“Wah, deras sekali.” Gumamku.
Belum separuh jalan aku menuju perpustakaan dan Noah menuju tempat ia memarkir mobilnya saat hujan tiba-tiba turun dengan deras dan memaksa kami harus berteduh di teras sebuah toko. Kukibaskan rambutku dan kutepuk-tepuk bajuku yang basah. Noah disampingku melakukan hal yang sama dengan wajah masam. Kami lumayan basah walau hanya kehujanan sebentar.
“Sepertinya langit punya dendam dengan kita. Setelah beberapa hari tidak hujan, air hujannya seperti ditumpahkan semuanya siang ini. “
Aku mengangguk setuju. Setelah beberapa hari terakhir kami dibuat terlena dengan sinar matahari yang memancar cerah dan hangat, hari ini langit sepertinya memang sedang melakukan aksi balas dendam. Kupandangi jalanan di depanku yang terlihat seperti lukisan surealis karena hampir tidak nampak bentuknya tertutup air hujan yang turun dengan deras.“Meskipun pakai payung, kita tetap akan basah kuyup dengan hujan yang seperti ini. “Noah mendecakkan lidah. “Dibayar sejutapun aku tidak akan mau memakai payung saat hujan. ““Uang sejumlah itu memang tidak penting buatmu. “ Sergahku. “Semoga saja ini tidak lama. “Sayangnya harapanku sia-sia. Bukannya mereda, hujan justru ditambah dengan angin kencang. Kami yang awalnya sedikit terlindung dari terpaan hujan pada akhirnya sedikit demi sedikit basah. Aku bisa merasakan air merembes ke dalam sneakers yang kupakai.“Apa tidak ada toko pakaian di sekitar sini?” Tanya Noah. Aku menatapnya tidak mengerti. “Aku butuh ganti pakaian.”Kuperhatikan celananya yang tampak berbeda warna karena bagian lutut ke bawah basah. Sama sepertiku. Kemejanya juga basah dari bahu sampai dibagian dada atas.“Setahuku tidak ada.”“Sial. “ maki Noah pelan.Kuperhatikan lagi dia. Noah yang biasanya tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi pada diri atau lingkungan sekitarnya tampak gelisah dan berdiri tidak tenang.
“Ada apa denganmu? “ tanyaku masih heran.Aku tahu ia tidak suka basah, tapi menurutku reaksinya cukup berlebihan. Toh dia tidak sebasah itu. Yah, setidaknya dia tidak basah kuyup.
“Sudah kubilang, aku tidak suka basah. “ sergah Noah kesal.Tapi aku menangkap ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. Wajahnya tampak sedikit memerah.
“Kenapa bukan waktu di café tadi sih hujannya.”
Noah mengintip ke dalam toko tempat kami berteduh.
“Ini toko apa? Kita masuk saja sambil membeli sesuatu. “
Aku ikut mengintip ke dalam toko melalui jendela etalase yang sedikit berembun. Ternyata sebuah toko elektronik. Aku langsung ingat bahwa seminggu yang lalu memang ada toko elektronik yang baru buka di antara deretan café dan rumah makan di Jalan Maple ini. Tidak terlihat aktifitas di dalamnya.“Sepertinya tutup. “aku menyuarakan pendapatku. Noah mengerang.“Apa kita ke café sebelah? Jaraknya tidak terlalu jauh. Kita cuma akan kehujanan sebentar. “Noah memandangku seperti meragukan kewarasanku.
“Disini atau pindah ke sebelah, kita sama-sama basah. Lebih baik kita basah lalu dapat kehangatan daripada disini tanpa melakukan apa-apa dan kedinginan. “
Aku tahu Noah sebetulnya menyetujui argumenku. Tapi kali ini pikiran Noah sepertinya benar-benar sedang tidak jernih. Dan ini adalah hal yang baru buatku. Karena baru detik ini aku tahu ketidak sukaan Noah pada hujan dan terutama pada basah sampai seekstrim ini.“Ayo.”Tanpa menunggu jawaban Noah aku lari ke café sebelah yang jaraknya sekitar empat meter. Air hujan langsung menerpa wajahku tanpa ampun. Aku sampai di teras café dengan sedikit terpeleset. Untung aku sempat berpegangan di salah satu meja dan membuatnya terseret mengikutiku.
Kemudian Noah sampai di sampingku dengan mulus tanpa satu insiden pun. Dia seperti berselancar di atas lantai yang licin. Tanpa berkata-kata dia langsung masuk café dan duduk di salah satu kursi yang berada jauh dari jendela.
“Aku yang memberi ide kenapa aku yang ditinggal? “Aku duduk di hadapannya sambil protes. Noah hanya melambaikan tangannya tidak perduli. Seorang pramusaji datang meletakkan menu di meja kami. Noah melirik sekilas.
“Coklat panas. Dua.”“Hei, aku tidak pesan coklat panas. ““Aku tidak memesankamu.”Mulutku menganga. Noah hari ini benar-benar penuh kejutan. Dia tidak biasanya minum minuman panas sedingin apapun cuacanya. Hari ini dia sampai memesan coklat panas dua cangkir, itu diluar dugaan. Hujan dan basah pasti benar-benar sudah membuat akal sehatnya terganggu.“Kamu pesan apa?”“Aku pesan lemon tea saja. Dengan cookies. ““Ah, ya. Dua cookies dan cinnamon roll.““Kamu sehat?”Kali ini aku benar-benar meragukan kewarasannya. Dia tidak terlalu suka cookies dan makanan manis. Dan sekarang dia memesan keduanya?
“Apa sel otakmu ada yang meleleh atau tercecer karena hujan? “
Bukannya menjawabku, Noah sibuk mengosongkan kotak tissue dan menggunakan isinya untuk mengeringkan rambut dan kepalanya. Aku memperhatikannya.Dan saat itu baru kusadari bahwa wajah Noah lebih merah dari saat terakhir tadi kami berteduh di depan toko.
“Hei, kamu tidak apa-apa? “ Noah hanya menggumam sebagai jawabannya.“Mukamu merah sekali.”
“Aku lupa hari ini blush on-ku terlalu banyak. ““Yang benar saja. “Kupegang lengannya.
“Kamu kok hangat. “
“Ya karena aku belum mati. “Kupindahkan tanganku ke dahinya.“what the.. “seruku terkejut sambil menarik tanganku. Dahi Noah panas sekali.
“Kamu demam. “
“I know. “ Jawab Noah pendek.
“Apa perlu kucarikan obat?”Kali ini aku benar-benar khawatir.
Aku tidak pernah melihat Noah sakit. Dia juga tidak pernah mengeluh apapun di depanku. Dia adalah orang yang selalu sehat. Sekarang, untuk pertama kalinya aku melihat dia sakit. Hanya demam sih. Tapi sudah cukup membuatku panik. Sepertinya sifat ini kudapat dari Ibu.
Noah menggeleng.“Aku hanya perlu pakaian kering, selimut hangat dan istirahat. “
"Selamat malam.”Simon menyapaku begitu pintu terbuka. Mau tidak mau aku sedikit terkejut. Tidak menyangka Simon akan ada di apartemen Noah. Sejak pindah di apartemen dan hidup sendiri, Simon tidak pernah datang berkunjung kecuali ada hal penting.“Noah ada?”“Sedang istirahat.” Simon berjalan mendahuluiku ke arah mini bar. “Anda mau minum?”Aku duduk di salah satu kursi tinggi dan memperhatikan Simon.“Air putih saja.”“Dingin?”Aku mengangguk.Simon membuka pintu lemari es mengambil sebotol air mineral dan meletakkannya bersama dengan sebuah gelas di hadapanku.“Bagaimana keadaannya?”Aku bertanya setelah meneguk airku langsung dari botol tanpa mengindahkan gelas yang disiapkan Simon. Kemarin aku akhirnya harus mengantarkan Noah pulang karena sepertinya keadaannya memburuk.“Sudah lebih baik.”&
Aku mengerang. Telepon genggamku berbunyi nyaring. Padahal aku baru saja bisa tidur. Kenapa telepon genggam yang biasanya hanya mode getar malam ini memilih untuk berubah jadi mode dering?Kuraba di bawah bantal tanpa hasil. Aku mengerang lagi. Akhirnya menyerah dan bangkit. Kunyalakan lampu di meja lalu melongok ke bawah tempat tidur. Telepon gengamku tergeletak di bawah tempat tidur. Bunyinya terdengar lebih nyaring di tengah kegelapan malam dengan layar yang berkedip-kedip terang. Setengah tiarap aku meraih sumber bunyi yang berhasil menggagalkan tidurku. Aku berkedip cepat melihat nama penelpon di layar. Segera kutekan tombol terima.“Ya Nek? “ tidak ada sahutan.Tapi aku bisa mendengar bunyi beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di seberang sana. aku mengerutkan kening.“Halo, Nek? Nenek dimana? Ada apa?““Halo, Tuan Axel. “ Suara lelaki menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan kening lagi. Terkejut.
“Nek, sudah sore. Nenek tidak masuk?”Aku membelai bahu Nenek. Nenek menoleh padaku dan tersenyum.“Nanti saja.” Nenek menepuk tanganku.Aku duduk di samping nenek sambil tetap memeluk bahunya.“Belum ada kabar dari polisi?”Aku menggeleng. Nenek mendesah. Kugenggam tangannya dan kubelai keriput di kulitnya. Bisa kudengar banyak suara berkecamuk bercampur baur jadi satu dalam pikirannya. Bahkan untukku, apa yang ada dalam pikiran nenek terlalu banyak sehingga sulit didengar dengan jelas. Nenek tersenyum padaku.“Nenek terlalu lelah bahkan untuk bicara. Maaf kamu harus mendengar pikiran nenek yang tidak karuan.”Aku menggeleng.“Bukankah ada hal-hal yang kadang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata? Aku bisa lebih mengerti nenek dengan cara ini.”Nenek tersenyum. Ia memejamkan mata lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Kutepuk-tepuk bahunya ingin sedikit memberi
“Mau kemana sepagi ini? “Aku tersentak dan refleks mengangkat kepalaku. Ashlyn berdiri di depan pintu sambil memandangku heran.“Kamu mengagetkanku.” Kuteruskan kesibukanku mengikat tali sepatu. Setelah selesai aku langsung berdiri.“Aku mau jogging sedikit. “Ashlyn mengerutkan kening.“Itu sama sekali bukan seperti dirimu.”Aku tersenyum. Aku bukan penggemar olah raga, terutama lari. Apalagi yang harus dimulai sepagi ini. Ashlyn lah yang punya kebiasaan lari pagi. Pantas saja jika dia heran melihat aku bangun pagi untuk jogging.“Aku ikut denganmu kalau begitu. Tunggu aku. ““Nenek? ““Tidak apa-apa. Nenek akhirnya bisa tidur dengan baik setelah berhari-hari. Aku tidak yakin dia akan bangun pagi. “Tidak perlu menunggu terlalu lama Ashlyn turun dengan pakaian olah raga dan rambut di ekor kuda.“Ayo.”
Badanku terasa sakit semua. Aku mengerang dan membuka mata. Tidak banyak yang bisa kulihat di kegelapan di sekelilingku. Aku segera bangun dan menatap berkeliling.“Ash.”Suaraku menggema namun tidak terdengar jawaban dari Ashlyn.“Ashlyn!”Aku mengulang usahaku dan masih tidak ada sahutan apapun. Aku mulai khawatir.Kegelapan adalah musuh besar Ashlyn. Aku tidak bisa membayangkan keadaannya jika dia jatuh di tempat segelap ini yang bahkan tanganku sendiri tidak bisa kulihat. Aku segera berdiri.Duak!“Sialan!” makiku saat kepalaku membentur sesuatu dengan keras.Kuraba-raba benda yang membentur kepalaku dan kurasakan sesuatu yang menonjol dan panjang saling menjalin di sesuatu yang mirip langit-langit rumah.“Bukankah aku tadi jatuh? Seharusnya di atasku tidak ada apa-apa, kenapa malah ada atap di atas kepalaku? Apa aku tertimbun?”Aku meraba-raba lagi
Aku berdiri diantara batang dan akar pohon berwarna putih. Aku memutar kepalaku memandang lagi lubang dimana aku keluar. Mengagumi kenyataan bahwa aku baru saja keluar dari dalam sebuah batang pohon.Kuangkat kepalaku dan kusadari betapa besarnya pohon yang menaungiku. Batangnya menjulang begitu tinggi. Sementara kanopi pohon merentang begitu luas memberikan keteduhan. Daun-daunnya yang berwana hijau keperakan bergemerisik merdu ditiup angin sementara rantingnya melambai-lambai menenangkan.Angin berhembus lembut menerpa wajahku. Kusentuh kulit dari batang pohon itu sambil mengucap syukur dalam hati. Karena aku tidak terkubur hidup-hidup tapi justru terselamatkan dan terlindungi di dalamnya.Ini jelas bukan pohon yang ada di hutan Emrys. Bagaimana bisa aku berakhir di disini? Apa Ashlyn juga disini? Apa dia baik-baik saja?Pikiran tentang Ashlyn kembali membuat aku melongokkan kepalaku ke dalam pohon.“Ash! Apa kamu di dalam? “ ak
Bab 12“Haish!”aku menggeram saat tersandung sesuatu dan hampir jatuh. Buru-buru kuseimbangkan tubuhku yang oleng dengan menyambar dahan pohon terdekat. Akibatnya beberapa buahnya yang berukuran kecil jatuh menimpaku. Sekali lagi aku menggeram.“Hihihi.. “Terdengar suara tawa kecil entah dari mana. Aku memandang berkeliling.“Siapa disana? “Aku berseru ke arah rerimbunan pohon yang kuyakini sumber datangnya suara. Tapi tidak ada jawaban.“Halo? “Aku berseru lagi tapi tetap tidak ada jawaban. Mendadak aku merinding.Aku bukan orang yang penakut. Tapi setelah hampir mati tertindih batu kemudian tiba-tiba berada di hutan yang tidak aku kenal dengan cara yang aneh, terpisah dari Ashlyn lalu mendengar suara-suara aneh mau tidak mau aku menjadi lebih sensitif.Aku menggoyang kepalaku keras-keras mencoba menghilangkan segala pikiran yang menghinggapi benakku, lalu kemba
Aku sampai di sebuah tanah lapang dengan nafas sedikit terengah-engah.Ketiga makhluk yang kuiikuti tadi tidak terlihat dimanapun.Kupandang hutan di sekelilingku sambal terus berjalan. Dan semakin aku berjalan semakin menganga mulutku dan semakin membelalak mataku.Di tengah tanah lapang ada sebuah pohon besar yang dikelilingi berbagai makhluk paling menakjubkan yang pernah kulihat. Ada yang tampak tinggi besar dengan cula di kepalanya. Ada yang kecil mungil dengan sayap warna warni di punggungnya. Ada pula berbagai hewan dengan berbagai bentuk dan ukuran yang tampak bercengkrama dengan damai.Seekor rusa bertanduk kecil dengan bulu berwarna emas berjalan mendekati pohon itu. Cara berjalannya sangat cantik dan anggun sehingga membuatku menahan nafas. Saat ia semakin mendekati pohon, seiring langkahnya ia berubah menjadi sesosok wanita tinggi semampai dengan rambut tergerai panjang dengan sepasang tanduk rusa kecil di kepalanya. Mata rusanya yang besar tamp