Share

Bab 7

Penulis: Dew Miller
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-02 14:42:00

Aku mengerang. Telepon genggamku berbunyi nyaring. Padahal aku baru saja bisa tidur. Kenapa telepon genggam yang biasanya hanya mode getar malam ini memilih untuk berubah jadi mode dering?

Kuraba di bawah bantal tanpa hasil. Aku mengerang lagi. Akhirnya menyerah dan bangkit. Kunyalakan lampu di meja lalu melongok ke bawah tempat tidur. Telepon gengamku tergeletak di bawah tempat tidur. Bunyinya terdengar lebih nyaring di tengah kegelapan malam dengan layar yang berkedip-kedip terang. Setengah tiarap aku meraih sumber bunyi yang berhasil menggagalkan tidurku. Aku berkedip cepat melihat nama penelpon di layar. Segera kutekan tombol terima.

“Ya Nek? “ tidak ada sahutan.

Tapi aku bisa mendengar bunyi beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di seberang sana. aku mengerutkan kening.

“Halo, Nek? Nenek dimana? Ada apa?“

“Halo, Tuan Axel. “ Suara lelaki menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan kening lagi. Terkejut. 

“Simon? “

Aku mengenali suara pelayan Noah di seberang sana. Beberapa pikiran buruk mulai berkelebat di benakku.

“Kenapa kamu yang menjawab telepon nenek? Mana Nenek? Apa dia tidak apa-apa?“ 

“Nenek anda tidak apa-apa. Tapi anda harus segera kemari. Tuan Noah akan menjemput anda dan Nona Ashlyn sebentar lagi. “ 

Belum sempat aku bicara lebih lanjut Simon sudah memutus sambungan. Kantuk yang tadi seakan tidak bisa ditahan langsung hilang seketika. 

Telepon genggamku berbunyi lagi. Kali ini Noah.

“Lima belas menit lagi aku sampai. Bersiap-siaplah. “

Ia bicara bahkan saat aku belum mengatakan apapun dan langsung menutup teleponnya. Meski sedikit bingung, aku bergegas ke kamar Ashlyn yang tepat berada di samping kamarku dan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Ashlyn tidak pernah mengunci pintu kamarnya. Seperti biasa, kamarnya terang benderang.

“Ash, bangun.” Kusentuh bahu Ashlyn yang berbaring menghadap tembok. Ia menggeliat dan berbalik menghadapku. Matanya terbuka lebar. Sepertinya ia bahkan belum tidur sama sekali.

“Ada apa?”

“Kita harus ke rumah Nenek. Bersiap-siaplah. Sebentar lagi Noah menjemput kita.” Ashlyn langsung bangkit.

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu. Tapi sebaiknya kita segera kesana. “

Ashlyn segera berdiri. Sementara Ashlyn bersiap aku kembali ke kamar untuk berganti pakaian.

Tidak sampai lima menit kami menunggu di ruang tamu saat terdengar klakson mobil yang berbunyi pendek di depan rumah. Aku mengintip melalui jendela. Mobil Noah. Kami bergegas keluar.

“Ada apa? “ tanyaku begitu kututup pintu mobil dan kupakai sabuk pengamanku. Noah tidak menjawab. Dia langsung memacu mobil dengan cepat. 

“Apa terjadi sesuatu dengan Nenek?” tanya Ashlyn. Wajahnya diselimuti kekhawatiran.

“Kenapa Simon bisa bersama Nenek?” aku bertanya lagi. 

“Kita akan tahu semua kalau kita sampai.”

Saat tiba di interstate yang berada di pinggir kota, Noah mengambil belokan ke kanan.

“Bukannya rumah Nenek belok ke kiri? Kenapa kamu belok ke kanan? “

Noah diam saja. Dia fokus menyetir tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Mungkin kami berkendara selama lima menit dari pertigaan interstate saat kami melihat dua mobil polisi dan sebuah ambulance diparkir di bahu jalan bersama beberapa mobil lain. Firasatku semakin tidak enak. Dan saat Noah berbelok dan menghentikan mobil di dekat mobil-mobil yang terparkir itu, perutku rasanya seperti diaduk.

