Share

Bab 2

Author: Dew Miller
last update Last Updated: 2021-10-02 00:24:42

Ren menuruni tangga dengan cepat saat di tiga anak tangga terakhir tiba-tiba tangga sedikit oleng. Tangan Ren serabutan mencari pegangan. Aku berlari di saat yang tepat saat dia hampir jatuh dan menyambar tanganku.

"Oh, no, no."

Aku mengerang saat kepalaku tiba-tiba berdengung setelah memegang tangan Ren. Sebelum dengung itu berubah menjadi sebuah suara yang jelas buru-buru kutarik tanganku. Namun tetap saja potongan-potongan pikiran Ren berhasil merembes ke dalam kepalaku.

"Hampir.... Asuransi.... Axel"

Kugoyang keras-keras kepalaku untuk mengusir potongan-potongan suara dalam benak Ren.

Ren menjejakkan kakinya lalu melotot kepadaku.

"Hei! Apa tanganku ini ada pakunya sampai kamu begitu buru-buru menarik tanganmu? Aku hampir mati, tahu!"

"Maaf, aku hanya tidak ingin kamu memiliki rasa yang lebih setelah aku sentuh."

“Sialan. Kamu bukan tipeku!"

Ren tertawa sambil meninju lenganku. Aku meringis.

"Terimakasih. Hampir saja." Lanjutnya. Aku mengangguk.  

Kuperhatikan tangga yang hampir membawa malapetaka tadi. Salah satu kaitnya lepas. Sepertinya sebelumnya tidak terpasang dengan benar. Kupasang kembali kaitnya dan kupastikan terkunci sempurna.

"Makan siang dimana kita nanti?" Tanyaku pada Ren.

"Aku harus ke kantor asuransi. Asuransiku tidak bisa digunakan sejak beberapa waktu lalu."

"Untung kamu tidak  jatuh." Komentarku setelah teringat pikiran Ren yang berhasil merembes ke benakku tadi.

"Yap. Untung saja."

"Tapi walaupun asuransimu tidak bermasalah, bagaimanapun jatuh tidak ada untungnya sama sekali, Ren."

"Yang bilang tadi kan kamu, Axel."

"Ah, iya ya." Kugaruk belakang kepalaku. Ren geleng-geleng lalu berbalik badan dan berjalan ke mejanya.

"Tapi, kamu ini benar-benar menjengkelkan. Bahkan disaat genting kamu masih tidak mau memegang tanganku."

"Hei, tadi kan aku pegang, Ren."

"Cuma sebentar. Lalu langsung kamu lepaskan."

Ren menggelengkan kepalanya.

"Ada apa sih denganmu dan penyakitmu yang tidak mau bersentuhan dengan orang lain itu?"

Kuangkat bahuku berlagak acuh.

"Aku hanya tidak ingin ketampananku luntur dan berpindah ke orang lain karena bersentuhan dengan mereka."

"Ya Tuhan!"

Ren menepuk keningnya lalu meremas selembar kertas dan melemparnya padaku.

"Kamu tidak setampan itu, tahu. Mengacalah sedikit.”

“Sudahlah, tidak perlu iri." kataku sambil tertawa terbahak-bahak lalu meninggalkannya guna menghindari pembicaraan lebih panjang mengenai keenggananku bersentuhan dengan orang lain.

Aku tidak mungkin kan bilang pada Ren kalau aku bisa mendengar pikirannya saat aku menyentuhnya.Kalau sampai Ren tahu, bisa-bisa dia langsung kabur tanpa menoleh dan menganggap pertemanan kami selama ini tidak pernah terjadi.

Sudah cukup aku dianggap aneh karena tidak mau bersentuhan dengan mereka. Tidak perlu menambah predikat anehku dengan penguping atau tukang korek rahasia dengan membiarkan orang lain tahu kemampuanku.

Cukup Noah satu-satunya orang di luar keluargaku yang tahu tentang kemampuanku ini.

Related chapters

  • Penjelajah Benak   Bab 3

    "Axel, mana umpannya? “ Noah berseru padaku.Aku buru-buru berlari mendekatinya sambil membawa ember kecil berisi cacing yang tadi diserahkan Simon, pelayan Noah, sebelum kami berangkat. Noah menengadahkan tangannya, aku meletakkan cacing di tangannya. Tapi cacing yang masih hidup itu menggeliut di tangan Noah. Panik, kutangkupkan tanganku di tangan Noah mencegah si cacing kabur.Dengungan yang familiar seketika memenuhi kepalaku. Tapi tidak ada satu patah katapun menyusul setelah dengungan itu. Aku menatap Noah heran.“Ada apa? “Menyadari aku yang sedang memperhatikannya Noah menghentikan kesibukannya. Kali ini suaranya terdengar jelas baik di kepala maupun di telingaku. Aku menggeleng. Tapi tidak kulepas tanganku yang sedang memegang tangan Noah. Terdengar dengung lagi kali ini. Tapi tetap tidak ada satu katapun yang berhasil aku tangkap.“Sampai kapan kamu mau memegang tanganku?” Tanya Noah sambil menatap tajam pad

    Last Updated : 2021-10-02
  • Penjelajah Benak   Bab 4

    Aku menelusuri jalan kecil di samping perpustakaan menuju area pertokoan dan restaurant yang berada beberapa blok di belakangnya. Jalan Maple di belakang perpustakaan adalah kawasan yang terkenal dengan restaurant dan café berdesain interior unik dan makanannya yang enak. Karena Ren sedang pergi mengurus asuransinya, untuk siang ini aku harus mencari makan siang sendirian.Ada sebuah café mungil bercat mint yang baru buka. Kubaca papan tulis berisi menu yang ada di luar café saat kulihat sosok yang aku kenal berjalan keluar dari dalam café.“Noah.”Noah mengangkat kepalanya dari handphone yang diutak atiknya sambil berjalan.“Axel. Sedang apa kamu disini? ““Aku mencari makan siang. “Noah menatap papan menu yang ada di hadapanku.“Cream soup dan garlic bread-nya enak.”“Burgernya? ““Mau coba? &ldq

    Last Updated : 2021-10-02
  • Penjelajah Benak   Bab 5

    “Wah, deras sekali.” Gumamku.Belum separuh jalan aku menuju perpustakaan dan Noah menuju tempat ia memarkir mobilnya saat hujan tiba-tiba turun dengan deras dan memaksa kami harus berteduh di teras sebuah toko. Kukibaskan rambutku dan kutepuk-tepuk bajuku yang basah. Noah disampingku melakukan hal yang sama dengan wajah masam. Kami lumayan basah walau hanya kehujanan sebentar.“Sepertinya langit punya dendam dengan kita. Setelah beberapa hari tidak hujan, air hujannya seperti ditumpahkan semuanya siang ini. “Aku mengangguk setuju. Setelah beberapa hari terakhir kami dibuat terlena dengan sinar matahari yang memancar cerah dan hangat, hari ini langit sepertinya memang sedang melakukan aksi balas dendam. Kupandangi jalanan di depanku yang terlihat seperti lukisan surealis karena hampir tidak nampak bentuknya tertutup air hujan yang turun dengan deras.“Meskipun pakai payung, kita tetap akan basah kuyup denga

    Last Updated : 2021-10-02
  • Penjelajah Benak   Bab 6

    "Selamat malam.”Simon menyapaku begitu pintu terbuka. Mau tidak mau aku sedikit terkejut. Tidak menyangka Simon akan ada di apartemen Noah. Sejak pindah di apartemen dan hidup sendiri, Simon tidak pernah datang berkunjung kecuali ada hal penting.“Noah ada?”“Sedang istirahat.” Simon berjalan mendahuluiku ke arah mini bar. “Anda mau minum?”Aku duduk di salah satu kursi tinggi dan memperhatikan Simon.“Air putih saja.”“Dingin?”Aku mengangguk.Simon membuka pintu lemari es mengambil sebotol air mineral dan meletakkannya bersama dengan sebuah gelas di hadapanku.“Bagaimana keadaannya?”Aku bertanya setelah meneguk airku langsung dari botol tanpa mengindahkan gelas yang disiapkan Simon. Kemarin aku akhirnya harus mengantarkan Noah pulang karena sepertinya keadaannya memburuk.“Sudah lebih baik.”&

