Kami melewati lorong yang di kanan kirinya menetes air bagai tirai perak. Sementara di bawah kami, terdapat air yang mengalir searah dengan tujuan kami. Tidak satu orang pun yang berbicara sepanjang perjalanan hingga kami sampai di ujung lorong, tempat dimana air dibawah kaki kami mengalir dan berakhir dengan terjun bebas ke sungai puluhan meter nun jauh d bawah sana.Tidak terlihat tangga atau alat yang memiliki prospek untuk kami gunakan .“Jadi, bagaimana caranya kita turun?” tanya Firroke.Penjaga meraih kalung yang tersembunyi di balik bajunya lalu meniup sesuatu yang seperti sirip ikan yang tergantung di kalungnya tadi. Tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi cipratan yang keras lalu penjaga itu melompat dan seekor ikan besar berwarna merah muda dengan sepasang sirip yang sangat besar bagai sayap terbang untuk menangkapnya. Ia mendarat tepat di atas punggung ikan tadi. Sebelum kami pulih dari keterkejutan kami mereka berdua telah meluncur cepat ke ba
Kami berhenti di sebuah bangunan besar tanpa torhameir yang letaknya agak jauh dari istana. Bangunannya lebih polos dibanding bangunan-bangunan yang kami lewati atau kami lihat sebelumnya, namun meskipun terlihat sederhana tapi bangunan itu tampak lebih sibuk karena banyaknya peri yang berlalu lalang.“Ayo.” Kata penjaga itu. Ia segera menuruni ikan yang kami naiki dan meniti anak tangga berwarna putih yang berada di depan bangunan dengan cepat. Aku berusaha mengikutinya semampuku sambil membopong Era.Kami memasuki sebuah bangsal yang sangat luas dengan kursi-kursi berbaris rapi di bagian tengahnya sementara di sisi terjauh dinding terdapat banyak pintu dengan tulisan yang berbeda. Ada yang bertuliskan ruang pengobatan ada pula yang bertuliskan ruang pemeriksaan.Sepertinya ini adalah rumah sakit.Penjaga yang mengantar kami langsung memasuki sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar. Seorang peri yang sedang duduk di belakang sebuah meja besar segera berdiri dan menghampiri kami.
Sudah tiga hari kami berada di rumah sakit ini. Kondisi Era relatif stabil meski tidak ada perubahan. Ia sama sekali belum siuman. Tiga orang penyembuh bergantian berjaga dua puluh empat jam non stop untuk menstabilkan aliaran darah Era. Dan kami berada di sisi Era tanpa beranjak kecuali untuk hal yang benar—benar penting. Firroke akan dengan ceria tidur atau hanya duduk-duk di bantal Era, di samping telinganya. Berceloteh macam-macam. Ashlyn dan Esen akan bergantian duduk di samping tempat tidurnya. Menggenggam tangannya, mengusap lembut kepalanya dan sesekali mengajaknya Era berbicara.Hanya aku yang akan melihat semuanya dalam diam dari jarak yang cukup.Aku tidak berani menghampirinya. Apalagi menggenggam tangannya.Aku tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin kudengar.Karena sepanjang perjalanan membawa Era aku mendengarnya.Suara statis benak Era yang tidak beraktifitas. Yang kadang berakhir pada kesunyian yang menyeramkan. Seakan dia ada namun juga sekaligus tiada.Di hari k
Dua hari kami menunggu.Melihat Era yang tergolek tak sadarkan diri, meskipun kami bilang akan bertahan walaupun nantinya proses kesembuhannya akan memakan waktu, tak urung kami merasa tak berdaya. Rasa cemas kami semakin meningkat dan kesabaran kamipun mulai menipis.Semua hal memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.Apalagi kalau itu berkaitan dengan orang yang kau sayangi.Dan semua itu diperparah dengan kabar bahwa baik Gaja maupun Bibbat belum menemukan penyembuh yang kami cari. Sedangkan Raja Toya yang dikenal sebagai penyembuh handal menolak siapapun yang menemuinya. Tak perduli siapa ia. Tak perduli apapun kepentingannya.Setelah berhari-hari dalam keragu-raguan, malam itu Esen bertekad untuk mengabari orang tuanya esok hari agar keduanya bisa meminta tolong pada Raja Toya secara langsung agar ia berubah pikiran dan bersedia mengobati Era.Dengan keputusan tersebut kami semua merasa beban di pundak kami sedikit terangkat.Setidaknya ada orang dewasa dan berkuasa yang a
“Huh, dasar Ibu.” Gerutuku.Aku berjalan cepat sambil menghentakkan kaki di setiap langkah. Tanganku menyingkirkan dahan, ranting dan daun yang sesekali menutupi jalanku dengan kesal. Kususuri jalan setapak di hutan kecil di belakang rumah Nenek dan berjalan menuju danau yang ada di sisi lain hutan.Ibu menyembunyikan komikku. Lagi. Kata ibu aku harus melakukan kegiatan di luar rumah daripada membaca komik. Padahal aku baru saja membeli komik edisi terbaru.Apa ibu tidak tahu hari ini panas sekali? Kenapa aku harus bermain di luar sih.Aku terus menggerutu sambil berjalan tak tentu arah. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku mencapai ujung tanah yang kupijak. Di bawah sana, terhampar danau Emrys yang airnya terlihat biru, tenang dan berkilaun.Kesal, kutendang keras-keras batu di dekat kakiku sampai terlontar jauh. Batu-batu kerikil di sekitarnya ikut bergulir jatuh. Kuhentakkan kakiku dan berbalik hendak per
Aku meletakkan beberapa buku terakhir di rak paling atas. Kupandangi deretan-deretan buku yang baru saja kutata dengan rasa puas. Kusapu satu persatu punggung buku yang berwarna warni dengan jari-jariku. Kutelusuri huruf-hurufnya yang membentuk kata dan kalimat. Buku selalu memberiku kedamaian. Dengan buku aku tidak perlu khawatir tahu terlalu banyak saat menyentuhnya. Dengan buku aku tidak perlu takut mengetahui hal yang tidak perlu aku ketahui. Buku tidak akan membisikkan satu katapun kedalam benakku tanpa seizinku. Itulah kenapa, saat aku lulus kuliah, aku memilih bekerja di perpustakaan terbesar di kota ini. Bekerja di perpustakaan membuatku bertemu lebih sedikit orang daripada jika harus bekerja di tempat lain. Lagipula, kalau aku tidak sengaja mendengar pikiran orang lain di tempat ini, apa yang ada di pikiran mereka tidak pernah jauh dari buku yang mereka baca. Jadi hal itu membuatku merasa sedikit lebih nyaman dan mengurangi rasa bersalahku. S
Ren menuruni tangga dengan cepat saat di tiga anak tangga terakhir tiba-tiba tangga sedikit oleng. Tangan Ren serabutan mencari pegangan. Aku berlari di saat yang tepat saat dia hampir jatuh dan menyambar tanganku."Oh, no, no."Aku mengerang saat kepalaku tiba-tiba berdengung setelah memegang tangan Ren. Sebelum dengung itu berubah menjadi sebuah suara yang jelas buru-buru kutarik tanganku. Namun tetap saja potongan-potongan pikiran Ren berhasil merembes ke dalam kepalaku."Hampir.... Asuransi.... Axel"Kugoyang keras-keras kepalaku untuk mengusir potongan-potongan suara dalam benak Ren.Ren menjejakkan kakinya lalu melotot kepadaku."Hei! Apa tanganku ini ada pakunya sampai kamu begitu buru-buru menarik tanganmu? Aku hampir mati, tahu!""Maaf, aku hanya tidak ingin kamu memiliki rasa yang lebih setelah aku sentuh."“Sialan. Kamu bukan tipeku!"Ren tertawa sambil meninju lenganku. Aku meringis."Te
"Axel, mana umpannya? “ Noah berseru padaku.Aku buru-buru berlari mendekatinya sambil membawa ember kecil berisi cacing yang tadi diserahkan Simon, pelayan Noah, sebelum kami berangkat. Noah menengadahkan tangannya, aku meletakkan cacing di tangannya. Tapi cacing yang masih hidup itu menggeliut di tangan Noah. Panik, kutangkupkan tanganku di tangan Noah mencegah si cacing kabur.Dengungan yang familiar seketika memenuhi kepalaku. Tapi tidak ada satu patah katapun menyusul setelah dengungan itu. Aku menatap Noah heran.“Ada apa? “Menyadari aku yang sedang memperhatikannya Noah menghentikan kesibukannya. Kali ini suaranya terdengar jelas baik di kepala maupun di telingaku. Aku menggeleng. Tapi tidak kulepas tanganku yang sedang memegang tangan Noah. Terdengar dengung lagi kali ini. Tapi tetap tidak ada satu katapun yang berhasil aku tangkap.“Sampai kapan kamu mau memegang tanganku?” Tanya Noah sambil menatap tajam pad
Dua hari kami menunggu.Melihat Era yang tergolek tak sadarkan diri, meskipun kami bilang akan bertahan walaupun nantinya proses kesembuhannya akan memakan waktu, tak urung kami merasa tak berdaya. Rasa cemas kami semakin meningkat dan kesabaran kamipun mulai menipis.Semua hal memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.Apalagi kalau itu berkaitan dengan orang yang kau sayangi.Dan semua itu diperparah dengan kabar bahwa baik Gaja maupun Bibbat belum menemukan penyembuh yang kami cari. Sedangkan Raja Toya yang dikenal sebagai penyembuh handal menolak siapapun yang menemuinya. Tak perduli siapa ia. Tak perduli apapun kepentingannya.Setelah berhari-hari dalam keragu-raguan, malam itu Esen bertekad untuk mengabari orang tuanya esok hari agar keduanya bisa meminta tolong pada Raja Toya secara langsung agar ia berubah pikiran dan bersedia mengobati Era.Dengan keputusan tersebut kami semua merasa beban di pundak kami sedikit terangkat.Setidaknya ada orang dewasa dan berkuasa yang a
Sudah tiga hari kami berada di rumah sakit ini. Kondisi Era relatif stabil meski tidak ada perubahan. Ia sama sekali belum siuman. Tiga orang penyembuh bergantian berjaga dua puluh empat jam non stop untuk menstabilkan aliaran darah Era. Dan kami berada di sisi Era tanpa beranjak kecuali untuk hal yang benar—benar penting. Firroke akan dengan ceria tidur atau hanya duduk-duk di bantal Era, di samping telinganya. Berceloteh macam-macam. Ashlyn dan Esen akan bergantian duduk di samping tempat tidurnya. Menggenggam tangannya, mengusap lembut kepalanya dan sesekali mengajaknya Era berbicara.Hanya aku yang akan melihat semuanya dalam diam dari jarak yang cukup.Aku tidak berani menghampirinya. Apalagi menggenggam tangannya.Aku tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin kudengar.Karena sepanjang perjalanan membawa Era aku mendengarnya.Suara statis benak Era yang tidak beraktifitas. Yang kadang berakhir pada kesunyian yang menyeramkan. Seakan dia ada namun juga sekaligus tiada.Di hari k
Kami berhenti di sebuah bangunan besar tanpa torhameir yang letaknya agak jauh dari istana. Bangunannya lebih polos dibanding bangunan-bangunan yang kami lewati atau kami lihat sebelumnya, namun meskipun terlihat sederhana tapi bangunan itu tampak lebih sibuk karena banyaknya peri yang berlalu lalang.“Ayo.” Kata penjaga itu. Ia segera menuruni ikan yang kami naiki dan meniti anak tangga berwarna putih yang berada di depan bangunan dengan cepat. Aku berusaha mengikutinya semampuku sambil membopong Era.Kami memasuki sebuah bangsal yang sangat luas dengan kursi-kursi berbaris rapi di bagian tengahnya sementara di sisi terjauh dinding terdapat banyak pintu dengan tulisan yang berbeda. Ada yang bertuliskan ruang pengobatan ada pula yang bertuliskan ruang pemeriksaan.Sepertinya ini adalah rumah sakit.Penjaga yang mengantar kami langsung memasuki sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar. Seorang peri yang sedang duduk di belakang sebuah meja besar segera berdiri dan menghampiri kami.
Kami melewati lorong yang di kanan kirinya menetes air bagai tirai perak. Sementara di bawah kami, terdapat air yang mengalir searah dengan tujuan kami. Tidak satu orang pun yang berbicara sepanjang perjalanan hingga kami sampai di ujung lorong, tempat dimana air dibawah kaki kami mengalir dan berakhir dengan terjun bebas ke sungai puluhan meter nun jauh d bawah sana.Tidak terlihat tangga atau alat yang memiliki prospek untuk kami gunakan .“Jadi, bagaimana caranya kita turun?” tanya Firroke.Penjaga meraih kalung yang tersembunyi di balik bajunya lalu meniup sesuatu yang seperti sirip ikan yang tergantung di kalungnya tadi. Tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi cipratan yang keras lalu penjaga itu melompat dan seekor ikan besar berwarna merah muda dengan sepasang sirip yang sangat besar bagai sayap terbang untuk menangkapnya. Ia mendarat tepat di atas punggung ikan tadi. Sebelum kami pulih dari keterkejutan kami mereka berdua telah meluncur cepat ke ba
“Bagaimana”“Sepertinya ada luka di kepala dan rusuk yang patah.” Lynx membetulkan mantel Ashlyn yang digunakan menyelimuti Era. Esen menggenggam tangan saudarinya dengan wajah khawatir.“Aku sudah menstabilkan keadaanya. Tapi ia akan butuh perawatan segera karena sepertinya tulangnya yang patah menekan organ dalamnya.”Flaresh memandang berkeliling.“Kita harus berjalan lebih ke utara jika ingin mencari penyembuh.”“Apa Era bisa?”“Bisa. Aku akan menggendongnya dengan begitu goncangan selama perjalanan akan berkurang. Kalian yang bertanggung jawab membawa kuda dan melindungi kami karena Flaresh tidak bisa menemani kita.”Aku memandang vatra itu. Sebelumnya di Hutan Seda ia tidak menemani kami. Sekarang kami mau masuk ke wilayah Voda-pun ia juga melakukan hal yang sama.“Kenapa?” tanyaku. Flaresh tak menggubrisku. Tapi sepertinya kami sama-sama tahu pertanyaanku tak sekedar sebuah kata kenapa. Dan jawabannya tak sekedar perbedaan natural mereka.“Aku akan mencari portalnya.”Tanpa me
“Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le
“Lynx.”“Kau menemukannya?”“Ya.”“Ada dua. Tapi aku tidak bisa menunjukkan semua sekaligus. Terlalu jauh.”“Yang menyerang Flaresh saja.”“Ya.”“Axel dan Ashlyn, bersiaplah membantu Era. Esen lindungi mereka.”“Baik.”“Firroke, Tunjukkan padaku di hitungan ketiga.”Firroke menganggguk. Kami semua bersiap penuh antisipasi.“Tiga!”Firroke menunjuk tangannya dan kemudian gerombolan tanaman perdu itu membuat sebuah celah kecil memperlihatkan sepasang sepatu boots berwarna hitam. Lynx mengayunkan cakarnya mengirimkan selarik sinar jingga yang langsung memporak porandakan tanaman perdu tersebut dan mengekspos peri yang berada di baliknya. Peri itu mundur dengan sempoyongan setelah dihantam serangan Lynx. Untuk sesaat serangan kepada kami berhenti. Flaresh dengan sigap memanfaatkan kesempatan tersebut dan segera berlari berkumpul dengan kami dan menyerahkan Era kepadaku. Saat aku telah mendekap Era erat-erat, Lynx secepat kilat berlari ke arah peri tadi dan mengejarnya.Aku seperti melihat
Deruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete
“Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be