“Menurutmu apa kita akan berhasil kali ini?”
Ashlyn bertanya di sela-sela perjalanan kami ke istana Dharana. Kami memilih berjalan kaki dan meninggalkan Misu dan Tashi di tempat Pratvi agar mereka bisa beristirahat. Jarak penginapan ke istana memang agak sedikit jauh dan menanjak tapi kami sepakat dengan cara ini kami iakan dapat menikmati pemandangan dan situasi kota dengan lebih baik.
“Tentu saja. Kan kita memiliki kotak pemberian Raja Narawana.” Kata Firroke dengan yakin.
“Yah, semoga saja.” Aku menimpalinya sambil menghindari seorang peri yang berjalan tergesa-gesa dari arah berlawanan.
Kami melewati sebuah pasar kecil namun terlihat sibuk yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari lalu melewati pemukiman penduduk. Semakin kami menanjak mengikuti jalan yang berkelok-kelok semakin sedikit jumlah rumah dan peri yang kami temui.
“Kemarin sepertinya tidak sejauh ini.” Aku mulai mengeluh.
“Karena kita mengendarai Tashi dan
Tidak ada jawaban dari patung di depan kami.Tentu saja. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah patung bukan?Tapi tidak mungkin seorang panglima perang seperti Lord Enki akan mempermainkan kami. Apalagi menggunakan rajanya sebagai bahan gurauan.“Apa maksud Anda, Lord Enki?” Tanya Ashlyn terdengar kebingungan.“Bukankah kalian ingin bertemu dengan Raja Vathu?”“Tapi ini kan..”Lord Enki menatap kami sungguh-sungguh.“Ini adalah Raja Vathu. Pemimpin Erde yang ingin kalian temui.”“Tapi, Raja Vathu tidak seperti ini.” Sela Firroke. “Ini, ini hanya patungnya.”Firroke berkata dengan terbata-bata. Lord Enki menggeleng mengisyaratkan ketidak setujuan.Baru saja Lord Enki hendak berbicara tiba-tiba pintu di belakang kami terbuka. Lord Enki memandang ke arah pintu dan kami bertiga serempak menoleh ke belakang. Seorang wanita dengan tubuh mun
Dengan tergesa-gesa kami mendekati Raja Vathu. Firroke terbang begitu dekat dengan cincin yang menjadi sumber rasa ingin tahu kami sampai-sampai hidungnya hampir menempel di permukaan batu ruby yang mengkilap itu.“Ya. Ini sama!” Seru Firroke kegirangan. “Ini sama!” Ia terbang naik turun karena gembiranya. Ashlyn mendekatkan kalung ibu dan membandingkan keduanya lalu mengangguk dengan senyum di bibirnya. Aku menegakkan badanku dengan perasaan lega.“Akhirnya kita memiliki sebuah titik terang.’’“Apakah Anda tahu dimana ayah Anda mendapatkan cincin ini, Putri?” Tanya Ashlyn. Putri Kaya menggeleng.“Tidak. Aku juga tidak pernah menanyakannya karena ayah memiliki banyak cincin seperti ini.”Ia berhenti sebentar.“Seperti yang kalian tahu, bangsa kami adalah bangsa yang mahir dalam membuat perhiasan. Perhiasan menjadi suatu hal yang umum bagi bangsa kami. Maka tidak heran ji
“Aku senang kalian mau menginap di sini.” Kata Putri Kaya sambil meletakkan gelasnya. “Kami sangat berterima kasih Anda berkenan mengundang kami, Tuan Putri.” Kataku sungguh-sungguh. Menginap di istana benar-benar membuat kami berhasil memangkas pengeluaran. Yah, meskipun bekal kami lebih dari cukup, tapi bukankah menginap di istana adalah sebuah pengalaman sekali seumur hidup?Putri Kaya tersenyum pada kami. “Sudah lama aku tidak mendapat tamu. Keberadaan kalian sedikit membuat aku tidak merasa kesepian.” “Apa Anda tidak punya teman, Putri?” “Firroke.” Ashlyn mendesah lelah. Putri Kaya tersenyum. “Aku punya. Tapi hanya sedikit. Dan mereka jarang berkunjung karena mereka bukan dari negeri ini.” “Apa Anda tidak punya teman dari Dharana?” “Firroke..” Putri Kaya menggeleng. “Kenapa?” “Firroke.” Ashlyn menarik Firroke dan mendudukkannya di hadapannya. “Maafkan dia, Tuan Putri.” Put
Aku mengangguk pada dua prajurit penjaga di depan pintu ruangan Raja Vathu. Mereka balas mengangguk lalu membukakan aku pintu. Suara langkah kakiku menggema di tengah ruangan yang luas dan hampir kosong seiring semakin pendeknya jarak antara aku dengan raja yang membatu itu. Kutatap Raja Vathu dengan seksama. Saat pertama kali aku melihatnya kemarin aku tidak memiliki kesempatan untuk memperhatikannya. Raja Vathu duduk dengan kepala menunduk. Badannya besar, bahkan saat aku berdiri, tinggiku hanya mencapai bahunya. Kedua tangannya berada di atas pegangan singgasananya sementara wajahnya menatap ke bawah dengan raut sedih. Rambut sebahunya tampak seperti dipahat helai demi helai dengan sebuah mahkota sederhana melingkar di kepalanya. Seluruh tubuh Raja Vathu tampak berkilau. Aku merunduk lalu menyentuh tangannya dan terkesiap saat menyadari apa yang ada di hadapanku. Berlian. Seluruh tubuh Raja Vathu merupakan berlian. I
“Apa yang ingin kau sampaikan, Lord Enki?” Tanya Putri Kaya begitu ia duduk di salah satu kursi di ruangan Lord Enki. Lord Enki mengangguk dan segera berbicara. “Hamba telah menemukan informasi mengenai kalung milik orang tua Axel, Putri.” “Benarkah?” Kami semua berseru bersamaan seperti paduan suara. Sekali lagi Lord Enki mengangguk. “Ya. Kami sudah menemukan pembuatnya.” “Benarkah?” Mata Putri Kaya melebar penuh rasa ingin tahu. “Siapa?” “Pembuatnya adalah Klan Romraa.” “Klan Romraa? Itu salah satu klan yang tertua, bukan? Setahuku mereka hanya membuat senjata saja. Aku tidak pernah mendengar mereka membuat perhiasan.” “Apa yang Anda katakan memang benar. Tapi menurut informasi yang hamba dapat, Klan Romraa adakalanya memang membuat hal-hal khusus atas permintaan Raja Vathu.” “Lalu, peri manakah dari klan Romraa yang membuatnya?” “Hamba akan menemui putra tertua klan Romraa untuk mengetahui informasi l
“Maaf membuat Anda menunggu. “ Kami semua menoleh bersamaan saat seorang peri tinggi besar dengan rambut berwarna kecoklatan diekor kuda memasuki ruangan melalu pintu di sisi ruangan sebelah kananku. Lengannya yang kekar dan bahunya yang bidang terlihat jelas karena ia menggunakan baju kulit tanpa lengan. Ia berjalan dengan langkah mantap dengan dagu yang sedikit diangkat sehingga memberinya kesan sedikit angkuh. Ia meletakkan tangan kanannya di depan bahu kiri dan mengangguk pada Lord Enki. “Salam, Lord Enki.” Lord Enki melakukan gerakan yang sama dan membalas anggukan peri itu. Ia memandang kami sekilas dan mengangguk sebelum duduk di kursinya. “Jadi, apakah Anda kemari guna menanyakan informasi terkait kalung yang ada padaku?” Lord Enki mengangguk. “Informasi apa yang kau dapat, Utra?” “Sebetulnya, Ayahlah yang memiliki informasi tentang kalung tersebut. Karena menurut ayah, ia yang membuatnya.” “Bedhama yang
Kami duduk dalam diam dengan ketegangan yang kentara. Ini pertama kalinya aku dan Ashlyn melihat seseorang meninggal dengan cara ditikam. Kami masih sangat terguncang. Bayangan Bedhama yang bersimbah darah dan belati yang menancap di dadanya terlihat jelas setiap kali aku memejamkan mata. Utra memasuki ruangan tempat kami menunggu dengan langkah yang terlihat berat. Lord Enki tidak mengucapkan apapun bahkan saat Utra duduk dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya yang bertumpu di meja. Bahunya tampak lesu penuh kesedihan namun rahangnya tampak mengencang, penuh amarah dan tekad. Ada banyak perasaan berkecamuk dalam dirinya. Untuk beberapa saat yang terasa lama kami semua terdiam sambil berusaha mengalihkan pandangan kami dari peri yang sedang berkabung itu. “Apakah Anda melihat penyusup yang Anda kejar, Lord Enki?” Utra yang akhirnya bisa menguasai diri bertanya pada Lord Enki. Lord Enki menggeleng. “Tidak. Dia sangat
