“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya.
Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan raya tanpa memikirkan keselamatan diri juga pengguna jalan lainnya. “Berengsek! Kalau seperti ini bagaimana aku bisa punya anak?!” makinya, berulang kali memukul kemudi mobil. Pria bermata coklat itu kembali ke rumah bak istana yang ia bangun bersama sang Ibu. Begitu sampai ia langsung mencari keberadaan sang istri, Lula Faradhisa, gadis desa yang ia pinang dua tahun lalu. “Mi. mana Lula?” tanya Arhan dengan nada tak bersahabat. “Lula pergi, mungkin sebentar lagi pulang. Ada apa?” tanya Edna Aurora, Ibu kandung Arhan. “Kamu dari rumah sakit kan? Gimana hasilnya? Kalian semua subur kan? Bisa kasih Mami keturunan kan?” tanya Edna terkesan menuntut penuh harap. Arhan tak langsung menjawabnya, ia mengepalkan tangan sambil mengulas senyum pahit. Tatapan Edna pun seolah menuntut jawaban yang hanya ia inginkan. Membuat Arhan merasa tertekan dan takut dengan apa yang akan dilakukan Edna jika tahu mereka tidak akan pernah bisa mendapat keturunan. “Kami tidak bisa punya anak, Mi,” balasnya dengan suara bergetar. “Apa?! Jadi selama ini Lula mandul?!” tanya Edna memperjelas ucapan Arhan. Arhan tersenyum getir dengan lidah keluh, enggan untuk membalas pertayaan sang Ibu. Membuat Edna yang terkenal dengan perangai buruknya seketika mengubah raut wajah. Ia tersenyum tipis, namun tangannya terkepal seolah menahan gejolak amarah di hatinya. “Sudahlah, Mi. Jangan bicarakan anak terus, aku pusing,” pinta Arhan sambil melonggarkan dasinya, lalu berjalan melintasi Edna dengan langkah gontai. * * * Tak berselang lama Lula, wanita yang telah dinikahi Arhan dua tahun lalu pulang dengan beberapa paper bag di tangannya. Wanita cantik berusia 27 tahun itu melenggang dengan santai menuju kamar. Ia pun tersenyum saat melihat sang suami sudah berada di rumah. Bersantai dengan tab di tangannya sambil bersandar di atas tempat tidur mereka. “Sayang... Kamu sudah pulang? Kirain aku kamu masih di kantor,” sapa Lula seraya mengecup kedua punggung tangan juga pipi suaminya. Arhan terdiam, tak membalas kecupan yang biasa mereka lakukan saat bertemu, baik di rumah ataupun di luar rumah. Lula mengerenyit heran pada sikap tak biasa suaminya. Ia duduk di samping Arhan dan merangkul lengan sang suami dengan manja. “Kamu capek ya?” tanya Lula. “Hmm….” Lula menghela napas, ia kembali memeluk tubuh sang suami yang selalu memanjakannya itu dengan mesra. Namun pergerakan Lula ditampis oleh Arhan meski dengan gerakan lembut. “Aku lelah, aku mau istirahat,” ucap Arhan malas, lalu membaringkan diri di tempat tidur, bahkan memunggungi istrinya. Lula hanya tersenyum sambil mengangguk meski ia merasa ada yang aneh dengan sikap suaminya. Lula Faradisha, dua tahun lalu ia hanya seorang gadis lugu berasal dari desa. Keberuntungan hidup menjadikannya Cinderella di dunia nyata. Harta, cinta, bahkan perhatian dari keluarga Arhan telah ia dapatkan tanpa kekurangan sedikit pun. Bibir mungil wanita itu tersenyum meski samar, lalu beranjak dari tempatnya untuk membersihkan diri. Mengganti pakaian dan duduk di samping Arhan. “Sayang… Aku tahu kalau kamu sedang berpura-pura lelah. Cerita dong kamu kenapa? Lagi ada masalah ya di kantor?” tanya Lula sambil mengusap rambut Arhan dengan lembut. “Aku lelah sayang." Arhan sedikit acuh tanpa mau membuka matanya. “Lelah banget? Yaudah deh kalau gitu, padahal aku mau cerita sama kamu kalau Kakak aku di kampung sudah lahiran. Nanti kita ke kampung ya, aku kangen banget pengen ketemu sama keponakan aku.” Arhan langsung membuka matanya, ia menegakkan tubuh dan duduk bersejajar di samping istrinya. Kata anak yang keluar dari mulut Lula kembali membakar api di hati yang sudah hampir padam. Namun kekesalan di wajah Arhan tak disadari oleh Lula, wanita itu pun tersenyum dan kembali bergelayut manja di lengan suaminya. “Nggak!” balas Arhan dengan ketus. Lula terkejut dengan nada bicara Arhan, ia melepaskan tangannya dan menatap wajah sang suami dengan lekat. “Kok gitu? Oh iya… kamu pasti sibuk banget ya, yaudah deh, aku sendiri aja yang ke sana.” Lula masih berusaha berpikir positif akan perubahan suaminya. Arhan mengusap wajah dengan gusar sambil menghela napas. “Terserah kamu, malam ini aku pergi ke luar kota. Ada kerjaan mendadak selama dua bulan,” balasnya. Lula mulai merasa tak tenang, tak biasanya Arhan bersikap acuh dan kasar padanya. Bahkan pria itu selalu menghindari tatapan mata sang istri. Arhan beranjak dan mengemasi pakaian ke dalam koper seorang diri. Padahal selama dua tahun ini semua kebutuhannya, Lula sendiri yang menyiapkannya. Lula langsung mengejar langkah Arhan ke dalam walk in closet yang ada di dalam kamar mereka. “Aku aja yang siapin, kamu istirahat aja.” cegah Lula saat Arhan hendak memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Arhan tak menolak, ia menjatuhkan setelan jas yang sudah diambilnya begitu saja ke lantai, lalu pergi dari hadapan istrinya. Jantung Lula bergemuruh saat melihat sikap acuh suaminya. Mata jernihnya pun mulai berkaca-kaca. “Sayang… kamu kenapa sih? Aku ada salah apa sama kamu?” lirihnya sambil memeluk pakaian Arhan yang tadi dijatuhkan. Lula menangis tanpa tahu apa yang terjadi. Meski begitu ia tetap mengemasi keperluan suaminya sambil terisak. Begitu selesai Lula keluar dan mencari keberadaan Arhan. Langkah kakinya terhenti saat ia melihat keberadaan Arhan di balkon kamarnya. Lula ingin kembali melangkah, namun langkah itu tertahan karena percakapan Arhan di telepon yang masih bisa didengarnya. Terlebih pria itu menyebutkan namanya dalam percakapan mereka. “Aku minta jangan beri tahu Lula, biar aku saja yang memberitahu hasilnya,” ucap Arhan membuat kening Lula mengerenyit bingung. “Ah ya satu lagi, setelah pulang dinas aku akan melakukan pengecekan lagi. Aku tidak yakin dengan hasil kemarin. Pasti ada kesalahan,” sambungnya. Lula masih mendengarkan percakapan suaminya entah dengan siapa. Tanpa senaja wanita itu menyenggol vas bunga yang ada di dekat pintu. “Astaga, untung tidak jatuh,” gumamnya sambil menangkap vas bunga tersebut dengan satu tangan. Arhan mendengar suara Lula, ia langsung bergegas dan mengambil alih vas bunga yang ada di tangan istrinya. “Kamu nggakpapa?” tanya Arhan menunjukkan perhatiannya. Hati Lula menghangat saat menerima perhatian tersebut. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. “Nggakpapa kok, tadi hanya tidak sengaja kesenggol,” balas Lula. “Syukurlah kalau begitu, lain kali hati-hati,” ucap Arhan kembali dengan sikap dingin. Lula merasa bingung dengan perubahan sikap Arhan yang tak bisa ia mengerti. Ia pun merasa penasaran dengan percakapan sang suami di telepon tadi. “Sayang… tadi kamu nelpon siapa?” tanya Lula mencari tahu. “Bukan siapa-siapa,” balas Arhan acuh lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Pria yang biasa dipanggil Arhan itu masih belum mepercayai hasil lab yang ia lihat tadi. Ia masih belum percaya jika mereka tidak bisa memiliki keturunan. Hatinya merasa sedih, seolah ada ribuan jarum yang menusuknya. Ia pun merasa bingung harus bagaimana mengatakannya pada sang istri. ‘Sudahlah, nanti akan aku beri tahu setelah pulang dinas,’ batinnya. “Tapi kok kamu nyebutin nama aku sih? Apa yang nggak boleh aku tahu?” tanya Lula penasaran. “Jangan banyak tanya, kepalaku sakit. Lebih baik buatkan aku kopi.” Lula membungkam mulutnya, ia tersenyum getir sambil menerka apa yang sebenarnya terjadi. Wanita itu keluar dari kamar dengan langkah tak fokus hingga hampir terjatuh dari tangga. “Astaga… apa yang aku pikirkan? Mungkin suamiku sedang banyak pikiran karena perkerjaannya yang menumpuk. Ayolah La, berpikir positif aja,” gumamnya berusaha menenangkan diri. Lula membuatkan kopi untuk Arhan di dapur. Setelah siap ia langsung kembali ke kamarnya dengan semangat. Namun semangat itu berganti dengan kecemasan juga keterkejutan ketika Ibu mertua yang biasa bersikap lembut melontarkan makian untuknya. “Menantu tak berguna!” Maki Edna membuat jantung Lula bergemuruh hebat dan hampir menjatuhkan gelas yang ia pegang.“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan