"Apakah aku begitu menakutkan untukmu sampai kau seterkejut ini?"
"Apa kau tidak bisa menutup mulutmu itu? Kamu tidak sopan dan terlihat bodoh sekali."
Aku melongo sambil menatap sumber suara di sampingku yang berasal dari si makhluk capung tadi, menatap pohon besar itu, menatap dia lagi lalu kembali menatap pohon tadi.
"Ah, maafkan aku."
Aku buru-buru minta maaf menyadari kebodohanku lalu menutup mulutku rapat-rapat.
"Hahaha.. Tidak apa-apa."
Pohon besar itu bergetar seiring tawanya.
"Mendekatlah dan ceritakan siapa dirimu. Kami memiliki tamu lain yang juga ingin berbagi ceritanya sepertimu."
Aku menatap kerumunan di hadapanku itu ragu-ragu.
"Ayo, ayo. Cepat pergi kesana."
Aku menatap si kecil di sampingku yang tampak antusias mengepakkan sayapnya, lalu bangkit dan berjalan perlahan. Kerumunan mahluk ajaib itu membuka dan memberiku jalan sehingga aku sampai di tepat di depan si pohon besar.
Di barisa
“Kau,” Aku masih menatapnya tidak percaya. “ Kau manusia.” Akhirnya aku bisa berkata-kata. Tapi entah kenapa kata-kataku terdengar sangat bodoh. Bahkan bagi telingaku sendiri. Lelaki tua itu tertawa kecil lalu mendekatkan wajah kayunya tepat di hadapanku. “Kau yang manusia. Bukan aku.” Ia lalu berbalik dan berdiri menjulang sambil menatapku. “Lalu, kau apa?” “Apa kamu tidak bisa lebih sopan? Ia adalah Raja Narawana. Pemimpin para Daunas, Peri Hutan.” Suara kecil tanpa diduga menjawab pertanyaanku. Aku menoleh kesana kemari mencari sumber suara. “Kau masih disini, Firroke?” Sesuatu terbang dari balik punggungku. Mahluk capung yang kutemui tadi. Ia melayang tepat di depan wajahku tanpa memperdulikan keberadaanku. “Maafkan aku Yang Mulia. Aku tidak bermaksud menguping. Aku akan segera pergi.” Wajah penuh kerutan itu tersenyum geli. "Tidak perlu. Tetaplah disini. Mari kita dengarkan cer
“Benarkah kalung ibu berasal dari dunia ini?” Ulang Ashlyn tidak percaya sementara aku mengulang-ulang informasi yang baru saja kuterima di dalam kepalaku seperti orang linglung.“Ya. Bangsa Erde adalah bangsa peri yang terkenal dengan kemampuannya membuat senjata dan perhiasan. Tidak ada peri lain yang dapat menandinginya. Kehalusan dan keindahan kalung ini adalah ciri khas yang dimiliki bangsa Erde.”Raja Narawana menyerahkan kembali kalung itu pada Ashlyn. Ashlyn menatap kalung itu seperti tersihir.“Tapi bagaimana ibu kami bisa memiliki perhiasan seperti ini?’“Bukankah itu suatu hal yang menarik, eh?” Raja Narawana menatap kami. “Apakah kalian tidak tahu dari mana ia mendapatkannya?”Kami berdua menggeleng bersamaan.“Aku melihat kalung itu dipakai ibu seumur hidupku. Jadi mungkin ibu mendapatkan kalung itu saat ia muda.” Jelasku.“Sepertinya akan sulit
