Share

Bab 5

Author: Dew Miller
last update Last Updated: 2021-10-02 00:46:10

“Wah, deras sekali.” Gumamku.

Belum separuh jalan aku menuju perpustakaan dan Noah menuju tempat ia memarkir mobilnya saat hujan tiba-tiba turun dengan deras dan memaksa kami harus berteduh di teras sebuah toko. Kukibaskan rambutku dan kutepuk-tepuk bajuku yang basah. Noah disampingku melakukan hal yang sama dengan wajah masam. Kami lumayan basah walau hanya kehujanan sebentar. 

“Sepertinya langit punya dendam dengan kita. Setelah beberapa hari tidak hujan, air hujannya seperti ditumpahkan semuanya siang ini. “

Aku mengangguk setuju. Setelah beberapa hari terakhir kami dibuat terlena dengan sinar matahari yang memancar cerah dan hangat, hari ini langit sepertinya memang sedang melakukan aksi balas dendam. Kupandangi jalanan di depanku yang terlihat seperti lukisan surealis karena hampir tidak nampak bentuknya tertutup air hujan yang turun dengan deras.

“Meskipun pakai payung, kita tetap akan basah kuyup dengan hujan yang seperti ini. “

Noah mendecakkan lidah. “Dibayar sejutapun aku tidak akan mau memakai payung saat hujan. “

“Uang sejumlah itu memang tidak penting buatmu. “ Sergahku. “Semoga saja ini tidak lama. “

Sayangnya harapanku sia-sia. Bukannya mereda, hujan justru ditambah dengan angin kencang. Kami yang awalnya sedikit terlindung dari terpaan hujan pada akhirnya sedikit demi sedikit basah. Aku bisa merasakan air merembes ke dalam sneakers yang kupakai.

“Apa tidak ada toko pakaian di sekitar sini?” Tanya Noah. Aku menatapnya tidak mengerti. “Aku butuh ganti pakaian.”

Kuperhatikan celananya yang tampak berbeda warna karena bagian lutut ke bawah basah. Sama sepertiku. Kemejanya juga basah dari bahu sampai dibagian dada atas.

“Setahuku tidak ada.”

“Sial. “ maki Noah pelan.

Kuperhatikan lagi dia. Noah yang biasanya tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi pada diri atau lingkungan sekitarnya tampak gelisah dan berdiri tidak tenang.

“Ada apa denganmu? “ tanyaku masih heran.

Aku tahu ia tidak suka basah, tapi menurutku reaksinya cukup berlebihan. Toh dia tidak sebasah itu. Yah, setidaknya dia tidak basah kuyup.

“Sudah kubilang, aku tidak suka basah. “ sergah Noah kesal.

Tapi aku menangkap ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. Wajahnya tampak sedikit memerah.

“Kenapa bukan waktu di café tadi sih hujannya.”

Noah mengintip ke dalam toko tempat kami berteduh.

“Ini toko apa? Kita masuk saja sambil membeli sesuatu. “

Aku ikut mengintip ke dalam toko melalui jendela etalase yang sedikit berembun. Ternyata sebuah toko elektronik. Aku langsung ingat bahwa seminggu yang lalu memang ada toko elektronik yang baru buka di antara deretan café dan rumah makan di Jalan Maple ini. Tidak terlihat aktifitas di dalamnya.

“Sepertinya tutup. “aku menyuarakan pendapatku. Noah mengerang.

“Apa kita ke café sebelah? Jaraknya tidak terlalu jauh. Kita cuma akan kehujanan sebentar. “

Noah memandangku seperti meragukan kewarasanku.

“Disini atau pindah ke sebelah, kita sama-sama basah. Lebih baik kita basah lalu dapat kehangatan daripada disini tanpa melakukan apa-apa dan kedinginan. “

Aku tahu Noah sebetulnya menyetujui argumenku. Tapi kali ini pikiran Noah sepertinya benar-benar sedang tidak jernih. Dan ini adalah hal yang baru buatku. Karena baru detik ini aku tahu ketidak sukaan Noah pada hujan dan terutama pada basah sampai seekstrim ini.

“Ayo.”

Tanpa menunggu jawaban Noah aku lari ke café sebelah yang jaraknya sekitar empat meter. Air hujan langsung menerpa wajahku tanpa ampun. Aku sampai di teras café dengan sedikit terpeleset. Untung aku sempat berpegangan di salah satu meja dan membuatnya terseret mengikutiku.

Kemudian Noah sampai di sampingku dengan mulus tanpa satu insiden pun. Dia seperti berselancar di atas lantai yang licin. Tanpa berkata-kata dia langsung masuk café dan duduk di salah satu kursi yang berada jauh dari jendela.

“Aku yang memberi ide kenapa aku yang ditinggal? “

Aku duduk di hadapannya sambil protes. Noah hanya melambaikan tangannya tidak perduli. Seorang pramusaji datang meletakkan menu di meja kami. Noah melirik sekilas.

“Coklat panas. Dua.”

“Hei, aku tidak pesan coklat panas. “

“Aku tidak memesankamu.”

Mulutku menganga. Noah hari ini benar-benar penuh kejutan. Dia tidak biasanya minum minuman panas sedingin apapun cuacanya. Hari ini dia sampai memesan coklat panas dua cangkir, itu diluar dugaan. Hujan dan basah pasti benar-benar sudah membuat akal sehatnya terganggu.

“Kamu pesan apa?”

“Aku pesan lemon tea saja. Dengan cookies. “

“Ah, ya. Dua cookies dan cinnamon roll.“

“Kamu sehat?”

Kali ini aku benar-benar meragukan kewarasannya. Dia tidak terlalu suka cookies dan makanan manis. Dan sekarang dia memesan keduanya?

“Apa sel otakmu ada yang meleleh atau tercecer karena hujan? “

Bukannya menjawabku, Noah sibuk mengosongkan kotak tissue dan menggunakan isinya untuk mengeringkan rambut dan kepalanya. Aku memperhatikannya.

Dan saat itu baru kusadari bahwa wajah Noah lebih merah dari saat terakhir tadi kami berteduh di depan toko.

“Hei, kamu tidak apa-apa? “ Noah hanya menggumam sebagai jawabannya.

“Mukamu merah sekali.”

“Aku lupa hari ini blush on-ku terlalu banyak. “

“Yang benar saja. “

Kupegang lengannya.

“Kamu kok hangat. “

“Ya karena aku belum mati. “

Kupindahkan tanganku ke dahinya.

what the.. “seruku terkejut sambil menarik tanganku. Dahi Noah panas sekali.

“Kamu demam. “

I know. “ Jawab Noah pendek.

“Apa perlu kucarikan obat?”

Kali ini aku benar-benar khawatir.

Aku tidak pernah melihat Noah sakit. Dia juga tidak pernah mengeluh apapun di depanku. Dia adalah orang yang selalu sehat. Sekarang, untuk pertama kalinya aku melihat dia sakit. Hanya demam sih. Tapi sudah cukup membuatku panik. Sepertinya sifat ini kudapat dari Ibu.

Noah menggeleng.

“Aku hanya perlu pakaian kering, selimut hangat dan istirahat. “

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Penjelajah Benak   Bab 6

    "Selamat malam.”Simon menyapaku begitu pintu terbuka. Mau tidak mau aku sedikit terkejut. Tidak menyangka Simon akan ada di apartemen Noah. Sejak pindah di apartemen dan hidup sendiri, Simon tidak pernah datang berkunjung kecuali ada hal penting.“Noah ada?”“Sedang istirahat.” Simon berjalan mendahuluiku ke arah mini bar. “Anda mau minum?”Aku duduk di salah satu kursi tinggi dan memperhatikan Simon.“Air putih saja.”“Dingin?”Aku mengangguk.Simon membuka pintu lemari es mengambil sebotol air mineral dan meletakkannya bersama dengan sebuah gelas di hadapanku.“Bagaimana keadaannya?”Aku bertanya setelah meneguk airku langsung dari botol tanpa mengindahkan gelas yang disiapkan Simon. Kemarin aku akhirnya harus mengantarkan Noah pulang karena sepertinya keadaannya memburuk.“Sudah lebih baik.”&

    Last Updated : 2021-10-02
  • Penjelajah Benak   Bab 7

    Aku mengerang. Telepon genggamku berbunyi nyaring. Padahal aku baru saja bisa tidur. Kenapa telepon genggam yang biasanya hanya mode getar malam ini memilih untuk berubah jadi mode dering?Kuraba di bawah bantal tanpa hasil. Aku mengerang lagi. Akhirnya menyerah dan bangkit. Kunyalakan lampu di meja lalu melongok ke bawah tempat tidur. Telepon gengamku tergeletak di bawah tempat tidur. Bunyinya terdengar lebih nyaring di tengah kegelapan malam dengan layar yang berkedip-kedip terang. Setengah tiarap aku meraih sumber bunyi yang berhasil menggagalkan tidurku. Aku berkedip cepat melihat nama penelpon di layar. Segera kutekan tombol terima.“Ya Nek? “ tidak ada sahutan.Tapi aku bisa mendengar bunyi beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di seberang sana. aku mengerutkan kening.“Halo, Nek? Nenek dimana? Ada apa?““Halo, Tuan Axel. “ Suara lelaki menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan kening lagi. Terkejut.

    Last Updated : 2021-10-02
  • Penjelajah Benak   Bab 8

    “Nek, sudah sore. Nenek tidak masuk?”Aku membelai bahu Nenek. Nenek menoleh padaku dan tersenyum.“Nanti saja.” Nenek menepuk tanganku.Aku duduk di samping nenek sambil tetap memeluk bahunya.“Belum ada kabar dari polisi?”Aku menggeleng. Nenek mendesah. Kugenggam tangannya dan kubelai keriput di kulitnya. Bisa kudengar banyak suara berkecamuk bercampur baur jadi satu dalam pikirannya. Bahkan untukku, apa yang ada dalam pikiran nenek terlalu banyak sehingga sulit didengar dengan jelas. Nenek tersenyum padaku.“Nenek terlalu lelah bahkan untuk bicara. Maaf kamu harus mendengar pikiran nenek yang tidak karuan.”Aku menggeleng.“Bukankah ada hal-hal yang kadang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata? Aku bisa lebih mengerti nenek dengan cara ini.”Nenek tersenyum. Ia memejamkan mata lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Kutepuk-tepuk bahunya ingin sedikit memberi

    Last Updated : 2021-10-08
  • Penjelajah Benak   Bab 9

    “Mau kemana sepagi ini? “Aku tersentak dan refleks mengangkat kepalaku. Ashlyn berdiri di depan pintu sambil memandangku heran.“Kamu mengagetkanku.” Kuteruskan kesibukanku mengikat tali sepatu. Setelah selesai aku langsung berdiri.“Aku mau jogging sedikit. “Ashlyn mengerutkan kening.“Itu sama sekali bukan seperti dirimu.”Aku tersenyum. Aku bukan penggemar olah raga, terutama lari. Apalagi yang harus dimulai sepagi ini. Ashlyn lah yang punya kebiasaan lari pagi. Pantas saja jika dia heran melihat aku bangun pagi untuk jogging.“Aku ikut denganmu kalau begitu. Tunggu aku. ““Nenek? ““Tidak apa-apa. Nenek akhirnya bisa tidur dengan baik setelah berhari-hari. Aku tidak yakin dia akan bangun pagi. “Tidak perlu menunggu terlalu lama Ashlyn turun dengan pakaian olah raga dan rambut di ekor kuda.“Ayo.”

    Last Updated : 2021-10-19
  • Penjelajah Benak   Bab 10

    Badanku terasa sakit semua. Aku mengerang dan membuka mata. Tidak banyak yang bisa kulihat di kegelapan di sekelilingku. Aku segera bangun dan menatap berkeliling.“Ash.”Suaraku menggema namun tidak terdengar jawaban dari Ashlyn.“Ashlyn!”Aku mengulang usahaku dan masih tidak ada sahutan apapun. Aku mulai khawatir.Kegelapan adalah musuh besar Ashlyn. Aku tidak bisa membayangkan keadaannya jika dia jatuh di tempat segelap ini yang bahkan tanganku sendiri tidak bisa kulihat. Aku segera berdiri.Duak!“Sialan!” makiku saat kepalaku membentur sesuatu dengan keras.Kuraba-raba benda yang membentur kepalaku dan kurasakan sesuatu yang menonjol dan panjang saling menjalin di sesuatu yang mirip langit-langit rumah.“Bukankah aku tadi jatuh? Seharusnya di atasku tidak ada apa-apa, kenapa malah ada atap di atas kepalaku? Apa aku tertimbun?”Aku meraba-raba lagi

    Last Updated : 2021-10-19
  • Penjelajah Benak   Bab 11

    Aku berdiri diantara batang dan akar pohon berwarna putih. Aku memutar kepalaku memandang lagi lubang dimana aku keluar. Mengagumi kenyataan bahwa aku baru saja keluar dari dalam sebuah batang pohon.Kuangkat kepalaku dan kusadari betapa besarnya pohon yang menaungiku. Batangnya menjulang begitu tinggi. Sementara kanopi pohon merentang begitu luas memberikan keteduhan. Daun-daunnya yang berwana hijau keperakan bergemerisik merdu ditiup angin sementara rantingnya melambai-lambai menenangkan.Angin berhembus lembut menerpa wajahku. Kusentuh kulit dari batang pohon itu sambil mengucap syukur dalam hati. Karena aku tidak terkubur hidup-hidup tapi justru terselamatkan dan terlindungi di dalamnya.Ini jelas bukan pohon yang ada di hutan Emrys. Bagaimana bisa aku berakhir di disini? Apa Ashlyn juga disini? Apa dia baik-baik saja?Pikiran tentang Ashlyn kembali membuat aku melongokkan kepalaku ke dalam pohon.“Ash! Apa kamu di dalam? “ ak

    Last Updated : 2021-10-24
  • Penjelajah Benak   Bab 12

    Bab 12“Haish!”aku menggeram saat tersandung sesuatu dan hampir jatuh. Buru-buru kuseimbangkan tubuhku yang oleng dengan menyambar dahan pohon terdekat. Akibatnya beberapa buahnya yang berukuran kecil jatuh menimpaku. Sekali lagi aku menggeram.“Hihihi.. “Terdengar suara tawa kecil entah dari mana. Aku memandang berkeliling.“Siapa disana? “Aku berseru ke arah rerimbunan pohon yang kuyakini sumber datangnya suara. Tapi tidak ada jawaban.“Halo? “Aku berseru lagi tapi tetap tidak ada jawaban. Mendadak aku merinding.Aku bukan orang yang penakut. Tapi setelah hampir mati tertindih batu kemudian tiba-tiba berada di hutan yang tidak aku kenal dengan cara yang aneh, terpisah dari Ashlyn lalu mendengar suara-suara aneh mau tidak mau aku menjadi lebih sensitif.Aku menggoyang kepalaku keras-keras mencoba menghilangkan segala pikiran yang menghinggapi benakku, lalu kemba

    Last Updated : 2021-11-04
  • Penjelajah Benak   Bab 13

    Aku sampai di sebuah tanah lapang dengan nafas sedikit terengah-engah.Ketiga makhluk yang kuiikuti tadi tidak terlihat dimanapun.Kupandang hutan di sekelilingku sambal terus berjalan. Dan semakin aku berjalan semakin menganga mulutku dan semakin membelalak mataku.Di tengah tanah lapang ada sebuah pohon besar yang dikelilingi berbagai makhluk paling menakjubkan yang pernah kulihat. Ada yang tampak tinggi besar dengan cula di kepalanya. Ada yang kecil mungil dengan sayap warna warni di punggungnya. Ada pula berbagai hewan dengan berbagai bentuk dan ukuran yang tampak bercengkrama dengan damai.Seekor rusa bertanduk kecil dengan bulu berwarna emas berjalan mendekati pohon itu. Cara berjalannya sangat cantik dan anggun sehingga membuatku menahan nafas. Saat ia semakin mendekati pohon, seiring langkahnya ia berubah menjadi sesosok wanita tinggi semampai dengan rambut tergerai panjang dengan sepasang tanduk rusa kecil di kepalanya. Mata rusanya yang besar tamp

    Last Updated : 2021-11-08

Latest chapter

  • Penjelajah Benak   Bab 92

    Dua hari kami menunggu.Melihat Era yang tergolek tak sadarkan diri, meskipun kami bilang akan bertahan walaupun nantinya proses kesembuhannya akan memakan waktu, tak urung kami merasa tak berdaya. Rasa cemas kami semakin meningkat dan kesabaran kamipun mulai menipis.Semua hal memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.Apalagi kalau itu berkaitan dengan orang yang kau sayangi.Dan semua itu diperparah dengan kabar bahwa baik Gaja maupun Bibbat belum menemukan penyembuh yang kami cari. Sedangkan Raja Toya yang dikenal sebagai penyembuh handal menolak siapapun yang menemuinya. Tak perduli siapa ia. Tak perduli apapun kepentingannya.Setelah berhari-hari dalam keragu-raguan, malam itu Esen bertekad untuk mengabari orang tuanya esok hari agar keduanya bisa meminta tolong pada Raja Toya secara langsung agar ia berubah pikiran dan bersedia mengobati Era.Dengan keputusan tersebut kami semua merasa beban di pundak kami sedikit terangkat.Setidaknya ada orang dewasa dan berkuasa yang a

  • Penjelajah Benak   Bab 91

    Sudah tiga hari kami berada di rumah sakit ini. Kondisi Era relatif stabil meski tidak ada perubahan. Ia sama sekali belum siuman. Tiga orang penyembuh bergantian berjaga dua puluh empat jam non stop untuk menstabilkan aliaran darah Era. Dan kami berada di sisi Era tanpa beranjak kecuali untuk hal yang benar—benar penting. Firroke akan dengan ceria tidur atau hanya duduk-duk di bantal Era, di samping telinganya. Berceloteh macam-macam. Ashlyn dan Esen akan bergantian duduk di samping tempat tidurnya. Menggenggam tangannya, mengusap lembut kepalanya dan sesekali mengajaknya Era berbicara.Hanya aku yang akan melihat semuanya dalam diam dari jarak yang cukup.Aku tidak berani menghampirinya. Apalagi menggenggam tangannya.Aku tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin kudengar.Karena sepanjang perjalanan membawa Era aku mendengarnya.Suara statis benak Era yang tidak beraktifitas. Yang kadang berakhir pada kesunyian yang menyeramkan. Seakan dia ada namun juga sekaligus tiada.Di hari k

  • Penjelajah Benak   Bab 90

    Kami berhenti di sebuah bangunan besar tanpa torhameir yang letaknya agak jauh dari istana. Bangunannya lebih polos dibanding bangunan-bangunan yang kami lewati atau kami lihat sebelumnya, namun meskipun terlihat sederhana tapi bangunan itu tampak lebih sibuk karena banyaknya peri yang berlalu lalang.“Ayo.” Kata penjaga itu. Ia segera menuruni ikan yang kami naiki dan meniti anak tangga berwarna putih yang berada di depan bangunan dengan cepat. Aku berusaha mengikutinya semampuku sambil membopong Era.Kami memasuki sebuah bangsal yang sangat luas dengan kursi-kursi berbaris rapi di bagian tengahnya sementara di sisi terjauh dinding terdapat banyak pintu dengan tulisan yang berbeda. Ada yang bertuliskan ruang pengobatan ada pula yang bertuliskan ruang pemeriksaan.Sepertinya ini adalah rumah sakit.Penjaga yang mengantar kami langsung memasuki sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar. Seorang peri yang sedang duduk di belakang sebuah meja besar segera berdiri dan menghampiri kami.

  • Penjelajah Benak   Bab 89

    Kami melewati lorong yang di kanan kirinya menetes air bagai tirai perak. Sementara di bawah kami, terdapat air yang mengalir searah dengan tujuan kami. Tidak satu orang pun yang berbicara sepanjang perjalanan hingga kami sampai di ujung lorong, tempat dimana air dibawah kaki kami mengalir dan berakhir dengan terjun bebas ke sungai puluhan meter nun jauh d bawah sana.Tidak terlihat tangga atau alat yang memiliki prospek untuk kami gunakan .“Jadi, bagaimana caranya kita turun?” tanya Firroke.Penjaga meraih kalung yang tersembunyi di balik bajunya lalu meniup sesuatu yang seperti sirip ikan yang tergantung di kalungnya tadi. Tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi cipratan yang keras lalu penjaga itu melompat dan seekor ikan besar berwarna merah muda dengan sepasang sirip yang sangat besar bagai sayap terbang untuk menangkapnya. Ia mendarat tepat di atas punggung ikan tadi. Sebelum kami pulih dari keterkejutan kami mereka berdua telah meluncur cepat ke ba

  • Penjelajah Benak   Bab 88

    “Bagaimana”“Sepertinya ada luka di kepala dan rusuk yang patah.” Lynx membetulkan mantel Ashlyn yang digunakan menyelimuti Era. Esen menggenggam tangan saudarinya dengan wajah khawatir.“Aku sudah menstabilkan keadaanya. Tapi ia akan butuh perawatan segera karena sepertinya tulangnya yang patah menekan organ dalamnya.”Flaresh memandang berkeliling.“Kita harus berjalan lebih ke utara jika ingin mencari penyembuh.”“Apa Era bisa?”“Bisa. Aku akan menggendongnya dengan begitu goncangan selama perjalanan akan berkurang. Kalian yang bertanggung jawab membawa kuda dan melindungi kami karena Flaresh tidak bisa menemani kita.”Aku memandang vatra itu. Sebelumnya di Hutan Seda ia tidak menemani kami. Sekarang kami mau masuk ke wilayah Voda-pun ia juga melakukan hal yang sama.“Kenapa?” tanyaku. Flaresh tak menggubrisku. Tapi sepertinya kami sama-sama tahu pertanyaanku tak sekedar sebuah kata kenapa. Dan jawabannya tak sekedar perbedaan natural mereka.“Aku akan mencari portalnya.”Tanpa me

  • Penjelajah Benak   Bab 87

    “Bagaimana?” Tanya Ashlyn setelah aku meletakkan Era dan memeriksa keadaannya.“Aku tidak melihat luka terbuka.”Wajah Ashlyn semakin khawatir.Tidak ada luka terbuka tapi Era tak kunjung siuman adalah pertanda buruk. Karena itu artinya ada yang tidak beres dengan tubuh bagian dalamnya.Aku mengusap wajahnya yang berkeringat dingin.“Sejauh pengelihatanku tangan dan kakinya normal.”“Antara kepala atau dadanya? Atau keduanya?”Aku mengangguk.Setelah memeriksa keadaan sekitar akhirnya Ashlyn ikut berjongkok.“Firroke, berjagalah.”Firroke mengangguk dan melompat ke tumbuhan terdekat.Ashlyn menepuk wajah Era pelan.“Era, bangun. Kau bisa mendengar suaraku?”Tidak ada respon.“Era. Kau mendengarku?”Ashlyn membuka tasnya dan meraih sebuah tabung berwarna perak. Dipegangnya ujung tabung dengan satu tangan sementara tangan yang lain menarik ujung yang berlawanan. Seketika tabung perak itu mengeluarkan cahaya berwarna putih benderang seperti lampu. Berdasarkan cerita Ashlyn, itu adalah le

  • Penjelajah Benak   Bab 86

    “Lynx.”“Kau menemukannya?”“Ya.”“Ada dua. Tapi aku tidak bisa menunjukkan semua sekaligus. Terlalu jauh.”“Yang menyerang Flaresh saja.”“Ya.”“Axel dan Ashlyn, bersiaplah membantu Era. Esen lindungi mereka.”“Baik.”“Firroke, Tunjukkan padaku di hitungan ketiga.”Firroke menganggguk. Kami semua bersiap penuh antisipasi.“Tiga!”Firroke menunjuk tangannya dan kemudian gerombolan tanaman perdu itu membuat sebuah celah kecil memperlihatkan sepasang sepatu boots berwarna hitam. Lynx mengayunkan cakarnya mengirimkan selarik sinar jingga yang langsung memporak porandakan tanaman perdu tersebut dan mengekspos peri yang berada di baliknya. Peri itu mundur dengan sempoyongan setelah dihantam serangan Lynx. Untuk sesaat serangan kepada kami berhenti. Flaresh dengan sigap memanfaatkan kesempatan tersebut dan segera berlari berkumpul dengan kami dan menyerahkan Era kepadaku. Saat aku telah mendekap Era erat-erat, Lynx secepat kilat berlari ke arah peri tadi dan mengejarnya.Aku seperti melihat

  • Penjelajah Benak   Bab 85

    Deruta adalah sebuah hamparan tanah yang diliputi tanaman perdu menghijau. Di sela-selanya mengalir puluhan sungai yang berkelok-kelok dan menjalar kesana kemari bagai akar sebuah pohon atau jaringan saraf manusia. Sungai-sungai itu ada yang cukup lebar sehingga kami perlu memasukinya untuk menyebrang dan ada pula yang sempit dan lebih mirip aliran air dan hanya perlu satu langkah untuk lewat. Namun kesemuanya jernih dengan aliran air yang tenang. Rasanya menyejukkan. Apalagi dengan angin yang terus berhembus sepoi melenakan.Aku menudungi mataku untuk melihat kemana sungai-sungai ini mengalir.“Semakin ke utara, sungai-sungai ini akan semakin lebar sehingga membuat kita membutuhkan perahu untuk melewatinya.” Ucap Lynx memahami keingin tahuanku. Seperti biasa ia berada di barisan paling belakang bertugas mengawasi kami sementara Flaresh yang memimpin perjalanan. Di depanku ada Ashlyn, lalu Era dan Esen. kami berjalan beriringan membentuk satu baraisan dengan jarak dua sampai tiga mete

  • Penjelajah Benak   Bab 84

    “Apa yang kau lakukan disini?” kami berlarian ke arahnya. Ini seperti de javu saat melihat Lynx beberapa waktu lalu.“Disini jalan umum. Aku bisa melakukan apa saja. Kenapa kau ingin tahu?”Belum satu menit bertemu dan dia sudah menguji kesabaran kami.“Bagaimana?” tanya Lynx.“Mungkin kemarin atau semalam. Dua hari lalu semua aman.”“Apa tidak akan ada yang memperbaiki?” Aku akhirnya memutuskan bergabung dalam diskusi mereka.“Prajurit patroli tidak memeriksa sampai dalam karena tidak banyak peri yang memilih lewat jalan ini kecuali daunas. Jadi kuragukan mereka tahu kecuali ada laporan dari peri yang akan keluar lewat sini.”“Lagipula, kalaupun ketahuan, perbaikan juga akan membutuhkan waktu beberapa hari.”“Tapi harusnya bangsa Erde bisa memperbaiki dengan cepat kan?” aku teringat prosesi pemakaman Bedhama dimana para idare Erde dengan mudahnya memanipulasi dan mengendalikan tanah sesuai keinginan mereka.“Tidak semudah itu. Celah Sunji bukan tempat biasa. Butuh Idare yang benar-be

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status