari para penginap lain. Tak sedikit yang menunduk hormat tanpa mereka sadari.“Kau baik-baik saja, Raka?” tanya petugas penginapan, seorang wanita tua bermata bening. “Aku baik, Nisanak. Hanya sedikit lelah berjalan jauh,” jawab Raka sambil tersenyum, menyembunyikan segala keajaiban yang baru saja ia alami.Esok paginya, ujian akhir pun dimulai. Ruang ujian kelas S kini seperti medan perang yang ditaburi ketegangan. Tujuh orang pengawas berjubah hitam duduk di sudut-sudut ruangan, mata mereka tajam seperti rajawali.“Ini... ini bahkan lebih ketat dari ujian kenaikan tahta!” bisik seorang siswa.“Hush! Jangan ganggu konsentrasi orang!”
Senja belum turun sepenuhnya, tetapi angin di pelataran Istana Surya Manggala sudah membawa hawa yang tak biasa. Raja Mahesa Warman berdiri sendiri di pendapa keempat, memandangi langit yang mulai berganti warna. Di tangan kirinya tergenggam gulungan berita dari Perpustakaan Kota Madya Utama—kabar tentang lencana zamrud, kitab kuno Singgasana Merah, dan perjalanan Raka menuju makam Raja Agung Manggala.Ia tampak gelisah. Langkah kakinya mondar-mandir tak menentu.“Seharusnya aku bisa menahannya di istana. Anak itu terlalu cepat tumbuh...” desisnya.Namun suara lain bergema di benaknya—suara tua dari masa lampau. Suara mendiang kakeknya, Raja Surya Pratama, sang raja bijak yang pernah berkata:“Jika kelak ada pemuda yang menemukan kalung Raja Manggala, jangan halangi jalannya. Barang siapa mencoba menghalanginya, maka binasa ia oleh kehendak leluhur.”Raja Mahesa Warman mengepalkan tangan.“Aku tidak ingin binasa karena melawan arwah leluhur... Baiklah, Raka. Langkahmu tidak akan kuhal
Di seantero Kota Madya Utama, nama Raka terus bergema—bukan sekadar sebagai siswa unggulan, melainkan pemecah rekor seratus tahun Kerajaan Surya Manggala. Nilainya yang mendekati sempurna menjadi bahan pembicaraan dari kedai jamu hingga aula pertemuan para bangsawan.“Tahukah kau?” bisik salah satu pejabat tinggi pada kawannya, “Nilai ujian anak itu memecahkan rekor Kakek Sepuh Raja Manggala! Bayangkan! Bocah dari desa berhasil menumbangkan catatan darah biru.”“Tapi… ia belum punya tunangan, bukan?” gumam yang lain, sambil melirik anak gadisnya yang duduk malu-malu di sisi ruangan. “Aku akan siapkan perjodohan. Siapa tahu ia butuh istri dari keluarga mapan.”“Jangan gegabah, ia sudah memiliki tiga istri dan seorang putra yang masih kecil.” Ujar Saudagar Malin“aku tidak perduli bahkan Kerajaan membolehkan memiliki istri sebanyak 5 orang dan itu di sahkan oleh hukum Kerajaan surya manggala.”“Wah kamu sudah termakan kekuasaan sepertinya tuan Tokin,”“kalau begitu Kita undang saja ia j
Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s
Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa
Mentari pagi belum sepenuhnya tinggi saat seekor kuda cokelat berhenti di depan gerbang Desa Kali Bening. Di punggungnya duduk seorang pria berjubah hijau lumut dengan lambang Adipati Kota Madya Utama di dadanya. Di tangannya tergenggam gulungan surat berstempel lilin merah."Aku mencari Tetua Kades Zeno," ucap si utusan, suaranya mantap, tak tergesa.Warga yang sedang menjemur padi dan membersihkan jalanan langsung menoleh, lalu saling berbisik penasaran. Tak setiap hari utusan adipati datang ke desa kecil seperti mereka.Tak lama, Zeno keluar dari rumah panggungnya. Pria tua itu mengenakan ikat kepala kelabu dan sorot matanya menyimpan wibawa yang bijak."Aku Zeno. Ada urusan apakah dari Kota Madya Utama hingga membuat langit pagi di sini jadi lebih bergema?"Utusan itu menunduk hormat sebelum menyodorkan surat."Surat ini dari Adipati untuk keluarga Raka. Mohon disampaikan kepada yang berhak. Isinya... kabar yang mulia."Zeno mengangguk, memanggil anak kembarnya Riko dan Roni, lalu
Hari itu, langit di atas Desa Dalam Raja memancarkan cahaya keemasan. Panji-panji Kerajaan Surya Manggala berkibar di setiap sudut, bunyi gamelan dan tabuhan kendang bersahut-sahutan mengisi udara. Di tengah alun-alun desa, sebuah panggung kayu didirikan, dikelilingi bunga kenanga, kemenyan, dan dupa yang mengepul halus ke langit.Hari itu, bukan hari biasa. Hari itu adalah Upacara untuk Raka.Penduduk dari berbagai dusun datang membawa sesajen dan buah-buahan, menaruhnya di meja panjang, berjejer dengan nasi tumpeng setinggi lutut orang dewasa.Seorang tetua desa—berjubah putih dengan tongkat ukiran ular kembar—berdiri dan mengangkat suaranya, "Mulai hari ini, Raka... bukan lagi hanya seorang pelajar. Tapi ia telah sejajar dengan para bangsawan muda Surya Manggala, meski usianya belum lagi lewat seperempat abad!"Orang-orang bersorak. Anak-anak berlarian, mengangkat miniatur pedang kayu dan meneriakkan nama Raka sambil tertawa.Raka sendiri duduk bersila di atas panggung, mengenakan
Hening menyelimuti langit Akademi Utama Kerajaan. Riuh para penonton yang tadi menggema di tanah latihan, kini terganti dengan desau angin dan napas para siswa yang masih tersisa. Tubuh-tubuh kelelahan bergelimpangan di pinggir arena. Namun satu sosok masih berdiri tegap di tengah lingkaran batu raksasa itu: Raka.Tubuhnya penuh memar. Biru keunguan menghiasi lengan, pundak, bahkan bagian samping wajahnya. Namun langkahnya tetap kokoh, napasnya masih teratur, dan sorot matanya masih setajam awal pertandingan.Seorang guru mendekatinya dengan ragu, lalu berbisik, "Raka... kau yakin tak perlu pengobatan dari tabib istana?"Raka hanya mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa mengubah nada suaranya,"Syukurlah tubuh ini cepat menyembuh. Sedikit nyeri seperti ini... takkan membuatku tumbang."Di atas podium kehormatan, Maha Patih Maheswara, panglima tertinggi yang mengawasi ujian itu, mematung dalam diam. Raut wajahnya kaku, mata menatap kosong ke arah Raka. Di balik jubah emasnya yang berat,
Tubuh Master Resi Kumara terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan hangat dan balur akar-akar langka dari Pegunungan Sembilak. Di sisi tempat tidurnya, berdiri seorang lelaki tua berjubah cokelat tanah dengan sabuk hijau zamrud—Tabib Nambi, sang penyembuh istana.“Sepempat Kekuatan Saja Sudah Cukup”Patih Nambi berdiri di sisi ranjang, wajahnya tenang namun suaranya berat saat berbicara kepada salah satu guru besar.“Jika benar seperti yang kalian katakan... bahwa Raka hanya menggunakan sepempat kekuatannya, maka bersyukurlah Master Kumara masih bisa bernapas.”“Separuh saja sudah seperti ini...” gumam Guru Lomas, menunduk.“Kalau separuh tenaganya dilepas,” lanjut Tabib Nambi, “aku tak yakin tubuh manusia bisa bertahan. Ia bisa lumpuh... bahkan mati, dalam sekejap.”Semua yang mendengar berita itu terdiam. Terbayang di kepala mereka: Raka yang santun, diam, ternyata menyimpan kekuatan seolah bukan milik manusia biasa.Keesokan harinya, Raka mendapat pesan khusus. Ia diminta datang ke