"Lubang yang ada disana adalah pintu masuk Celah Sunji.”Firroke menunjuk sebuah lubang yang berada sekitar lima puluh meter di bukit atas kami. Aku mengangguk.
Setelah menyusuri Bukit Sunji yang keterjalannya lebih sesuai jika dikatakan sebagai tebing, akhirnya kami sampai ke pintu masuk negeri para peri angin, Dharana. Menurut Firroke ada tiga pintu masuk menuju Dharana, namun Bukit Sunji adalah yang paling mudah dilalui dan paling dekat dengan Hutan Seda.
Aku mengelus surai kudaku dan menarik tali kekangnya, memerintahkannya berjalan. Ashlyn di belakangku melakukan hal yang sama dan segera mengikutiku.
“Apa kuda-kuda ini tidak punya nama?”
Entah mengapa pertanyaan ini tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.
“Tentu saja mereka punya.” Kata Firroke. “Ini adalah Misu. Sedangkan yang dinaiki Ashlyn bernama Tashi. Mereka bersaudara. Seperti kalian.”
“Benarkah?”
Firroke mengangguk. Ashlyn mengelus bulu Tashi yang berwarna abu-abu deng
Matahari sudah hampir tenggelam saat kami akhirnya tiba di pintu gerbang Dharana yang berukuran raksasa. Aku mendongak saat melewatinya. Pintu gerbang ini terbuat dari batu dan tingginya mungkin lebih dari dua puluh lima meter. Tidak bisa kubayangkan berapa orang yang harus dikerahkan untuk membuka dan menutup pintu ini setiap harinya.Tidak ada penjaga yang memeriksa kami. Tapi aku bisa melihat ada dua menara yang berada di masing-masing sisi gerbang, dan aku yakin para prajurit itu sudah mengawasi kami sejak kemunculan kami disini.Setelah melewati pintu gerbang, kami melewati jalan berpaving yang setelah kuamati, memiliki corak melingkar lingkar yang unik dan rumit. Kami yang buta arah hanya memiliki pilihan mengikuti jalan ini yang sepertinya merupakan jalan utama karena ukurannya yang lebar.Setelah beberapa saat berkuda akhirnya kami sampai di daerah yang berpenghuni. Setelah menyusuri jalan, akhirnya kami sampai di sebuah alun-alun dengan sebuah air mancu
“Kalian mau apa?”Salah seorang penjaga di pintu gerbang istana Dharana menghentikan kami. Ia seorang peri bertubuh jangkung dengan kulit sewarna coklat susu dan mata hitam.“Kami ingin bertemu Raja Vathu.” Kataku“Raja Vathu tidak menerima tamu di waktu seperti ini. Kalian kembali saja besok pagi.”“Tapi ini penting. Tidak bisakah kami bertemu dengannya hari ini?”“Semua yang ingin bertemu Raja Vathu pasti memiliki hal penting yang ingin mereka sampaikan. Tapi kalian hanya bisa bertemu dengan raja saat pagi sampai siang hari. Kembali saja besok pagi bersama dengan warga lain yang juga ingin bertemu raja.”Ia membuang muka. Kembali menatap lurus ke depan.Aku berpandangan dengan Ashlyn. Ashlyn menggamit lenganku menjauh dari penjaga itu.“Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Kita tunggu sampai besok saja.”“Kita cari makan malam saja
“Menurutmu apa kita akan berhasil kali ini?” Ashlyn bertanya di sela-sela perjalanan kami ke istana Dharana. Kami memilih berjalan kaki dan meninggalkan Misu dan Tashi di tempat Pratvi agar mereka bisa beristirahat. Jarak penginapan ke istana memang agak sedikit jauh dan menanjak tapi kami sepakat dengan cara ini kami iakan dapat menikmati pemandangan dan situasi kota dengan lebih baik. “Tentu saja. Kan kita memiliki kotak pemberian Raja Narawana.” Kata Firroke dengan yakin. “Yah, semoga saja.” Aku menimpalinya sambil menghindari seorang peri yang berjalan tergesa-gesa dari arah berlawanan. Kami melewati sebuah pasar kecil namun terlihat sibuk yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari lalu melewati pemukiman penduduk. Semakin kami menanjak mengikuti jalan yang berkelok-kelok semakin sedikit jumlah rumah dan peri yang kami temui. “Kemarin sepertinya tidak sejauh ini.” Aku mulai mengeluh. “Karena kita mengendarai Tashi dan
Tidak ada jawaban dari patung di depan kami.Tentu saja. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah patung bukan?Tapi tidak mungkin seorang panglima perang seperti Lord Enki akan mempermainkan kami. Apalagi menggunakan rajanya sebagai bahan gurauan.“Apa maksud Anda, Lord Enki?” Tanya Ashlyn terdengar kebingungan.“Bukankah kalian ingin bertemu dengan Raja Vathu?”“Tapi ini kan..”Lord Enki menatap kami sungguh-sungguh.“Ini adalah Raja Vathu. Pemimpin Erde yang ingin kalian temui.”“Tapi, Raja Vathu tidak seperti ini.” Sela Firroke. “Ini, ini hanya patungnya.”Firroke berkata dengan terbata-bata. Lord Enki menggeleng mengisyaratkan ketidak setujuan.Baru saja Lord Enki hendak berbicara tiba-tiba pintu di belakang kami terbuka. Lord Enki memandang ke arah pintu dan kami bertiga serempak menoleh ke belakang. Seorang wanita dengan tubuh mun
Dengan tergesa-gesa kami mendekati Raja Vathu. Firroke terbang begitu dekat dengan cincin yang menjadi sumber rasa ingin tahu kami sampai-sampai hidungnya hampir menempel di permukaan batu ruby yang mengkilap itu.“Ya. Ini sama!” Seru Firroke kegirangan. “Ini sama!” Ia terbang naik turun karena gembiranya. Ashlyn mendekatkan kalung ibu dan membandingkan keduanya lalu mengangguk dengan senyum di bibirnya. Aku menegakkan badanku dengan perasaan lega.“Akhirnya kita memiliki sebuah titik terang.’’“Apakah Anda tahu dimana ayah Anda mendapatkan cincin ini, Putri?” Tanya Ashlyn. Putri Kaya menggeleng.“Tidak. Aku juga tidak pernah menanyakannya karena ayah memiliki banyak cincin seperti ini.”Ia berhenti sebentar.“Seperti yang kalian tahu, bangsa kami adalah bangsa yang mahir dalam membuat perhiasan. Perhiasan menjadi suatu hal yang umum bagi bangsa kami. Maka tidak heran ji
“Aku senang kalian mau menginap di sini.” Kata Putri Kaya sambil meletakkan gelasnya. “Kami sangat berterima kasih Anda berkenan mengundang kami, Tuan Putri.” Kataku sungguh-sungguh. Menginap di istana benar-benar membuat kami berhasil memangkas pengeluaran. Yah, meskipun bekal kami lebih dari cukup, tapi bukankah menginap di istana adalah sebuah pengalaman sekali seumur hidup?Putri Kaya tersenyum pada kami. “Sudah lama aku tidak mendapat tamu. Keberadaan kalian sedikit membuat aku tidak merasa kesepian.” “Apa Anda tidak punya teman, Putri?” “Firroke.” Ashlyn mendesah lelah. Putri Kaya tersenyum. “Aku punya. Tapi hanya sedikit. Dan mereka jarang berkunjung karena mereka bukan dari negeri ini.” “Apa Anda tidak punya teman dari Dharana?” “Firroke..” Putri Kaya menggeleng. “Kenapa?” “Firroke.” Ashlyn menarik Firroke dan mendudukkannya di hadapannya. “Maafkan dia, Tuan Putri.” Put
Aku mengangguk pada dua prajurit penjaga di depan pintu ruangan Raja Vathu. Mereka balas mengangguk lalu membukakan aku pintu. Suara langkah kakiku menggema di tengah ruangan yang luas dan hampir kosong seiring semakin pendeknya jarak antara aku dengan raja yang membatu itu. Kutatap Raja Vathu dengan seksama. Saat pertama kali aku melihatnya kemarin aku tidak memiliki kesempatan untuk memperhatikannya. Raja Vathu duduk dengan kepala menunduk. Badannya besar, bahkan saat aku berdiri, tinggiku hanya mencapai bahunya. Kedua tangannya berada di atas pegangan singgasananya sementara wajahnya menatap ke bawah dengan raut sedih. Rambut sebahunya tampak seperti dipahat helai demi helai dengan sebuah mahkota sederhana melingkar di kepalanya. Seluruh tubuh Raja Vathu tampak berkilau. Aku merunduk lalu menyentuh tangannya dan terkesiap saat menyadari apa yang ada di hadapanku. Berlian. Seluruh tubuh Raja Vathu merupakan berlian. I
“Apa yang ingin kau sampaikan, Lord Enki?” Tanya Putri Kaya begitu ia duduk di salah satu kursi di ruangan Lord Enki. Lord Enki mengangguk dan segera berbicara. “Hamba telah menemukan informasi mengenai kalung milik orang tua Axel, Putri.” “Benarkah?” Kami semua berseru bersamaan seperti paduan suara. Sekali lagi Lord Enki mengangguk. “Ya. Kami sudah menemukan pembuatnya.” “Benarkah?” Mata Putri Kaya melebar penuh rasa ingin tahu. “Siapa?” “Pembuatnya adalah Klan Romraa.” “Klan Romraa? Itu salah satu klan yang tertua, bukan? Setahuku mereka hanya membuat senjata saja. Aku tidak pernah mendengar mereka membuat perhiasan.” “Apa yang Anda katakan memang benar. Tapi menurut informasi yang hamba dapat, Klan Romraa adakalanya memang membuat hal-hal khusus atas permintaan Raja Vathu.” “Lalu, peri manakah dari klan Romraa yang membuatnya?” “Hamba akan menemui putra tertua klan Romraa untuk mengetahui informasi l
“Lynx!” Seru Era. Lynx berbalik dan langsung disergap Era yang memeluknya erat-erat.“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Lynx sambil memegang bahu Era dengan kedua tangannya dan memandangnya dari atas ke bawah, memeriksanya dengan seksama.“Aku baik-baik saja.”Lynx menganggguk dengan mata berbinar.“Aku bisa mellihatnya.” Ia mengalihkan pandangannya ke Gaja. “Terima kasih sudah membantu dan menjaga mereka.”Gaja mengangguk.“Sudah tugasku.”Lynx mengangguk pada penjaga teman Gaja yang pernah kami temui saat pertama kali sampai di sini dan berjalan pergi.“Kalau begitu kami pamit. Kami akan meneruskan perjalanan. Terima kasih untuk semuanya, Gaja.” Kata Esen. kami melakukan hal yang sama.“Hati-hati.”“Terima kasih.” Kata Esen pada penjaga satunya untuk terakhir kalinya lalu kami segera menusu Lynx yang telah mendahului kami.Kami sampai di Deruta disambut matahari yang bersinar hangat.Dan seraut wajah tanpa ekspresi berwarna perunggu.“Flaresh.” Seru Era. Flaresh mengangguk. Tidak ada kali
“Bagaimana keadaan Era?” Esen bertanya kepada Bibbat yang baru saja memeriksa Era.“Semuanya normal. Ia sangat sehat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Syukurlah.” Esen menghembuskan nafas lega.“Berarti kami sudah boleh pulang bukan?” Tanya Era.“Kau sudah ingin pulang?”“Ya. Kami sudah terlalu lama disini. Kami harus segera menyelesaikan tugas kami yang tertunda.”Ashlyn menatapnya.“Kau yakin?”Era mengangguk.“Kita harus segera pergi.”Bibbat memandang Era sebentar lalu memandang kami yang berdiri di sekeliliing tempat tidur.“Bagaimana dengan kalian”“Kami mengikuti keinginan Era. Jika ia bilang berangkat, kami akan berangkat. Tapi kami akan mendengarkan pertimbanganmu.”“Baiklah jika itu keputusan kalian. Dengan keadaan Putri Era saat ini kalian bisa memulai kembali perjalanan kalian kapanpun yang kalian mau.”“Baiklah, kalau begitu kami akan berangkat besok.”“Jika itu mau kalian.”“Terima kasih atas pengertian dan bantuanmu.”“Aku akan memberi pesan Gaja agar ia bisa mem
Terdengar teriakan keras dan suara ribut-ribut..Bisa kurasakan beberapa orang yang tiba-tiba berlarian masuk ke ruangan kami.Dengan enggan aku berusaha membuka mataku yang terasa berat dan lengket.Jiwaku yang mendarat di dunia ini masih separuh. Rasanya aku masih belum sanggup untuk menghadapi kenyataan dunia. Aku masih ingin tidur lagi.Mimpi apa ya aku semalam? Rasanya kok seperti tegang sekali dan ingatanku tumpang tindih..“Axel bangun! Era sudah sadar!” seru Esen sambil mengguncang badanku.Seketika mataku terbuka lebar dan bangkit dari posisiku yang tidur sambil duduk di kursi dekat pintu.Aku terpaku di tempatku memperhatikan Esen yang bergerak kesana kemari dan berteriak dengan kegirangan.Penyembuh-penyembuh yang hilir mudik dengan raut wajah antusias dan kelegaan sekaligus penuh semangat.Wajah Ashlyn yang bahagia dan penuh rasa syukur.Firroke di atas meja tampak melompat-lompat gembira.Dan tentu saja, di tengah-tengah itu semua, sumber dari semua keributan dan kebahagi
Dua hari kami menunggu.Melihat Era yang tergolek tak sadarkan diri, meskipun kami bilang akan bertahan walaupun nantinya proses kesembuhannya akan memakan waktu, tak urung kami merasa tak berdaya. Rasa cemas kami semakin meningkat dan kesabaran kamipun mulai menipis.Semua hal memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.Apalagi kalau itu berkaitan dengan orang yang kau sayangi.Dan semua itu diperparah dengan kabar bahwa baik Gaja maupun Bibbat belum menemukan penyembuh yang kami cari. Sedangkan Raja Toya yang dikenal sebagai penyembuh handal menolak siapapun yang menemuinya. Tak perduli siapa ia. Tak perduli apapun kepentingannya.Setelah berhari-hari dalam keragu-raguan, malam itu Esen bertekad untuk mengabari orang tuanya esok hari agar keduanya bisa meminta tolong pada Raja Toya secara langsung agar ia berubah pikiran dan bersedia mengobati Era.Dengan keputusan tersebut kami semua merasa beban di pundak kami sedikit terangkat.Setidaknya ada orang dewasa dan berkuasa yang a
Sudah tiga hari kami berada di rumah sakit ini. Kondisi Era relatif stabil meski tidak ada perubahan. Ia sama sekali belum siuman. Tiga orang penyembuh bergantian berjaga dua puluh empat jam non stop untuk menstabilkan aliaran darah Era. Dan kami berada di sisi Era tanpa beranjak kecuali untuk hal yang benar—benar penting. Firroke akan dengan ceria tidur atau hanya duduk-duk di bantal Era, di samping telinganya. Berceloteh macam-macam. Ashlyn dan Esen akan bergantian duduk di samping tempat tidurnya. Menggenggam tangannya, mengusap lembut kepalanya dan sesekali mengajaknya Era berbicara.Hanya aku yang akan melihat semuanya dalam diam dari jarak yang cukup.Aku tidak berani menghampirinya. Apalagi menggenggam tangannya.Aku tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin kudengar.Karena sepanjang perjalanan membawa Era aku mendengarnya.Suara statis benak Era yang tidak beraktifitas. Yang kadang berakhir pada kesunyian yang menyeramkan. Seakan dia ada namun juga sekaligus tiada.Di hari k
Kami berhenti di sebuah bangunan besar tanpa torhameir yang letaknya agak jauh dari istana. Bangunannya lebih polos dibanding bangunan-bangunan yang kami lewati atau kami lihat sebelumnya, namun meskipun terlihat sederhana tapi bangunan itu tampak lebih sibuk karena banyaknya peri yang berlalu lalang.“Ayo.” Kata penjaga itu. Ia segera menuruni ikan yang kami naiki dan meniti anak tangga berwarna putih yang berada di depan bangunan dengan cepat. Aku berusaha mengikutinya semampuku sambil membopong Era.Kami memasuki sebuah bangsal yang sangat luas dengan kursi-kursi berbaris rapi di bagian tengahnya sementara di sisi terjauh dinding terdapat banyak pintu dengan tulisan yang berbeda. Ada yang bertuliskan ruang pengobatan ada pula yang bertuliskan ruang pemeriksaan.Sepertinya ini adalah rumah sakit.Penjaga yang mengantar kami langsung memasuki sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar. Seorang peri yang sedang duduk di belakang sebuah meja besar segera berdiri dan menghampiri kami.
Kami melewati lorong yang di kanan kirinya menetes air bagai tirai perak. Sementara di bawah kami, terdapat air yang mengalir searah dengan tujuan kami. Tidak satu orang pun yang berbicara sepanjang perjalanan hingga kami sampai di ujung lorong, tempat dimana air dibawah kaki kami mengalir dan berakhir dengan terjun bebas ke sungai puluhan meter nun jauh d bawah sana.Tidak terlihat tangga atau alat yang memiliki prospek untuk kami gunakan .“Jadi, bagaimana caranya kita turun?” tanya Firroke.Penjaga meraih kalung yang tersembunyi di balik bajunya lalu meniup sesuatu yang seperti sirip ikan yang tergantung di kalungnya tadi. Tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi cipratan yang keras lalu penjaga itu melompat dan seekor ikan besar berwarna merah muda dengan sepasang sirip yang sangat besar bagai sayap terbang untuk menangkapnya. Ia mendarat tepat di atas punggung ikan tadi. Sebelum kami pulih dari keterkejutan kami mereka berdua telah meluncur cepat ke ba
“Bagaimana”“Sepertinya ada luka di kepala dan rusuk yang patah.” Lynx membetulkan mantel Ashlyn yang digunakan menyelimuti Era. Esen menggenggam tangan saudarinya dengan wajah khawatir.“Aku sudah menstabilkan keadaanya. Tapi ia akan butuh perawatan segera karena sepertinya tulangnya yang patah menekan organ dalamnya.”Flaresh memandang berkeliling.“Kita harus berjalan lebih ke utara jika ingin mencari penyembuh.”“Apa Era bisa?”“Bisa. Aku akan menggendongnya dengan begitu goncangan selama perjalanan akan berkurang. Kalian yang bertanggung jawab membawa kuda dan melindungi kami karena Flaresh tidak bisa menemani kita.”Aku memandang vatra itu. Sebelumnya di Hutan Seda ia tidak menemani kami. Sekarang kami mau masuk ke wilayah Voda-pun ia juga melakukan hal yang sama.“Kenapa?” tanyaku. Flaresh tak menggubrisku. Tapi sepertinya kami sama-sama tahu pertanyaanku tak sekedar sebuah kata kenapa. Dan jawabannya tak sekedar perbedaan natural mereka.“Aku akan mencari portalnya.”Tanpa me
“Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le