Dunia memang kejam... Sampai sampai hidup Lula terbalik dengan sempurna. Biasanya ia berjalan di jalanan bertabur bunga nan wangi bersama keluarga kecilnya. Namun siapa sangka jika jalan itu kini bertabur bara api yang siap membakarnya. Kenyataan pahit membayangi hidupnya setelah sang suami menerima hasil lab kesuburan mereka, Pria itu memberitahu ibunya bahwa mereka tak bisa memberi keturunan. Arhan-suami Alula bungkam, tak memberitahu tentang hasil lab yang mereka lakukan. Sampai-sampai sang ibu mertua tega menjual sang menantu pada pria hidung belang demi kepentingannya sendiri tanpa sepengetahun putranya. "Mi... Aku mohon jangan seperti ini, Mas Arhan akan marah dengan apa yang Mami lakukan padaku," racau Lula dengan wajah basah karena air matanya. "Arhan tidak akan tahu jika kau bungkam! Aku tak butuh menantu tak berguna sepertimu! Patuhlah jika kau tak ingin Arhan menceraikanmu!" Percayalah, hati Lula sangat hancur menerima kenyataan dan perlakuan buruk yang menimpanya. Bisakah Lula terlepas dari belenggu sang mertua? Lalu bagaimana sikap Arhan jika ia mengetahui kebenaran itu?
View MoreTeriakan Lula terdengar sampai ke luar rumah, menarik perhatian beberapa tetangga yang sedang melintas. Ibu Lula segera masuk ke kamar dengan napas tersengal, menemukan putrinya berdiri gemetar, dengan tangan mencengkeram sisi ranjang. "Lula, Nak... tenang, Ibu di sini," ujar ibunya lembut, mencoba mendekati. Namun, Lula mundur ke sudut kamar, tubuhnya berguncang hebat. "Mereka semua jahat, Bu... mereka bicara di belakangku, mereka bilang aku lemah... aku... aku tidak butuh mereka!" Matanya penuh air mata, suaranya melengking penuh rasa sakit. Ayah Lula menyusul masuk, wajahnya tegang. "Apa yang terjadi, Bu?" tanyanya sambil menatap putrinya yang mulai tersedu-sedu. "Lula mendengar sesuatu, Pak... mungkin tentang gosip itu," jawab istrinya, suaranya bergetar. "Diam semua! Jangan mendekat!" Lula berteriak lagi, matanya liar memandang orang tuanya. Ia seperti terjebak dalam pikirannya sendiri, mengingat kembali kejadian-kejadian yang menghancurkan dirinya. Ayah Lula mengepalkan ta
"Aku harus menemui Lula, aku nggak bisa kehilangan dia," racau Arhan sambil menatap punggung ayah mertuanya yang kian menjauh. Langkah Arhan terasa berat saat ia mengikuti ayah mertuanya yang berjalan cepat menuju kamar Lula. Tubuhnya terasa lemas, tidak hanya karena kelelahan fisik tetapi juga karena beban emosional yang terus menekan dadanya. Setiap langkah seolah menjadi pengingat atas kesalahan-kesalahan yang ia biarkan terjadi. Sesampainya di depan pintu kamar Lula, Arhan memberanikan diri untuk berbicara. "Pak, saya mohon… izinkan saya melihat Lula. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja," pintanya dengan suara parau, penuh harap. Namun, ayah Lula menatapnya dengan dingin, lalu menggeleng tegas. "Kamu nggak berhak menemui Lula. Cukup sudah. Jangan tambah beban hidupnya," ucapnya keras. Arhan menunduk, air mata mengalir di wajahnya. Ia tidak bisa melawan keputusan itu, hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu. Saat pintu kamar tertutup, ia melangkah mundur, menatap
"Pak, sebenarnya apa yang terjadi dengan Lula?" tanya ibu Lula sambil terisak. "Bapak juga nggak tahu, Bu. Semoga bukan hal buruk, semoga Lula hanya bermimpi," balasnya penuh harap, berharap keadaan putrinya tak seburuk yang ia pikirkan. Setelah perawat memberikan Lula obat penenang, suasana di ruang rawat perlahan kembali sunyi. Kedua orang tua Lula duduk di kursi dekat tempat tidur dengan wajah penuh kecemasan. Sang ibu terus menggenggam tangan anaknya yang terkulai lemah, sementara sang ayah hanya bisa mondar-mandir dengan ekspresi penuh ketegangan. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Berjam-jam mereka menunggu Lula sadarkan diri, perasaan khawatir semakin menghimpit dada. Hingga akhirnya, saat malam mulai larut, Lula perlahan membuka matanya. Tubuhnya yang lemah bergerak sedikit, dan air mata mulai mengalir di sudut matanya. "Lula... Nak, kamu sudah sadar?" tanya ibunya dengan suara penuh haru. Ia segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. "Ibu... Bapak..." suara Lula be
"Semua ini salahku. Ini semua salahku," racau Arhan sambil memukuli tembok. Tangisan Arhan pecah di depan ruang tindakan. Tubuhnya bergetar hebat, dan rasa bersalah mulai menyelimuti pikirannya. Ia teringat pada Lula, wajah istrinya yang ceria, suara lembutnya, dan setiap kenangan yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang perlahan berubah menjadi mimpi buruk. Dokter yang tadi berbicara dengan Arhan segera masuk kembali ke ruang tindakan, sementara beberapa perawat yang membawa tandu keluar dari ruangan itu terlihat sibuk menuju koridor lain. Arhan terus memandangi pintu ruang tindakan, berharap ada keajaiban yang datang. Orang tua Lula pun hanya bisa diam, tak berani berkata banyak melihat kondisi Arhan yang semakin kacau. Tak lama, salah satu dokter keluar lagi dari ruang tindakan. Kali ini, ekspresi wajahnya terlihat sedikit lega meskipun tetap serius. "Pak, istri Anda selamat. Kami berhasil menghentikan pendarahannya, tetapi... maafkan kami. Kami tidak bisa menyelama
"Dokter! Cepat bantu wanita ini! Cepat!" teriak Pak tua yang menolong Lula. Pria itu menggendong Lula dengan sisa tenaga yang ia miliki, meski dengan langkah tertatih. Beberapa petugas kesehatan pun mulai berlari ke arahnya, mengambil alih tubuh Lula. "Selamatkan dia, saya mohon," pinta Pak tua tak tega dengan nasib Lula. Lula terbaring lemah di ruang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi luka-luka dan pendarahan yang cukup parah. Dokter yang memeriksa dengan cepat memberi tahu pria tua yang menolongnya, bahwa ada tulang lengan Lula yang patah. Selain itu, pendarahan yang terjadi sangat mengkhawatirkan, yang akhirnya mengonfirmasi bahwa janin di rahim Lula telah keguguran. "Apa? Separah itu?!" tanyanya Terkejut. "Ya, sepertinya dia terkena benturan keras. Kalau Anda bilang menemukannya di jalan, bisa saja dia tertabrak kendaraan yang melintas," balas Dokter dengan wajah serius. Pria tua itu meluruhkan pundaknya, menatap nanar pada ruang tindakan yang ada di hadapannya. "Anda bisa
"Cepat periksa semua ruangan, kepung mereka agar tidak ada yang bisa melarikan diri!" teriak komandan polisi. Polisi sudah mulai menggeledah rumah itu. Mereka masuk ke setiap ruangan, membuka pintu-pintu tersembunyi, bahkan merekam segala aktivitas aneh yang ditemukan. Beberapa wanita tampak ketakutan, tapi tak ada jejak Lula. Arhan langsung mencari Stella, perempuan yang dulu mengelola tempat ini. Tentu ia tahu nama mucikari itu dari Frans yang telah menceritakan segalanya. Dia berdiri di ruang tamu dengan wajah santai seolah tak ada yang salah. “Stella!” Arhan mendekat dengan langkah cepat. “Di mana Lula?!” suaranya keras, penuh amarah. Stella hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Aku nggak tahu siapa yang kamu cari.” “Jangan pura-pura bodoh!” Arhan menunjuk wajahnya. “Kamu pasti tahu sesuatu! Katakan di mana dia!” Stella terkekeh pelan. “Serius. Sudah lama aku nggak urus bisnis kayak gini. Tempat ini udah bersih. Nggak ada yang namanya perdagangan perempuan lagi.”
"Cepat bawa dia ke rumah sakit! Tunggu apa lagi?" seru Lula akhirnya dengan nada dingin. Arhan segera membawa tubuh ibunya yang tak sadarkan diri ke sofa. Wajahnya terlihat panik, sementara Lula hanya berdiri mematung seolah tak bersimpatik. Namun, naluri kemanusiaannya tak bisa ditahan lebih lama. Tanpa menunggu lebih lama, Arhan mengangkat tubuh Edna dan membawanya ke mobil. Lula mengikuti dengan langkah santai, meskipun hatinya masih penuh kebencian. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil kembali dipenuhi ketegangan. Arhan fokus mengemudi dengan wajah penuh kecemasan, sesekali melirik ibunya yang terkulai lemah di kursi belakang. Sesampainya di rumah sakit, Arhan segera memanggil bantuan. Tim medis dengan sigap membawa Edna ke ruang gawat darurat, meninggalkan Arhan dan Lula menunggu di luar. Arhan terlihat mondar-mandir di koridor, wajahnya penuh kekhawatiran. "La," panggilnya pelan, menghentikan langkahnya. Lula menatapnya dengan ragu. "Apa?" "Ma
"Apa syaratnya, La?" tanya Arhan lagi. “Aku tidak mau bertemu dengan Edna. Aku tak ingin melihat wajahnya lagi.” Bahkan Lula sudah enggan memanggil wanita itu dengan panggilan Ibu. Arhan terdiam mendengar permintaan itu. Ia tahu betul perasaan Lula. Edna, ibunya, adalah orang yang selama ini menipu dan menghancurkan hidup Lula. Bahkan, wanita itu adalah orang yang tega menjualnya, mempermainkan perasaan dan hidupnya demi keuntungan pribadi. Lula menatap Arhan dengan tatapan yang penuh kebencian, meskipun di dalam dirinya ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. “Jangan bawa aku berdekatan dengan wanita itu. Aku tak bisa melihatnya. Aku benci dia.” Arhan menghela napas panjang. Hatinya terasa terjepit di antara dua pilihan yang tak mudah. Di satu sisi, Edna adalah ibunya, wanita yang sudah melahirkannya, meski perbuatannya tak terampuni. Namun, di sisi lain, Lula adalah istrinya, orang yang begitu ia cintai, dan ia tahu betul betapa dalam luka yang ditinggalkan oleh Edna di hati L
"La, a-aku...." ucapnya terbata kerena tak tega dengan nasib istrinya saat ini. Arhan melangkah mendekat, langkahnya ragu-ragu namun dipenuhi harapan. Matanya tak lepas dari sosok Lula yang berdiri diam di ambang pintu kamar. Ketika jaraknya cukup dekat, ia mengulurkan tangannya, mencoba meraih tangan wanita itu. Namun, Lula dengan lembut menepis uluran tangannya. Bukan dengan kasar, melainkan seperti seseorang yang tak ingin terhubung kembali dengan masa lalu. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan lebih dulu menuju sofa, meninggalkan Arhan terpaku. Lula duduk dengan tenang, tangannya terlipat di pangkuan. Matanya menatap lurus ke depan, dingin dan datar. Meski hatinya terasa seperti diiris, tak ada air mata yang keluar. Ia sudah terlalu lama menangis hingga kini semua itu terasa percuma. Arhan mengikutinya, berdiri di hadapannya dengan wajah penuh penyesalan. Ia menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara. “La,” panggilnya, suaranya berat dan
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Pak. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jal...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments