"Selamat malam.”
Simon menyapaku begitu pintu terbuka. Mau tidak mau aku sedikit terkejut. Tidak menyangka Simon akan ada di apartemen Noah. Sejak pindah di apartemen dan hidup sendiri, Simon tidak pernah datang berkunjung kecuali ada hal penting.
“Noah ada?”
“Sedang istirahat.” Simon berjalan mendahuluiku ke arah mini bar. “Anda mau minum?”
Aku duduk di salah satu kursi tinggi dan memperhatikan Simon.
“Air putih saja.”
“Dingin?”
Aku mengangguk.
Simon membuka pintu lemari es mengambil sebotol air mineral dan meletakkannya bersama dengan sebuah gelas di hadapanku.
“Bagaimana keadaannya?”
Aku bertanya setelah meneguk airku langsung dari botol tanpa mengindahkan gelas yang disiapkan Simon. Kemarin aku akhirnya harus mengantarkan Noah pulang karena sepertinya keadaannya memburuk.
“Sudah lebih baik.”
“Kenapa dengannya? Aku tidak pernah melihat dia seperti itu.”
“Anda bisa menyebutnya alergi air hujan.” Aku menatap Simon sedikit tidak percaya dengan pendengaranku.
“Benar-benar ada ya yang seperti itu?”
Simon tersenyum penuh rahasia.
Aku punya kenalan yang pasti sakit kepala kalau kehujanan. Ada juga yang timbul ruam di kulitnya kalau kena air hujan. Tapi yang demam dan langsung sakit seperti Noah baru kali ini aku tahu.
“Apa sudah dibawa ke dokter?”
Simon menggeleng.
“Oh, hampir saya lupa. Tadi pagi saya bertemu Nenek anda. Beliau meminta anda untuk meneleponnya. Katanya anda sudah lama tidak menghubungi beliau.”
Aku mengangguk dan segera meraih telepon genggamku. Simon balas mengangguk lalu pergi meninggalkanku. Kutekan nomor telepon rumah nenek. Ia tidak terlalu suka dengan telepon genggam. Jadi aku selalu telepon ke rumah.
“Halo.”
“Hai, Nek.”
“Hai, Axel.”
“Bagaimana kabar wanita favoritku ini?”
Nenek terkekeh. “Apakah kamu mengatakan hal yang sama ke pacarmu?”
Aku tertawa. “Nenek kan tahu aku tidak punya pacar.”
“Jadi itu sebabnya kamu berlatih dengan Nenek?”
“Nenek kenapa jadi seperti Noah bicaranya?” Nenek tertawa. Aku juga ikut tertawa. Tawa nenek selalu memiliki efek menular.
"Kamu di rumah Noah?"
"Yap."
"Sendirian?"
"Dengan Simon."
"Maksud Nenek apa kamu dengan Ashlyn pergi ke tempat Noah?"
"Oh, itu maksud Nenek. Tidak. Aku langsung kemari sepulang dari perpustakaan. Ashlyn masih di kampusnya."
“Bagaimana Noah?”
“Aku belum bertemu. Dia masih istirahat.” Baru saja aku menutup mulutku saat pintu kamar Noah terbuka dan dia keluar dengan wajah yang masih sedikit merah.
“Ah, ini dia bangun.”
Noah memandangku dengan tatapan bertanya sambil membuka pintu lemari es.
“Nenek.” kataku. Bibirnya membentuk huruf o lalu membawa air mineral yang diambilnya dari lemari es dan duduk di sofa depan televisi.
“Nenek mau bicara dengannya?”
“Tidak. Sampaikan saja salam nenek.”
"Oke. Nenek sendirian?" Aku bertanya karena biasanya ibu yang menjawab telepon.
"Iya. Ayah dan Ibumu pergi sejak sore."
Aku mengangguk. “Ooh.."
“Ya sudah. Temani saja Noah. Hati-hati.”
"Oke! Bye, Nek."
Ku kantongi telepon genggamku lalu menyusul Noah.
“Kamu sudah baikan?”
“Lumayan.”
Kuulurkan tanganku menyentuh dahinya. Masih sedikit panas.
“Bicara dulu sebelum memegangku. Jangan pegang-pegang seenaknya. Aku bukan pacarmu.” Kata Noah sambil menjauhkan kepalanya dari tanganku. Kutahan keinginan kuatku untuk memukul kepalanya.
“Sepertinya dia sudah sembuh.” Kataku ke Simon yang datang membawakan satu loyang pie apel. Simon tersenyum.
"Padahal kemarin di cafe waktu kusentuh dahinya di depan orang banyak dia tidak protes."