“Axe. “

Ashlyn bergumam lirih. Aku mengangguk ingin meyakinkan dia bahwa semua baik-baik saja tapi aku yakin aku gagal total.

“Ayo. “ ucap Noah dan langsung keluar mobil. Tampak dari kejauhan Simon mendekati kami.

“Mana Nenek?” tanyaku tanpa b**a-basi. “Apa yang terjadi? “

“Nenek anda sedang istirahat di mobil. Mari. “

Kami mengikuti Simon yang berjalan mendahului kami dengan cepat. Di mobil Simon kulihat Nenek sedang duduk bersandar dengan mata terpejam di kursi samping pengemudi.

“Nenek. “ panggil Ashlyn yang segera berlari mendekati Nenek. Nenek membuka mata dan menatap kami.

“Apa yang terjadi? Nenek tidak apa-apa? “ 

Nenek mengangguk lemah.

“Kenapa Nenek bisa ada disini? Apa yang terjadi? Kenapa Nenek dengan Simon? Mana Ayah dan Ibu? “

Lalu aku terdiam. Aku bisa merasakan tubuh Ashlyn yang berdiri disampingku menegang. Kalimat terakhirku seperti sebuah kunci dari semua pertanyaan kami. Kenapa Nenek tidak bersama Ayah dan Ibu kami, dan kenapa justru bersama Simon.

“Apa terjadi sesuatu pada Ayah dan Ibu?”

Sekarang aku ingat. Waktu aku menelepon Nenek saat di apartemen Noah tadi mereka sedang pergi.

Bibir Nenek bergetar. Pandangannya beralih ke belakang kami. Serentak kami menoleh ke arah yang sama dan melihat beberapa polisi yang tadi kami lewati dan menyadari bahwa mobil yang sedang mereka periksa adalah mobil orang tua kami.

“Ya Tuhan. Ya Tuhan.”

Aku mendesis tidak percaya. Ashlyn mencengkeram lenganku erat-erat. Aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetaran. Aku bergegas mendekat tapi Simon menahanku.

“Jangan. Anda dilarang mendekat.”

“Tapi, itu mobil orang tuaku!” aku setengah berteriak.

“Anda harus menyerahkan semuanya kepada polisi. Mereka sedang mencarinya.“

“Mencari? Memangnya apa yang terjadi dengan orang tuaku?”

Aku mulai histeris. Aku menepis tangan Simon dan hendak berlari saat sebuah tangan yang lebih kuat mencengkeram lenganku.

“Axel!” Aku menoleh dan melihat Noah yang menatapku dingin. “Kendalikan dirimu!” 

Aku melotot padanya. Diantara semua orang, kenapa justru dia yang menghalangiku.

“Kamu bisa apa disana? Biarkan polisi yang mencari.”

Emosiku menggelegak. Aku sungguh ingin memukul wajahnya saat ini untuk melampiaskan frustasiku.

“Apa kamu tidak lihat nenek dan adikmu lebih membutuhkanmu? Disana kamu hanya akan jadi pengganggu!”

Aku menatap Nenek yang tampak terguncang dan lelah. Lalu menatap Ashlyn yang terlihat jelas sedang menahan tangis walaupun sedang menenangkan Nenek.

“Biarkan Simon yang mencari informasi. Polisi akan lebih mempercayai dia daripada kita. “ kali ini Noah berbicara sedikit lebih lembut. Perlahan emosiku mereda. 

“Oke. “ jawabku akhirnya. Menyerah. Kami berdua berjalan ke mobil Simon.

"Apa yang terjadi Nek?"

Nenek menarik nafas dalam-dalam.

"Seperti yang Nenek katakan tadi di telepon, tadi sore Ayah dan Ibumu pergi. Nenek tidak tahu kemana. Sampai Nenek tidur mereka belum pulang. Nenek pikir itu wajar saja. Ayah dan Ibumu kadang memang suka pulang larut malam, bukan?"

Nenek memandangku dan Ashlyn. Aku mengangguk. Nenek menarik nafas dan melanjutkan ceritanya.

"Lalu tadi saat tidur Nenek mendapat telepon dari polisi yang mengatakan bahwa mereka menemukan mobil orang tua kalian disini. Tapi mereka tidak ada di dalamnya. Jadi polisi meminta Nenek melakukan verifikasi. Dan karena Nenek tidak bisa menyetir sendiri, Nenek meminta bantuan Simon."

