Beranda / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 1 JEJAK YANG TERHAPUS

Share

Sisa Takdir
Sisa Takdir
Penulis: Rayna Velyse

BAB 1 JEJAK YANG TERHAPUS

Penulis: Rayna Velyse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-08 21:50:43

Hujan deras mengguyur kota tua dengan derasnya. Jalan bebatuan basah memantulkan cahaya lentera yang tergantung disepanjang jalan. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Di tengah hiruk pikuk pasar malam yang hampir tutup, seorang pemuda berdiri dibawah naungan bayangannya, nyaris tak terlihat.

Dia adalah Elian, putra bungsu keluarga Silvercrest keluarga terhormat yang kini hanya menjadi dongeng di antara rakyat jelatah. Tubuhnya kurus, hampir terlihat rapuh, dengan wajah pucat yang kontras dengan gelapnya malam. Pakaiannya lusuh dan basah kuyup, menempel erat di tubuhnya yang tidak bertenaga. Namun, dibalik penampilannya yang lemah, ada tatapan tajam dari mata merahnya yang menyala, seperti api yang menolak untuk padam.

Langkah-langkahnya pelan dan tidak stabil, ketika dia melewati pasar malam yang hampir sepi. Lentera-lentera yang tergantung bergoyang tertiup angin, memberikan gambaran sekilas bayangan kondisi tubuhnya yang jauh dari sempurna.

“Kenapa kau masih disini, anak muda?” suara serak seorang pedagang tua terdengar dari salah satu gerobak kecil yang hampir kosong.

Elian menoleh perlahan, matanya menangkap sosok pria berusia paruh baya di balik sebuah gerobak kecil yang hampir kosong. Wajah pria itu tampak letih, tetapi ada kehangatan samar dalam pandangannya.

Elian tersenyum, tangannya yang bergetar merogoh sakunya , memperlihatkan koin perak yang memantulkan cahaya remang-remang. “Aku hanya butuh sesuatu untuk bertahan malam ini,” katanya pelan, hampir tidak terdengar di antara hujan yang berderai.

Pedagan itu menatap tubuh kurus dan pucatnya, lalu menyerahkan sepotong roti keras. “Kau harus menjaga dirimu,” Gumannya. “Kau terlihat seperti angin saja bisa menjatuhkanmu kapanpun."

Elian menerima roti itu dengan tangan yang gemetar dan tersenyum tipis "Terimakasih". Dengan roti ditangan, dia melangkah pergi meninggalkan pasar yang semakin sunyi. Setiap langkahnya sebuah perjuangan untuknya. Bayangan panjang mengikutinya seperti teman setia, meski terasa sepi dan dingin.

Hujan terus mengguyur tubuhnya yang ringkih, membuat dinginya meresap hingga ke tulang. Di balik keremangan kota, ada sesuatu yang bergetar dihatinya, sebuah ingatan yang tak ingin dia hadapi. Wajah-wajah masa lalu muncul dibenaknya, bersama dengan bisikan yang terus menyiksa pikirannya.

“Kau seharusnya mati Elian. Kau bahkan tak pantas hidup."

Dia mengepalkan tangan, kuku-kukunya menancap dalam di kulit telapak tangannya sendiri. Tidak, dia tidak akan menyerah. Elian menolak untuk mempercayai kata-kata itu. Takdirnya belum selesai, tidak sampai dia membalas semua luka yang pernah ditorehkan. Tidak sampai dia menebus penyesalan yang menghantuinya setiap malam.

Langkahnya membawa dia ke gang sempit ujung kota tempat yang gelap dan nyaris terlupakan, tempat segala yang hanya dikenal oleh mereka yang menyembunyikan dosa. Bau apak dan tanah basah menyambutnya. Di sana, dia diam di sebuah pintu tua berdiri, kayunya using dan tertutup rapat, dengan simbol yang familiar terukir di permukaannya.

Elian berhenti sejenak, mengamati ukiran simbol itu dengan mata yang menyipit. Hujan mengalir deras diwajahnya, tapi simbol itu tetap jelas. Lingkaran kasar dengan garis bersilangan ditengah, tanda yang tampak bisa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi Elian, itu adalah jejak penghianatan.

Jantungnya berdegup keras. Tangannya terulur, menyentuh permukaan pintu kayu yang dingin dan basah. Sentuhannya membuat ingatan-ingatan lama muncul, seperti potongan-potongan gambar yang buram. Dia bisa melihat wajah-wajah itu lagi orang-orang yang dia pikir bisa dipercaya. Senyum mereka yang hangat, janji-janji yang mereka buat, dan pada akhirnya, penghianatan yang tak termaafkan. Di balik kayu basah ini, segalanya dimulai. Di tempat ini, dia kehilangan segalanya.

Elian menutup matanya menarik napasnya dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. Jantungnya berdegup kencang, “Ini hanya permulaan,” Gumannya. Suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh hujan. Dengan dorongan kecil, pintu itu mulai terbuka, mengungkapkan kegelapan pekat yang menunggunya di dalam.

Pintu itu bergeser perlahan, mengungkapkan kegelapan pekat yang menunggu didalam. Di balik pintu itu, udara terasa lebih dingin, seolah-olah malam itu sendiri menolak untuk menyentuh tempat ini. Namun, Elian tidak mundur. Dia melangkah masuk, membiarkan kegelapan menyelimuti dirinya sepenuhnya.

Bab terkait

  • Sisa Takdir   BAB 2 AKHIR YANG TERLUPAKAN

    Ruangan itu gelap dan pengap, seperti ruangan yang terkurung dalam waktu, semakin kedalam semakin tak setitik cahayapun. Tubuhnya bergetar berusaha untuk terus masuk kedalam, napas Elian memburu cepat. Dia bersandar pada dinding untuk menjaga keseimbangannya, berusaha keras untuk tetap terjaga melawan matanya yang kabur meminta untuk ditutup. Setiap langkah Elian menambahkan beban di tubuhnya yang semakin lemah, dan rasa sakit di dadanya yang semakin mengganggu. Langkahnya kecil meninggalkan jejak air yang menetes dari pakaian lusuhnya yang basah.“Elian…” suara berat memanggil dari sudut ruangan. Azrael, paman yang sangat Elian percaya dan yang seharusnya melindunginya, muncul dari sudut kegelapan. Wajahnya tersenyum licik memancarkan kemenangan yang tak terbantahkan.Elian mengangkat kepalanya, meskipun tubuhnya hampir tidak sanggup lagi untuk bertahan.“Elian, kau kembali?” kata Azrael dengan nada yang penuh dengan penghinaan. “Aku heran kau m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Sisa Takdir   BAB 3 KESEMPATAN KEDUA

    Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.“Ini belum selesai…”Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian. “Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan”Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?”Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri.“Siapa kau?” piki

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Sisa Takdir   BAB 4 BAYANGAN KEHILANGAN

    Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.Kilas Balik.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Sisa Takdir   BAB 5 KEHENINGAN YANG MENGUATKAN

    Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Sisa Takdir   BAB 6 CAHAYA DI TENGAH KEGELAPAN

    Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Sisa Takdir   BAB 7 CAHAYA YANG MEMANDU

    Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk den

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Sisa Takdir   BAB 8 LANGKAH AWAL

    Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Sisa Takdir   BAB 9 JEJAK MASA LALU

    Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13

Bab terbaru

  • Sisa Takdir   BAB 78

    Setelah keributan yang terjadi di aula utama, Caelum mengajak mereka untuk berdiskusi di kamar pribadinya. Udara malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa serta keheningan yang mencekam setelah insiden yang baru saja terjadi. Sisa aroma darah samar masih terasa, bercampur dengan hawa lembap yang menyusup hingga ke tulang. Di luar, suara burung malam sesekali terdengar, tetapi di dalam ruangan ini, tidak ada yang berbicara lebih dulu. "Silakan duduk di mana pun kalian merasa nyaman," ujar Caelum santai. "Mari kita lupakan status kita sejenak." Tanpa ragu, ia merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di tengah ruangan. Gerakannya tampak santai, namun sorot matanya tajam, memperlihatkan bahwa pikirannya tengah bekerja. "Apa kau merekamnya, Gavier?" tanyanya, melirik ajudannya yang berdiri di dekat pintu. Gavier mengangguk, mendekat, dan menyerahkan sebuah bola perekam kepada Caelum. Sang pangeran menerimanya d

  • Sisa Takdir   BAB 77

    Rotherham menatap terkejut, matanya tertuju pada tangan Caelum yang tampak normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, keterkejutan itu segera tergantikan oleh seringai licik yang perlahan muncul di wajahnya. "Menarik," gumamnya, sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung membentuk seringai tipis, tetapi di baliknya ada jejak ketegangan halus seperti binatang yang sadar dirinya sedang diawasi oleh pemangsa lain. Rotherham melangkah mendekat, seolah ingin memastikan sesuatu, tetapi Caelum tidak bergerak mundur sedikit pun. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, ada ketegangan yang tak kasat mata, seperti dua binatang buas yang saling menilai lawan. Caelum menurunkan tangannya, ekspresinya tetap dingin, tetapi matanya berkilat tajam. Ia tidak suka permainan ini, tetapi jika Rotherham ingin bermain, maka ia akan memastikan permainan itu berakhir dengan kekalahan lawannya. "Mari kita lihat sampai kapan Anda bisa menyembunyikannya, P

  • Sisa Takdir   BAB 76

    Ruang pesta yang sebelumnya dipenuhi oleh kemewahan kini telah berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Permadani merah tua yang biasanya membentang dengan megah di lantai kini terkoyak, seperti luka menganga di tubuh yang tak bisa dijahit kembali. Noda anggur yang mengering menciptakan semburat gelap, bercampur dengan pecahan kaca dari gelas-gelas kristal yang terlempar dalam kekacauan. Bau alkohol menyengat, bercampur dengan aroma darah samar yang entah berasal dari siapa. Meja-meja besar yang seharusnya dipenuhi dengan hidangan lezat kini berserakan, beberapa terbalik dengan makanan yang berceceran, menciptakan aroma yang bercampur antara harum daging panggang dan bau anyir dari sesuatu yang tidak seharusnya ada di perjamuan kerajaan. Lilin-lilin yang seharusnya menerangi ruangan dengan cahaya temaram, kini bergoyang-goyang, beberapa di antaranya telah padam akibat hantaman atau angin yang masuk dari jendela yang pecah. Tirai sutra yang tergantung di pilar

  • Sisa Takdir   BAB 75

    Gavier melompat ke samping, menghindari cakar tajam monster itu yang menghantam lantai hingga retak. Serangan makhluk itu brutal dan tak terduga, setiap gerakannya dipenuhi dengan kekuatan liar yang mengerikan. Dengan kecepatan luar biasa, ia kembali menerjang, tetapi Gavier sudah lebih dulu bergerak, menghindar ke belakang sembari menebaskan pedangnya ke sisi tubuh makhluk itu. Namun, seperti sebelumnya, luka yang ia buat segera menutup. Monster itu hanya menggeram marah dan berbalik dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari yang seharusnya bisa dilakukan makhluk sebesar itu. "Tidak ada gunanya menyerang secara biasa!" seru Gavier sambil melompat mundur. Ronan mengangguk, tangannya menggenggam pedang erat-erat. Cahaya merah semakin terang di bilah pedangnya, energi sihir mengalir dengan intensitas yang terus meningkat. Api mulai merambat dari gagang ke ujung bilahnya, berkobar dengan ganas, seolah merespons niat membunuh yang mulai tumbuh dalam dirinya

  • Sisa Takdir   BAB 74

    Gavier dengan sigap meraih pedang Caelum yang terselip di sarungnya, lalu melemparkannya ke arah sang pangeran. Caelum menangkapnya dengan mudah, menggenggam gagang pedang dengan mantap, seolah sudah siap menghadapi apa pun yang akan datang. Di sisi lain, Ronan mengamati seorang prajurit yang tergeletak dengan luka di bahunya. Ia menunduk, meraih pedang prajurit itu, lalu berdiri tegak. Napasnya sedikit berat, tetapi sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. "Kau jangan jauh-jauh dariku," ujar Ronan kepada Elian. Suaranya tegas, tak terbantahkan. Elian hanya bisa mengangguk. Ia tahu betapa serius situasinya. Namun sebelum ada yang sempat bergerak lebih jauh, seorang pelayan tiba-tiba masuk ke ruangan dengan langkah tergesa. Tangannya gemetar saat mengacungkan belati di udara. Mata Elian membelalak. Itu pelayan yang ia lihat sebelumnya! Yang membawa belati di antara kerumunan. "Ma… maafkan saya…" suara pelayan itu terdengar bergetar, pe

  • Sisa Takdir   BAB 73

    Elian masih berada di dekat Caelum, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Perlahan, Gavier mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Caelum. Senyum menyeringai muncul di wajahnya, seolah menyimpan sesuatu yang hanya ia dan Gavier ketahui. Caelum mendekatkan wajahnya ke arah Elian, menatapnya dengan intens. Matanya yang tajam seolah menyelami pikirannya, mencoba membaca ekspresi Elian yang tetap tenang di permukaan. "Nampaknya pesta akan segera dimulai, Tuan Elian. Saya harap Anda berkenan tetap berada di sisi saya," ucapnya dengan senyum yang sulit diartikan. Nada suaranya terdengar santai, tetapi ada sesuatu yang ganjil di sana. Bukan sekadar undangan biasa, melainkan peringatan terselubung. Elian merasakan bulu kuduknya meremang. Elian menoleh, hendak bertanya maksud perkataan itu, tetapi ekspresi marah di wajah Caelum membuatnya terkejut. Sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan melihat Pangeran Kedua yang juga tengah menyeringai menata

  • Sisa Takdir   BAB 72

    Elian menukar gelas anggurnya dengan jus jeruk, mengangkatnya perlahan sebelum meneguknya. Rasa asam manis menyegarkan tenggorokannya, berbeda dengan rasa anggur yang sering kali membuat kepalanya sedikit pening. Ia melangkah menjauh dari Ronan dan Damien yang masih sibuk bercakap-cakap dengan para bangsawan lain. Pembicaraan mereka terdengar penuh pujian di permukaan, namun Elian tahu betul bahwa di balik senyuman itu, masing-masing dari mereka menyimpan pisau tajam yang siap ditusukkan ke punggung satu sama lain. Ia berjalan ke meja hidangan, mengambil sepotong kue dan menggigitnya perlahan. Matanya menyapu ruangan dengan penuh kehati-hatian, mengamati setiap orang yang hadir. Pesta ini adalah tempat yang tepat bagi para bangsawan untuk mempertontonkan kepalsuan mereka, mempererat aliansi sementara, dan menyusun strategi baru untuk menjatuhkan lawan. Elian mengganti gelas kosongnya dengan gelas jus jeruk yang baru sebelum melangkah ke arah balkon. Angin malam yang berhem

  • Sisa Takdir   BAB 71

    Elian berdiri di depan cermin besar di kamarnya, merapikan stelan putih yang ia kenakan malam ini. Warna cerah itu semakin menonjolkan kontras dengan rambut hitam pekatnya dan mata merahnya yang seperti bara api. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Malam ini adalah malam penting. Bukan hanya karena pesta ini akan dihadiri oleh para bangsawan dari berbagai kerajaan, tetapi juga karena keluarga kerajaan Eldoria akan hadir lengkap. Di belakangnya, Ronan dan Damien sudah siap dengan pakaian resmi mereka. Kakak-kakaknya tidak menanyakan apa pun tentang pembicaraannya dengan Pangeran Ketiga tadi siang. Mungkin karena mereka tahu Elian tidak akan memberikan jawaban yang jelas, atau mungkin mereka hanya memilih untuk tidak membahasnya. "Ayo pergi," kata Ronan, menyeringai kecil sebelum berjalan lebih dulu. Damien mengikuti di belakangnya, sementara Elian mengambil langkah terakhir untuk meninggalkan kamarnya. Saat mereka tiba di aula pest

  • Sisa Takdir   BAB 70

    Elian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Pertemuan singkat dengan Azrael meninggalkan ketegangan yang sulit diabaikan, tetapi ia tetap harus bersikap wajar. Dengan sedikit membungkuk kepada Caelum, ia berbicara dengan nada tenang. "Mohon maaf, Yang Mulia. Saya mohon undur diri terlebih dahulu, saya harus bersiap untuk pesta malam ini. Terima kasih atas waktunya." Caelum menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Tentu. Aku akan melihatmu di pesta nanti." Elian memberikan senyum tipis sebelum berbalik dan berjalan menjauh. Saat sosoknya menghilang di balik lorong, Caelum menghela napas pelan dan melirik ke arah Gavier yang berdiri di sisinya. Dengan suara rendah, ia bertanya, "Bagaimana?" Gavier melangkah lebih dekat dan berbicara pelan agar hanya Caelum yang mendengarnya. "Saya tidak merasakan mana dalam tubuh Tuan Elian." Caelum menyeringai, matanya berkilat dengan minat yang lebih dalam. "Benarkah? Apa

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status