“Aku senang kalian mau menginap di sini.” Kata Putri Kaya sambil meletakkan gelasnya.
“Kami sangat berterima kasih Anda berkenan mengundang kami, Tuan Putri.” Kataku sungguh-sungguh. Menginap di istana benar-benar membuat kami berhasil memangkas pengeluaran. Yah, meskipun bekal kami lebih dari cukup, tapi bukankah menginap di istana adalah sebuah pengalaman sekali seumur hidup?
Putri Kaya tersenyum pada kami.“Sudah lama aku tidak mendapat tamu. Keberadaan kalian sedikit membuat aku tidak merasa kesepian.”
“Apa Anda tidak punya teman, Putri?”
“Firroke.” Ashlyn mendesah lelah. Putri Kaya tersenyum.
“Aku punya. Tapi hanya sedikit. Dan mereka jarang berkunjung karena mereka bukan dari negeri ini.”
“Apa Anda tidak punya teman dari Dharana?”
“Firroke..”
Putri Kaya menggeleng.
“Kenapa?”
“Firroke.”
Ashlyn menarik Firroke dan mendudukkannya di hadapannya.
“Maafkan dia, Tuan Putri.”
Put
Aku mengangguk pada dua prajurit penjaga di depan pintu ruangan Raja Vathu. Mereka balas mengangguk lalu membukakan aku pintu. Suara langkah kakiku menggema di tengah ruangan yang luas dan hampir kosong seiring semakin pendeknya jarak antara aku dengan raja yang membatu itu. Kutatap Raja Vathu dengan seksama. Saat pertama kali aku melihatnya kemarin aku tidak memiliki kesempatan untuk memperhatikannya. Raja Vathu duduk dengan kepala menunduk. Badannya besar, bahkan saat aku berdiri, tinggiku hanya mencapai bahunya. Kedua tangannya berada di atas pegangan singgasananya sementara wajahnya menatap ke bawah dengan raut sedih. Rambut sebahunya tampak seperti dipahat helai demi helai dengan sebuah mahkota sederhana melingkar di kepalanya. Seluruh tubuh Raja Vathu tampak berkilau. Aku merunduk lalu menyentuh tangannya dan terkesiap saat menyadari apa yang ada di hadapanku. Berlian. Seluruh tubuh Raja Vathu merupakan berlian. I
“Apa yang ingin kau sampaikan, Lord Enki?” Tanya Putri Kaya begitu ia duduk di salah satu kursi di ruangan Lord Enki. Lord Enki mengangguk dan segera berbicara. “Hamba telah menemukan informasi mengenai kalung milik orang tua Axel, Putri.” “Benarkah?” Kami semua berseru bersamaan seperti paduan suara. Sekali lagi Lord Enki mengangguk. “Ya. Kami sudah menemukan pembuatnya.” “Benarkah?” Mata Putri Kaya melebar penuh rasa ingin tahu. “Siapa?” “Pembuatnya adalah Klan Romraa.” “Klan Romraa? Itu salah satu klan yang tertua, bukan? Setahuku mereka hanya membuat senjata saja. Aku tidak pernah mendengar mereka membuat perhiasan.” “Apa yang Anda katakan memang benar. Tapi menurut informasi yang hamba dapat, Klan Romraa adakalanya memang membuat hal-hal khusus atas permintaan Raja Vathu.” “Lalu, peri manakah dari klan Romraa yang membuatnya?” “Hamba akan menemui putra tertua klan Romraa untuk mengetahui informasi l
“Maaf membuat Anda menunggu. “ Kami semua menoleh bersamaan saat seorang peri tinggi besar dengan rambut berwarna kecoklatan diekor kuda memasuki ruangan melalu pintu di sisi ruangan sebelah kananku. Lengannya yang kekar dan bahunya yang bidang terlihat jelas karena ia menggunakan baju kulit tanpa lengan. Ia berjalan dengan langkah mantap dengan dagu yang sedikit diangkat sehingga memberinya kesan sedikit angkuh. Ia meletakkan tangan kanannya di depan bahu kiri dan mengangguk pada Lord Enki. “Salam, Lord Enki.” Lord Enki melakukan gerakan yang sama dan membalas anggukan peri itu. Ia memandang kami sekilas dan mengangguk sebelum duduk di kursinya. “Jadi, apakah Anda kemari guna menanyakan informasi terkait kalung yang ada padaku?” Lord Enki mengangguk. “Informasi apa yang kau dapat, Utra?” “Sebetulnya, Ayahlah yang memiliki informasi tentang kalung tersebut. Karena menurut ayah, ia yang membuatnya.” “Bedhama yang