"Setelah anda pulang tadi, saya juga pulang." Kata Simon kepadaku. Aku mengangguk mulai memahami. 

Rumah Nenek dan rumah keluarga Noah bisa dikatakan tidak terlalu jauh. Hanya dipisahkan oleh Danau Emrys. Simon yang rajin memeriksa keadaan nenek setiap dia jogging pagi atau jalan-jalan sore sewaktu nenek masih tinggal sendirian.

Tapi setelah Nenek jatuh dari tangga beberapa bulan lalu dan kesehatannya agak menurun, Ayah dan Ibu memutuskan untuk menemani Nenek di rumahnya sementara aku dan Ashlyn tetap tinggal di rumah kami.

"Apa kata polisi?" Tanya Noah.

"Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi mobil mereka sepertinya menghindari sesuatu yang menyebabkan mobil menabrak pohon."

"Apa mobilnya rusak parah?"

Aku melotot ke arah Noah yang justru menanyakan keadaan mobil, bukan orang tuaku. Noah tidak memperdulikanku.

"Tidak. Tidak terlalu."

"Jadi seharusnya mereka tidak apa-apa walaupun terjadi tabrakan. Kalaupun cedera, seharusnya mereka hanya akan cedera ringan."

Aku mulai memahami arah pembicaraan Noah. Simon mengangguk. "Seharusnya begitu."

"Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka?"

Simon menangguk lagi. "Tidak ada satupun."

Raut wajah Noah tidak berubah. Tapi aku bisa melihat rahangnya mengencang.

"Menurut yang saya dengar tadi tambahan regu pencari dengan anjing pelacak akan segera datang."

"Seharusnya itu bisa membantu."

Simon mengangguk setuju.

Seorang polisi mendekati kami.

"Kalian keluarga pemilik mobil?"

Kami mengangguk.

"Apa ini milik salah satu dari penumpang mobil?"

Ia menunjukkan sebuah telepon genggam. Kami langsung mengenalinya.

"Ya. Itu milik ayah."

"Baiklah. Akan kami bawa dahulu sebagai barang bukti."

"Orang tua kami?"

Polisi tadi menggeleng.

"Kami sedang memperluas area pencarian. Bersabarlah."

Polisi itu berbalik hendak pergi saat Nenek berbicara dengan suara bergetar

"Maaf, pak."

Polisi tadi berhenti dan berbalik menghadap kami lagi.

"Dimana telepon genggamnya ditemukan?"

Petugas polisi tadi bimbang sesaat.

"Di pinggir hutan."

Nenek menutup mulutnya dengan ekspresi terguncang.

Aku merasa seluruh energi dalam tubuhku terhisap. Ashlyn akhirnya benar-benar terisak. Kupeluk dia erat-erat.

Hal terakhir yang kuingat tentang malam itu adalah Noah yang sedang berlutut di hadapan nenek berusaha menenangkannya.

Bab terkait

  • Penjelajah Benak   Bab 8

    “Nek, sudah sore. Nenek tidak masuk?”Aku membelai bahu Nenek. Nenek menoleh padaku dan tersenyum.“Nanti saja.” Nenek menepuk tanganku.Aku duduk di samping nenek sambil tetap memeluk bahunya.“Belum ada kabar dari polisi?”Aku menggeleng. Nenek mendesah. Kugenggam tangannya dan kubelai keriput di kulitnya. Bisa kudengar banyak suara berkecamuk bercampur baur jadi satu dalam pikirannya. Bahkan untukku, apa yang ada dalam pikiran nenek terlalu banyak sehingga sulit didengar dengan jelas. Nenek tersenyum padaku.“Nenek terlalu lelah bahkan untuk bicara. Maaf kamu harus mendengar pikiran nenek yang tidak karuan.”Aku menggeleng.“Bukankah ada hal-hal yang kadang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata? Aku bisa lebih mengerti nenek dengan cara ini.”Nenek tersenyum. Ia memejamkan mata lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Kutepuk-tepuk bahunya ingin sedikit memberi

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Penjelajah Benak   Bab 9

    “Mau kemana sepagi ini? “Aku tersentak dan refleks mengangkat kepalaku. Ashlyn berdiri di depan pintu sambil memandangku heran.“Kamu mengagetkanku.” Kuteruskan kesibukanku mengikat tali sepatu. Setelah selesai aku langsung berdiri.“Aku mau jogging sedikit. “Ashlyn mengerutkan kening.“Itu sama sekali bukan seperti dirimu.”Aku tersenyum. Aku bukan penggemar olah raga, terutama lari. Apalagi yang harus dimulai sepagi ini. Ashlyn lah yang punya kebiasaan lari pagi. Pantas saja jika dia heran melihat aku bangun pagi untuk jogging.“Aku ikut denganmu kalau begitu. Tunggu aku. ““Nenek? ““Tidak apa-apa. Nenek akhirnya bisa tidur dengan baik setelah berhari-hari. Aku tidak yakin dia akan bangun pagi. “Tidak perlu menunggu terlalu lama Ashlyn turun dengan pakaian olah raga dan rambut di ekor kuda.“Ayo.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-19
  • Penjelajah Benak   Bab 10

    Badanku terasa sakit semua. Aku mengerang dan membuka mata. Tidak banyak yang bisa kulihat di kegelapan di sekelilingku. Aku segera bangun dan menatap berkeliling.“Ash.”Suaraku menggema namun tidak terdengar jawaban dari Ashlyn.“Ashlyn!”Aku mengulang usahaku dan masih tidak ada sahutan apapun. Aku mulai khawatir.Kegelapan adalah musuh besar Ashlyn. Aku tidak bisa membayangkan keadaannya jika dia jatuh di tempat segelap ini yang bahkan tanganku sendiri tidak bisa kulihat. Aku segera berdiri.Duak!“Sialan!” makiku saat kepalaku membentur sesuatu dengan keras.Kuraba-raba benda yang membentur kepalaku dan kurasakan sesuatu yang menonjol dan panjang saling menjalin di sesuatu yang mirip langit-langit rumah.“Bukankah aku tadi jatuh? Seharusnya di atasku tidak ada apa-apa, kenapa malah ada atap di atas kepalaku? Apa aku tertimbun?”Aku meraba-raba lagi

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-19
  • Penjelajah Benak   Bab 11

    Aku berdiri diantara batang dan akar pohon berwarna putih. Aku memutar kepalaku memandang lagi lubang dimana aku keluar. Mengagumi kenyataan bahwa aku baru saja keluar dari dalam sebuah batang pohon.Kuangkat kepalaku dan kusadari betapa besarnya pohon yang menaungiku. Batangnya menjulang begitu tinggi. Sementara kanopi pohon merentang begitu luas memberikan keteduhan. Daun-daunnya yang berwana hijau keperakan bergemerisik merdu ditiup angin sementara rantingnya melambai-lambai menenangkan.Angin berhembus lembut menerpa wajahku. Kusentuh kulit dari batang pohon itu sambil mengucap syukur dalam hati. Karena aku tidak terkubur hidup-hidup tapi justru terselamatkan dan terlindungi di dalamnya.Ini jelas bukan pohon yang ada di hutan Emrys. Bagaimana bisa aku berakhir di disini? Apa Ashlyn juga disini? Apa dia baik-baik saja?Pikiran tentang Ashlyn kembali membuat aku melongokkan kepalaku ke dalam pohon.“Ash! Apa kamu di dalam? “ ak

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-24
  • Penjelajah Benak   Bab 12

    Bab 12“Haish!”aku menggeram saat tersandung sesuatu dan hampir jatuh. Buru-buru kuseimbangkan tubuhku yang oleng dengan menyambar dahan pohon terdekat. Akibatnya beberapa buahnya yang berukuran kecil jatuh menimpaku. Sekali lagi aku menggeram.“Hihihi.. “Terdengar suara tawa kecil entah dari mana. Aku memandang berkeliling.“Siapa disana? “Aku berseru ke arah rerimbunan pohon yang kuyakini sumber datangnya suara. Tapi tidak ada jawaban.“Halo? “Aku berseru lagi tapi tetap tidak ada jawaban. Mendadak aku merinding.Aku bukan orang yang penakut. Tapi setelah hampir mati tertindih batu kemudian tiba-tiba berada di hutan yang tidak aku kenal dengan cara yang aneh, terpisah dari Ashlyn lalu mendengar suara-suara aneh mau tidak mau aku menjadi lebih sensitif.Aku menggoyang kepalaku keras-keras mencoba menghilangkan segala pikiran yang menghinggapi benakku, lalu kemba

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-04
  • Penjelajah Benak   Bab 13

    Aku sampai di sebuah tanah lapang dengan nafas sedikit terengah-engah.Ketiga makhluk yang kuiikuti tadi tidak terlihat dimanapun.Kupandang hutan di sekelilingku sambal terus berjalan. Dan semakin aku berjalan semakin menganga mulutku dan semakin membelalak mataku.Di tengah tanah lapang ada sebuah pohon besar yang dikelilingi berbagai makhluk paling menakjubkan yang pernah kulihat. Ada yang tampak tinggi besar dengan cula di kepalanya. Ada yang kecil mungil dengan sayap warna warni di punggungnya. Ada pula berbagai hewan dengan berbagai bentuk dan ukuran yang tampak bercengkrama dengan damai.Seekor rusa bertanduk kecil dengan bulu berwarna emas berjalan mendekati pohon itu. Cara berjalannya sangat cantik dan anggun sehingga membuatku menahan nafas. Saat ia semakin mendekati pohon, seiring langkahnya ia berubah menjadi sesosok wanita tinggi semampai dengan rambut tergerai panjang dengan sepasang tanduk rusa kecil di kepalanya. Mata rusanya yang besar tamp

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-08
  • Penjelajah Benak   Bab 14

    "Apakah aku begitu menakutkan untukmu sampai kau seterkejut ini?""Apa kau tidak bisa menutup mulutmu itu? Kamu tidak sopan dan terlihat bodoh sekali."Aku melongo sambil menatap sumber suara di sampingku yang berasal dari si makhluk capung tadi, menatap pohon besar itu, menatap dia lagi lalu kembali menatap pohon tadi."Ah, maafkan aku."Aku buru-buru minta maaf menyadari kebodohanku lalu menutup mulutku rapat-rapat."Hahaha.. Tidak apa-apa."Pohon besar itu bergetar seiring tawanya."Mendekatlah dan ceritakan siapa dirimu. Kami memiliki tamu lain yang juga ingin berbagi ceritanya sepertimu."Aku menatap kerumunan di hadapanku itu ragu-ragu."Ayo, ayo. Cepat pergi kesana."Aku menatap si kecil di sampingku yang tampak antusias mengepakkan sayapnya, lalu bangkit dan berjalan perlahan. Kerumunan mahluk ajaib itu membuka dan memberiku jalan sehingga aku sampai di tepat di depan si pohon besar.Di barisa

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-09
  • Penjelajah Benak   Bab 15

    “Kau,” Aku masih menatapnya tidak percaya. “ Kau manusia.” Akhirnya aku bisa berkata-kata. Tapi entah kenapa kata-kataku terdengar sangat bodoh. Bahkan bagi telingaku sendiri. Lelaki tua itu tertawa kecil lalu mendekatkan wajah kayunya tepat di hadapanku. “Kau yang manusia. Bukan aku.” Ia lalu berbalik dan berdiri menjulang sambil menatapku. “Lalu, kau apa?” “Apa kamu tidak bisa lebih sopan? Ia adalah Raja Narawana. Pemimpin para Daunas, Peri Hutan.” Suara kecil tanpa diduga menjawab pertanyaanku. Aku menoleh kesana kemari mencari sumber suara. “Kau masih disini, Firroke?” Sesuatu terbang dari balik punggungku. Mahluk capung yang kutemui tadi. Ia melayang tepat di depan wajahku tanpa memperdulikan keberadaanku. “Maafkan aku Yang Mulia. Aku tidak bermaksud menguping. Aku akan segera pergi.” Wajah penuh kerutan itu tersenyum geli. "Tidak perlu. Tetaplah disini. Mari kita dengarkan cer

