Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa.
"Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dada, seolah menikmati ketakutan di wajah Lula. Edna mengulas seringai, lalu pergi dari sana sambil bersenandung, kemudian menemui teman-temannya di restoran yang ada di hotel tersebut. Sedangkan Lula, wanita malang itu tengah dilanda ketakutan yang sangat luar biasa. Dengan tangan bergetar ia meraih ponsel yang ada di dalam tas. Namun pergerakan itu disadari oleh pria yang kini tengah menatapnya dengan tidak sopan. "Mau menghubungi siapa, hah? Aku sudah membayarmu, jadi layani aku sampai puas." pria itu merebut ponsel Lula. Tangan Lula menggantung di udara dengan ketakutan luar biasa. Perkataan itu bagai bom waktu di hidupnya. Tanpa tahu apa salahnya Edna dengan tega menjualnya pada pria asing. "T-tidak, Mami tidak mungkin menjualku. Aku menantunya, aku istri dari anaknya," balas Lula dengan suara bergetar, takut. Wanita malang itu mengambil langkah mundur dan berlari ke arah pintu. Terus berusaha membuka pintu yang telah terkunci. Ia menangis, terisak semakin manyakitkan dan menyesakkan. Pria yang belum Lula ketahui namanya itu tertawa sambil membuka kemejanya. Ia berjalan mendekati Lula seraya membuka sabuk pinggang sambil menyeringai, juga menatap Lula dengan tatapan lapar. Lula menggelengkan kepala dengan frustasi, tubuhnya memberingsut mundur namun sudah tak ada ruang untuknya melarikan diri. "Sudah aku bilang, puaskan aku!" bentak pria itu sambil menjambak rambut Lula sampai wajah Lula mendongak kesakitan. Perih, rasanya rambut Lula ingin lepas dari akarnya. Air mata tak henti-hentinya keluar dengan ketakutan yang sangat luar biasa. "Mas!!... Mas Arhan!" teriaknya frustasi hingga mata memerah bersimbah air mata. Sang pria nampak seperti predator yang haus akan kenikmatan. Ia membenci Lula karena wanita itu berteriak. Dengan lancang dan rakus ia langsung mencumbu Lula, membuat Lula benar-benar tak berdaya dan tak bisa memberontak karena tangan pria itu mencekal pergerakannya. "Aaa!... Tidak! Aku mohon jangan! Jangan!" teriaknya saat pria asing itu mulai menj*mah tubuhnya dengan lancang, bahkan mulai me1ucut1 paka1an Lula. Pria itu tak mengindahkan teriakan Lula, justru ia senang dan semakin bersemangat. Pria yang tak diketahui namanya berhasil memanjakan mata dengan tubuh indah Lula. Lalu menggendong mangsannya dan melemparnya ke atas kasur, seperti melempar barang. Lula semakin frustasi, rambut dan riasan wajahnya sudah berantakan. Ia terus berusaha menutupi tubuh dengan meringkuk dan memeluk tubuhnya sendiri. "AAA!!! TIDAK!!!!" teriak Lula terdengar menyakitkan. Lama pria asing itu bermain dengan Lula sampai ia mendapatkan kepuasan, bahkan melakukannya berulang kali hingga menyakiti Lula. Begitu usai mendapatkan kepuasan pria itu tertawa bahagia sambil mengatur napasnya yang tersengal. "Kau sangat luar biasa, beruntung sekali Arhan mendapatkanmu. Bahkan sudah melakukannya dengan Arhan pun milikmu masih sesempit ini. Apakah milik suami berukuran sangat kecil?" ucapnya meledek. "Harusnya kau beruntung mendapatkan sentuhan dariku, milikku sangat besar, kau pasti merasa puas," sambungnya lalu tertawa bangga. Lula meremas sprei yang kini menutupi tubuh pol0snya. Ia menangis, terisak bahkan menatap pria itu dengan tatapan membunuh. Bukan mendapatkan kepuasan seperti yang dikatakan pria itu. Justru pria itu membuat Lula kesakitan bahkan terdapat banyak lebam di tubuh akibat perbuatan brutalnya. "Berengsek! Kau pria tua tak tahu diri!!" teriak Lula frustasi. Plak! Pria asing yang baru saja mendapat kepuasan itu menampar wajah Lula hingga meninggalkan jejak memerah. "Diamlah! Kau tak pantas memakiku! Aku sudah membayarmu dengan mahal!" teriaknya sambil melempar ponsel Lula ke atas kasur. "Dasar wanita tak tahu diri, salahkan saja Edna yang telah menjualmu padaku!" makinya sambil berjalan keluar kamar. Lula terisak, sesak di dada membuat napasnya tersengal. Ia melihat kepergian pria itu dengan tatapan benci. Mengasihani diri dan merutuki perbuatan Ibu mertuanya. Lula menjambak rambutnya, menggosok-gosok tubuh yang telah dinodai oleh pria asing yang sangat tak dikenalnya. "Mas... aku hina... aku kotor, maafkan aku!" racaunya berteriak hingga menyakiti diri sendiri, memukul dan menjambak rambutnya dengan frustasi. Lama ia mengasihani diri hingga suara ponsel menyita perhatiannya. Lula terkejut saat melihat Arhan yang tengah melakukan panggilan video, mungkin pria itu telah tiba di kota Bali dan hendak mengabari sang istri. Lula menggelengkan kepala, ia menelungkupkan ponsel tersebut sambil menangis. Tak mungkin ia mengangkat panggilan Arhan dengan kondisi seperti ini. Panggilan tersebut berhenti bersamaan dengan Edna yang kini memasuki kamar sambil tersenyum. Lula meremas ponselnya dengan kuat sambil menatap wajah Edna dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Ia marah, sangat marah, ia tak menyangka jika Ibu mertua yang selama ini bersikap lembut padanya mampu melakukan itu semua. "M-mi... kenapa Mami melakukan ini padaku? Apa salahkku, Mi?" tanyanya dengan suara sumbang bersimbah air mata. Edna hanya tersnyum tipis, wanita paruh baya itu memunguti pakaian Lula dan melemparnya pada sang menantu. Lula menatap tak percaya dengan sikap mertuanya. Ia masih saja menatap wajah Edna dengan tatapan menyedihkan penuh luka. "Pakai bajumu, rias kembali wajah menjijikanmu itu. Setelah ini kita pulang," perintah Edna tanpa merasa kasihan sama sekali. "Awas kalau kau mengadu pada Arhan atau ke orang lain. Jika kau melakukannya akan aku pastikan Arhan sendiri yang akan menceraikanmu," sambungnya memberi peringatan. "M-mi, tapi apa salah Lula, Mi?" tanya Lula lagi masih berusaha mencari alasan sang Ibu mertua melakukan hal keji itu padanya. "Salahmu apa? Salahmu karena telah menjadi istri Arhan, putraku! Dan bodohnya anakku sangat mencintaimu!" balas Edna dengan nada permusuhan. 'Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mungkin hanya itu alasannya. Jika itu alasannya sudah bertahun-tahun lalu Mami melarang kami menikah,' batin Lula tak mempercayai alasan Ibu mertuanya. "Cepatlah! Aku sudah lelah, ingin tidur. Jangan membuang waktuku! Dasar menantu tak berguna, beginilah kalau mungut wanita kampung," sambungnya menyakiti hati Lula untuk kesekian kali.Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan