Axel berpikir bisa mendengarkan pikiran orang lain saat menyentuh tangan mereka adalah suatu hal yang menyiksa. Ia bahkan lebih memilih bekerja sebagai pegawai perpustakaan daripada bekerja di perusahaan besar agar terhindar dari keharusan berinteraksi dengan mereka. Suatu hari tiba-tiba kedua orang tuanya menghilang. Ia dan adik perempuannya yang mencari mereka justru berakhir di tempat yang tidak pernah mereka bayangkan. Sebuah dunia penuh peri dan sihir. Disana, mau tidak mau kemampuannya harus digunakan. Karena tidak semua peri yang mereka temui cantik dan lucu seperti dalam dongeng.
View MoreDeruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete
“Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be
Perjalanan kami berlangsung dengan lancar tanpa kendala yang berarti sampai akhirnya kami sampai di bawah kaki Bukit Sunji. Aku menengadahkan kepala memandang jalur curam berkelok-kelok yang akan membawa kami ke pintu masuk Kerajaan Dharana.“Pintu masuk Dharana ada di atas sana.” Kataku pada Esen yang berkuda di sampingku.“Jadi disana yang namanya Celah Sunji?” Tanyanya. Aku mengangguk.“Kita langsung saja. Istirahatnya nanti saat kita sudah melewati celah Sunji.” Kata Lynx yang berada di barisan paling depan.“Baik.” Kami menjawab serempak. Lynx mempercepat langkah kudanya. Kami mengikutinya dan melakukan hal yang sama.Aku masih ingat betapa terjalnya jalan setapak Bukit Sunji dan betapa kerasnya angin yang berhembus di samping kami saat kami berjalan. Dulu kami sampai tidak bisa berjalan dengan tegak. Selain karena terjalnya jalan, angin yang keras seakan memanggil kami untuk terjun bebas. Ditambah lagi kami harus menuntun Misu dan Tashi. Sungguh bukan perjalanan mudah.Tapi kali
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua
“Kau tidak apa-apa?” Esen menatapku penuh kekhawatiran saat akhirnya aku menarik tanganku dari wajah. “Seharusnya.” Aku menjawab dengan ragu. Kami berdua terdiam lagi hingga cukup lama. “Jadi kau bisa mendengarkan pikiranku tadi?” “Sepertinya.” “Tapi bagaiimana caranya? Kan kita tidak saling bersentuhan.” “Aku juga tidak tahu. Ini tidak seperti biasanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus berusaha berpikir jernih. “Apa yang kau lakukan tadi saat aku mendengar pikiranmu?” “Aku memeriksa bekas cakaran di dahan pohon.” “Bagaimana tepatnya kau memeriksanya?” “Aku menyentuhnya.” Dan dengan kompak kami saling pandang. “Tidak mungkin.” Aku masih tidak percaya. “Sepertinya begitu.” Kata Esen sambil mengangguk meyakinkan. “Tapi,” “Bagaimana kalau kita coba lagi?” “Ha?” Esen meletakkan tangannya di batang pohon tadi. “Coba tebak apa yang aku pikirkan.” Aku memandangnya memastikan ke kesungguhannya. Ia mengangguk menyemangatiku. “Tidak ada salahnya mencoba bukan?” Ben
Aku mengulurkan tangan menyentuh batang pohon yang berkulit kasar dan berbenjol di sana sini. Ada getah setengah kering yang merembes dari tiga buah sayatan agak dalam yang posisinya tidak lebih tinggi sedikit dari mataku. Mungkin cakaran hewan. Dengan posisi setinggi ini artinya hewannya besar. Semoga aku tidak perlu bertemu dengannya hari ini.Aku kembali meraba dan merasakan permukaan kasar dibawah jemariku. Dengan tangan masih menempel di batang pohon, aku menutup mata mencoba mendengarkan sekitarku.Telinga dan benakku menangkap bunyi yang sama. Desau angin, bunyi gesekan dedaunan yang menenangkan serta bunyi serangga dan bermacam kicau burung yang berbeda-beda. Bebunyian khas musim panas.Aku berusaha berkonsentrasi lebih dalam dan berusaha mengacuhkan bebunyian yang kudengar di telingaku. Namun tidak ada perubahan. Yang kudengar masih sama. Tidak ada suara lain.Aku mendesah dan berjalan ke pohon yang lain. Lalu mengulangi usahaku sebelumnya. Aku bisa merasakan matahari yang s
“Huh, dasar Ibu.” Gerutuku.Aku berjalan cepat sambil menghentakkan kaki di setiap langkah. Tanganku menyingkirkan dahan, ranting dan daun yang sesekali menutupi jalanku dengan kesal. Kususuri jalan setapak di hutan kecil di belakang rumah Nenek dan berjalan menuju danau yang ada di sisi lain hutan.Ibu menyembunyikan komikku. Lagi. Kata ibu aku harus melakukan kegiatan di luar rumah daripada membaca komik. Padahal aku baru saja membeli komik edisi terbaru.Apa ibu tidak tahu hari ini panas sekali? Kenapa aku harus bermain di luar sih.Aku terus menggerutu sambil berjalan tak tentu arah. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku mencapai ujung tanah yang kupijak. Di bawah sana, terhampar danau Emrys yang airnya terlihat biru, tenang dan berkilaun.Kesal, kutendang keras-keras batu di dekat kakiku sampai terlontar jauh. Batu-batu kerikil di sekitarnya ikut bergulir jatuh. Kuhentakkan kakiku dan berbalik hendak per...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments