Kami baru saja melewati Celah Sunji saat perutku berbunyi. Aku meringis membalas tatapan Ashlyn.
“Sepertinya kita memang harus berhenti. Aku lapar sekali.”
“Kita makan setelah sampai di kaki bukit saja. Anginnya terlalu kencang di sini.” Kata Firroke yang duduk sambil berpegangan erat di pelana Misu.
“Ya.” Ashlyn mengangguk setuju. Wajahnya tampak sedikit kesal karena rambutnya tidak bisa ia kendalikan. Angin terus menerus meniup tudung mantelnya sampai terbuka. “Aku ingin makan makanan apa adanya, tanpa tambahan topping pasir atau tanah.”
Aku tertawa.
“Sepertinya angin hari ini lebih kencang dibandingkan saat kita pertama datang, ya.”
“Um.” Firroke mengangguk sambil menggumam. Wajahnya tampak serius menghadap ke depan.
“Apa kamu perlu ku ikat di pelana agar tidak terbawa angin, Firroke?”
Firroke melontarkan pandangan kesal padaku dengan mata besarnya. Aku terkekeh. Entah kenapa menggoda Firroke selalu membuatku senang.
Aku menggeliat saat panas matahari menyengat wajahku. Dengan enggan kubuka mataku dan aku disambut Ashlyn yang sedang berdiri sambil merapikan pakaiannya. “Mau kemana?” Tanyaku dengan malas. “Cuci muka.“ Kata Ashlyn. Aku mengangguk lalu menggeliat sambil merapatkan selimut berniat meneruskan tidur. Ashlyn memakai mantelnya saat sesuatu jatuh tepat di samping wajahku. Sebuah belati stiletto berwarna perak gelap dengan sarung yang dihiasi batu mulia berwarna biru dan ungu. “Hei, hati-hati.” Protesku sambil duduk. Kantukku mendadak hilang dan mataku langsung terbuka lebar karena kejadian yang hampir merenggut ketampanan wajahku tadi. Aku meraih stiletto itu dan menyerahkannya pada Ashlyn. Ashlyn meringis sambil menerima stilettonya lalu menyelipkannya di pinggang. “Maaf.” “Kamu melakukannya dengan sengaja.” “Tidak.” Ashlyn tertawa. “Tapi karena kamu sudah bangun, sekalian saja siapkan sarapan kita. Oke? “ Aku mendengus.
Dihadapan kami berdiri sesosok peri memakai baju berwarna perunggu sambil menenteng busur di tangan kiri dan menyandang tabung berisi anak panah di punggungnya. Di atas baju yang ia pakai itu ia mengenakan mantel berwarna hitam dengan tudung menutupi seluruh kepalanya. Namun yang membuat kami terkejut adalah, yang tadinya kami pikir wajah yang dingin tanpa ekspresi, ternyata sebenarnya adalah topeng yang senada dengan baju perunggu yang ia pakai.“Bagaimana keadaan kalian?” tanya peri itu lagi dengan nada lebih lembut sepertinya menyadari bahwa kami masih dalam keadaan terguncang. Aku dan Ashlyn saling pandang lalu tersenyum lega. Sadar bahwa peri asing ini tidak berniat buruk.“Kami sakit semua.” Kata Ashlyn dengan senyum lemah.Peri itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya memapah Ashlyn. Peri yang satu lagi mendekat lalu mengulurkan tangan berniat membantuku berjalan. Dengan ragu-ragu aku menerima bantuannya karena tubuhnya yang seaka
“Sudah berapa lama kalian berada di sini?” Pertanyaan Flaresh yang tiba-tiba saat kami makan malam membuatku hampir tersedak. Ini adalah hari kedua kami melakukan perjalanan bersama Flaresh dan Lynx. Biasanya ia tidak akan bicara bila tidak ditanya. Apalagi Lynx. Tapi hari ini tiba-tiba ia menanyakan hal tidak terduga. Meskipun aku tahu maksud sebenarnya dari pertanyaannya, tapi aku tidak mau gegabah. “Bukankah kita sama?” “Kalian tahu yang aku maksud.” Flaresh menatap kami. Bahkan dari balik topengnya aku bisa merasakan pandangan matanya yang menusuk. “Apa maksudmu?” “Sudah berapa lama kalian di dunia ini? “ “Apa? Dunia apa?” Arah pembicaraan ini seperti yang aku khawatirkan. Flaresh menghela nafas tidak sabar. “Untuk ukuran manusia, kau pembohong yang buruk Axel.” Aku melongo mendengar perkataan Flaresh. Hanya dalam waktu dua hari ia bisa mengungkapkan fakta bahwa aku adalah manusia dan terlebi