“Bagaimana?” Putri Kaya bertanya pada Lord Enki yang baru saja bergabung dengan kami di ruang makan. Ia menunjuk kursi, mempersilahkannya duduk bersama kami yang baru saja menyelesaikan makan siang, sementara Lord Enki baru kembali dari Kastil Romraa. “Tidak ada hasil yang baru.” Kata Lord Enki sambil duduk di sampingku. Putri Kaya mengangguk dengan ekspresi menyayangkan. “Kapan upacara pemakaman Bedhama akan dilaksanakan?” “Sore ini saat senja.” Lagi-lagi Putri Kaya mengangguk. “Sampaikan pesan duka citaku pada Klan Romraa, Lord Enki.” “Seperti perintahmu, Tuan Putri.” Lord Enki berdiri. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di pikiranku. “Bolehkah kami ikut menghadiri upacara pemakaman Bedhama?” Lord Enki menatapku terkejut. Ia dan Putri Kaya saling berpandangan. “Tidak bisakah?” Kali ini Ashlyn ikut bertanya. Setelah berpikir sesaat akhirnya Lord Enki mengangguk. Putr
“Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le
“Lynx.”“Kau menemukannya?”“Ya.”“Ada dua. Tapi aku tidak bisa menunjukkan semua sekaligus. Terlalu jauh.”“Yang menyerang Flaresh saja.”“Ya.”“Axel dan Ashlyn, bersiaplah membantu Era. Esen lindungi mereka.”“Baik.”“Firroke, Tunjukkan padaku di hitungan ketiga.”Firroke menganggguk. Kami semua bersiap penuh antisipasi.“Tiga!”Firroke menunjuk tangannya dan kemudian gerombolan tanaman perdu itu membuat sebuah celah kecil memperlihatkan sepasang sepatu boots berwarna hitam. Lynx mengayunkan cakarnya mengirimkan selarik sinar jingga yang langsung memporak porandakan tanaman perdu tersebut dan mengekspos peri yang berada di baliknya. Peri itu mundur dengan sempoyongan setelah dihantam serangan Lynx. Untuk sesaat serangan kepada kami berhenti. Flaresh dengan sigap memanfaatkan kesempatan tersebut dan segera berlari berkumpul dengan kami dan menyerahkan Era kepadaku. Saat aku telah mendekap Era erat-erat, Lynx secepat kilat berlari ke arah peri tadi dan mengejarnya.Aku seperti melihat
Deruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete
“Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be
Perjalanan kami berlangsung dengan lancar tanpa kendala yang berarti sampai akhirnya kami sampai di bawah kaki Bukit Sunji. Aku menengadahkan kepala memandang jalur curam berkelok-kelok yang akan membawa kami ke pintu masuk Kerajaan Dharana.“Pintu masuk Dharana ada di atas sana.” Kataku pada Esen yang berkuda di sampingku.“Jadi disana yang namanya Celah Sunji?” Tanyanya. Aku mengangguk.“Kita langsung saja. Istirahatnya nanti saat kita sudah melewati celah Sunji.” Kata Lynx yang berada di barisan paling depan.“Baik.” Kami menjawab serempak. Lynx mempercepat langkah kudanya. Kami mengikutinya dan melakukan hal yang sama.Aku masih ingat betapa terjalnya jalan setapak Bukit Sunji dan betapa kerasnya angin yang berhembus di samping kami saat kami berjalan. Dulu kami sampai tidak bisa berjalan dengan tegak. Selain karena terjalnya jalan, angin yang keras seakan memanggil kami untuk terjun bebas. Ditambah lagi kami harus menuntun Misu dan Tashi. Sungguh bukan perjalanan mudah.Tapi kali
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua