"Ayo masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula.
"A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dada, seolah menikmati ketakutan di wajah Lula. Edna mengulas seringai, lalu pergi dari sana sambil bersenandung, kemudian menemui teman-temannya di restoran yang ada di hotel tersebut. Sedangkan Lula, wanita malang itu tengah dilanda ketakutan yang sangat luar biasa. Dengan tangan bergetar ia meraih ponsel yang ada di dalam tas. Namun pergerakan itu disadari oleh pria yang kini tengah menatapnya dengan tidak sopan. "Mau menghubungi siapa, hah? Aku sudah membayarmu, jadi layani aku sampai puas." pria itu merebut ponsel Lula. Tangan Lula menggantung di udara dengan ketakutan luar biasa. Perkataan itu bagai bom waktu di hidupnya. Tanpa tahu apa salahnya Edna dengan tega menjualnya pada pria asing. "T-tidak, Mami tidak mungkin menjualku. Aku menantunya, aku istri dari anaknya," balas Lula dengan suara bergetar, takut. Wanita malang itu mengambil langkah mundur dan berlari ke arah pintu. Terus berusaha membuka pintu yang telah terkunci. Ia menangis, terisak semakin manyakitkan dan menyesakkan. Pria yang belum Lula ketahui namanya itu tertawa sambil membuka kemejanya. Ia berjalan mendekati Lula seraya membuka sabuk pinggang sambil menyeringai, juga menatap Lula dengan tatapan lapar. Lula menggelengkan kepala dengan frustasi, tubuhnya memberingsut mundur namun sudah tak ada ruang untuknya melarikan diri. "Sudah aku bilang, puaskan aku!" bentak pria itu sambil menjambak rambut Lula sampai wajah Lula mendongak kesakitan. Perih, rasanya rambut Lula ingin lepas dari akarnya. Air mata tak henti-hentinya keluar dengan ketakutan yang sangat luar biasa. "Mas!!... Mas Arhan!" teriaknya frustasi hingga mata memerah bersimbah air mata. Sang pria nampak seperti predator yang haus akan kenikmatan. Ia membenci Lula karena wanita itu berteriak. Dengan lancang dan rakus ia langsung mencumbu Lula, membuat Lula benar-benar tak berdaya dan tak bisa memberontak karena tangan pria itu mencekal pergerakannya. "Aaa!... Tidak! Aku mohon jangan! Jangan!" teriaknya saat pria asing itu mulai menj*mah tubuhnya dengan lancang, bahkan mulai me1ucut1 paka1an Lula. Pria itu tak mengindahkan teriakan Lula, justru ia senang dan semakin bersemangat. Pria yang tak diketahui namanya berhasil memanjakan mata dengan tubuh indah Lula. Lalu menggendong mangsannya dan melemparnya ke atas kasur, seperti melempar barang. Lula semakin frustasi, rambut dan riasan wajahnya sudah berantakan. Ia terus berusaha menutupi tubuh dengan meringkuk dan memeluk tubuhnya sendiri. "AAA!!! TIDAK!!!!" teriak Lula terdengar menyakitkan. Lama pria asing itu bermain dengan Lula sampai ia mendapatkan kepuasan, bahkan melakukannya berulang kali hingga menyakiti Lula. Begitu usai mendapatkan kepuasan pria itu tertawa bahagia sambil mengatur napasnya yang tersengal. "Kau sangat luar biasa, beruntung sekali Arhan mendapatkanmu. Bahkan sudah melakukannya dengan Arhan pun milikmu masih sesempit ini. Apakah milik suami berukuran sangat kecil?" ucapnya meledek. "Harusnya kau beruntung mendapatkan sentuhan dariku, milikku sangat besar, kau pasti merasa puas," sambungnya lalu tertawa bangga. Lula meremas sprei yang kini menutupi tubuh pol0snya. Ia menangis, terisak bahkan menatap pria itu dengan tatapan membunuh. Bukan mendapatkan kepuasan seperti yang dikatakan pria itu. Justru pria itu membuat Lula kesakitan bahkan terdapat banyak lebam di tubuh akibat perbuatan brutalnya. "Berengsek! Kau pria tua tak tahu diri!!" teriak Lula frustasi. Plak! Pria asing yang baru saja mendapat kepuasan itu menampar wajah Lula hingga meninggalkan jejak memerah. "Diamlah! Kau tak pantas memakiku! Aku sudah membayarmu dengan mahal!" teriaknya sambil melempar ponsel Lula ke atas kasur. "Dasar wanita tak tahu diri, salahkan saja Edna yang telah menjualmu padaku!" makinya sambil berjalan keluar kamar. Lula terisak, sesak di dada membuat napasnya tersengal. Ia melihat kepergian pria itu dengan tatapan benci. Mengasihani diri dan merutuki perbuatan Ibu mertuanya. Lula menjambak rambutnya, menggosok-gosok tubuh yang telah dinodai oleh pria asing yang sangat tak dikenalnya. "Mas... aku hina... aku kotor, maafkan aku!" racaunya berteriak hingga menyakiti diri sendiri, memukul dan menjambak rambutnya dengan frustasi. Lama ia mengasihani diri hingga suara ponsel menyita perhatiannya. Lula terkejut saat melihat Arhan yang tengah melakukan panggilan video, mungkin pria itu telah tiba di kota Bali dan hendak mengabari sang istri. Lula menggelengkan kepala, ia menelungkupkan ponsel tersebut sambil menangis. Tak mungkin ia mengangkat panggilan Arhan dengan kondisi seperti ini. Panggilan tersebut berhenti bersamaan dengan Edna yang kini memasuki kamar sambil tersenyum. Lula meremas ponselnya dengan kuat sambil menatap wajah Edna dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Ia marah, sangat marah, ia tak menyangka jika Ibu mertua yang selama ini bersikap lembut padanya mampu melakukan itu semua. "M-mi... kenapa Mami melakukan ini padaku? Apa salahkku, Mi?" tanyanya dengan suara sumbang bersimbah air mata. Edna hanya tersnyum tipis, wanita paruh baya itu memunguti pakaian Lula dan melemparnya pada sang menantu. Lula menatap tak percaya dengan sikap mertuanya. Ia masih saja menatap wajah Edna dengan tatapan menyedihkan penuh luka. "Pakai bajumu, rias kembali wajah menjijikanmu itu. Setelah ini kita pulang," perintah Edna tanpa merasa kasihan sama sekali. "Awas kalau kau mengadu pada Arhan atau ke orang lain. Jika kau melakukannya akan aku pastikan Arhan sendiri yang akan menceraikanmu," sambungnya memberi peringatan. "M-mi, tapi apa salah Lula, Mi?" tanya Lula lagi masih berusaha mencari alasan sang Ibu mertua melakukan hal keji itu padanya. "Salahmu apa? Salahmu karena telah menjadi istri Arhan, putraku! Dan bodohnya anakku sangat mencintaimu!" balas Edna dengan nada permusuhan. 'Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mungkin hanya itu alasannya. Jika itu alasannya sudah bertahun-tahun lalu Mami melarang kami menikah,' batin Lula tak mempercayai alasan Ibu mertuanya. "Cepatlah! Aku sudah lelah, ingin tidur. Jangan membuang waktuku! Dasar menantu tak berguna, beginilah kalau mungut wanita kampung," sambungnya menyakiti hati Lula untuk kesekian kali."Dasar menantu sialan! Beginilah kalau keseringan dimanja, lelet!" kakinya. Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membi
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membi
"Cepatlah masuk," pinta Edna berusaha bersikap lembut untuk mengelabui Lula. Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut pan
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu keluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak,
"Aku bukan pria bodoh sayang... Mana mungkin aku mempertaruhkan hidupku untuk melawan Stella. Yang aku butuhkan hanya kepuasan, dan kau harus memuaskanku sekarang juga," balas pria bertubuh tambun dengan seringai di wajahnya. Lula pikir pria itu mau membantu karena ekspresi yang dikeluarkannya. Namun nyatanya pemikiran itu salah, Lula kembali jatuh ke dalam lubang yang sama seperti semalam. Pria tambun itu memaksakan kehendaknya dan memperlakukan Lula seperti wanita-wanita lain yang ada di rumah itu. Lula berteriak, menjerit bahkan memukuli pria itu, namun bukan kebebasan yang ia dapatkan. Melainkan pukulan demi pukulan juga penyiksaan terhadap tubuhnya. "Tidak!...." teriak Lula frustasi. Pria tambun yang sudah terbakar gairah itu tak ingin menghentikan apa yang sudah ia mulai. Lula terus berteriak dan menangis ketika menerima sentuhannya. Pria itu langsung tersenyum puas dan keluar dari kamar begitu mendapatkan kepuasannya. Tapi tidak dengan Lula yang kini meringkuk di kasur
"Tidak berhasil, La." Frans kembali ke kamar dengan wajah lemas. Ia sudah bernegosiasi dengan Stella bahkan bersedia membeli Lula, namun wanita serakah itu tak memperbolehkannya. Lula hanya tersenyum getir, ia menunduk dan tak tahu harus bagaimana. Sedangkan Frans, pria itu mengelilingi kamar Lula, mencari sela untuk melarikan diri. Namun sayang, semua jendela dan pintu telah dikunci bahkan telah dipasang tralis besi. Lula bagai di dalam penjara mewah, membuat Frans bingung bagaimana cara mengeluarkan istri sahabatnya itu. "Percuma, Kak. Aku sudah melakukannya berulang kali. Tapi penjagaan di bawah sangat ketat," ucap Lula dengan senyum pahit. "Ibu mertuamu sangat keterlaluan, kalau begitu aku harus menghubungi polisi untuk membebaskanmu," balas Frans. Luka tertawa sumbang. "Percuma Kak, bahkan para petinggi kepolisian pun sering ke sini untuk kepuasan mereka. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan laporanmu. Justru kau yang akan mendapatkan kekejaman dari Stella." Ke duan
"Apa yang kau katakan?" tanya Arhan bingung.Arhan memundurkan langkah saat mendengar teriakan Lula. Keningnya mengerenyit heran seraya mencerna perkataan istrinya. Tangan yang sedari tadi terkepal akhirnya terbuka dengan pandangan yang sulit diartikan. Kesedihan di wajah Lula begitu sangat ketara hingga menggetarkan hati dan tubuh Arhan. "S-siapa yang bilang kau mandul? Siapa yang menyiksamu?" tanya Arhan dengan suara bergetar. Bersamaan dengan pertanyaan itu Edna masuk ke dalam ruangan Lula. Ia diberi kabar oleh Stella jika Lula telah dilarikan ke rumah sakit, namun tidak dengan kondisi Lula yang kini tengah berbadan dua. Edna meremas jari-jemarinya seraya memperhatikan wajah Arhan. Kemudian ia menatap Lula yang kini tengah menatapnya dengan penuh kebencian. Lula menghapus air matanya dengan kasar, mengulas senyum pahit saat melihat wajah Edna di hadapannya. "Mami yang menyiksaku, dia menjualku pada pria lain untuk memuaskan nafsu bejat mereka." tunjuk Lula pada Edna hingga
Teriakan Lula terdengar sampai ke luar rumah, menarik perhatian beberapa tetangga yang sedang melintas. Ibu Lula segera masuk ke kamar dengan napas tersengal, menemukan putrinya berdiri gemetar, dengan tangan mencengkeram sisi ranjang. "Lula, Nak... tenang, Ibu di sini," ujar ibunya lembut, mencoba mendekati. Namun, Lula mundur ke sudut kamar, tubuhnya berguncang hebat. "Mereka semua jahat, Bu... mereka bicara di belakangku, mereka bilang aku lemah... aku... aku tidak butuh mereka!" Matanya penuh air mata, suaranya melengking penuh rasa sakit. Ayah Lula menyusul masuk, wajahnya tegang. "Apa yang terjadi, Bu?" tanyanya sambil menatap putrinya yang mulai tersedu-sedu. "Lula mendengar sesuatu, Pak... mungkin tentang gosip itu," jawab istrinya, suaranya bergetar. "Diam semua! Jangan mendekat!" Lula berteriak lagi, matanya liar memandang orang tuanya. Ia seperti terjebak dalam pikirannya sendiri, mengingat kembali kejadian-kejadian yang menghancurkan dirinya. Ayah Lula mengepalkan ta
"Aku harus menemui Lula, aku nggak bisa kehilangan dia," racau Arhan sambil menatap punggung ayah mertuanya yang kian menjauh. Langkah Arhan terasa berat saat ia mengikuti ayah mertuanya yang berjalan cepat menuju kamar Lula. Tubuhnya terasa lemas, tidak hanya karena kelelahan fisik tetapi juga karena beban emosional yang terus menekan dadanya. Setiap langkah seolah menjadi pengingat atas kesalahan-kesalahan yang ia biarkan terjadi. Sesampainya di depan pintu kamar Lula, Arhan memberanikan diri untuk berbicara. "Pak, saya mohon… izinkan saya melihat Lula. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja," pintanya dengan suara parau, penuh harap. Namun, ayah Lula menatapnya dengan dingin, lalu menggeleng tegas. "Kamu nggak berhak menemui Lula. Cukup sudah. Jangan tambah beban hidupnya," ucapnya keras. Arhan menunduk, air mata mengalir di wajahnya. Ia tidak bisa melawan keputusan itu, hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu. Saat pintu kamar tertutup, ia melangkah mundur, menatap
"Pak, sebenarnya apa yang terjadi dengan Lula?" tanya ibu Lula sambil terisak. "Bapak juga nggak tahu, Bu. Semoga bukan hal buruk, semoga Lula hanya bermimpi," balasnya penuh harap, berharap keadaan putrinya tak seburuk yang ia pikirkan. Setelah perawat memberikan Lula obat penenang, suasana di ruang rawat perlahan kembali sunyi. Kedua orang tua Lula duduk di kursi dekat tempat tidur dengan wajah penuh kecemasan. Sang ibu terus menggenggam tangan anaknya yang terkulai lemah, sementara sang ayah hanya bisa mondar-mandir dengan ekspresi penuh ketegangan. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Berjam-jam mereka menunggu Lula sadarkan diri, perasaan khawatir semakin menghimpit dada. Hingga akhirnya, saat malam mulai larut, Lula perlahan membuka matanya. Tubuhnya yang lemah bergerak sedikit, dan air mata mulai mengalir di sudut matanya. "Lula... Nak, kamu sudah sadar?" tanya ibunya dengan suara penuh haru. Ia segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. "Ibu... Bapak..." suara Lula be
"Semua ini salahku. Ini semua salahku," racau Arhan sambil memukuli tembok. Tangisan Arhan pecah di depan ruang tindakan. Tubuhnya bergetar hebat, dan rasa bersalah mulai menyelimuti pikirannya. Ia teringat pada Lula, wajah istrinya yang ceria, suara lembutnya, dan setiap kenangan yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang perlahan berubah menjadi mimpi buruk. Dokter yang tadi berbicara dengan Arhan segera masuk kembali ke ruang tindakan, sementara beberapa perawat yang membawa tandu keluar dari ruangan itu terlihat sibuk menuju koridor lain. Arhan terus memandangi pintu ruang tindakan, berharap ada keajaiban yang datang. Orang tua Lula pun hanya bisa diam, tak berani berkata banyak melihat kondisi Arhan yang semakin kacau. Tak lama, salah satu dokter keluar lagi dari ruang tindakan. Kali ini, ekspresi wajahnya terlihat sedikit lega meskipun tetap serius. "Pak, istri Anda selamat. Kami berhasil menghentikan pendarahannya, tetapi... maafkan kami. Kami tidak bisa menyelama
"Dokter! Cepat bantu wanita ini! Cepat!" teriak Pak tua yang menolong Lula. Pria itu menggendong Lula dengan sisa tenaga yang ia miliki, meski dengan langkah tertatih. Beberapa petugas kesehatan pun mulai berlari ke arahnya, mengambil alih tubuh Lula. "Selamatkan dia, saya mohon," pinta Pak tua tak tega dengan nasib Lula. Lula terbaring lemah di ruang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi luka-luka dan pendarahan yang cukup parah. Dokter yang memeriksa dengan cepat memberi tahu pria tua yang menolongnya, bahwa ada tulang lengan Lula yang patah. Selain itu, pendarahan yang terjadi sangat mengkhawatirkan, yang akhirnya mengonfirmasi bahwa janin di rahim Lula telah keguguran. "Apa? Separah itu?!" tanyanya Terkejut. "Ya, sepertinya dia terkena benturan keras. Kalau Anda bilang menemukannya di jalan, bisa saja dia tertabrak kendaraan yang melintas," balas Dokter dengan wajah serius. Pria tua itu meluruhkan pundaknya, menatap nanar pada ruang tindakan yang ada di hadapannya. "Anda bisa
"Cepat periksa semua ruangan, kepung mereka agar tidak ada yang bisa melarikan diri!" teriak komandan polisi. Polisi sudah mulai menggeledah rumah itu. Mereka masuk ke setiap ruangan, membuka pintu-pintu tersembunyi, bahkan merekam segala aktivitas aneh yang ditemukan. Beberapa wanita tampak ketakutan, tapi tak ada jejak Lula. Arhan langsung mencari Stella, perempuan yang dulu mengelola tempat ini. Tentu ia tahu nama mucikari itu dari Frans yang telah menceritakan segalanya. Dia berdiri di ruang tamu dengan wajah santai seolah tak ada yang salah. “Stella!” Arhan mendekat dengan langkah cepat. “Di mana Lula?!” suaranya keras, penuh amarah. Stella hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Aku nggak tahu siapa yang kamu cari.” “Jangan pura-pura bodoh!” Arhan menunjuk wajahnya. “Kamu pasti tahu sesuatu! Katakan di mana dia!” Stella terkekeh pelan. “Serius. Sudah lama aku nggak urus bisnis kayak gini. Tempat ini udah bersih. Nggak ada yang namanya perdagangan perempuan lagi.”
"Cepat bawa dia ke rumah sakit! Tunggu apa lagi?" seru Lula akhirnya dengan nada dingin. Arhan segera membawa tubuh ibunya yang tak sadarkan diri ke sofa. Wajahnya terlihat panik, sementara Lula hanya berdiri mematung seolah tak bersimpatik. Namun, naluri kemanusiaannya tak bisa ditahan lebih lama. Tanpa menunggu lebih lama, Arhan mengangkat tubuh Edna dan membawanya ke mobil. Lula mengikuti dengan langkah santai, meskipun hatinya masih penuh kebencian. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil kembali dipenuhi ketegangan. Arhan fokus mengemudi dengan wajah penuh kecemasan, sesekali melirik ibunya yang terkulai lemah di kursi belakang. Sesampainya di rumah sakit, Arhan segera memanggil bantuan. Tim medis dengan sigap membawa Edna ke ruang gawat darurat, meninggalkan Arhan dan Lula menunggu di luar. Arhan terlihat mondar-mandir di koridor, wajahnya penuh kekhawatiran. "La," panggilnya pelan, menghentikan langkahnya. Lula menatapnya dengan ragu. "Apa?" "Ma
"Apa syaratnya, La?" tanya Arhan lagi. “Aku tidak mau bertemu dengan Edna. Aku tak ingin melihat wajahnya lagi.” Bahkan Lula sudah enggan memanggil wanita itu dengan panggilan Ibu. Arhan terdiam mendengar permintaan itu. Ia tahu betul perasaan Lula. Edna, ibunya, adalah orang yang selama ini menipu dan menghancurkan hidup Lula. Bahkan, wanita itu adalah orang yang tega menjualnya, mempermainkan perasaan dan hidupnya demi keuntungan pribadi. Lula menatap Arhan dengan tatapan yang penuh kebencian, meskipun di dalam dirinya ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. “Jangan bawa aku berdekatan dengan wanita itu. Aku tak bisa melihatnya. Aku benci dia.” Arhan menghela napas panjang. Hatinya terasa terjepit di antara dua pilihan yang tak mudah. Di satu sisi, Edna adalah ibunya, wanita yang sudah melahirkannya, meski perbuatannya tak terampuni. Namun, di sisi lain, Lula adalah istrinya, orang yang begitu ia cintai, dan ia tahu betul betapa dalam luka yang ditinggalkan oleh Edna di hati L
"La, a-aku...." ucapnya terbata kerena tak tega dengan nasib istrinya saat ini. Arhan melangkah mendekat, langkahnya ragu-ragu namun dipenuhi harapan. Matanya tak lepas dari sosok Lula yang berdiri diam di ambang pintu kamar. Ketika jaraknya cukup dekat, ia mengulurkan tangannya, mencoba meraih tangan wanita itu. Namun, Lula dengan lembut menepis uluran tangannya. Bukan dengan kasar, melainkan seperti seseorang yang tak ingin terhubung kembali dengan masa lalu. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan lebih dulu menuju sofa, meninggalkan Arhan terpaku. Lula duduk dengan tenang, tangannya terlipat di pangkuan. Matanya menatap lurus ke depan, dingin dan datar. Meski hatinya terasa seperti diiris, tak ada air mata yang keluar. Ia sudah terlalu lama menangis hingga kini semua itu terasa percuma. Arhan mengikutinya, berdiri di hadapannya dengan wajah penuh penyesalan. Ia menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara. “La,” panggilnya, suaranya berat dan