Simon menutup mulutnya, menyembunyikan tawa yang ia tahan. Noah melotot pada kami berdua.
“Pulang saja sana.”
“Setelah kuhabiskan pie ini.” Kataku sambil meraih pie apel buatan Simon dan memasukkan satu gigitan besar ke dalam mulutku. Noah berdecak. Aku tertawa puas.
Aku mengerang. Telepon genggamku berbunyi nyaring. Padahal aku baru saja bisa tidur. Kenapa telepon genggam yang biasanya hanya mode getar malam ini memilih untuk berubah jadi mode dering?Kuraba di bawah bantal tanpa hasil. Aku mengerang lagi. Akhirnya menyerah dan bangkit. Kunyalakan lampu di meja lalu melongok ke bawah tempat tidur. Telepon gengamku tergeletak di bawah tempat tidur. Bunyinya terdengar lebih nyaring di tengah kegelapan malam dengan layar yang berkedip-kedip terang. Setengah tiarap aku meraih sumber bunyi yang berhasil menggagalkan tidurku. Aku berkedip cepat melihat nama penelpon di layar. Segera kutekan tombol terima.“Ya Nek? “ tidak ada sahutan.Tapi aku bisa mendengar bunyi beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di seberang sana. aku mengerutkan kening.“Halo, Nek? Nenek dimana? Ada apa?““Halo, Tuan Axel. “ Suara lelaki menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan kening lagi. Terkejut.
“Nek, sudah sore. Nenek tidak masuk?”Aku membelai bahu Nenek. Nenek menoleh padaku dan tersenyum.“Nanti saja.” Nenek menepuk tanganku.Aku duduk di samping nenek sambil tetap memeluk bahunya.“Belum ada kabar dari polisi?”Aku menggeleng. Nenek mendesah. Kugenggam tangannya dan kubelai keriput di kulitnya. Bisa kudengar banyak suara berkecamuk bercampur baur jadi satu dalam pikirannya. Bahkan untukku, apa yang ada dalam pikiran nenek terlalu banyak sehingga sulit didengar dengan jelas. Nenek tersenyum padaku.“Nenek terlalu lelah bahkan untuk bicara. Maaf kamu harus mendengar pikiran nenek yang tidak karuan.”Aku menggeleng.“Bukankah ada hal-hal yang kadang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata? Aku bisa lebih mengerti nenek dengan cara ini.”Nenek tersenyum. Ia memejamkan mata lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Kutepuk-tepuk bahunya ingin sedikit memberi
“Mau kemana sepagi ini? “Aku tersentak dan refleks mengangkat kepalaku. Ashlyn berdiri di depan pintu sambil memandangku heran.“Kamu mengagetkanku.” Kuteruskan kesibukanku mengikat tali sepatu. Setelah selesai aku langsung berdiri.“Aku mau jogging sedikit. “Ashlyn mengerutkan kening.“Itu sama sekali bukan seperti dirimu.”Aku tersenyum. Aku bukan penggemar olah raga, terutama lari. Apalagi yang harus dimulai sepagi ini. Ashlyn lah yang punya kebiasaan lari pagi. Pantas saja jika dia heran melihat aku bangun pagi untuk jogging.“Aku ikut denganmu kalau begitu. Tunggu aku. ““Nenek? ““Tidak apa-apa. Nenek akhirnya bisa tidur dengan baik setelah berhari-hari. Aku tidak yakin dia akan bangun pagi. “Tidak perlu menunggu terlalu lama Ashlyn turun dengan pakaian olah raga dan rambut di ekor kuda.“Ayo.”
Badanku terasa sakit semua. Aku mengerang dan membuka mata. Tidak banyak yang bisa kulihat di kegelapan di sekelilingku. Aku segera bangun dan menatap berkeliling.“Ash.”Suaraku menggema namun tidak terdengar jawaban dari Ashlyn.“Ashlyn!”Aku mengulang usahaku dan masih tidak ada sahutan apapun. Aku mulai khawatir.Kegelapan adalah musuh besar Ashlyn. Aku tidak bisa membayangkan keadaannya jika dia jatuh di tempat segelap ini yang bahkan tanganku sendiri tidak bisa kulihat. Aku segera berdiri.Duak!“Sialan!” makiku saat kepalaku membentur sesuatu dengan keras.Kuraba-raba benda yang membentur kepalaku dan kurasakan sesuatu yang menonjol dan panjang saling menjalin di sesuatu yang mirip langit-langit rumah.“Bukankah aku tadi jatuh? Seharusnya di atasku tidak ada apa-apa, kenapa malah ada atap di atas kepalaku? Apa aku tertimbun?”Aku meraba-raba lagi
Aku berdiri diantara batang dan akar pohon berwarna putih. Aku memutar kepalaku memandang lagi lubang dimana aku keluar. Mengagumi kenyataan bahwa aku baru saja keluar dari dalam sebuah batang pohon.Kuangkat kepalaku dan kusadari betapa besarnya pohon yang menaungiku. Batangnya menjulang begitu tinggi. Sementara kanopi pohon merentang begitu luas memberikan keteduhan. Daun-daunnya yang berwana hijau keperakan bergemerisik merdu ditiup angin sementara rantingnya melambai-lambai menenangkan.Angin berhembus lembut menerpa wajahku. Kusentuh kulit dari batang pohon itu sambil mengucap syukur dalam hati. Karena aku tidak terkubur hidup-hidup tapi justru terselamatkan dan terlindungi di dalamnya.Ini jelas bukan pohon yang ada di hutan Emrys. Bagaimana bisa aku berakhir di disini? Apa Ashlyn juga disini? Apa dia baik-baik saja?Pikiran tentang Ashlyn kembali membuat aku melongokkan kepalaku ke dalam pohon.“Ash! Apa kamu di dalam? “ ak
Bab 12“Haish!”aku menggeram saat tersandung sesuatu dan hampir jatuh. Buru-buru kuseimbangkan tubuhku yang oleng dengan menyambar dahan pohon terdekat. Akibatnya beberapa buahnya yang berukuran kecil jatuh menimpaku. Sekali lagi aku menggeram.“Hihihi.. “Terdengar suara tawa kecil entah dari mana. Aku memandang berkeliling.“Siapa disana? “Aku berseru ke arah rerimbunan pohon yang kuyakini sumber datangnya suara. Tapi tidak ada jawaban.“Halo? “Aku berseru lagi tapi tetap tidak ada jawaban. Mendadak aku merinding.Aku bukan orang yang penakut. Tapi setelah hampir mati tertindih batu kemudian tiba-tiba berada di hutan yang tidak aku kenal dengan cara yang aneh, terpisah dari Ashlyn lalu mendengar suara-suara aneh mau tidak mau aku menjadi lebih sensitif.Aku menggoyang kepalaku keras-keras mencoba menghilangkan segala pikiran yang menghinggapi benakku, lalu kemba
Aku sampai di sebuah tanah lapang dengan nafas sedikit terengah-engah.Ketiga makhluk yang kuiikuti tadi tidak terlihat dimanapun.Kupandang hutan di sekelilingku sambal terus berjalan. Dan semakin aku berjalan semakin menganga mulutku dan semakin membelalak mataku.Di tengah tanah lapang ada sebuah pohon besar yang dikelilingi berbagai makhluk paling menakjubkan yang pernah kulihat. Ada yang tampak tinggi besar dengan cula di kepalanya. Ada yang kecil mungil dengan sayap warna warni di punggungnya. Ada pula berbagai hewan dengan berbagai bentuk dan ukuran yang tampak bercengkrama dengan damai.Seekor rusa bertanduk kecil dengan bulu berwarna emas berjalan mendekati pohon itu. Cara berjalannya sangat cantik dan anggun sehingga membuatku menahan nafas. Saat ia semakin mendekati pohon, seiring langkahnya ia berubah menjadi sesosok wanita tinggi semampai dengan rambut tergerai panjang dengan sepasang tanduk rusa kecil di kepalanya. Mata rusanya yang besar tamp
"Apakah aku begitu menakutkan untukmu sampai kau seterkejut ini?""Apa kau tidak bisa menutup mulutmu itu? Kamu tidak sopan dan terlihat bodoh sekali."Aku melongo sambil menatap sumber suara di sampingku yang berasal dari si makhluk capung tadi, menatap pohon besar itu, menatap dia lagi lalu kembali menatap pohon tadi."Ah, maafkan aku."Aku buru-buru minta maaf menyadari kebodohanku lalu menutup mulutku rapat-rapat."Hahaha.. Tidak apa-apa."Pohon besar itu bergetar seiring tawanya."Mendekatlah dan ceritakan siapa dirimu. Kami memiliki tamu lain yang juga ingin berbagi ceritanya sepertimu."Aku menatap kerumunan di hadapanku itu ragu-ragu."Ayo, ayo. Cepat pergi kesana."Aku menatap si kecil di sampingku yang tampak antusias mengepakkan sayapnya, lalu bangkit dan berjalan perlahan. Kerumunan mahluk ajaib itu membuka dan memberiku jalan sehingga aku sampai di tepat di depan si pohon besar.Di barisa