“Kapan kita sampai?” Ashlyn bertanya saat kami semua sedang menikmati sarapan. Flaresh memicingkan mata ke hamparan padang rumput di hadapan kami. “Sebelum siang kita akan sampai di perbatasan Anila.” “Syukurlah.” Aku mendesah lega. Perjalanan kami kali ini memakan waktu yang sangat lama karena letak Anala yang cukup jauh. Tapi aku bersyukur tidak ada halangan berarti yang menimpa kami selain kejadian Darkash terakhir kali. Luka dan lebam di tubuh kami hampir sembuh seluruhnya. Dan Firroke juga hampir pulih meski masih tidak bisa menggunakan sayapnya. “Apa kita akan melewati stepa ini?” Tanya Ashlyn lagi. “Ya.” Jawab Flaresh pendek. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru stepa di hadapan kami. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan rumput tanpa ada pepohonan yang bisa digunakan untuk tempat berteduh. Pasti akan panas sekali siang nanti. Aku menoleh ke belakang kami, ke sabana yang menjadi temp
Rasa kesal dan lelah yang kurasakan mau tidak mau menghilang. Pemandangan indah di hadapan kami membuatku merasa lebih santai. Angin sepoi yang hampir tak pernah berhenti berhembus berhasil menyegarkan baik tubuh dan pikiranku.“Apa kita nanti melewati danau itu?” Tanya Firroke.“Apa kau ingin lewat sana?” Flaresh balik bertanya. “Sepertinya akan menyenangkan.”Flaresh mengangguk.
“Lynx.” Lynx yang mendengar panggilan Flaresh segera berdiri menyambutnya. Tampak di belakangnya dua orang peri muda yang sedang duduk di sekeliling api unggun. Aku dan Ashlyn mendekatinya. “Kalian tidak apa-apa?” Tanyaku. Sepasang anak muda itu menatapku dengan tatapan waspada. Mereka jauh dari kesan lemah meski sebelumnya Flaresh berkata mereka terluka. Mereka hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaanku. “Apa yang terjadi?” Tanya Flaresh. “Kami tidak tahu. Kami tiba-tiba saja diserang saat kami baru saja beristirahat.” Jawab peri muda itu. Ia peri laki-laki dengan rambut ikal sebahu berwarna madu. Kulitnya terlihat putih bahkan dalam kegelapan. Flaresh menatapnya agak lama seakan meragukan perkataannya lalu berjalan pergi diikuti Lynx. “Kalian sudah makan?” Tanya Ashlyn yang mulai mengeluarkan barang-barang kami. Lagi-lagi kedua peri muda itu menggeleng. Ashlyn tanpa berkata-kata menyiapkan makanan dan memberikannya pada merek
Seperti yang dikatakan oleh Flaresh sebelumnya, meskipun kami menemukan banyak tumbuhan di sepanjang jalan Gunung Yamora, tanaman-tanaman itu tidak bisa dikonsumsi. Setidaknya untuk kami. Karena menurut Firroke sebenarnya tanaman-tanaman itu masih bisa dikonsumsi oleh Daunas tertentu. Sedangkan sumber air sama sekali tidak kami temui. Entah bagaimana tanaman di gunung ini bisa hidup tanpa adanya sumber air. Semakin tinggi perjalanan kami, udara yang kami hirup semakin tipis. Hijaunya tanaman pun semakin berkurang dan digantikan lapisan kristal putih seperti salju yang terasa sejuk saat disentuh. Dan pemandangan di sekeliling kami yang tadinya pemandangan lembah Anila berubah menjadi hamparan awan yang bergumpal bagai kapas. “Sebentar lagi kita sampai di distrik Kumo.” Kata Esen membuyarkan kesibukanku mengagumi pemandangan di hadapanku. Aku hanya mengangguk. Toh aku tidak tahu distrik Kumo itu apa. Kami berjalan selama beberapa menit saat akhirnya sampai di p
“Kami antar sampai sini saja ya.” Kata Esen saat kami sampai di depan pintu gerbang sebuah istana megah dengan dinding berkilau seperti dinding kaca. Kami bertiga, aku, Ashlyn dan Firroke berdiri di depan pintu gerbang dan melongok ke dalam halaman istana dengan kekaguman dan rasa ingin tahu seperti turis. Flaresh dan Lynx entah pergi kemana dan hanya mengatakan bahwa akan segera menyusul kami. “Ini adalah pintu masuk ke dalam istana. Kalian bisa langsung masuk karena istana bagian depan terbuka untuk umum. Jika ingin bertemu dengan Ratu Samirana kalian bisa mengatakannya pada penjaga.” “Ratu Samirana memiliki kebiasaan membacakan buku untuk anak-anak setiap menjelang senja di akhir minggu. Jika kesulitan menemuinya, kalian bisa menemuinya lebih mudah saat itu.” Tambah Era. “Tapi akhir minggu masih dua hari lagi.” Kata Firroke. Era mengangkat bahu. “Hanya itu satu-satunya jalan untuk menemui Ratu jika kalian tidak bisa menemuinya di Hari Penyampaian.”
“Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le
“Lynx.”“Kau menemukannya?”“Ya.”“Ada dua. Tapi aku tidak bisa menunjukkan semua sekaligus. Terlalu jauh.”“Yang menyerang Flaresh saja.”“Ya.”“Axel dan Ashlyn, bersiaplah membantu Era. Esen lindungi mereka.”“Baik.”“Firroke, Tunjukkan padaku di hitungan ketiga.”Firroke menganggguk. Kami semua bersiap penuh antisipasi.“Tiga!”Firroke menunjuk tangannya dan kemudian gerombolan tanaman perdu itu membuat sebuah celah kecil memperlihatkan sepasang sepatu boots berwarna hitam. Lynx mengayunkan cakarnya mengirimkan selarik sinar jingga yang langsung memporak porandakan tanaman perdu tersebut dan mengekspos peri yang berada di baliknya. Peri itu mundur dengan sempoyongan setelah dihantam serangan Lynx. Untuk sesaat serangan kepada kami berhenti. Flaresh dengan sigap memanfaatkan kesempatan tersebut dan segera berlari berkumpul dengan kami dan menyerahkan Era kepadaku. Saat aku telah mendekap Era erat-erat, Lynx secepat kilat berlari ke arah peri tadi dan mengejarnya.Aku seperti melihat
Deruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete
“Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be
Perjalanan kami berlangsung dengan lancar tanpa kendala yang berarti sampai akhirnya kami sampai di bawah kaki Bukit Sunji. Aku menengadahkan kepala memandang jalur curam berkelok-kelok yang akan membawa kami ke pintu masuk Kerajaan Dharana.“Pintu masuk Dharana ada di atas sana.” Kataku pada Esen yang berkuda di sampingku.“Jadi disana yang namanya Celah Sunji?” Tanyanya. Aku mengangguk.“Kita langsung saja. Istirahatnya nanti saat kita sudah melewati celah Sunji.” Kata Lynx yang berada di barisan paling depan.“Baik.” Kami menjawab serempak. Lynx mempercepat langkah kudanya. Kami mengikutinya dan melakukan hal yang sama.Aku masih ingat betapa terjalnya jalan setapak Bukit Sunji dan betapa kerasnya angin yang berhembus di samping kami saat kami berjalan. Dulu kami sampai tidak bisa berjalan dengan tegak. Selain karena terjalnya jalan, angin yang keras seakan memanggil kami untuk terjun bebas. Ditambah lagi kami harus menuntun Misu dan Tashi. Sungguh bukan perjalanan mudah.Tapi kali
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua