Beranda / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 2 AKHIR YANG TERLUPAKAN

Share

BAB 2 AKHIR YANG TERLUPAKAN

Penulis: Rayna Velyse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-09 12:14:30

Ruangan itu gelap dan pengap, seperti ruangan yang terkurung dalam waktu, semakin kedalam semakin tak setitik cahayapun. Tubuhnya bergetar berusaha untuk terus masuk kedalam, napas Elian memburu cepat. Dia bersandar pada dinding untuk menjaga keseimbangannya, berusaha keras untuk tetap terjaga melawan matanya yang kabur meminta untuk ditutup.

Setiap langkah Elian menambahkan beban di tubuhnya yang semakin lemah, dan rasa sakit di dadanya yang semakin mengganggu. Langkahnya kecil meninggalkan jejak air yang menetes dari pakaian lusuhnya yang basah.

“Elian…” suara berat memanggil dari sudut ruangan. Azrael, paman yang sangat Elian percaya dan yang seharusnya melindunginya, muncul dari sudut kegelapan. Wajahnya tersenyum licik memancarkan kemenangan yang tak terbantahkan.

Elian mengangkat kepalanya, meskipun tubuhnya hampir tidak sanggup lagi untuk bertahan.

“Elian, kau kembali?” kata Azrael dengan nada yang penuh dengan penghinaan. “Aku heran kau masih bisa berdiri dengan tubuh seperti itu. Aku kira seharusnya kau sudah mati sejak lama.” Senyumnya licik, menahan tawa.

Elian menegakkan tubuhnya, meski rasa sakit semakin menusuk dadanya. “Azrael..” Suara Elian serak, hampir tak terdengar. “Apa yang kau inginkan dariku?”

Azrael tersenyum, melangkah mendekat perlahan. Senyumannya penuh dengan kebohongan. “Kau tahu apa yang ku inginkan Elian,” katanya dengan suara lembut namun licik. “Aku ingin menjadi pewaris keluarga Silvercrest yang sejati, bukan kau yang lemah itu.”

Elian merasa dunia seakan berputar di sekelilingnya. Suaranya tercekat di tenggorokannya, tubuhnya seakan tak mampu lagi untuk berdiri “Apa maksudmu?” tanya Elian dengan suara yang bergetar.

Azrael mendekat, matanya menyala penuh kebencian. “Kau sudah melakukannya Elian. Kau sudah membunuh keluargamu sendiri,” katanya berbisik di telinga Elian, seperti menyampaikan sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari, “Ayahmu, Ibumu, Kakak-kakakmu. Bukankah kamu yang membunuhnya?”

Elian terdiam, kata-kata Azrael seperti pisau yang menusuk tepat di jantungnya, kenangan yang dia coba lupakan, tiba-tiba muncul kembali. Ayahnya, seorang pria bijaksana yang mengajarkannya tentang kehormatan. Ibunya, seorang wanita yang penuh kasih saying dan kelembutan. Kakak-kakaknya, mereka yang lebih tua dan selalu menjaganya, mereka yang lebih kuat, seharusnya merekalah yang mewarisi tahta keluarga Silvercrest. Semua itu lenyap dalam sekejap mata, terhapus oleh tangan Elian sendiri.

“Kau menipuku,” Elian berbisik, matanya memerah menahan genangan air mata yang siap tumpah. “Kau bilang mereka adalah musuh. Kau bilang mereka berkhianat. Kau bilang mereka menginginkan hidupku berakhir. Kau bilang aku harus membunuh mereka untuk bertahan.”

Azrael tertawa keras dengan puas, “Kau terlalu lemah Elian. Itu yang membuatmu mudah dipermainkan. Aku hanya menunjukkan jalan yang benar. Mereka yang lemah harus dihancurkan. Kau telah membunuh mereka untuk mewarisi tahta ini. Semua darah itu ada di tanganmu.”

Tangan Elian bergetar, dan bayangan masa lalu muncul di benaknya. Azrael, dengan kata-katanya yang meyakinkan, telah berhasil membuatnya percaya bahwa keluarganya adalah ancaman baginya. Ia dipaksa memilih antara keluarga maupun tahta. Dan dalam kebingunga dan kemarahanya yang membara, Elian telah mengambil keputusan itu. Dia membunuh ayahnya, ibunya, kakak pertamanya yang seharusnya menjadi ahli waris, dan bahkan kakak keduanya yang selalu mendukungnya. Semua itu dia lakukan untuk bertahan hidup. Semua itu, hanya karena Azrael memanipulasinya.

Namun sekarang, saat ini Elian menyadarinya betapa salahnya dia. Semua yang dia lakukan hanya menguntungkan bagi Azrael, yang sangat berambisi merebut tahta keluarga Silvercrest. Azrael merancang semuanya, menjadikan Elian sebagai alat untuk membunuh keluarganya, untuk mendapatkan tahta yang Azrael sangat idam-idamkan, tahta yang seharunya menjadi hak mereka.

“Aku sudah memanipulasimu sejak lama,” Azrael berkata dengan sinis “Kau adalah pion dalam permainanku, Elian. Aku tahu bahwa dengan membunuh mereka, aku bisa mengambil semuanya. Dan sekarang, kau tak lebih dari sekedar kenangan yang terhapus. Tak ada yang tersisa selain dirimu yang lemah.”

Air mata mengalir di pipi Elian, meskipun rasa sakit itu semakin dalam. Tubuhnya hampir tak bisa berdiri lagi, tetapi hatinya jauh lebih hancur “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Elian bertanya, suaranya penuh dengan penyesalan. “Mereka sudah mati… aku telah membunuh mereka, tanpa tahu kebenarannya.”

Azrael menatapnya dengan penuh kebencian “Tidak ada yang bisa kau lakukan sekarang. Keluargamu sudah mati, dan tahta ini akan menjadi miliku. Kau tak lebih dari pemuda rapuh yang tak bisa menentukan nasibmu sendiri.”

Elian tahu, dia tidak bisa melakukan apa-apa dengan tubuh lemahnya, bahkan mengangkat pedang saja dia tidak sanggup. Elian menatap tajam kearah Azrael, mata merahnya menyala. Elian menggigit bibirnya, mengerahkan kekuatan tubuhnya yang tersisa untuk bangkit. “Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan apa yang kau inginkan.”

Azrael hanya tertawa keras, “Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Azrael seraya mendekat mengusap rambut hitam Elian yang menutupi wajahnya. “Kau harus mati Elian.” Ucapnya dengan tersenyum licik.

Jleb…

Belati menancap tepat di jantung Elian, darah segar mengucur tak berhenti. Elian terbatuk memuntahkan darah, pandangannya mulai kabur. “Apakah seperti ini akhirnya?” ucap Elian dalam pikirannya.

Akhirnya Elian jatuh ke tanah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Rasa sakit semakin merasukinya, tubuhnya semakin melemah. Azrael berdiri dengan senyum puas diwajahnya.

“Jadi, ini akhirnya berakhir” kata Azrael, suaranya penuh dengan kemenangan.

Elian masih berusaha untuk menatap Azrael meski matanya kini memaksa untuk menutup, dia mengutuk Azrael dalam pikirannya. Tiba-tiba sebuah suara muncul entah dari mana.

“Ini belum selesai Elian. Kau akan kembali”

Dengan kata-kata itu, segala rasa sakit dan kelelahan menghilang. Dalam kegelapan yang menyelimuti, Elian merasa tubuhnya seakan hilang. Dia telah mati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Sisa Takdir   BAB 3 KESEMPATAN KEDUA

    Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.“Ini belum selesai…”Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian. “Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan”Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?”Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri.“Siapa kau?” piki

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Sisa Takdir   BAB 4 BAYANGAN KEHILANGAN

    Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.Kilas Balik.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Sisa Takdir   BAB 5 KEHENINGAN YANG MENGUATKAN

    Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Sisa Takdir   BAB 6 CAHAYA DI TENGAH KEGELAPAN

    Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Sisa Takdir   BAB 7 CAHAYA YANG MEMANDU

    Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk den

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Sisa Takdir   BAB 8 LANGKAH AWAL

    Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Sisa Takdir   BAB 9 JEJAK MASA LALU

    Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Sisa Takdir   BAB 10 PENYELIDIKAN ETHAN

    Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14

Bab terbaru

  • Sisa Takdir   BAB 131

    Langit senja menyambut kedatangan Elian dengan nuansa keemasan yang redup, seolah ikut menyimpan rindu yang lama tertahan. Saat kaki Elian menapaki pelataran depan kediaman Silvercrest, udara terasa lebih berat dari biasanya bukan karena kabut atau angin, melainkan karena kenangan yang tak terhindarkan. Rumah itu masih berdiri kokoh, tak berubah, tapi juga tak lagi sama. Pintu besar terbuka sebelum Elian sempat mengetuk. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Elian menghentikan langkahnya. “Kak Damien,” ucapnya pelan. Kakaknya menyambutnya dengan senyum kecil yang hangat namun canggung, seperti seseorang yang ingin memeluk, tapi tidak tahu apakah itu akan menyakiti atau menenangkan. “Kau akhirnya pulang,” kata Damien. “Bagaimana perjalananmu?” Elian mengangguk kecil. “Cukup tenang… tidak ada gangguan.” Dan seperti yang sudah bisa diduga, pertanyaan berikutnya menyusul cepat. “Bagaimana keadaan pangeran ketiga?

  • Sisa Takdir   BAB 130

    Keheningan yang menggantung di dalam kereta kuda itu seperti kabut pekat yang tak kunjung surut. Roda kereta terus berputar, melewati jalan berbatu dan hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Matahari bersinar menampakkan diri di balik pepohonan, mengguratkan cahaya pucat di tanah basah. Di dalamnya, Elian duduk dengan tubuh tegak namun kaku, matanya menatap kosong pada jendela kaca yang sedikit berembun. Ethan duduk di seberangnya, diam. Tak ada suara selain derap kuda yang berlari perlahan dan dentingan besi yang bergesekan ringan. Mereka sama-sama terdiam, enggan memulai percakapan. Akhirnya, Ethan membuka mulut lebih dulu. "Apakah Anda tidak takut, Tuan ?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pertanyaan itu, sesederhana apa pun terdengar, membuat bahu Elian menegang secara refleks. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, tapi tangannya kini menggenggam lututnya dengan kuat, jari-jarinya gemetar halus. ‘Takut?’ Kata

  • Sisa Takdir   BAB 129

    Langit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m

  • Sisa Takdir   BAB 128

    Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah. Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na

  • Sisa Takdir   BAB 127

    Rumah itu sunyi, seperti napas terakhir yang tertahan di kerongkongan. Berdiri di tengah hutan yang lembap dan berkabut, bangunannya dari kayu tua yang mulai menghitam, seolah menyerap semua penderitaan yang pernah terjadi di dalamnya. Setiap ruangan dipagari besi, menjadikannya bukan sekadar rumah, tapi penjara bagi mereka yang menjadi korban manusia yang tubuhnya belum sepenuhnya berubah menjadi monster. Jeruji besi terpasang di setiap sisi, dengan simbol pengunci sihir tertulis di atasnya. Di balik masing-masing pagar, sosok-sosok duduk termenung, menggigil dalam diam. Mata mereka masih menyala dengan kesadaran, meski tubuh mereka telah diliputi tanda-tanda kutukan. Sebagian tubuhnya bersisik, yang lain berurat hitam, namun semua masih bernafas sebagai manusia. Kaelian berjalan melewati lorong kayu itu, langkahnya pelan tapi penuh ketegangan. Ia membawa gulungan-gulungan kertas dan buku catatan yang lusuh, berisi puluhan formula sihir yang telah ia uji coba se

  • Sisa Takdir   BAB 126

    Malam telah datang. Cahaya bulan menyelinap redup di balik tirai tebal. Di luar, angin berembus pelan, mengayun pucuk-pucuk pohon dan menyapu rerumputan yang terdiam dalam dingin. Kediaman Pangeran Caelium terasa tenang, terlalu tenang. Elian berdiri di balik jendela, menatap keluar dengan mata yang kosong. Malam ini tidak hanya gelap di luar. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya, menggelayut seperti kabut. “Kau akan menginap di sini,” kata Caelium tiba-tiba, memecah keheningan. Elian tidak menoleh. “Aku tahu. Tak aman untuk keluar malam ini.” “Kau juga merasa ada yang tidak beres?” Elian mengangguk pelan. “Seolah… sesuatu sedang menunggu,” gumamnya. Caelium berjalan santai ke meja dan menuang dua cangkir teh hangat. Diberikannya satu pada Elian yang masih berdiri di depan jendela. “Duduklah,” ucapnya lembut. “Tak ada gunanya kau menyiksa dirimu sendiri malam ini.” Elian akhirnya berpaling dan d

  • Sisa Takdir   BAB 125

    Setengah roti di piring itu hampir habis ketika percakapan mereka perlahan memasuki arah yang lebih serius. Awalnya hanya obrolan ringan tentang angin musim semi yang mulai membawa harum bunga, lalu beralih pada keadaan dapur istana yang anehnya kini selalu ramai saat malam. Tapi semua berubah saat Elian meletakkan cangkirnya di atas meja, perlahan, dengan tatapan yang mulai berubah tajam. “Saya dengar dari Pangeran Kaelian,” katanya tenang namun penuh maksud, “Bahwa Anda telah turun langsung ke lapangan, mencari beberapa pendukung, termasuk dari rakyat?” Caelium yang duduk bersandar pada sandaran kursinya ikut menurunkan cangkirnya. Suara cangkir beradu pelan dengan piring kecil porselen di bawahnya. “Benar sekali,” jawabnya tanpa ragu, lalu melirik Elian dengan pandangan yang kini jauh lebih dalam. “Beberapa bangsawan telah menyatakan kesediaan untuk mendukungku. Di antaranya Marquis Hestell, Lady Vierra dari Timur, dan tentu saja Lord Alland dari sel

  • Sisa Takdir   BAB 124

    Senja menggantung indah di langit Eldoria, mewarnai ruangan pertemuan dengan semburat keemasan yang temaram. Jendela-jendela tinggi berbingkai kaca patri membiaskan cahaya lembut yang menari di lantai marmer, menciptakan bayangan seperti lukisan yang bergerak perlahan. Aroma teh dan kudapan manis memenuhi udara, menghadirkan kenyamanan langka di tempat yang biasanya penuh tekanan politik. Caelium duduk dengan santai di kursi utama, menyilangkan kaki dan memandang keluar jendela sejenak sebelum menoleh ke Elian, yang duduk di sampingnya. Elian tampak ragu, tangan di pangkuannya diam, tatapannya masih canggung pasca pelukan mendadak tadi. Sementara itu, Ethan dan Caine berdiri di dekat sisi ruangan, namun atas permintaan Caelium sendiri, mereka ikut bergabung duduk di kursi kecil. Teko teh telah disiapkan di atas meja bundar, lengkap dengan berbagai kudapan yang tampaknya terlalu mewah untuk hanya empat orang. “Silakan, Ethan, Caine. Tidak perlu terlalu k

  • Sisa Takdir   BAB 123

    Langkah-langkah mereka bergema lembut di koridor marmer yang panjang. Pilar-pilar tinggi menjulang di sisi kiri dan kanan, dihiasi ukiran rumit khas kerajaan Eldoria garis-garis lengkung berkilau, seolah memantulkan kenangan yang tersembunyi di balik tiap lekuknya. Cahaya mentari sore menembus jendela kaca patri, menciptakan bayangan warna-warni di lantai, seakan mengantar mereka menuju takdir yang telah lama menunggu di ujung lorong. Elian menggenggam sisi jubahnya erat-erat. Bukan karena gugup setidaknya, bukan hanya karena itu. Detak jantungnya terasa terlalu keras, terlalu cepat, dan terlalu nyata. Seolah tubuhnya tahu, jauh sebelum pikirannya sempat menyadari, bahwa ini bukan pertemuan biasa. Ethan berjalan setengah langkah di belakangnya, seperti biasa menjaga jarak namun tetap waspada. Caine ada di sisi lain, matanya awas, tapi sesekali melirik ke arah Elian. Ia tahu betul, bukan bahaya dari luar yang sedang dihadapi Elian kali ini melainkan badai yang ber

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status