Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.
“Ini belum selesai…” Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian. “Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan” Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?” Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri. “Siapa kau?” pikir Elian, dan kini suara itu langsung menjawabnya “Aku adalah penjaga takdir yang hilang, dan kau Elian Silvercrest adalah bagian dari takdir yang belum selesai.” Elian merasakan kemarahan, penyesalan dan kebencian bercampur manjadi satu di dalam dirinya. “Jika aku kembali… apa yang harus kulakukan? Mereka semua sudah mati, dan aku… aku hanya alat Azrael.” “Jika kau kembali… “ suara itu menjawab “Kau akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah kau hancurkan. Tapi, kau harus menerima harga yang pantas dari sebuah kebangkitan ini” “Harga?” pikir Elian dengan penuh keraguan. Sebuah cahaya besar menyelimuti Elian, seakan menghempaskan tubuh elian dengan keras. Tubuhnya terasa berat kembali, napasnya kembali terasa. Elian terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi tubuhnya. Matanya melihat sekeliling, menatap langit-langit kamarnya yang familiar, dihiasi ukiran-ukiran khas keluarga Silvercrest. Dia terkesiap, tangannya meraba dadanya, mencari luka yang seharusnya ada. Tapi, tidak ada apa-apa. “Aku… Kembali?” tanyanya pelan, masih tidak percaya. Tirai jendela berkibar perlahan ditiup angin pagi, membiarkan sinar matahari masuk dengan lembut. Namun sesuatu terasa berbeda. Tangannya berdenyut dengan rasa sakit yang tajam. Elian melirik ke bawah melihat punggung tangan kirinya, sebuah tanda berbentuk perisai retak terpahat seperti bekas luka bakar, bersinar samar dengan rona merah tua. “Apa ini?” bisiknya dengan suara serak. Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, gelombang mual mendadak menyerangnya. Perutnya melilit, dan tanpa peringatan, ia terbatuk keras sebelum akhirnya memuntahkan cairan berwarna kuning kehijauan dilantai samping tempat tidurnya. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin membasahi dahinya. Elian terhuyung, mencoba bangkit dari tempat tidur. Tetapi tubuhnya terlalu lemah, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan keras ke lantai. “Ah…” Elian mengerang, perutnya kembali berkontraksi. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa mual itu belum juga hilang. Tanda di tangannya bersinar, rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuhnya. Tiba-tiba suara lembut namun berwibawa bergema dipikirannya, “Kau telah diberi kesempatan kedua, Elian, tetapi setiap keajaiban memiliki harga. Tanda itu adalah pengingat. Setiap kali kau melangkah melawan takdirmu, tubuhmu akan membayarnya, rasa sakit itu akan menjadi pengingatmu. Kau memang diberi kesempatan kedua, tapi hidup ini tidak lagi hanya milikmu. Pilihanmu akan menentukan segalanya.” Kata-kata itu lenyap secepat munculnya, meninggalkan Elian dengan rasa dingin yang menjalar di punggungnya. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit dan kebingungan. Pintu kamar terbuka dengan suara tergesa-gesa. Sosok ibunya masuk, membawa semangkuk air dan kain basah. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran saat melihat Elian tergeletak dilantai. “Elian! Apa yang kau lakukan? Kau seharusnya istirahat!” katanya sambil mendekati Elian, meletakkan mangkuk di meja kecil. Elian menatap wajah yang begitu ia rindukan. Itu ibu, wanita lembut yang penuh kasih sayang. Sosok yang selama ini muncul sebagai bayangan samar dalam kenangan buruknya. Dadanya terasa sesak dan air matanya tiba-tiba mengalir dengan deras. “Ibu…” bisiknya. Dengan sisa tenaganya, ia merangkak mendekat, lalu memeluk ibunya dengan erat sambil menangis dengan kencang. “Maafkan aku ibu… Maaf… aku tidak tahu apa yang aku lakukan.” Ibunya terkejut, tapi dengan cepat berlutut dan meraih tubuh Elian, memeluknya erat. “Elian, apa yang kau bicarakan? Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau jatuh sakit, Nak. Kami semua sangat khawatir.” Suara ibunya lembut dan penuh kasih, menenangkan hati Elian. Elian memeluknya lebih erat, seperti anak kecil yang mencari perlindungan “Aku tidak layak… aku tidak pantas mendapatkah kasih sayang ini.” Gumanya diantara isak tangis. Wajah Elian kini memerah, tubuhnya terasa panas. Langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Ayah Elian, bersama kakak pertama dan kakak keduanya muncul diambang pintu. Wajah mereka penuh dengan kekhawatiran. Ayahnya segera mendekati Elian, membungkuk untuk membantu anaknya duduk di tempat tidur. “Elian, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Napas Elian memburu, tubunya panas. Kakak pertama Elian dengan wajah tegasnya melangkah kedepan “Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Tubuhmu masih terlalu lemah. Kami semua khawatir.” Sementara itu kakak kedua Elian, dia segera memeriksa kondisi Elian, memeriksa suhu tubuh Elian, dan memperhatikan wajah pucat adiknya yang memerah. “Demam tinggi…” katanya dengan raut wajah khawatir. “Kau harus banyak istirahat Elian.” Tiba-tiba, Elian merasa perutnya kembali bergejolak. Tanpa peringatan, ia muntah lagi. Kali ini lebih banyak cairan yang keluar, membuat tubuhnya semakin lemah. Ibunya terkejut dan segera mengusap mulut Elian dengan kain basah. “Aku… Maaf…” Elian terisak, mencoba berbicara meski mulutnya terasa asam. “Aku… akan memperbaiki semuanya.” Ayahnya meskipun cemas, tetap berusaha tenang. Perlahan membantu Elian berbaring. “Apa yang kamu bicarakan? Elian, kita akan melalui ini bersama. Kau hanya perlu beristirahat.” Ibunya perlahan menggenggam tangan Elian dengan lembut. “Kami semua ada disini sayang, jangan merasa sendirian.” Elian perlahan menutup matanya, perlahan terlelap. Kehangatan sekitar sangat menenangkannya. Entah apa yang dulu merasukinya, hingga ia tak bisa melihat kasih sayang yang begitu besar ini. Malam itu, setelah keluarganya meninggalkan kamar untuk membiarkannya beristirahat. Elian memandangi tanda di tangannya. Tanda perisai retak itu bersinar samar di kegelapan, mengingatkan bahwa hidupnya kini memiliki Batasan baru. “Bayaran untuk kesempatan ini…” pikirnya. Dengan napas dalam, ia mengepalkan tangannya. “Aku tidak tahu siapa yang memberiku kesempatan ini, tetapi aku tidak akan meyia-nyiakannya. Aku akan melindungi keluarga ini, apapun harganya, aku tidak akan membiarkan takdir mengambil mereka dariku lagi.” Ucapnya dalam hati.Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.Kilas Balik.
Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangu
Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn
Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk dengan
Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh
Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih
Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem
Elian masih duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya hanyut dalam ketenangan yang rapuh. Semilir angin membawakan aroma bunga yang manis, menyelimuti dirinya dalam suasana yang menenangkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ketenangan itu hanyalah sebuah ilusi yang dapat menghilang kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada rerumputan yang bergoyang lembut. Tapi pikirannya melayang jauh.Langkah kaki berat terdengar mendekat, memacah keheningan. Elian menoleh perlahan, melihat sosok tinggi dengan pedang di sampingnya, sosok yang sangat familiar di mata Elian. Senyum tipis berkembang di wajah Elian, ia adalah kakak pertama Elian Ronan Silvercrest. Tubuh Ronan masih dibasahi keringat, rambut hitamnya berantakan, menunjukan bahwa dia baru saja selesai berlatih pedang. Tubuhnya tinggi kekar, dengan pedang panjang yang dia bawa dia tampak keren cukup untuk membuat siapapun jatuh cinta jika melihatnya. Jika saat ini ada seorang wanita mungkin dia akan pingsan mel
Suara derap roda kereta memenuhi halaman depan kediaman keluarga Silvercrest. Langit mulai gelap berhias bintang, semilir angin mulai mendingin. Elian, yang sedari tadi duduk di ruang tamu bersama Ethan, merasakan jantungnya berdebar lebih cepat saat mendengar suara tersebut. “Mereka sudah pulang,” gumam Elian sambil berdiri dengan cepat. Ethan, yang memperhatikan gerak-gerik tuannya, langsung menyahut dan ikut berdiri dengan nada khawatir. “Tuan muda, tunggu. Jangan buru-buru!” Namun, Elian tidak mendengarkan. Dengan langkah cepat, bahkan hampir seperti berlari, ia menuju pintu utama. Meski tubuhnya lemah dan tampak pucat, semangat di matanya tidak bisa ditahan. Pintu besar terbuka, dan Elian segera melangkah keluar, angin sore menyibakkan rambut hitamnya. “Ayah! Ibu!” panggil Elian masih dengan berlari menghampiri kedua orang tuannya dengan antusias. Lucien yang baru saja turun dari kereta kuda, langsung me
Kedai kecil itu di penuhi dengan aroma manis yang begitu menggoda. Elian duduk di kursi kayu sederhana, memperhatikan sepasang suami istri yang sibuk menyiapkan hidangan di dapur kecil mereka. Meskipun suasana riuh di luar, kedai ini menawarkan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Suasana di dalam kedai ini tersa begitu harmonis, dan membuat siapapun merasa nyaman untuk berlama-lama di sini.Tak lama kemudian, sebuah nampan diletakkan di atas meja. Di atasnya, terlihat beberapa potongan kue kecil berbentuk bunga, dengan warna pastel yang lembut dan taburan gula halus di atasnya. Aroma madu dan bunga mawar menyapa indra penciuman Elian, membawa kenangan masa lalunya kembali.“Kue ini disebut dengan Kue bunga, ini adalah hidangan manis yang paling di gemari di kedai ini.” Ujar wanita pemilik kedai dengan senyum ramah, “Padahal tidak ada yang Istimewa dari hidangan ini, awalnya saya hanya mencoba menghidangkannya karena ini makanan favorit anak saya, ternya
Pagi itu, sinar matahari lembut menembus jendela besar di kamar Elian, menyinari ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Elian sudah bangun lebih awal, tidak seperti biasanya hari ini dia sangat bersemangat. Ia duduk di tepi tempat tidurnya mengenakan pakaian sederhana namun tetap terlihat elegan, dengan warna lembut yang mempertegas auranya. Ethan berdiri di sampingnya, membantu Elian berpakaian dan memeriksa tas kecil yang telah disiapkan untuk perjalanan mereka ini.“Tuan muda, apa anda yakin akan melakukan perjalanan ini? Anda terlihat lebih lemah dari biasanya.” Tanya Ethan lembut dengan nada cemas, pandangannya penuh perhatian ke arah Elian.Elian tersenyum kecil, berusaha menenangkan pelayannya yang setia. “Aku baik-baik saja Ethan. Hari ini sangat penting, dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.”Ethan menghelan napas, dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan tuannya ini ketika dia sudah memutuskan sesuatu. “Baiklah, Tuan muda. Saya ak
Langkah ringan Elian dan Ronan terdengar di sepanjang jalan yang mengarah ke ruang makan. Lorong-lorong tinggi menghiasi perjalanan mereka. Ukiran-ukiran mahal terpampang di sepanjang jawal, seolah menyapa mereka. Ronan berjalan di samping adiknya, sesekali meliriknya dengan penuh perhatian memastikan bahwa dia baik-baik saja, namun tetap membiarkannya menikmati ketenangan yang ada.Setibanya di ruang makan, mereka melihat Damien yang duduk di meja besar, pandanganya tidak lepas dari tumpukan dokumen di depannya. Begitu melihat Elian dan Ronan datang, Damien segera menoleh, senyuman tulus langsung terukir di wajahnya. Ia berdiri dan mendekat kea rah Elian.“Kak Ronan, Elian! Kalian akhirnya datang,” kata Damien dengan suara ceria. Namun, begitu ia melihat wajah Elian kecemasannya terlihat jelas. “Bagaimana keadaanmu Elian? Aku minta maaf dalam beberapa hari ini tidak bisa mengunjungimu. Banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan.”Elian tersenyum kecil,
Elian masih duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya hanyut dalam ketenangan yang rapuh. Semilir angin membawakan aroma bunga yang manis, menyelimuti dirinya dalam suasana yang menenangkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ketenangan itu hanyalah sebuah ilusi yang dapat menghilang kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada rerumputan yang bergoyang lembut. Tapi pikirannya melayang jauh.Langkah kaki berat terdengar mendekat, memacah keheningan. Elian menoleh perlahan, melihat sosok tinggi dengan pedang di sampingnya, sosok yang sangat familiar di mata Elian. Senyum tipis berkembang di wajah Elian, ia adalah kakak pertama Elian Ronan Silvercrest. Tubuh Ronan masih dibasahi keringat, rambut hitamnya berantakan, menunjukan bahwa dia baru saja selesai berlatih pedang. Tubuhnya tinggi kekar, dengan pedang panjang yang dia bawa dia tampak keren cukup untuk membuat siapapun jatuh cinta jika melihatnya. Jika saat ini ada seorang wanita mungkin dia akan pingsan mel
Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem
Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih
Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh
Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk dengan