    Last Updated : 2021-10-02
  • Penjelajah Benak   Bab 7

    Aku mengerang. Telepon genggamku berbunyi nyaring. Padahal aku baru saja bisa tidur. Kenapa telepon genggam yang biasanya hanya mode getar malam ini memilih untuk berubah jadi mode dering?Kuraba di bawah bantal tanpa hasil. Aku mengerang lagi. Akhirnya menyerah dan bangkit. Kunyalakan lampu di meja lalu melongok ke bawah tempat tidur. Telepon gengamku tergeletak di bawah tempat tidur. Bunyinya terdengar lebih nyaring di tengah kegelapan malam dengan layar yang berkedip-kedip terang. Setengah tiarap aku meraih sumber bunyi yang berhasil menggagalkan tidurku. Aku berkedip cepat melihat nama penelpon di layar. Segera kutekan tombol terima.“Ya Nek? “ tidak ada sahutan.Tapi aku bisa mendengar bunyi beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di seberang sana. aku mengerutkan kening.“Halo, Nek? Nenek dimana? Ada apa?““Halo, Tuan Axel. “ Suara lelaki menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan kening lagi. Terkejut.

    Last Updated : 2021-10-02
  • Penjelajah Benak   Bab 8

    “Nek, sudah sore. Nenek tidak masuk?”Aku membelai bahu Nenek. Nenek menoleh padaku dan tersenyum.“Nanti saja.” Nenek menepuk tanganku.Aku duduk di samping nenek sambil tetap memeluk bahunya.“Belum ada kabar dari polisi?”Aku menggeleng. Nenek mendesah. Kugenggam tangannya dan kubelai keriput di kulitnya. Bisa kudengar banyak suara berkecamuk bercampur baur jadi satu dalam pikirannya. Bahkan untukku, apa yang ada dalam pikiran nenek terlalu banyak sehingga sulit didengar dengan jelas. Nenek tersenyum padaku.“Nenek terlalu lelah bahkan untuk bicara. Maaf kamu harus mendengar pikiran nenek yang tidak karuan.”Aku menggeleng.“Bukankah ada hal-hal yang kadang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata? Aku bisa lebih mengerti nenek dengan cara ini.”Nenek tersenyum. Ia memejamkan mata lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Kutepuk-tepuk bahunya ingin sedikit memberi

    Last Updated : 2021-10-08
  • Penjelajah Benak   Bab 9

    “Mau kemana sepagi ini? “Aku tersentak dan refleks mengangkat kepalaku. Ashlyn berdiri di depan pintu sambil memandangku heran.“Kamu mengagetkanku.” Kuteruskan kesibukanku mengikat tali sepatu. Setelah selesai aku langsung berdiri.“Aku mau jogging sedikit. “Ashlyn mengerutkan kening.“Itu sama sekali bukan seperti dirimu.”Aku tersenyum. Aku bukan penggemar olah raga, terutama lari. Apalagi yang harus dimulai sepagi ini. Ashlyn lah yang punya kebiasaan lari pagi. Pantas saja jika dia heran melihat aku bangun pagi untuk jogging.“Aku ikut denganmu kalau begitu. Tunggu aku. ““Nenek? ““Tidak apa-apa. Nenek akhirnya bisa tidur dengan baik setelah berhari-hari. Aku tidak yakin dia akan bangun pagi. “Tidak perlu menunggu terlalu lama Ashlyn turun dengan pakaian olah raga dan rambut di ekor kuda.“Ayo.”

    Last Updated : 2021-10-19
  • Penjelajah Benak   Bab 10

    Badanku terasa sakit semua. Aku mengerang dan membuka mata. Tidak banyak yang bisa kulihat di kegelapan di sekelilingku. Aku segera bangun dan menatap berkeliling.“Ash.”Suaraku menggema namun tidak terdengar jawaban dari Ashlyn.“Ashlyn!”Aku mengulang usahaku dan masih tidak ada sahutan apapun. Aku mulai khawatir.Kegelapan adalah musuh besar Ashlyn. Aku tidak bisa membayangkan keadaannya jika dia jatuh di tempat segelap ini yang bahkan tanganku sendiri tidak bisa kulihat. Aku segera berdiri.Duak!“Sialan!” makiku saat kepalaku membentur sesuatu dengan keras.Kuraba-raba benda yang membentur kepalaku dan kurasakan sesuatu yang menonjol dan panjang saling menjalin di sesuatu yang mirip langit-langit rumah.“Bukankah aku tadi jatuh? Seharusnya di atasku tidak ada apa-apa, kenapa malah ada atap di atas kepalaku? Apa aku tertimbun?”Aku meraba-raba lagi

    Last Updated : 2021-10-19

Latest chapter

  • Penjelajah Benak   Bab 85

    Deruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete

  • Penjelajah Benak   Bab 84

    “Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be

  • Penjelajah Benak   Bab 83

    Perjalanan kami berlangsung dengan lancar tanpa kendala yang berarti sampai akhirnya kami sampai di bawah kaki Bukit Sunji. Aku menengadahkan kepala memandang jalur curam berkelok-kelok yang akan membawa kami ke pintu masuk Kerajaan Dharana.“Pintu masuk Dharana ada di atas sana.” Kataku pada Esen yang berkuda di sampingku.“Jadi disana yang namanya Celah Sunji?” Tanyanya. Aku mengangguk.“Kita langsung saja. Istirahatnya nanti saat kita sudah melewati celah Sunji.” Kata Lynx yang berada di barisan paling depan.“Baik.” Kami menjawab serempak. Lynx mempercepat langkah kudanya. Kami mengikutinya dan melakukan hal yang sama.Aku masih ingat betapa terjalnya jalan setapak Bukit Sunji dan betapa kerasnya angin yang berhembus di samping kami saat kami berjalan. Dulu kami sampai tidak bisa berjalan dengan tegak. Selain karena terjalnya jalan, angin yang keras seakan memanggil kami untuk terjun bebas. Ditambah lagi kami harus menuntun Misu dan Tashi. Sungguh bukan perjalanan mudah.Tapi kali

  • Penjelajah Benak   Bab 82

    Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse

  • Penjelajah Benak    Bab 81

    “Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”

  • Penjelajah Benak   Bab 80

    “Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan

  • Penjelajah Benak   Bab 79

    Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua

  • Penjelajah Benak   Bab 78

    “Kau tidak apa-apa?” Esen menatapku penuh kekhawatiran saat akhirnya aku menarik tanganku dari wajah. “Seharusnya.” Aku menjawab dengan ragu. Kami berdua terdiam lagi hingga cukup lama. “Jadi kau bisa mendengarkan pikiranku tadi?” “Sepertinya.” “Tapi bagaiimana caranya? Kan kita tidak saling bersentuhan.” “Aku juga tidak tahu. Ini tidak seperti biasanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus berusaha berpikir jernih. “Apa yang kau lakukan tadi saat aku mendengar pikiranmu?” “Aku memeriksa bekas cakaran di dahan pohon.” “Bagaimana tepatnya kau memeriksanya?” “Aku menyentuhnya.” Dan dengan kompak kami saling pandang. “Tidak mungkin.” Aku masih tidak percaya. “Sepertinya begitu.” Kata Esen sambil mengangguk meyakinkan. “Tapi,” “Bagaimana kalau kita coba lagi?” “Ha?” Esen meletakkan tangannya di batang pohon tadi. “Coba tebak apa yang aku pikirkan.” Aku memandangnya memastikan ke kesungguhannya. Ia mengangguk menyemangatiku. “Tidak ada salahnya mencoba bukan?” Ben

  • Penjelajah Benak   Bab 77

    Aku mengulurkan tangan menyentuh batang pohon yang berkulit kasar dan berbenjol di sana sini. Ada getah setengah kering yang merembes dari tiga buah sayatan agak dalam yang posisinya tidak lebih tinggi sedikit dari mataku. Mungkin cakaran hewan. Dengan posisi setinggi ini artinya hewannya besar. Semoga aku tidak perlu bertemu dengannya hari ini.Aku kembali meraba dan merasakan permukaan kasar dibawah jemariku. Dengan tangan masih menempel di batang pohon, aku menutup mata mencoba mendengarkan sekitarku.Telinga dan benakku menangkap bunyi yang sama. Desau angin, bunyi gesekan dedaunan yang menenangkan serta bunyi serangga dan bermacam kicau burung yang berbeda-beda. Bebunyian khas musim panas.Aku berusaha berkonsentrasi lebih dalam dan berusaha mengacuhkan bebunyian yang kudengar di telingaku. Namun tidak ada perubahan. Yang kudengar masih sama. Tidak ada suara lain.Aku mendesah dan berjalan ke pohon yang lain. Lalu mengulangi usahaku sebelumnya. Aku bisa merasakan matahari yang s

DMCA.com Protection Status