“Sudah berapa lama kalian berada di sini?”
Pertanyaan Flaresh yang tiba-tiba saat kami makan malam membuatku hampir tersedak. Ini adalah hari kedua kami melakukan perjalanan bersama Flaresh dan Lynx. Biasanya ia tidak akan bicara bila tidak ditanya. Apalagi Lynx. Tapi hari ini tiba-tiba ia menanyakan hal tidak terduga. Meskipun aku tahu maksud sebenarnya dari pertanyaannya, tapi aku tidak mau gegabah.
“Bukankah kita sama?”
“Kalian tahu yang aku maksud.”
Flaresh menatap kami. Bahkan dari balik topengnya aku bisa merasakan pandangan matanya yang menusuk.
“Apa maksudmu?”
“Sudah berapa lama kalian di dunia ini? “
“Apa? Dunia apa?”
Arah pembicaraan ini seperti yang aku khawatirkan.
Flaresh menghela nafas tidak sabar.
“Untuk ukuran manusia, kau pembohong yang buruk Axel.”
Aku melongo mendengar perkataan Flaresh. Hanya dalam waktu dua hari ia bisa mengungkapkan fakta bahwa aku adalah manusia dan terlebi
“Kapan kita sampai?” Ashlyn bertanya saat kami semua sedang menikmati sarapan. Flaresh memicingkan mata ke hamparan padang rumput di hadapan kami. “Sebelum siang kita akan sampai di perbatasan Anila.” “Syukurlah.” Aku mendesah lega. Perjalanan kami kali ini memakan waktu yang sangat lama karena letak Anala yang cukup jauh. Tapi aku bersyukur tidak ada halangan berarti yang menimpa kami selain kejadian Darkash terakhir kali. Luka dan lebam di tubuh kami hampir sembuh seluruhnya. Dan Firroke juga hampir pulih meski masih tidak bisa menggunakan sayapnya. “Apa kita akan melewati stepa ini?” Tanya Ashlyn lagi. “Ya.” Jawab Flaresh pendek. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru stepa di hadapan kami. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan rumput tanpa ada pepohonan yang bisa digunakan untuk tempat berteduh. Pasti akan panas sekali siang nanti. Aku menoleh ke belakang kami, ke sabana yang menjadi temp
Rasa kesal dan lelah yang kurasakan mau tidak mau menghilang. Pemandangan indah di hadapan kami membuatku merasa lebih santai. Angin sepoi yang hampir tak pernah berhenti berhembus berhasil menyegarkan baik tubuh dan pikiranku.“Apa kita nanti melewati danau itu?” Tanya Firroke.“Apa kau ingin lewat sana?” Flaresh balik bertanya. “Sepertinya akan menyenangkan.”Flaresh mengangguk.
“Lynx.” Lynx yang mendengar panggilan Flaresh segera berdiri menyambutnya. Tampak di belakangnya dua orang peri muda yang sedang duduk di sekeliling api unggun. Aku dan Ashlyn mendekatinya. “Kalian tidak apa-apa?” Tanyaku. Sepasang anak muda itu menatapku dengan tatapan waspada. Mereka jauh dari kesan lemah meski sebelumnya Flaresh berkata mereka terluka. Mereka hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaanku. “Apa yang terjadi?” Tanya Flaresh. “Kami tidak tahu. Kami tiba-tiba saja diserang saat kami baru saja beristirahat.” Jawab peri muda itu. Ia peri laki-laki dengan rambut ikal sebahu berwarna madu. Kulitnya terlihat putih bahkan dalam kegelapan. Flaresh menatapnya agak lama seakan meragukan perkataannya lalu berjalan pergi diikuti Lynx. “Kalian sudah makan?” Tanya Ashlyn yang mulai mengeluarkan barang-barang kami. Lagi-lagi kedua peri muda itu menggeleng. Ashlyn tanpa berkata-kata menyiapkan makanan dan memberikannya pada merek
Seperti yang dikatakan oleh Flaresh sebelumnya, meskipun kami menemukan banyak tumbuhan di sepanjang jalan Gunung Yamora, tanaman-tanaman itu tidak bisa dikonsumsi. Setidaknya untuk kami. Karena menurut Firroke sebenarnya tanaman-tanaman itu masih bisa dikonsumsi oleh Daunas tertentu. Sedangkan sumber air sama sekali tidak kami temui. Entah bagaimana tanaman di gunung ini bisa hidup tanpa adanya sumber air. Semakin tinggi perjalanan kami, udara yang kami hirup semakin tipis. Hijaunya tanaman pun semakin berkurang dan digantikan lapisan kristal putih seperti salju yang terasa sejuk saat disentuh. Dan pemandangan di sekeliling kami yang tadinya pemandangan lembah Anila berubah menjadi hamparan awan yang bergumpal bagai kapas. “Sebentar lagi kita sampai di distrik Kumo.” Kata Esen membuyarkan kesibukanku mengagumi pemandangan di hadapanku. Aku hanya mengangguk. Toh aku tidak tahu distrik Kumo itu apa. Kami berjalan selama beberapa menit saat akhirnya sampai di p
“Kami antar sampai sini saja ya.” Kata Esen saat kami sampai di depan pintu gerbang sebuah istana megah dengan dinding berkilau seperti dinding kaca. Kami bertiga, aku, Ashlyn dan Firroke berdiri di depan pintu gerbang dan melongok ke dalam halaman istana dengan kekaguman dan rasa ingin tahu seperti turis. Flaresh dan Lynx entah pergi kemana dan hanya mengatakan bahwa akan segera menyusul kami. “Ini adalah pintu masuk ke dalam istana. Kalian bisa langsung masuk karena istana bagian depan terbuka untuk umum. Jika ingin bertemu dengan Ratu Samirana kalian bisa mengatakannya pada penjaga.” “Ratu Samirana memiliki kebiasaan membacakan buku untuk anak-anak setiap menjelang senja di akhir minggu. Jika kesulitan menemuinya, kalian bisa menemuinya lebih mudah saat itu.” Tambah Era. “Tapi akhir minggu masih dua hari lagi.” Kata Firroke. Era mengangkat bahu. “Hanya itu satu-satunya jalan untuk menemui Ratu jika kalian tidak bisa menemuinya di Hari Penyampaian.”
Kami diantarkan prajurit penjaga memasuki sebuah aula yang luas. Di ujung aula terdapat telundakan yang mengarah ke singgasana sementara di lantai yang lebih rendah terdapat kursi-kursi di sisi kanan dan kiri. Di atas singgasana tergantung panji-panji dan bendera berwarna putih dan perak.Kami sedang duduk di kursi sambil memandang sekeliling saat pintu di belakang kami terbuka hampir tanpa suara. Hanya sikap Lynx yang tiba-tiba berubah membuat kami mengetahuinya.Mulutnya membentuk kata, Ratu Samirana.Aku dan Ashlyn buru-buru merapikan pakaian dan bangkit berdiri dari kursi kami.Seorang wanita tinggi semampai dengan rambut perak ikal panjang memasuki ruangan dengan langkah ringan seakan terbang. Rambutnya begitu panjang sehingga hampir menyentuh tanah. Wajahnya cantik dengan mata besar berwarna emas yang mengingatkanku pada mata seekor rubah.Aku tidak pernah melihat satu orang manusiapun yang memiliki warna kulit seperti dia. Warna kulitnya sep
Suara Ratu Samirana menggema dalam benakku dengan keras dan jelas seperti dentang lonceng. Kali ini aku benar-benar terkejut hingga menarik tanganku.Ashlyn memandangku dengan ekspresi setengah bertanya dan setengah mengecam.“Maafkan aku Ratu.” Kataku menyadari sikapku yang tidak sopan. Ratu Samirana tersenyum.“Apakah suaraku terlalu keras?”Dengan gugup aku mengangguk.“Ba, bagaimana Anda tahu? ““Mengapa aku harus tidak tahu? “ Ratu Samirana memandangku dengan tatapan menyelidik. “Berada di dunia kami membuat kemampuanmu meningkat, bukan?”Aku mengangguk. Setelah dipikir-pikir lagi, aku memang semakin sensitif sesampainya di dunia ini. Sentuhan sekecil apapun membuatku mendengar hal yang tidak seharusnya kudengar.Ia mengalihkan pandangannya ke Ashlyn.“Bagaimana denganmu, Ashlyn?”“Eh, bagaimana Ratu? “ tanya Ashlyn bingung.
“Mengenai kalung ibu kalian.” Ratu Samirana akhirnya memecahkan kesunyian diantara kami. “Apakah itu seperti ini?” Ia mengulurkan kedua tangannya sehingga kami bisa melihat gelang yang melingkar di pergelangannya. Kami semua menjulurkan kepala guna melihat lebih dekat dan dengan segera mengenali batu berwarna merah yang bersinar indah itu. Batu Ruby dari tambang Grahreb. “Ya. Ini sama.” Kata Ashlyn. Aku mengangguk setuju. Ratu Samirana berpandangan dengan Lord Caelus. Lord Caelus mengangguk lalu melepaskan ikat pinggang sekaligus pedangnya dan meletakkannya di meja. “Itu artinya, kalung ibu kalian juga sama dengan ini.” Pedang Lord Caelus yang tipis dan ramping menarik perhatianku pertama kali. Namun saat kuperhatikan lagi, yang ia maksud adalah ikat pinggang dan sarung pedangnya. Ikat pinggang yang sepertinya terbuat dari kulit itu dihiasi beberapa batu ruby. Begitu pula dengan sarung pedangnya. Batu ruby itu memang ditempatkan di benda yang
“Lynx!” Seru Era. Lynx berbalik dan langsung disergap Era yang memeluknya erat-erat.“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Lynx sambil memegang bahu Era dengan kedua tangannya dan memandangnya dari atas ke bawah, memeriksanya dengan seksama.“Aku baik-baik saja.”Lynx menganggguk dengan mata berbinar.“Aku bisa mellihatnya.” Ia mengalihkan pandangannya ke Gaja. “Terima kasih sudah membantu dan menjaga mereka.”Gaja mengangguk.“Sudah tugasku.”Lynx mengangguk pada penjaga teman Gaja yang pernah kami temui saat pertama kali sampai di sini dan berjalan pergi.“Kalau begitu kami pamit. Kami akan meneruskan perjalanan. Terima kasih untuk semuanya, Gaja.” Kata Esen. kami melakukan hal yang sama.“Hati-hati.”“Terima kasih.” Kata Esen pada penjaga satunya untuk terakhir kalinya lalu kami segera menusu Lynx yang telah mendahului kami.Kami sampai di Deruta disambut matahari yang bersinar hangat.Dan seraut wajah tanpa ekspresi berwarna perunggu.“Flaresh.” Seru Era. Flaresh mengangguk. Tidak ada kali
“Bagaimana keadaan Era?” Esen bertanya kepada Bibbat yang baru saja memeriksa Era.“Semuanya normal. Ia sangat sehat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Syukurlah.” Esen menghembuskan nafas lega.“Berarti kami sudah boleh pulang bukan?” Tanya Era.“Kau sudah ingin pulang?”“Ya. Kami sudah terlalu lama disini. Kami harus segera menyelesaikan tugas kami yang tertunda.”Ashlyn menatapnya.“Kau yakin?”Era mengangguk.“Kita harus segera pergi.”Bibbat memandang Era sebentar lalu memandang kami yang berdiri di sekeliliing tempat tidur.“Bagaimana dengan kalian”“Kami mengikuti keinginan Era. Jika ia bilang berangkat, kami akan berangkat. Tapi kami akan mendengarkan pertimbanganmu.”“Baiklah jika itu keputusan kalian. Dengan keadaan Putri Era saat ini kalian bisa memulai kembali perjalanan kalian kapanpun yang kalian mau.”“Baiklah, kalau begitu kami akan berangkat besok.”“Jika itu mau kalian.”“Terima kasih atas pengertian dan bantuanmu.”“Aku akan memberi pesan Gaja agar ia bisa mem
Terdengar teriakan keras dan suara ribut-ribut..Bisa kurasakan beberapa orang yang tiba-tiba berlarian masuk ke ruangan kami.Dengan enggan aku berusaha membuka mataku yang terasa berat dan lengket.Jiwaku yang mendarat di dunia ini masih separuh. Rasanya aku masih belum sanggup untuk menghadapi kenyataan dunia. Aku masih ingin tidur lagi.Mimpi apa ya aku semalam? Rasanya kok seperti tegang sekali dan ingatanku tumpang tindih..“Axel bangun! Era sudah sadar!” seru Esen sambil mengguncang badanku.Seketika mataku terbuka lebar dan bangkit dari posisiku yang tidur sambil duduk di kursi dekat pintu.Aku terpaku di tempatku memperhatikan Esen yang bergerak kesana kemari dan berteriak dengan kegirangan.Penyembuh-penyembuh yang hilir mudik dengan raut wajah antusias dan kelegaan sekaligus penuh semangat.Wajah Ashlyn yang bahagia dan penuh rasa syukur.Firroke di atas meja tampak melompat-lompat gembira.Dan tentu saja, di tengah-tengah itu semua, sumber dari semua keributan dan kebahagi
Dua hari kami menunggu.Melihat Era yang tergolek tak sadarkan diri, meskipun kami bilang akan bertahan walaupun nantinya proses kesembuhannya akan memakan waktu, tak urung kami merasa tak berdaya. Rasa cemas kami semakin meningkat dan kesabaran kamipun mulai menipis.Semua hal memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.Apalagi kalau itu berkaitan dengan orang yang kau sayangi.Dan semua itu diperparah dengan kabar bahwa baik Gaja maupun Bibbat belum menemukan penyembuh yang kami cari. Sedangkan Raja Toya yang dikenal sebagai penyembuh handal menolak siapapun yang menemuinya. Tak perduli siapa ia. Tak perduli apapun kepentingannya.Setelah berhari-hari dalam keragu-raguan, malam itu Esen bertekad untuk mengabari orang tuanya esok hari agar keduanya bisa meminta tolong pada Raja Toya secara langsung agar ia berubah pikiran dan bersedia mengobati Era.Dengan keputusan tersebut kami semua merasa beban di pundak kami sedikit terangkat.Setidaknya ada orang dewasa dan berkuasa yang a
Sudah tiga hari kami berada di rumah sakit ini. Kondisi Era relatif stabil meski tidak ada perubahan. Ia sama sekali belum siuman. Tiga orang penyembuh bergantian berjaga dua puluh empat jam non stop untuk menstabilkan aliaran darah Era. Dan kami berada di sisi Era tanpa beranjak kecuali untuk hal yang benar—benar penting. Firroke akan dengan ceria tidur atau hanya duduk-duk di bantal Era, di samping telinganya. Berceloteh macam-macam. Ashlyn dan Esen akan bergantian duduk di samping tempat tidurnya. Menggenggam tangannya, mengusap lembut kepalanya dan sesekali mengajaknya Era berbicara.Hanya aku yang akan melihat semuanya dalam diam dari jarak yang cukup.Aku tidak berani menghampirinya. Apalagi menggenggam tangannya.Aku tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin kudengar.Karena sepanjang perjalanan membawa Era aku mendengarnya.Suara statis benak Era yang tidak beraktifitas. Yang kadang berakhir pada kesunyian yang menyeramkan. Seakan dia ada namun juga sekaligus tiada.Di hari k
Kami berhenti di sebuah bangunan besar tanpa torhameir yang letaknya agak jauh dari istana. Bangunannya lebih polos dibanding bangunan-bangunan yang kami lewati atau kami lihat sebelumnya, namun meskipun terlihat sederhana tapi bangunan itu tampak lebih sibuk karena banyaknya peri yang berlalu lalang.“Ayo.” Kata penjaga itu. Ia segera menuruni ikan yang kami naiki dan meniti anak tangga berwarna putih yang berada di depan bangunan dengan cepat. Aku berusaha mengikutinya semampuku sambil membopong Era.Kami memasuki sebuah bangsal yang sangat luas dengan kursi-kursi berbaris rapi di bagian tengahnya sementara di sisi terjauh dinding terdapat banyak pintu dengan tulisan yang berbeda. Ada yang bertuliskan ruang pengobatan ada pula yang bertuliskan ruang pemeriksaan.Sepertinya ini adalah rumah sakit.Penjaga yang mengantar kami langsung memasuki sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar. Seorang peri yang sedang duduk di belakang sebuah meja besar segera berdiri dan menghampiri kami.
Kami melewati lorong yang di kanan kirinya menetes air bagai tirai perak. Sementara di bawah kami, terdapat air yang mengalir searah dengan tujuan kami. Tidak satu orang pun yang berbicara sepanjang perjalanan hingga kami sampai di ujung lorong, tempat dimana air dibawah kaki kami mengalir dan berakhir dengan terjun bebas ke sungai puluhan meter nun jauh d bawah sana.Tidak terlihat tangga atau alat yang memiliki prospek untuk kami gunakan .“Jadi, bagaimana caranya kita turun?” tanya Firroke.Penjaga meraih kalung yang tersembunyi di balik bajunya lalu meniup sesuatu yang seperti sirip ikan yang tergantung di kalungnya tadi. Tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi cipratan yang keras lalu penjaga itu melompat dan seekor ikan besar berwarna merah muda dengan sepasang sirip yang sangat besar bagai sayap terbang untuk menangkapnya. Ia mendarat tepat di atas punggung ikan tadi. Sebelum kami pulih dari keterkejutan kami mereka berdua telah meluncur cepat ke ba
“Bagaimana”“Sepertinya ada luka di kepala dan rusuk yang patah.” Lynx membetulkan mantel Ashlyn yang digunakan menyelimuti Era. Esen menggenggam tangan saudarinya dengan wajah khawatir.“Aku sudah menstabilkan keadaanya. Tapi ia akan butuh perawatan segera karena sepertinya tulangnya yang patah menekan organ dalamnya.”Flaresh memandang berkeliling.“Kita harus berjalan lebih ke utara jika ingin mencari penyembuh.”“Apa Era bisa?”“Bisa. Aku akan menggendongnya dengan begitu goncangan selama perjalanan akan berkurang. Kalian yang bertanggung jawab membawa kuda dan melindungi kami karena Flaresh tidak bisa menemani kita.”Aku memandang vatra itu. Sebelumnya di Hutan Seda ia tidak menemani kami. Sekarang kami mau masuk ke wilayah Voda-pun ia juga melakukan hal yang sama.“Kenapa?” tanyaku. Flaresh tak menggubrisku. Tapi sepertinya kami sama-sama tahu pertanyaanku tak sekedar sebuah kata kenapa. Dan jawabannya tak sekedar perbedaan natural mereka.“Aku akan mencari portalnya.”Tanpa me
“Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le