Home / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 3 KESEMPATAN KEDUA

Share

BAB 3 KESEMPATAN KEDUA

Author: Rayna Velyse
last update Last Updated: 2024-12-09 22:27:16

Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.

“Ini belum selesai…”

Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian.

“Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan”

Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?”

Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri.

“Siapa kau?” pikir Elian, dan kini suara itu langsung menjawabnya “Aku adalah penjaga takdir yang hilang, dan kau Elian Silvercrest adalah bagian dari takdir yang belum selesai.”

Elian merasakan kemarahan, penyesalan dan kebencian bercampur manjadi satu di dalam dirinya. “Jika aku kembali… apa yang harus kulakukan? Mereka semua sudah mati, dan aku… aku hanya alat Azrael.”

“Jika kau kembali… “ suara itu menjawab “Kau akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah kau hancurkan. Tapi, kau harus menerima harga yang pantas dari sebuah kebangkitan ini”

“Harga?” pikir Elian dengan penuh keraguan.

Sebuah cahaya besar menyelimuti Elian, seakan menghempaskan tubuh elian dengan keras. Tubuhnya terasa berat kembali, napasnya kembali terasa.

Elian terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi tubuhnya. Matanya melihat sekeliling, menatap langit-langit kamarnya yang familiar, dihiasi ukiran-ukiran khas keluarga Silvercrest. Dia terkesiap, tangannya meraba dadanya, mencari luka yang seharusnya ada. Tapi, tidak ada apa-apa. “Aku… Kembali?” tanyanya pelan, masih tidak percaya.

Tirai jendela berkibar perlahan ditiup angin pagi, membiarkan sinar matahari masuk dengan lembut. Namun sesuatu terasa berbeda. Tangannya berdenyut dengan rasa sakit yang tajam. Elian melirik ke bawah melihat punggung tangan kirinya, sebuah tanda berbentuk perisai retak terpahat seperti bekas luka bakar, bersinar samar dengan rona merah tua.

“Apa ini?” bisiknya dengan suara serak.

Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, gelombang mual mendadak menyerangnya. Perutnya melilit, dan tanpa peringatan, ia terbatuk keras sebelum akhirnya memuntahkan cairan berwarna kuning kehijauan dilantai samping tempat tidurnya. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin membasahi dahinya.

Elian terhuyung, mencoba bangkit dari tempat tidur. Tetapi tubuhnya terlalu lemah, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan keras ke lantai.

“Ah…” Elian mengerang, perutnya kembali berkontraksi. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa mual itu belum juga hilang. Tanda di tangannya bersinar, rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba suara lembut namun berwibawa bergema dipikirannya, “Kau telah diberi kesempatan kedua, Elian, tetapi setiap keajaiban memiliki harga. Tanda itu adalah pengingat. Setiap kali kau melangkah melawan takdirmu, tubuhmu akan membayarnya, rasa sakit itu akan menjadi pengingatmu. Kau memang diberi kesempatan kedua, tapi hidup ini tidak lagi hanya milikmu. Pilihanmu akan menentukan segalanya.”

Kata-kata itu lenyap secepat munculnya, meninggalkan Elian dengan rasa dingin yang menjalar di punggungnya. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit dan kebingungan.

Pintu kamar terbuka dengan suara tergesa-gesa. Sosok ibunya masuk, membawa semangkuk air dan kain basah. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran saat melihat Elian tergeletak dilantai.

“Elian! Apa yang kau lakukan? Kau seharusnya istirahat!” katanya sambil mendekati Elian, meletakkan mangkuk di meja kecil.

Elian menatap wajah yang begitu ia rindukan. Itu ibu, wanita lembut yang penuh kasih sayang. Sosok yang selama ini muncul sebagai bayangan samar dalam kenangan buruknya. Dadanya terasa sesak dan air matanya tiba-tiba mengalir dengan deras.

“Ibu…” bisiknya. Dengan sisa tenaganya, ia merangkak mendekat, lalu memeluk ibunya dengan erat sambil menangis dengan kencang. “Maafkan aku ibu… Maaf… aku tidak tahu apa yang aku lakukan.”

Ibunya terkejut, tapi dengan cepat berlutut dan meraih tubuh Elian, memeluknya erat. “Elian, apa yang kau bicarakan? Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau jatuh sakit, Nak. Kami semua sangat khawatir.” Suara ibunya lembut dan penuh kasih, menenangkan hati Elian.

Elian memeluknya lebih erat, seperti anak kecil yang mencari perlindungan “Aku tidak layak… aku tidak pantas mendapatkah kasih sayang ini.” Gumanya diantara isak tangis.

Wajah Elian kini memerah, tubuhnya terasa panas. Langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Ayah Elian, bersama kakak pertama dan kakak keduanya muncul diambang pintu. Wajah mereka penuh dengan kekhawatiran. Ayahnya segera mendekati Elian, membungkuk untuk membantu anaknya duduk di tempat tidur.

“Elian, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Napas Elian memburu, tubunya panas.

Kakak pertama Elian dengan wajah tegasnya melangkah kedepan “Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Tubuhmu masih terlalu lemah. Kami semua khawatir.”

Sementara itu kakak kedua Elian, dia segera memeriksa kondisi Elian, memeriksa suhu tubuh Elian, dan memperhatikan wajah pucat adiknya yang memerah. “Demam tinggi…” katanya dengan raut wajah khawatir. “Kau harus banyak istirahat Elian.”

Tiba-tiba, Elian merasa perutnya kembali bergejolak. Tanpa peringatan, ia muntah lagi. Kali ini lebih banyak cairan yang keluar, membuat tubuhnya semakin lemah. Ibunya terkejut dan segera mengusap mulut Elian dengan kain basah.

“Aku… Maaf…” Elian terisak, mencoba berbicara meski mulutnya terasa asam. “Aku… akan memperbaiki semuanya.”

Ayahnya meskipun cemas, tetap berusaha tenang. Perlahan membantu Elian berbaring. “Apa yang kamu bicarakan? Elian, kita akan melalui ini bersama. Kau hanya perlu beristirahat.”

Ibunya perlahan menggenggam tangan Elian dengan lembut. “Kami semua ada disini sayang, jangan merasa sendirian.”

Elian perlahan menutup matanya, perlahan terlelap. Kehangatan sekitar sangat menenangkannya. Entah apa yang dulu merasukinya, hingga ia tak bisa melihat kasih sayang yang begitu besar ini.

Malam itu, setelah keluarganya meninggalkan kamar untuk membiarkannya beristirahat. Elian memandangi tanda di tangannya. Tanda perisai retak itu bersinar samar di kegelapan, mengingatkan bahwa hidupnya kini memiliki Batasan baru. “Bayaran untuk kesempatan ini…” pikirnya.

Dengan napas dalam, ia mengepalkan tangannya. “Aku tidak tahu siapa yang memberiku kesempatan ini, tetapi aku tidak akan meyia-nyiakannya. Aku akan melindungi keluarga ini, apapun harganya, aku tidak akan membiarkan takdir mengambil mereka dariku lagi.” Ucapnya dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Sisa Takdir   BAB 4 BAYANGAN KEHILANGAN

    Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.Kilas Balik.

    Last Updated : 2024-12-10
  • Sisa Takdir   BAB 5 KEHENINGAN YANG MENGUATKAN

    Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangu

    Last Updated : 2024-12-10
  • Sisa Takdir   BAB 6 CAHAYA DI TENGAH KEGELAPAN

    Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn

    Last Updated : 2024-12-11
  • Sisa Takdir   BAB 7 CAHAYA YANG MEMANDU

    Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk den

    Last Updated : 2024-12-12
  • Sisa Takdir   BAB 8 LANGKAH AWAL

    Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh

    Last Updated : 2024-12-13
  • Sisa Takdir   BAB 9 JEJAK MASA LALU

    Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih

    Last Updated : 2024-12-13
  • Sisa Takdir   BAB 10 PENYELIDIKAN ETHAN

    Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem

    Last Updated : 2024-12-14
  • Sisa Takdir   BAB 11 DIBAWAH NAUNGAN POHON BESAR

    Elian masih duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya hanyut dalam ketenangan yang rapuh. Semilir angin membawakan aroma bunga yang manis, menyelimuti dirinya dalam suasana yang menenangkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ketenangan itu hanyalah sebuah ilusi yang dapat menghilang kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada rerumputan yang bergoyang lembut. Tapi pikirannya melayang jauh.Langkah kaki berat terdengar mendekat, memacah keheningan. Elian menoleh perlahan, melihat sosok tinggi dengan pedang di sampingnya, sosok yang sangat familiar di mata Elian. Senyum tipis berkembang di wajah Elian, ia adalah kakak pertama Elian Ronan Silvercrest. Tubuh Ronan masih dibasahi keringat, rambut hitamnya berantakan, menunjukan bahwa dia baru saja selesai berlatih pedang. Tubuhnya tinggi kekar, dengan pedang panjang yang dia bawa dia tampak keren cukup untuk membuat siapapun jatuh cinta jika melihatnya. Jika saat ini ada seorang wanita mungkin dia akan pingsan mel

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • Sisa Takdir   BAB 131

    Langit senja menyambut kedatangan Elian dengan nuansa keemasan yang redup, seolah ikut menyimpan rindu yang lama tertahan. Saat kaki Elian menapaki pelataran depan kediaman Silvercrest, udara terasa lebih berat dari biasanya bukan karena kabut atau angin, melainkan karena kenangan yang tak terhindarkan. Rumah itu masih berdiri kokoh, tak berubah, tapi juga tak lagi sama. Pintu besar terbuka sebelum Elian sempat mengetuk. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Elian menghentikan langkahnya. “Kak Damien,” ucapnya pelan. Kakaknya menyambutnya dengan senyum kecil yang hangat namun canggung, seperti seseorang yang ingin memeluk, tapi tidak tahu apakah itu akan menyakiti atau menenangkan. “Kau akhirnya pulang,” kata Damien. “Bagaimana perjalananmu?” Elian mengangguk kecil. “Cukup tenang… tidak ada gangguan.” Dan seperti yang sudah bisa diduga, pertanyaan berikutnya menyusul cepat. “Bagaimana keadaan pangeran ketiga?

  • Sisa Takdir   BAB 130

    Keheningan yang menggantung di dalam kereta kuda itu seperti kabut pekat yang tak kunjung surut. Roda kereta terus berputar, melewati jalan berbatu dan hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Matahari bersinar menampakkan diri di balik pepohonan, mengguratkan cahaya pucat di tanah basah. Di dalamnya, Elian duduk dengan tubuh tegak namun kaku, matanya menatap kosong pada jendela kaca yang sedikit berembun. Ethan duduk di seberangnya, diam. Tak ada suara selain derap kuda yang berlari perlahan dan dentingan besi yang bergesekan ringan. Mereka sama-sama terdiam, enggan memulai percakapan. Akhirnya, Ethan membuka mulut lebih dulu. "Apakah Anda tidak takut, Tuan ?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pertanyaan itu, sesederhana apa pun terdengar, membuat bahu Elian menegang secara refleks. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, tapi tangannya kini menggenggam lututnya dengan kuat, jari-jarinya gemetar halus. ‘Takut?’ Kata

  • Sisa Takdir   BAB 129

    Langit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m

  • Sisa Takdir   BAB 128

    Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah. Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na

  • Sisa Takdir   BAB 127

    Rumah itu sunyi, seperti napas terakhir yang tertahan di kerongkongan. Berdiri di tengah hutan yang lembap dan berkabut, bangunannya dari kayu tua yang mulai menghitam, seolah menyerap semua penderitaan yang pernah terjadi di dalamnya. Setiap ruangan dipagari besi, menjadikannya bukan sekadar rumah, tapi penjara bagi mereka yang menjadi korban manusia yang tubuhnya belum sepenuhnya berubah menjadi monster. Jeruji besi terpasang di setiap sisi, dengan simbol pengunci sihir tertulis di atasnya. Di balik masing-masing pagar, sosok-sosok duduk termenung, menggigil dalam diam. Mata mereka masih menyala dengan kesadaran, meski tubuh mereka telah diliputi tanda-tanda kutukan. Sebagian tubuhnya bersisik, yang lain berurat hitam, namun semua masih bernafas sebagai manusia. Kaelian berjalan melewati lorong kayu itu, langkahnya pelan tapi penuh ketegangan. Ia membawa gulungan-gulungan kertas dan buku catatan yang lusuh, berisi puluhan formula sihir yang telah ia uji coba se

  • Sisa Takdir   BAB 126

    Malam telah datang. Cahaya bulan menyelinap redup di balik tirai tebal. Di luar, angin berembus pelan, mengayun pucuk-pucuk pohon dan menyapu rerumputan yang terdiam dalam dingin. Kediaman Pangeran Caelium terasa tenang, terlalu tenang. Elian berdiri di balik jendela, menatap keluar dengan mata yang kosong. Malam ini tidak hanya gelap di luar. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya, menggelayut seperti kabut. “Kau akan menginap di sini,” kata Caelium tiba-tiba, memecah keheningan. Elian tidak menoleh. “Aku tahu. Tak aman untuk keluar malam ini.” “Kau juga merasa ada yang tidak beres?” Elian mengangguk pelan. “Seolah… sesuatu sedang menunggu,” gumamnya. Caelium berjalan santai ke meja dan menuang dua cangkir teh hangat. Diberikannya satu pada Elian yang masih berdiri di depan jendela. “Duduklah,” ucapnya lembut. “Tak ada gunanya kau menyiksa dirimu sendiri malam ini.” Elian akhirnya berpaling dan d

  • Sisa Takdir   BAB 125

    Setengah roti di piring itu hampir habis ketika percakapan mereka perlahan memasuki arah yang lebih serius. Awalnya hanya obrolan ringan tentang angin musim semi yang mulai membawa harum bunga, lalu beralih pada keadaan dapur istana yang anehnya kini selalu ramai saat malam. Tapi semua berubah saat Elian meletakkan cangkirnya di atas meja, perlahan, dengan tatapan yang mulai berubah tajam. “Saya dengar dari Pangeran Kaelian,” katanya tenang namun penuh maksud, “Bahwa Anda telah turun langsung ke lapangan, mencari beberapa pendukung, termasuk dari rakyat?” Caelium yang duduk bersandar pada sandaran kursinya ikut menurunkan cangkirnya. Suara cangkir beradu pelan dengan piring kecil porselen di bawahnya. “Benar sekali,” jawabnya tanpa ragu, lalu melirik Elian dengan pandangan yang kini jauh lebih dalam. “Beberapa bangsawan telah menyatakan kesediaan untuk mendukungku. Di antaranya Marquis Hestell, Lady Vierra dari Timur, dan tentu saja Lord Alland dari sel

  • Sisa Takdir   BAB 124

    Senja menggantung indah di langit Eldoria, mewarnai ruangan pertemuan dengan semburat keemasan yang temaram. Jendela-jendela tinggi berbingkai kaca patri membiaskan cahaya lembut yang menari di lantai marmer, menciptakan bayangan seperti lukisan yang bergerak perlahan. Aroma teh dan kudapan manis memenuhi udara, menghadirkan kenyamanan langka di tempat yang biasanya penuh tekanan politik. Caelium duduk dengan santai di kursi utama, menyilangkan kaki dan memandang keluar jendela sejenak sebelum menoleh ke Elian, yang duduk di sampingnya. Elian tampak ragu, tangan di pangkuannya diam, tatapannya masih canggung pasca pelukan mendadak tadi. Sementara itu, Ethan dan Caine berdiri di dekat sisi ruangan, namun atas permintaan Caelium sendiri, mereka ikut bergabung duduk di kursi kecil. Teko teh telah disiapkan di atas meja bundar, lengkap dengan berbagai kudapan yang tampaknya terlalu mewah untuk hanya empat orang. “Silakan, Ethan, Caine. Tidak perlu terlalu k

  • Sisa Takdir   BAB 123

    Langkah-langkah mereka bergema lembut di koridor marmer yang panjang. Pilar-pilar tinggi menjulang di sisi kiri dan kanan, dihiasi ukiran rumit khas kerajaan Eldoria garis-garis lengkung berkilau, seolah memantulkan kenangan yang tersembunyi di balik tiap lekuknya. Cahaya mentari sore menembus jendela kaca patri, menciptakan bayangan warna-warni di lantai, seakan mengantar mereka menuju takdir yang telah lama menunggu di ujung lorong. Elian menggenggam sisi jubahnya erat-erat. Bukan karena gugup setidaknya, bukan hanya karena itu. Detak jantungnya terasa terlalu keras, terlalu cepat, dan terlalu nyata. Seolah tubuhnya tahu, jauh sebelum pikirannya sempat menyadari, bahwa ini bukan pertemuan biasa. Ethan berjalan setengah langkah di belakangnya, seperti biasa menjaga jarak namun tetap waspada. Caine ada di sisi lain, matanya awas, tapi sesekali melirik ke arah Elian. Ia tahu betul, bukan bahaya dari luar yang sedang dihadapi Elian kali ini melainkan badai yang ber

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status