Kami duduk dalam diam dengan ketegangan yang kentara. Ini pertama kalinya aku dan Ashlyn melihat seseorang meninggal dengan cara ditikam. Kami masih sangat terguncang. Bayangan Bedhama yang bersimbah darah dan belati yang menancap di dadanya terlihat jelas setiap kali aku memejamkan mata. Utra memasuki ruangan tempat kami menunggu dengan langkah yang terlihat berat. Lord Enki tidak mengucapkan apapun bahkan saat Utra duduk dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya yang bertumpu di meja. Bahunya tampak lesu penuh kesedihan namun rahangnya tampak mengencang, penuh amarah dan tekad. Ada banyak perasaan berkecamuk dalam dirinya. Untuk beberapa saat yang terasa lama kami semua terdiam sambil berusaha mengalihkan pandangan kami dari peri yang sedang berkabung itu. “Apakah Anda melihat penyusup yang Anda kejar, Lord Enki?” Utra yang akhirnya bisa menguasai diri bertanya pada Lord Enki. Lord Enki menggeleng. “Tidak. Dia sangat
“Bagaimana?” Putri Kaya bertanya pada Lord Enki yang baru saja bergabung dengan kami di ruang makan. Ia menunjuk kursi, mempersilahkannya duduk bersama kami yang baru saja menyelesaikan makan siang, sementara Lord Enki baru kembali dari Kastil Romraa. “Tidak ada hasil yang baru.” Kata Lord Enki sambil duduk di sampingku. Putri Kaya mengangguk dengan ekspresi menyayangkan. “Kapan upacara pemakaman Bedhama akan dilaksanakan?” “Sore ini saat senja.” Lagi-lagi Putri Kaya mengangguk. “Sampaikan pesan duka citaku pada Klan Romraa, Lord Enki.” “Seperti perintahmu, Tuan Putri.” Lord Enki berdiri. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di pikiranku. “Bolehkah kami ikut menghadiri upacara pemakaman Bedhama?” Lord Enki menatapku terkejut. Ia dan Putri Kaya saling berpandangan. “Tidak bisakah?” Kali ini Ashlyn ikut bertanya. Setelah berpikir sesaat akhirnya Lord Enki mengangguk. Putr
Bahkan setelah kembali dari Kastil Romraa tidak satupun dari kami yang berbicara. Kedukaan keluarga Romraa masih terasa membebani kami semua. Bayangan istri Bedhama yang menangis sesenggukan dan tangisan cucu-cucu mereka seperti ditancapkan dipikiranku. Saat tanpa sengaja aku menyentuh Utra dan mendengarkan pikirannya, aku merasa sangat terkejut dengan betapa keras dan kacau isi kepalanya. Jauh berbeda dengan penampilannya yang tampak tegar. Aku seakan hampir tuli dan kepalaku terasa seperti ditusuk-tusuk setelah mendengarnya. Bahkan sampai saat ini sakitnya masih sedikit terasa. Aku memijit kepalaku perlahan. “Axe? “ Aku menoleh pada Ashlyn yang menatapku khawatir. “Aku hanya sedikit sakit kepala. “ Kataku sambil menggelengkan kepala padanya lalu berdiri. “Sebaiknya aku berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara segar.” “Biar kutemani. “ Kata Firroke. Ia terbang hendak menyusulku saat Ashlyn dengan cepat menyambar tubuhnya.
Setengah berlari aku menyusuri lorong istana dan melompati dua anak tangga sekaligus. Jantungku berdebar-debar karena rasa gembiraku.Aku harus segera memberitahu Ashlyn. Dengan terburu-buru aku membuka pintu kamarnya. “Ash!” Ashlyn dan Putri Kaya menyambutku dengan wajah terkejut bercampur heran. Mata besar Firroke tampak lebih besar dari biasanya karena terkejut. Aku terdiam di tempat seperti sebuah film yang di pause sambil memegang tangkai pintu. “Axel. Kamu mengagetkan saja. “ Ashlyn memprotes tindakanku. Melihat Putri Kaya yang memegang dadanya aku buru-buru minta maaf. “Maafkan aku Putri. Aku tidak tahu Anda di sini. “ Putri Kaya menggeleng. “Tidak apa-apa.” “Ada apa?” Tanya Ashlyn sambil melangkah mendekatiku. Aku menatap Ashlyn dan Putri Kaya bergantian. Keberadaan Putri Kaya jelas tidak ada dalam bayanganku saat aku berlari sepanjang lorong istana dan lalu mendobrak masuk kamar Ashlyn.
“Kau tidak salah, Axel. Ayah memang bergerak.” Putri Kaya memutari Raja Vathu dengan langkah penuh semangat seperti menari. Matanya melebar keheranan. Sementara Firroke terbang kesana kemari memeriksa setiap sudut tubuh Raja Vathu. “Syukurlah.” Aku berkata penuh kelegaan sambil mendekati ayah dan anak itu. “Syukurlah semuanya bukan hanya imajinasiku saja.” “Bagaimana ia bisa bergerak?” Ashlyn menanyaiku tapi wajahnya terpaku pada Raja Vathu. “Aku juga tidak tahu.” Kataku juga tanpa menoleh karena aku sedang sibuk melihat Raja Vathu. “Ia seharusnya menghadap ke depan, bukan?” Aku mengangguk tanpa repot menjawab. “Apa yang terjadi Ayah?” Putri Kaya menyentuh wajah Raja Vathu. “Setelah puluhan tahun, akhirnya kau menggerakkan tubuhmu. Apakah ada yang ingin kau sampaikan pada kami?” Mau tidak mau kami terdiam. Setelah memastikan bahwa Raja Vathu memang bergerak, tanpa sadar kami jadi mendengarkan dengan seksama saat Putri K
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua
“Kau tidak apa-apa?” Esen menatapku penuh kekhawatiran saat akhirnya aku menarik tanganku dari wajah. “Seharusnya.” Aku menjawab dengan ragu. Kami berdua terdiam lagi hingga cukup lama. “Jadi kau bisa mendengarkan pikiranku tadi?” “Sepertinya.” “Tapi bagaiimana caranya? Kan kita tidak saling bersentuhan.” “Aku juga tidak tahu. Ini tidak seperti biasanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus berusaha berpikir jernih. “Apa yang kau lakukan tadi saat aku mendengar pikiranmu?” “Aku memeriksa bekas cakaran di dahan pohon.” “Bagaimana tepatnya kau memeriksanya?” “Aku menyentuhnya.” Dan dengan kompak kami saling pandang. “Tidak mungkin.” Aku masih tidak percaya. “Sepertinya begitu.” Kata Esen sambil mengangguk meyakinkan. “Tapi,” “Bagaimana kalau kita coba lagi?” “Ha?” Esen meletakkan tangannya di batang pohon tadi. “Coba tebak apa yang aku pikirkan.” Aku memandangnya memastikan ke kesungguhannya. Ia mengangguk menyemangatiku. “Tidak ada salahnya mencoba bukan?” Ben
Aku mengulurkan tangan menyentuh batang pohon yang berkulit kasar dan berbenjol di sana sini. Ada getah setengah kering yang merembes dari tiga buah sayatan agak dalam yang posisinya tidak lebih tinggi sedikit dari mataku. Mungkin cakaran hewan. Dengan posisi setinggi ini artinya hewannya besar. Semoga aku tidak perlu bertemu dengannya hari ini.Aku kembali meraba dan merasakan permukaan kasar dibawah jemariku. Dengan tangan masih menempel di batang pohon, aku menutup mata mencoba mendengarkan sekitarku.Telinga dan benakku menangkap bunyi yang sama. Desau angin, bunyi gesekan dedaunan yang menenangkan serta bunyi serangga dan bermacam kicau burung yang berbeda-beda. Bebunyian khas musim panas.Aku berusaha berkonsentrasi lebih dalam dan berusaha mengacuhkan bebunyian yang kudengar di telingaku. Namun tidak ada perubahan. Yang kudengar masih sama. Tidak ada suara lain.Aku mendesah dan berjalan ke pohon yang lain. Lalu mengulangi usahaku sebelumnya. Aku bisa merasakan matahari yang s
“Sekarang tutup mata kalian.”Aku dan Esen saling pandang sesaat lalu menuruti apa yang diperintahkan Raja Narawana.“Ghadanfar.” Terdengar suaranya yang beerat memanggil Ghadanfar.“Ya Yang Mulia.”“Pergilah.”Tidak ada jawaban. Aku membayangkan Ghadanfar yang menjawab perintah Raja Narawana hanya dengan anggukan hormat.“Buka mata kalian.” Lanjutnya kemudian.Kami membuka mata dan hanya disambut oleh sosok tinggi Raja Narwana. Ghadanfar tidak terlihat dimanapun. Sepertinya ia telah pergi sesuai dengan perintah Raja Narawana.“Esen, aku ingin kau mencari dan menemukan Ghadanfar. Aku memberimu waktu sampai sebelum matahari terbenam.” Kata Raja Narawana sambil menatap Esen. “Ia akan memberikanmu sebuah benda sebagai bukti bahwa kau berhasil menemukannya.”“Tapi apa hamba sanggup menemukan Ghadanfar di hutan seluas ini sebelum matahari terbenam?”“Tentu saja kau tidak akan sanggup.”Esen memasang tampang merajuk yang sangat jarang kulihat. Mau tak mau aku tersenyum.“Lalu, apakah Anda
Aku membuka pintu kamarku dan langsung disambut wajah ceria Esen.“Kau tidak ada latihan hari ini?” tanyaku padanya. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu karena ia sibuk berlatih dengan Ghadanfar sedangkan aku sibuk bermain dan berkeliaran kesana kemari dengan kucing apiku. Sebutanku pada Lynx yang tentu saja hanya ada dalam pikiranku.“Kata Ghadanfar hari ini kita akan menemani Raja Narawana.”Jantungku seketika berdegup lebih kencang.“Benarkah?”“Ya. Itulah mengapa ia memintaku untuk memanggilmu.”“Akhrnyaaa..”Esen memandangiku dengan pandangan bertanya.“Sementara kau berlatih sampai tulangmu akan lepas, aku sama sekali belum berlatih, Esen.”Esen menggaruk kepalanya sambil meringis.“Aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak mendengar perkataanmu. Ghadanfar benar-benar tidak tanggung-tanggung dalam melatihku. Sampai-sampai itu lebih mirip siksaan daripada latihan.”Aku tersenyum dan meninju dadanya pelan.“Tapi kau senang bukan?”Esen mengangguk dengan mata berbinar.“Baikla
“Apa kau tidur?”Aku membuka mata dan menatap sesosok burung berwarna putih melayang di atas kepalaku. Kutegakkan tubuhku. Burung itu berputar di angkasa satu kali lalu dengan sebuah desiran halus ia mendarat di atas salah satu daun teratai besar di dekatku dan berubah menjadi seorang peri wanita bertubuh ramping dan mungil. Dulu aku pernah bertemu dengannya saat pertama kali tiba di sini. Namanya,“Aku Ava.” Kata peri itu seakan bisa mengetahui pikiranku.Ah, benar.“Apakah kau menemui kesulitan dengan tugasmu?” Tanyanya. Dengan santai ia duduk di atas daun teratai tadi sambil memainkan kakinya yang terjulur ke danau.“Kau tahu tugasku?” Tanyaku dengan heran.“Tentu saja. Itulah mengapa aku diminta kemari untuk melihat sejauh apa perkembanganmu.”Aku mengangguk sambil memandanginya yang duduk santai di atas daun teratai.“Ada apa?”“Ah, itu..” aku masih tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Ia punya ilmu meringankan tubuh atau bagaimana sih kok bisa-bisanya ia duduk di atas dau