“Apakah kalian sudah puas bercermin?” Raja Narawana memotong kesibukan kami mengagumi diri. Aku buru-buru bangkit dari posisiku dan kembali menghadap Raja Narawana. Bisa kurasakan wajahku memerah karena malu. Raja Narawana memandang kami geli. “Penampilan kalian cukup bagus bukan?” “Kenapa kami jadi seperti ini? Apa yang terjadi pada kami.” “Itu adalah penampilan yang wajar di dunia ini.” “Tapi kami bukan peri.” “Saat seorang manusia menyeberang kemari, secara otomatis ia akan berubah menjadi seperti peri.” “Apa maksudnya itu?” “Ah, sepertinya aku harus bercerita tentang semuanya mulai dari awal agar kalian lebih mudah memahami semuanya.” Ia melambaikan tangannya ke hamparan rumput di bawah kami. “Duduklah. Cerita ku mungkin akan sedikit memakan waktu.” Aku dan Ashlyn segera duduk seperti yang diminta. Aku duduk bersila sementara Firroke dengan santainya segera duduk dengan nyaman di atas lutut k
“Apakah penjelasanku dapat menenangkan hati kalian?” “Yah, sedikit. “ kataku. Ashlyn langsung menyodok pinggangku dengan siku nya. Raja Narawana tergelak. “Jangan khawatir, kalian tidak akan sendirian pergi ke Dharana. Firroke akan menemani kalian.” Raja Narawana memandang Firroke. “Bagaimana Firroke?” “Siap melaksanakan perintahmu, Yang Mulia.” Ujar Firroke sambil membungkukkan badan. Aku menatap Daunas kecil itu dengan sangsi. Dan sepertinya Raja Narawana melihat ketidak percayaanku pada Daunas pilihannya. “Jangan khawatir tentang Firroke. Walaupun kecil, ia memiliki cukup kekuatan untuk membantu kalian di perjalanan.” Firroke membusungkan dadanya dengan bangga. “Jalur yang kalian lalui adalah jalur yang biasa kami gunakan untuk bepergian. Jadi itu adalah jalur yang aman. Bahkan seandainya tidak ada Firroke pun seharusnya kalian bisa melaluinya. “ Ia memandangku dan Ashlyn bergantian. “Tapi kal
“Hmmm.. Apakah semua manusia seperti dia? Kenapa mukanya bodoh sekali? Dia juga kelihatan lemah. Apa dia kuat melakukan perjalanan ke Dharana. ” Aku membuka mataku yang terasa lengket dengan malas. “Aku tidak selemah yang kamu kira, Firroke.” Erangku. Firroke yang duduk di atas punggung tanganku tersentak ke belakang karena terkejut dan hampir terguling. “A, aku tidak berkata apa-apa.” Kilah Firroke tergagap-gagap. “Jelas-jelas kamu mengatakan aku bodoh dan lemah. Apa kamu kira karena aku tidur aku tidak akan mendengar perkataanmu?” Firroke melangkah mundur dengan gerakan berhati-hati yang berlebihan. Ekspresi di wajahnya yang seperti capung tampak ketakutan. “Sungguh aku tidak berkata apa-apa tadi.” “Terserahlah.” Aku menghela nafas dan segera bangkit dari posisi tidurku yang tengkurap. Sambil menguap kecil aku berdiri. Firroke terbang ke depanku. “Apa kau benar-benar mendengar aku bicara?”
“Apakah masih jauh?” tanya Ashlyn ke Firroke. Kami baru selesai beristirahat menikmati makan siang kami di pinggir hutan yang berada di kaki sebuah bukit yang menurut Firroke bernama Bukit Sunji. “Seharusnya nanti sore sebelum matahari terbenam kita sudah sampai di kota. Kita hanya perlu melewati Celah Sunji yang berada di puncak bukit ini dan kita sudah mencapai wilayah terluar Dharana.” Aku memijit-mijit pinggang dan punggungku yang pegal. “Aku tidak membayangkan kalau kita harus melakukan perjalanan selama enam hari. Dengan berjalan. Tiga hari saja sudah melelahkan. Padahal kita mengendarai kuda.” Aku mendesah sambil meluruskan lenganku ke atas. "Ah, Raja Narawana memang baik." Firroke mendengus. “Dan kau bilang kau tidak selemah yang kukira.” Aku menarik jubahku yang digunakan Firroke untuk alas duduk. Daunas yang seperti capung itu terjengkang dan langsung berdiri sambil berkacak pinggang. “Hei!” “Ing
"Lubang yang ada disana adalah pintu masuk Celah Sunji.”Firroke menunjuk sebuah lubang yang berada sekitar lima puluh meter di bukit atas kami. Aku mengangguk. Setelah menyusuri Bukit Sunji yang keterjalannya lebih sesuai jika dikatakan sebagai tebing, akhirnya kami sampai ke pintu masuk negeri para peri angin, Dharana. Menurut Firroke ada tiga pintu masuk menuju Dharana, namun Bukit Sunji adalah yang paling mudah dilalui dan paling dekat dengan Hutan Seda. Aku mengelus surai kudaku dan menarik tali kekangnya, memerintahkannya berjalan. Ashlyn di belakangku melakukan hal yang sama dan segera mengikutiku. “Apa kuda-kuda ini tidak punya nama?” Entah mengapa pertanyaan ini tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. “Tentu saja mereka punya.” Kata Firroke. “Ini adalah Misu. Sedangkan yang dinaiki Ashlyn bernama Tashi. Mereka bersaudara. Seperti kalian.” “Benarkah?” Firroke mengangguk. Ashlyn mengelus bulu Tashi yang berwarna abu-abu deng
Matahari sudah hampir tenggelam saat kami akhirnya tiba di pintu gerbang Dharana yang berukuran raksasa. Aku mendongak saat melewatinya. Pintu gerbang ini terbuat dari batu dan tingginya mungkin lebih dari dua puluh lima meter. Tidak bisa kubayangkan berapa orang yang harus dikerahkan untuk membuka dan menutup pintu ini setiap harinya.Tidak ada penjaga yang memeriksa kami. Tapi aku bisa melihat ada dua menara yang berada di masing-masing sisi gerbang, dan aku yakin para prajurit itu sudah mengawasi kami sejak kemunculan kami disini.Setelah melewati pintu gerbang, kami melewati jalan berpaving yang setelah kuamati, memiliki corak melingkar lingkar yang unik dan rumit. Kami yang buta arah hanya memiliki pilihan mengikuti jalan ini yang sepertinya merupakan jalan utama karena ukurannya yang lebar.Setelah beberapa saat berkuda akhirnya kami sampai di daerah yang berpenghuni. Setelah menyusuri jalan, akhirnya kami sampai di sebuah alun-alun dengan sebuah air mancu
“Bagaimana keadaan Era?” Esen bertanya kepada Bibbat yang baru saja memeriksa Era.“Semuanya normal. Ia sangat sehat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Syukurlah.” Esen menghembuskan nafas lega.“Berarti kami sudah boleh pulang bukan?” Tanya Era.“Kau sudah ingin pulang?”“Ya. Kami sudah terlalu lama disini. Kami harus segera menyelesaikan tugas kami yang tertunda.”Ashlyn menatapnya.“Kau yakin?”Era mengangguk.“Kita harus segera pergi.”Bibbat memandang Era sebentar lalu memandang kami yang berdiri di sekeliliing tempat tidur.“Bagaimana dengan kalian”“Kami mengikuti keinginan Era. Jika ia bilang berangkat, kami akan berangkat. Tapi kami akan mendengarkan pertimbanganmu.”“Baiklah jika itu keputusan kalian. Dengan keadaan Putri Era saat ini kalian bisa memulai kembali perjalanan kalian kapanpun yang kalian mau.”“Baiklah, kalau begitu kami akan berangkat besok.”“Jika itu mau kalian.”“Terima kasih atas pengertian dan bantuanmu.”“Aku akan memberi pesan Gaja agar ia bisa mem
Terdengar teriakan keras dan suara ribut-ribut..Bisa kurasakan beberapa orang yang tiba-tiba berlarian masuk ke ruangan kami.Dengan enggan aku berusaha membuka mataku yang terasa berat dan lengket.Jiwaku yang mendarat di dunia ini masih separuh. Rasanya aku masih belum sanggup untuk menghadapi kenyataan dunia. Aku masih ingin tidur lagi.Mimpi apa ya aku semalam? Rasanya kok seperti tegang sekali dan ingatanku tumpang tindih..“Axel bangun! Era sudah sadar!” seru Esen sambil mengguncang badanku.Seketika mataku terbuka lebar dan bangkit dari posisiku yang tidur sambil duduk di kursi dekat pintu.Aku terpaku di tempatku memperhatikan Esen yang bergerak kesana kemari dan berteriak dengan kegirangan.Penyembuh-penyembuh yang hilir mudik dengan raut wajah antusias dan kelegaan sekaligus penuh semangat.Wajah Ashlyn yang bahagia dan penuh rasa syukur.Firroke di atas meja tampak melompat-lompat gembira.Dan tentu saja, di tengah-tengah itu semua, sumber dari semua keributan dan kebahagi
Dua hari kami menunggu.Melihat Era yang tergolek tak sadarkan diri, meskipun kami bilang akan bertahan walaupun nantinya proses kesembuhannya akan memakan waktu, tak urung kami merasa tak berdaya. Rasa cemas kami semakin meningkat dan kesabaran kamipun mulai menipis.Semua hal memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.Apalagi kalau itu berkaitan dengan orang yang kau sayangi.Dan semua itu diperparah dengan kabar bahwa baik Gaja maupun Bibbat belum menemukan penyembuh yang kami cari. Sedangkan Raja Toya yang dikenal sebagai penyembuh handal menolak siapapun yang menemuinya. Tak perduli siapa ia. Tak perduli apapun kepentingannya.Setelah berhari-hari dalam keragu-raguan, malam itu Esen bertekad untuk mengabari orang tuanya esok hari agar keduanya bisa meminta tolong pada Raja Toya secara langsung agar ia berubah pikiran dan bersedia mengobati Era.Dengan keputusan tersebut kami semua merasa beban di pundak kami sedikit terangkat.Setidaknya ada orang dewasa dan berkuasa yang a
Sudah tiga hari kami berada di rumah sakit ini. Kondisi Era relatif stabil meski tidak ada perubahan. Ia sama sekali belum siuman. Tiga orang penyembuh bergantian berjaga dua puluh empat jam non stop untuk menstabilkan aliaran darah Era. Dan kami berada di sisi Era tanpa beranjak kecuali untuk hal yang benar—benar penting. Firroke akan dengan ceria tidur atau hanya duduk-duk di bantal Era, di samping telinganya. Berceloteh macam-macam. Ashlyn dan Esen akan bergantian duduk di samping tempat tidurnya. Menggenggam tangannya, mengusap lembut kepalanya dan sesekali mengajaknya Era berbicara.Hanya aku yang akan melihat semuanya dalam diam dari jarak yang cukup.Aku tidak berani menghampirinya. Apalagi menggenggam tangannya.Aku tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin kudengar.Karena sepanjang perjalanan membawa Era aku mendengarnya.Suara statis benak Era yang tidak beraktifitas. Yang kadang berakhir pada kesunyian yang menyeramkan. Seakan dia ada namun juga sekaligus tiada.Di hari k
Kami berhenti di sebuah bangunan besar tanpa torhameir yang letaknya agak jauh dari istana. Bangunannya lebih polos dibanding bangunan-bangunan yang kami lewati atau kami lihat sebelumnya, namun meskipun terlihat sederhana tapi bangunan itu tampak lebih sibuk karena banyaknya peri yang berlalu lalang.“Ayo.” Kata penjaga itu. Ia segera menuruni ikan yang kami naiki dan meniti anak tangga berwarna putih yang berada di depan bangunan dengan cepat. Aku berusaha mengikutinya semampuku sambil membopong Era.Kami memasuki sebuah bangsal yang sangat luas dengan kursi-kursi berbaris rapi di bagian tengahnya sementara di sisi terjauh dinding terdapat banyak pintu dengan tulisan yang berbeda. Ada yang bertuliskan ruang pengobatan ada pula yang bertuliskan ruang pemeriksaan.Sepertinya ini adalah rumah sakit.Penjaga yang mengantar kami langsung memasuki sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar. Seorang peri yang sedang duduk di belakang sebuah meja besar segera berdiri dan menghampiri kami.
Kami melewati lorong yang di kanan kirinya menetes air bagai tirai perak. Sementara di bawah kami, terdapat air yang mengalir searah dengan tujuan kami. Tidak satu orang pun yang berbicara sepanjang perjalanan hingga kami sampai di ujung lorong, tempat dimana air dibawah kaki kami mengalir dan berakhir dengan terjun bebas ke sungai puluhan meter nun jauh d bawah sana.Tidak terlihat tangga atau alat yang memiliki prospek untuk kami gunakan .“Jadi, bagaimana caranya kita turun?” tanya Firroke.Penjaga meraih kalung yang tersembunyi di balik bajunya lalu meniup sesuatu yang seperti sirip ikan yang tergantung di kalungnya tadi. Tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi cipratan yang keras lalu penjaga itu melompat dan seekor ikan besar berwarna merah muda dengan sepasang sirip yang sangat besar bagai sayap terbang untuk menangkapnya. Ia mendarat tepat di atas punggung ikan tadi. Sebelum kami pulih dari keterkejutan kami mereka berdua telah meluncur cepat ke ba
“Bagaimana”“Sepertinya ada luka di kepala dan rusuk yang patah.” Lynx membetulkan mantel Ashlyn yang digunakan menyelimuti Era. Esen menggenggam tangan saudarinya dengan wajah khawatir.“Aku sudah menstabilkan keadaanya. Tapi ia akan butuh perawatan segera karena sepertinya tulangnya yang patah menekan organ dalamnya.”Flaresh memandang berkeliling.“Kita harus berjalan lebih ke utara jika ingin mencari penyembuh.”“Apa Era bisa?”“Bisa. Aku akan menggendongnya dengan begitu goncangan selama perjalanan akan berkurang. Kalian yang bertanggung jawab membawa kuda dan melindungi kami karena Flaresh tidak bisa menemani kita.”Aku memandang vatra itu. Sebelumnya di Hutan Seda ia tidak menemani kami. Sekarang kami mau masuk ke wilayah Voda-pun ia juga melakukan hal yang sama.“Kenapa?” tanyaku. Flaresh tak menggubrisku. Tapi sepertinya kami sama-sama tahu pertanyaanku tak sekedar sebuah kata kenapa. Dan jawabannya tak sekedar perbedaan natural mereka.“Aku akan mencari portalnya.”Tanpa me
“Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le
“Lynx.”“Kau menemukannya?”“Ya.”“Ada dua. Tapi aku tidak bisa menunjukkan semua sekaligus. Terlalu jauh.”“Yang menyerang Flaresh saja.”“Ya.”“Axel dan Ashlyn, bersiaplah membantu Era. Esen lindungi mereka.”“Baik.”“Firroke, Tunjukkan padaku di hitungan ketiga.”Firroke menganggguk. Kami semua bersiap penuh antisipasi.“Tiga!”Firroke menunjuk tangannya dan kemudian gerombolan tanaman perdu itu membuat sebuah celah kecil memperlihatkan sepasang sepatu boots berwarna hitam. Lynx mengayunkan cakarnya mengirimkan selarik sinar jingga yang langsung memporak porandakan tanaman perdu tersebut dan mengekspos peri yang berada di baliknya. Peri itu mundur dengan sempoyongan setelah dihantam serangan Lynx. Untuk sesaat serangan kepada kami berhenti. Flaresh dengan sigap memanfaatkan kesempatan tersebut dan segera berlari berkumpul dengan kami dan menyerahkan Era kepadaku. Saat aku telah mendekap Era erat-erat, Lynx secepat kilat berlari ke arah peri tadi dan mengejarnya.Aku seperti melihat