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-24

Bab terbaru

  • Penjelajah Benak   Bab 88

    “Bagaimana”“Sepertinya ada luka di kepala dan rusuk yang patah.” Lynx membetulkan mantel Ashlyn yang digunakan menyelimuti Era. Esen menggenggam tangan saudarinya dengan wajah khawatir.“Aku sudah menstabilkan keadaanya. Tapi ia akan butuh perawatan segera karena sepertinya tulangnya yang patah menekan organ dalamnya.”Flaresh memandang berkeliling.“Kita harus berjalan lebih ke utara jika ingin mencari penyembuh.”“Apa Era bisa?”“Bisa. Aku akan menggendongnya dengan begitu goncangan selama perjalanan akan berkurang. Kalian yang bertanggung jawab membawa kuda dan melindungi kami karena Flaresh tidak bisa menemani kita.”Aku memandang vatra itu. Sebelumnya di Hutan Seda ia tidak menemani kami. Sekarang kami mau masuk ke wilayah Voda-pun ia juga melakukan hal yang sama.“Kenapa?” tanyaku. Flaresh tak menggubrisku. Tapi sepertinya kami sama-sama tahu pertanyaanku tak sekedar sebuah kata kenapa. Dan jawabannya tak sekedar perbedaan natural mereka.“Aku akan mencari portalnya.”Tanpa me

  • Penjelajah Benak   Bab 87

    “Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le

  • Penjelajah Benak   Bab 86

    “Lynx.”“Kau menemukannya?”“Ya.”“Ada dua. Tapi aku tidak bisa menunjukkan semua sekaligus. Terlalu jauh.”“Yang menyerang Flaresh saja.”“Ya.”“Axel dan Ashlyn, bersiaplah membantu Era. Esen lindungi mereka.”“Baik.”“Firroke, Tunjukkan padaku di hitungan ketiga.”Firroke menganggguk. Kami semua bersiap penuh antisipasi.“Tiga!”Firroke menunjuk tangannya dan kemudian gerombolan tanaman perdu itu membuat sebuah celah kecil memperlihatkan sepasang sepatu boots berwarna hitam. Lynx mengayunkan cakarnya mengirimkan selarik sinar jingga yang langsung memporak porandakan tanaman perdu tersebut dan mengekspos peri yang berada di baliknya. Peri itu mundur dengan sempoyongan setelah dihantam serangan Lynx. Untuk sesaat serangan kepada kami berhenti. Flaresh dengan sigap memanfaatkan kesempatan tersebut dan segera berlari berkumpul dengan kami dan menyerahkan Era kepadaku. Saat aku telah mendekap Era erat-erat, Lynx secepat kilat berlari ke arah peri tadi dan mengejarnya.Aku seperti melihat

  • Penjelajah Benak   Bab 85

    Deruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete

  • Penjelajah Benak   Bab 84

    “Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be

  • Penjelajah Benak   Bab 83

    Perjalanan kami berlangsung dengan lancar tanpa kendala yang berarti sampai akhirnya kami sampai di bawah kaki Bukit Sunji. Aku menengadahkan kepala memandang jalur curam berkelok-kelok yang akan membawa kami ke pintu masuk Kerajaan Dharana.“Pintu masuk Dharana ada di atas sana.” Kataku pada Esen yang berkuda di sampingku.“Jadi disana yang namanya Celah Sunji?” Tanyanya. Aku mengangguk.“Kita langsung saja. Istirahatnya nanti saat kita sudah melewati celah Sunji.” Kata Lynx yang berada di barisan paling depan.“Baik.” Kami menjawab serempak. Lynx mempercepat langkah kudanya. Kami mengikutinya dan melakukan hal yang sama.Aku masih ingat betapa terjalnya jalan setapak Bukit Sunji dan betapa kerasnya angin yang berhembus di samping kami saat kami berjalan. Dulu kami sampai tidak bisa berjalan dengan tegak. Selain karena terjalnya jalan, angin yang keras seakan memanggil kami untuk terjun bebas. Ditambah lagi kami harus menuntun Misu dan Tashi. Sungguh bukan perjalanan mudah.Tapi kali

  • Penjelajah Benak   Bab 82

    Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse

  • Penjelajah Benak    Bab 81

    “Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”

  • Penjelajah Benak   Bab 80

    “Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status