Rasa kesal dan lelah yang kurasakan mau tidak mau menghilang. Pemandangan indah di hadapan kami membuatku merasa lebih santai. Angin sepoi yang hampir tak pernah berhenti berhembus berhasil menyegarkan baik tubuh dan pikiranku.
“Apa kita nanti melewati danau itu?” Tanya Firroke.
“Apa kau ingin lewat sana?” Flaresh balik bertanya.
“Sepertinya akan menyenangkan.”
Flaresh mengangguk.
“Lynx.” Lynx yang mendengar panggilan Flaresh segera berdiri menyambutnya. Tampak di belakangnya dua orang peri muda yang sedang duduk di sekeliling api unggun. Aku dan Ashlyn mendekatinya. “Kalian tidak apa-apa?” Tanyaku. Sepasang anak muda itu menatapku dengan tatapan waspada. Mereka jauh dari kesan lemah meski sebelumnya Flaresh berkata mereka terluka. Mereka hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaanku. “Apa yang terjadi?” Tanya Flaresh. “Kami tidak tahu. Kami tiba-tiba saja diserang saat kami baru saja beristirahat.” Jawab peri muda itu. Ia peri laki-laki dengan rambut ikal sebahu berwarna madu. Kulitnya terlihat putih bahkan dalam kegelapan. Flaresh menatapnya agak lama seakan meragukan perkataannya lalu berjalan pergi diikuti Lynx. “Kalian sudah makan?” Tanya Ashlyn yang mulai mengeluarkan barang-barang kami. Lagi-lagi kedua peri muda itu menggeleng. Ashlyn tanpa berkata-kata menyiapkan makanan dan memberikannya pada merek
Seperti yang dikatakan oleh Flaresh sebelumnya, meskipun kami menemukan banyak tumbuhan di sepanjang jalan Gunung Yamora, tanaman-tanaman itu tidak bisa dikonsumsi. Setidaknya untuk kami. Karena menurut Firroke sebenarnya tanaman-tanaman itu masih bisa dikonsumsi oleh Daunas tertentu. Sedangkan sumber air sama sekali tidak kami temui. Entah bagaimana tanaman di gunung ini bisa hidup tanpa adanya sumber air. Semakin tinggi perjalanan kami, udara yang kami hirup semakin tipis. Hijaunya tanaman pun semakin berkurang dan digantikan lapisan kristal putih seperti salju yang terasa sejuk saat disentuh. Dan pemandangan di sekeliling kami yang tadinya pemandangan lembah Anila berubah menjadi hamparan awan yang bergumpal bagai kapas. “Sebentar lagi kita sampai di distrik Kumo.” Kata Esen membuyarkan kesibukanku mengagumi pemandangan di hadapanku. Aku hanya mengangguk. Toh aku tidak tahu distrik Kumo itu apa. Kami berjalan selama beberapa menit saat akhirnya sampai di p
“Kami antar sampai sini saja ya.” Kata Esen saat kami sampai di depan pintu gerbang sebuah istana megah dengan dinding berkilau seperti dinding kaca. Kami bertiga, aku, Ashlyn dan Firroke berdiri di depan pintu gerbang dan melongok ke dalam halaman istana dengan kekaguman dan rasa ingin tahu seperti turis. Flaresh dan Lynx entah pergi kemana dan hanya mengatakan bahwa akan segera menyusul kami. “Ini adalah pintu masuk ke dalam istana. Kalian bisa langsung masuk karena istana bagian depan terbuka untuk umum. Jika ingin bertemu dengan Ratu Samirana kalian bisa mengatakannya pada penjaga.” “Ratu Samirana memiliki kebiasaan membacakan buku untuk anak-anak setiap menjelang senja di akhir minggu. Jika kesulitan menemuinya, kalian bisa menemuinya lebih mudah saat itu.” Tambah Era. “Tapi akhir minggu masih dua hari lagi.” Kata Firroke. Era mengangkat bahu. “Hanya itu satu-satunya jalan untuk menemui Ratu jika kalian tidak bisa menemuinya di Hari Penyampaian.”
Kami diantarkan prajurit penjaga memasuki sebuah aula yang luas. Di ujung aula terdapat telundakan yang mengarah ke singgasana sementara di lantai yang lebih rendah terdapat kursi-kursi di sisi kanan dan kiri. Di atas singgasana tergantung panji-panji dan bendera berwarna putih dan perak.Kami sedang duduk di kursi sambil memandang sekeliling saat pintu di belakang kami terbuka hampir tanpa suara. Hanya sikap Lynx yang tiba-tiba berubah membuat kami mengetahuinya.Mulutnya membentuk kata, Ratu Samirana.Aku dan Ashlyn buru-buru merapikan pakaian dan bangkit berdiri dari kursi kami.Seorang wanita tinggi semampai dengan rambut perak ikal panjang memasuki ruangan dengan langkah ringan seakan terbang. Rambutnya begitu panjang sehingga hampir menyentuh tanah. Wajahnya cantik dengan mata besar berwarna emas yang mengingatkanku pada mata seekor rubah.Aku tidak pernah melihat satu orang manusiapun yang memiliki warna kulit seperti dia. Warna kulitnya sep
Suara Ratu Samirana menggema dalam benakku dengan keras dan jelas seperti dentang lonceng. Kali ini aku benar-benar terkejut hingga menarik tanganku.Ashlyn memandangku dengan ekspresi setengah bertanya dan setengah mengecam.“Maafkan aku Ratu.” Kataku menyadari sikapku yang tidak sopan. Ratu Samirana tersenyum.“Apakah suaraku terlalu keras?”Dengan gugup aku mengangguk.“Ba, bagaimana Anda tahu? ““Mengapa aku harus tidak tahu? “ Ratu Samirana memandangku dengan tatapan menyelidik. “Berada di dunia kami membuat kemampuanmu meningkat, bukan?”Aku mengangguk. Setelah dipikir-pikir lagi, aku memang semakin sensitif sesampainya di dunia ini. Sentuhan sekecil apapun membuatku mendengar hal yang tidak seharusnya kudengar.Ia mengalihkan pandangannya ke Ashlyn.“Bagaimana denganmu, Ashlyn?”“Eh, bagaimana Ratu? “ tanya Ashlyn bingung.
“Mengenai kalung ibu kalian.” Ratu Samirana akhirnya memecahkan kesunyian diantara kami. “Apakah itu seperti ini?” Ia mengulurkan kedua tangannya sehingga kami bisa melihat gelang yang melingkar di pergelangannya. Kami semua menjulurkan kepala guna melihat lebih dekat dan dengan segera mengenali batu berwarna merah yang bersinar indah itu. Batu Ruby dari tambang Grahreb. “Ya. Ini sama.” Kata Ashlyn. Aku mengangguk setuju. Ratu Samirana berpandangan dengan Lord Caelus. Lord Caelus mengangguk lalu melepaskan ikat pinggang sekaligus pedangnya dan meletakkannya di meja. “Itu artinya, kalung ibu kalian juga sama dengan ini.” Pedang Lord Caelus yang tipis dan ramping menarik perhatianku pertama kali. Namun saat kuperhatikan lagi, yang ia maksud adalah ikat pinggang dan sarung pedangnya. Ikat pinggang yang sepertinya terbuat dari kulit itu dihiasi beberapa batu ruby. Begitu pula dengan sarung pedangnya. Batu ruby itu memang ditempatkan di benda yang
“Ayo cepat.” Kata Esen sambil menarik tanganku sementara Era menggamit tangan Ashlyn. Firroke terguncang-guncang di atas bahuku. “Hei, hei!” Protes Firroke. Esen tertawa tapi tidak memperlambat langkahnya. “Kita mau kemana?” Tanyaku merasa sedikit kewalahan dengan semangat Esen. “Sore ini waktunya ibu membacakan kita cerita.” Kata Era dengan senyum riang. Aku mengerutkan alis. Meskipun tidak terlalu memahami yang mereka maksud, aku tetap mengikuti mereka. Sebagian karena aku diseret Esen dan sebagian lagi karena ingin tahu karena sepertinya Era atau Esen pernah menyebut tentang hal ini. Kami melewati perpustakaan yang pintu dan jendela-jendelanya terbuka lebar dan berjalan lurus ke tengah perpustakaan. Meja besar yang sebelumnya berada di bawah pohon Zurine telah hilang dan digantikan sebuah kursi dan meja kecil berwarna putih. Di bawah pohon Zurine, duduk di kursi itu dengan anggun Ratu Samirana dikelilingi peri muda berbagai umur yang duduk bersimpu
“Pohon Zurine adalah satu-satunya tanaman yang tumbuh di masa itu. Masa itu disebut sebagai Masa Kelahiran. Selama seribu lima ratus tahun Pohon Zurine tumbuh dan berkembang tanpa ada tumbuhan lain di sekelilingnya.”“Lalu suatu hari, Pohon Zurine yang telah tumbuh begitu besar dan lebat sehingga menaungi dunia, berubah menjadi warna perak seluruh daunnya. Warna perak itu berasal dari spora yang menutup seluruh permukaan daun. Saat angin berhembus, ia menerbangkan spora yang ada di dedaunan sehingga tersebar ke seluruh penjuru dunia. Saat spora tersebut mencapai tanah, mereka tumbuh menjadi tumbuhan baru. Perbedaan kondisi tanah, lingkungan dan cuaca perlahan-lahan membuat tumbuhan-tumbuhan tersebut berevolusi menjadi berbagai jenis tanaman yang baru.”Kami melihat spora yang berterbangan bagai butiran salju ke seluruh penjuru dunia lalu perlahan-lahan berbagai bentuk tanaman dengan berbagai warna tumbuh di berbagai bagian dunia.“D
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua
“Kau tidak apa-apa?” Esen menatapku penuh kekhawatiran saat akhirnya aku menarik tanganku dari wajah. “Seharusnya.” Aku menjawab dengan ragu. Kami berdua terdiam lagi hingga cukup lama. “Jadi kau bisa mendengarkan pikiranku tadi?” “Sepertinya.” “Tapi bagaiimana caranya? Kan kita tidak saling bersentuhan.” “Aku juga tidak tahu. Ini tidak seperti biasanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus berusaha berpikir jernih. “Apa yang kau lakukan tadi saat aku mendengar pikiranmu?” “Aku memeriksa bekas cakaran di dahan pohon.” “Bagaimana tepatnya kau memeriksanya?” “Aku menyentuhnya.” Dan dengan kompak kami saling pandang. “Tidak mungkin.” Aku masih tidak percaya. “Sepertinya begitu.” Kata Esen sambil mengangguk meyakinkan. “Tapi,” “Bagaimana kalau kita coba lagi?” “Ha?” Esen meletakkan tangannya di batang pohon tadi. “Coba tebak apa yang aku pikirkan.” Aku memandangnya memastikan ke kesungguhannya. Ia mengangguk menyemangatiku. “Tidak ada salahnya mencoba bukan?” Ben
Aku mengulurkan tangan menyentuh batang pohon yang berkulit kasar dan berbenjol di sana sini. Ada getah setengah kering yang merembes dari tiga buah sayatan agak dalam yang posisinya tidak lebih tinggi sedikit dari mataku. Mungkin cakaran hewan. Dengan posisi setinggi ini artinya hewannya besar. Semoga aku tidak perlu bertemu dengannya hari ini.Aku kembali meraba dan merasakan permukaan kasar dibawah jemariku. Dengan tangan masih menempel di batang pohon, aku menutup mata mencoba mendengarkan sekitarku.Telinga dan benakku menangkap bunyi yang sama. Desau angin, bunyi gesekan dedaunan yang menenangkan serta bunyi serangga dan bermacam kicau burung yang berbeda-beda. Bebunyian khas musim panas.Aku berusaha berkonsentrasi lebih dalam dan berusaha mengacuhkan bebunyian yang kudengar di telingaku. Namun tidak ada perubahan. Yang kudengar masih sama. Tidak ada suara lain.Aku mendesah dan berjalan ke pohon yang lain. Lalu mengulangi usahaku sebelumnya. Aku bisa merasakan matahari yang s
“Sekarang tutup mata kalian.”Aku dan Esen saling pandang sesaat lalu menuruti apa yang diperintahkan Raja Narawana.“Ghadanfar.” Terdengar suaranya yang beerat memanggil Ghadanfar.“Ya Yang Mulia.”“Pergilah.”Tidak ada jawaban. Aku membayangkan Ghadanfar yang menjawab perintah Raja Narawana hanya dengan anggukan hormat.“Buka mata kalian.” Lanjutnya kemudian.Kami membuka mata dan hanya disambut oleh sosok tinggi Raja Narwana. Ghadanfar tidak terlihat dimanapun. Sepertinya ia telah pergi sesuai dengan perintah Raja Narawana.“Esen, aku ingin kau mencari dan menemukan Ghadanfar. Aku memberimu waktu sampai sebelum matahari terbenam.” Kata Raja Narawana sambil menatap Esen. “Ia akan memberikanmu sebuah benda sebagai bukti bahwa kau berhasil menemukannya.”“Tapi apa hamba sanggup menemukan Ghadanfar di hutan seluas ini sebelum matahari terbenam?”“Tentu saja kau tidak akan sanggup.”Esen memasang tampang merajuk yang sangat jarang kulihat. Mau tak mau aku tersenyum.“Lalu, apakah Anda
Aku membuka pintu kamarku dan langsung disambut wajah ceria Esen.“Kau tidak ada latihan hari ini?” tanyaku padanya. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu karena ia sibuk berlatih dengan Ghadanfar sedangkan aku sibuk bermain dan berkeliaran kesana kemari dengan kucing apiku. Sebutanku pada Lynx yang tentu saja hanya ada dalam pikiranku.“Kata Ghadanfar hari ini kita akan menemani Raja Narawana.”Jantungku seketika berdegup lebih kencang.“Benarkah?”“Ya. Itulah mengapa ia memintaku untuk memanggilmu.”“Akhrnyaaa..”Esen memandangiku dengan pandangan bertanya.“Sementara kau berlatih sampai tulangmu akan lepas, aku sama sekali belum berlatih, Esen.”Esen menggaruk kepalanya sambil meringis.“Aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak mendengar perkataanmu. Ghadanfar benar-benar tidak tanggung-tanggung dalam melatihku. Sampai-sampai itu lebih mirip siksaan daripada latihan.”Aku tersenyum dan meninju dadanya pelan.“Tapi kau senang bukan?”Esen mengangguk dengan mata berbinar.“Baikla
“Apa kau tidur?”Aku membuka mata dan menatap sesosok burung berwarna putih melayang di atas kepalaku. Kutegakkan tubuhku. Burung itu berputar di angkasa satu kali lalu dengan sebuah desiran halus ia mendarat di atas salah satu daun teratai besar di dekatku dan berubah menjadi seorang peri wanita bertubuh ramping dan mungil. Dulu aku pernah bertemu dengannya saat pertama kali tiba di sini. Namanya,“Aku Ava.” Kata peri itu seakan bisa mengetahui pikiranku.Ah, benar.“Apakah kau menemui kesulitan dengan tugasmu?” Tanyanya. Dengan santai ia duduk di atas daun teratai tadi sambil memainkan kakinya yang terjulur ke danau.“Kau tahu tugasku?” Tanyaku dengan heran.“Tentu saja. Itulah mengapa aku diminta kemari untuk melihat sejauh apa perkembanganmu.”Aku mengangguk sambil memandanginya yang duduk santai di atas daun teratai.“Ada apa?”“Ah, itu..” aku masih tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Ia punya ilmu meringankan tubuh atau bagaimana sih kok bisa-bisanya ia duduk di atas dau