Share

Bab 6

"Selamat malam.”

Simon menyapaku begitu pintu terbuka. Mau tidak mau aku sedikit terkejut. Tidak menyangka Simon akan ada di apartemen Noah. Sejak pindah di apartemen dan hidup sendiri, Simon tidak pernah datang berkunjung kecuali ada hal penting.

“Noah ada?”

“Sedang istirahat.” Simon berjalan mendahuluiku ke arah mini bar. “Anda mau minum?”

Aku duduk di salah satu kursi tinggi dan memperhatikan Simon.

“Air putih saja.”

“Dingin?”

Aku mengangguk.

Simon membuka pintu lemari es mengambil sebotol air mineral dan meletakkannya bersama dengan sebuah gelas di hadapanku. 

“Bagaimana keadaannya?”

Aku bertanya setelah meneguk airku langsung dari botol tanpa mengindahkan gelas yang disiapkan Simon. Kemarin aku akhirnya harus mengantarkan Noah pulang karena sepertinya keadaannya memburuk.

“Sudah lebih baik.”

“Kenapa dengannya? Aku tidak pernah melihat dia seperti itu.”

“Anda bisa menyebutnya alergi air hujan.” Aku menatap Simon sedikit tidak percaya dengan pendengaranku.

“Benar-benar ada ya yang seperti itu?” 

Simon tersenyum penuh rahasia.

Aku punya kenalan yang pasti sakit kepala kalau kehujanan. Ada juga yang timbul ruam di kulitnya kalau kena air hujan. Tapi yang demam dan langsung sakit seperti Noah baru kali ini aku tahu.

“Apa sudah dibawa ke dokter?” 

Simon menggeleng.

“Oh, hampir saya lupa. Tadi pagi saya bertemu Nenek anda. Beliau meminta anda untuk meneleponnya. Katanya anda sudah lama tidak menghubungi beliau.”

Aku mengangguk dan segera meraih telepon genggamku. Simon balas mengangguk lalu pergi meninggalkanku. Kutekan nomor telepon rumah nenek. Ia tidak terlalu suka dengan telepon genggam. Jadi aku selalu telepon ke rumah.

“Halo.”

“Hai, Nek.”

“Hai, Axel.”

“Bagaimana kabar wanita favoritku ini?”

Nenek terkekeh. “Apakah kamu mengatakan hal yang sama ke pacarmu?”

Aku tertawa. “Nenek kan tahu aku tidak punya pacar.”

“Jadi itu sebabnya kamu berlatih dengan Nenek?”

“Nenek kenapa jadi seperti Noah bicaranya?” Nenek tertawa. Aku juga ikut tertawa. Tawa nenek selalu memiliki efek menular.

"Kamu di rumah Noah?"

"Yap."

"Sendirian?"

"Dengan Simon."

"Maksud Nenek apa kamu dengan Ashlyn pergi ke tempat Noah?"

"Oh, itu maksud Nenek. Tidak. Aku langsung kemari sepulang dari perpustakaan. Ashlyn masih di kampusnya."

“Bagaimana Noah?”

“Aku belum bertemu. Dia masih istirahat.” Baru saja aku menutup mulutku saat pintu kamar Noah terbuka dan dia keluar dengan wajah yang masih sedikit merah.

“Ah, ini dia bangun.”

Noah memandangku dengan tatapan bertanya sambil membuka pintu lemari es.

“Nenek.” kataku. Bibirnya membentuk huruf o lalu membawa air mineral yang diambilnya dari lemari es dan duduk di sofa depan televisi.

“Nenek mau bicara dengannya?”

“Tidak. Sampaikan saja salam nenek.”

"Oke. Nenek sendirian?" Aku bertanya karena biasanya ibu yang menjawab telepon.

"Iya. Ayah dan Ibumu pergi sejak sore."

Aku mengangguk. “Ooh.."

“Ya sudah. Temani saja Noah. Hati-hati.”

"Oke! Bye, Nek."

Ku kantongi telepon genggamku lalu menyusul Noah.

“Kamu sudah baikan?”

“Lumayan.”

Kuulurkan tanganku menyentuh dahinya. Masih sedikit panas.

“Bicara dulu sebelum memegangku. Jangan pegang-pegang seenaknya. Aku bukan pacarmu.” Kata Noah sambil menjauhkan kepalanya dari tanganku. Kutahan keinginan kuatku untuk memukul kepalanya. 

“Sepertinya dia sudah sembuh.” Kataku ke Simon yang datang membawakan satu loyang pie apel. Simon tersenyum.

"Padahal kemarin di cafe waktu kusentuh dahinya di depan orang banyak dia tidak protes."

Simon menutup mulutnya, menyembunyikan tawa yang ia tahan. Noah melotot pada kami berdua.

“Pulang saja sana.”

“Setelah kuhabiskan pie ini.” Kataku sambil meraih pie apel buatan Simon dan memasukkan satu gigitan besar ke dalam mulutku. Noah berdecak. Aku tertawa puas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status