“Maaf membuat Anda menunggu. “
Kami semua menoleh bersamaan saat seorang peri tinggi besar dengan rambut berwarna kecoklatan diekor kuda memasuki ruangan melalu pintu di sisi ruangan sebelah kananku. Lengannya yang kekar dan bahunya yang bidang terlihat jelas karena ia menggunakan baju kulit tanpa lengan. Ia berjalan dengan langkah mantap dengan dagu yang sedikit diangkat sehingga memberinya kesan sedikit angkuh.
Ia meletakkan tangan kanannya di depan bahu kiri dan mengangguk pada Lord Enki.
“Salam, Lord Enki.”
Lord Enki melakukan gerakan yang sama dan membalas anggukan peri itu. Ia memandang kami sekilas dan mengangguk sebelum duduk di kursinya.
“Jadi, apakah Anda kemari guna menanyakan informasi terkait kalung yang ada padaku?”
Lord Enki mengangguk.
“Informasi apa yang kau dapat, Utra?”
“Sebetulnya, Ayahlah yang memiliki informasi tentang kalung tersebut. Karena menurut ayah, ia yang membuatnya.”
“Bedhama yang
Kami duduk dalam diam dengan ketegangan yang kentara. Ini pertama kalinya aku dan Ashlyn melihat seseorang meninggal dengan cara ditikam. Kami masih sangat terguncang. Bayangan Bedhama yang bersimbah darah dan belati yang menancap di dadanya terlihat jelas setiap kali aku memejamkan mata. Utra memasuki ruangan tempat kami menunggu dengan langkah yang terlihat berat. Lord Enki tidak mengucapkan apapun bahkan saat Utra duduk dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya yang bertumpu di meja. Bahunya tampak lesu penuh kesedihan namun rahangnya tampak mengencang, penuh amarah dan tekad. Ada banyak perasaan berkecamuk dalam dirinya. Untuk beberapa saat yang terasa lama kami semua terdiam sambil berusaha mengalihkan pandangan kami dari peri yang sedang berkabung itu. “Apakah Anda melihat penyusup yang Anda kejar, Lord Enki?” Utra yang akhirnya bisa menguasai diri bertanya pada Lord Enki. Lord Enki menggeleng. “Tidak. Dia sangat
“Bagaimana?” Putri Kaya bertanya pada Lord Enki yang baru saja bergabung dengan kami di ruang makan. Ia menunjuk kursi, mempersilahkannya duduk bersama kami yang baru saja menyelesaikan makan siang, sementara Lord Enki baru kembali dari Kastil Romraa. “Tidak ada hasil yang baru.” Kata Lord Enki sambil duduk di sampingku. Putri Kaya mengangguk dengan ekspresi menyayangkan. “Kapan upacara pemakaman Bedhama akan dilaksanakan?” “Sore ini saat senja.” Lagi-lagi Putri Kaya mengangguk. “Sampaikan pesan duka citaku pada Klan Romraa, Lord Enki.” “Seperti perintahmu, Tuan Putri.” Lord Enki berdiri. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di pikiranku. “Bolehkah kami ikut menghadiri upacara pemakaman Bedhama?” Lord Enki menatapku terkejut. Ia dan Putri Kaya saling berpandangan. “Tidak bisakah?” Kali ini Ashlyn ikut bertanya. Setelah berpikir sesaat akhirnya Lord Enki mengangguk. Putr
Bahkan setelah kembali dari Kastil Romraa tidak satupun dari kami yang berbicara. Kedukaan keluarga Romraa masih terasa membebani kami semua. Bayangan istri Bedhama yang menangis sesenggukan dan tangisan cucu-cucu mereka seperti ditancapkan dipikiranku. Saat tanpa sengaja aku menyentuh Utra dan mendengarkan pikirannya, aku merasa sangat terkejut dengan betapa keras dan kacau isi kepalanya. Jauh berbeda dengan penampilannya yang tampak tegar. Aku seakan hampir tuli dan kepalaku terasa seperti ditusuk-tusuk setelah mendengarnya. Bahkan sampai saat ini sakitnya masih sedikit terasa. Aku memijit kepalaku perlahan. “Axe? “ Aku menoleh pada Ashlyn yang menatapku khawatir. “Aku hanya sedikit sakit kepala. “ Kataku sambil menggelengkan kepala padanya lalu berdiri. “Sebaiknya aku berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara segar.” “Biar kutemani. “ Kata Firroke. Ia terbang hendak menyusulku saat Ashlyn dengan cepat menyambar tubuhnya.
Setengah berlari aku menyusuri lorong istana dan melompati dua anak tangga sekaligus. Jantungku berdebar-debar karena rasa gembiraku.Aku harus segera memberitahu Ashlyn. Dengan terburu-buru aku membuka pintu kamarnya. “Ash!” Ashlyn dan Putri Kaya menyambutku dengan wajah terkejut bercampur heran. Mata besar Firroke tampak lebih besar dari biasanya karena terkejut. Aku terdiam di tempat seperti sebuah film yang di pause sambil memegang tangkai pintu. “Axel. Kamu mengagetkan saja. “ Ashlyn memprotes tindakanku. Melihat Putri Kaya yang memegang dadanya aku buru-buru minta maaf. “Maafkan aku Putri. Aku tidak tahu Anda di sini. “ Putri Kaya menggeleng. “Tidak apa-apa.” “Ada apa?” Tanya Ashlyn sambil melangkah mendekatiku. Aku menatap Ashlyn dan Putri Kaya bergantian. Keberadaan Putri Kaya jelas tidak ada dalam bayanganku saat aku berlari sepanjang lorong istana dan lalu mendobrak masuk kamar Ashlyn.
“Kau tidak salah, Axel. Ayah memang bergerak.” Putri Kaya memutari Raja Vathu dengan langkah penuh semangat seperti menari. Matanya melebar keheranan. Sementara Firroke terbang kesana kemari memeriksa setiap sudut tubuh Raja Vathu. “Syukurlah.” Aku berkata penuh kelegaan sambil mendekati ayah dan anak itu. “Syukurlah semuanya bukan hanya imajinasiku saja.” “Bagaimana ia bisa bergerak?” Ashlyn menanyaiku tapi wajahnya terpaku pada Raja Vathu. “Aku juga tidak tahu.” Kataku juga tanpa menoleh karena aku sedang sibuk melihat Raja Vathu. “Ia seharusnya menghadap ke depan, bukan?” Aku mengangguk tanpa repot menjawab. “Apa yang terjadi Ayah?” Putri Kaya menyentuh wajah Raja Vathu. “Setelah puluhan tahun, akhirnya kau menggerakkan tubuhmu. Apakah ada yang ingin kau sampaikan pada kami?” Mau tidak mau kami terdiam. Setelah memastikan bahwa Raja Vathu memang bergerak, tanpa sadar kami jadi mendengarkan dengan seksama saat Putri K
“Ada apa?” Tanya Ashlyn begitu kami berada di dalam kamarnya. Akhirnya setelah keluar dari ruangan Raja Vathu dan aku berhasil terbebas dari gempuran pertanyaan bagaimana aku bisa mendengar Raja Vathu, kami berkumpul di kamar Ashlyn. Aku memandang berkeliling kamar lalu duduk di kursi di dekat jendela yang menghadap ke taman. Kuhembuskan nafas dengan perasaan lega sambil bersandar. “Apa yang kamu rahasiakan?” Ashlyn bertanya lagi sambil menyusulku duduk di kursi yang berada di sisi lain meja. “Tadi waktu Lord Enki memintaku bertanya pada Raja Vathu, sebetulnya aku mendengar suaranya.” “Tapi tadi kamu bilang kamu tidak mendengar apa-apa.” “Itu karena Raja Vathu memintaku berhati-hati.” “Berhati-hati? Berhati-hati kenapa?” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Tapi, ” Aku berhenti sebentar memeriksa kembali ingatanku. “Ia menyebut nama Lord Enki.” Ashlyn tampak tertegun. “Lord Enki? Memangnya ada a
“Kemarilah.” Putri Kaya melambai dan mempersilahkan kami masuk ke perpustakaan tempat ia sedang menghabiskan waktu sore harinya dengan membaca. Kami mengangguk lalu masuk. Begitu berada di dalam ruangan, jiwa pustakawanku seakan terpanggil membuat aku tanpa sadar menoleh kesana kemari memperhatikan setiap sudut ruangan. Bagaimana rak dan lemari diletakkan dan bagaimana setiap buku dengan sampulnya yang berwarna-warni disusun pada tempatnya. “Kau suka membaca?” Pertanyaan Putri Kaya mengembalikanku dari kesibukanku mengagumi perpustakaan ini. Dengan salah tingkah aku menggeleng. “Tidak juga, Putri.” Meskipun aku suka membaca, aku tidak mungkin mengatakannya karena huruf-huruf yang sepintas lalu kulihat tertulis di buku adalah huruf dan kata-kata asing. Akan lucu rasanya kalau aku mengatakan aku suka membaca tapi saat aku harus membaca aku tidak tahu apa yang aku baca. Bisa berbicara dengan peri di dunia ini saja aku masih merasa heran k
Kami baru saja melewati Celah Sunji saat perutku berbunyi. Aku meringis membalas tatapan Ashlyn. “Sepertinya kita memang harus berhenti. Aku lapar sekali.” “Kita makan setelah sampai di kaki bukit saja. Anginnya terlalu kencang di sini.” Kata Firroke yang duduk sambil berpegangan erat di pelana Misu. “Ya.” Ashlyn mengangguk setuju. Wajahnya tampak sedikit kesal karena rambutnya tidak bisa ia kendalikan. Angin terus menerus meniup tudung mantelnya sampai terbuka. “Aku ingin makan makanan apa adanya, tanpa tambahan topping pasir atau tanah.” Aku tertawa. “Sepertinya angin hari ini lebih kencang dibandingkan saat kita pertama datang, ya.” “Um.” Firroke mengangguk sambil menggumam. Wajahnya tampak serius menghadap ke depan. “Apa kamu perlu ku ikat di pelana agar tidak terbawa angin, Firroke?” Firroke melontarkan pandangan kesal padaku dengan mata besarnya. Aku terkekeh. Entah kenapa menggoda Firroke selalu membuatku senang.
“Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le
“Lynx.”“Kau menemukannya?”“Ya.”“Ada dua. Tapi aku tidak bisa menunjukkan semua sekaligus. Terlalu jauh.”“Yang menyerang Flaresh saja.”“Ya.”“Axel dan Ashlyn, bersiaplah membantu Era. Esen lindungi mereka.”“Baik.”“Firroke, Tunjukkan padaku di hitungan ketiga.”Firroke menganggguk. Kami semua bersiap penuh antisipasi.“Tiga!”Firroke menunjuk tangannya dan kemudian gerombolan tanaman perdu itu membuat sebuah celah kecil memperlihatkan sepasang sepatu boots berwarna hitam. Lynx mengayunkan cakarnya mengirimkan selarik sinar jingga yang langsung memporak porandakan tanaman perdu tersebut dan mengekspos peri yang berada di baliknya. Peri itu mundur dengan sempoyongan setelah dihantam serangan Lynx. Untuk sesaat serangan kepada kami berhenti. Flaresh dengan sigap memanfaatkan kesempatan tersebut dan segera berlari berkumpul dengan kami dan menyerahkan Era kepadaku. Saat aku telah mendekap Era erat-erat, Lynx secepat kilat berlari ke arah peri tadi dan mengejarnya.Aku seperti melihat
Deruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete
“Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be
Perjalanan kami berlangsung dengan lancar tanpa kendala yang berarti sampai akhirnya kami sampai di bawah kaki Bukit Sunji. Aku menengadahkan kepala memandang jalur curam berkelok-kelok yang akan membawa kami ke pintu masuk Kerajaan Dharana.“Pintu masuk Dharana ada di atas sana.” Kataku pada Esen yang berkuda di sampingku.“Jadi disana yang namanya Celah Sunji?” Tanyanya. Aku mengangguk.“Kita langsung saja. Istirahatnya nanti saat kita sudah melewati celah Sunji.” Kata Lynx yang berada di barisan paling depan.“Baik.” Kami menjawab serempak. Lynx mempercepat langkah kudanya. Kami mengikutinya dan melakukan hal yang sama.Aku masih ingat betapa terjalnya jalan setapak Bukit Sunji dan betapa kerasnya angin yang berhembus di samping kami saat kami berjalan. Dulu kami sampai tidak bisa berjalan dengan tegak. Selain karena terjalnya jalan, angin yang keras seakan memanggil kami untuk terjun bebas. Ditambah lagi kami harus menuntun Misu dan Tashi. Sungguh bukan perjalanan mudah.Tapi kali
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua