“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya.
Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarkan tubuhnya tergeletak di lantai yang dingin sambil menangis. Bayang-bayang pemaksaan yang pria asing itu lakukan membuatnya tak kuasa menahan tangis. "Mas… Mas Arhan….” lirihnya bersimbah air mata sambil memeluk diri dengan erat. Lula sesegukan, napasnya tersengal seolah ada yang mencekik lehernya. Kelelahan yang dialami Lula pun akhirnya membuat wanita itu tertidur di lantai sampai pagi tanpa sempat membersihkan diri. Pagi-pagi sekali Edna masuk ke dalam kamar Lula, ia menendang kaki Lula sambil berkacak pinggang, menatap kesal pada menantunya. “Bangun! Dasar kampungan, sudah ada kasur malah tidur di lantai,” ucapnya sarkas tanpa menghentikan kaki yang terus menedangi tubuh Lula. Tidur Lula pun terusik, ia mengerjapkan mata dan terkejut dengan kehadiran Edna di kamarnya. Lula membenarkan posisinya, ia terduduk dan bersandar pada kasur, terlihat takut akan ekspresi Edna saat ini. “A-ada apa, Mi?” tanya Lula sambil bersikap siaga. Edna mengulurkan tangan hendak menarik tangan Lula, namun Lula yang sudah bersiaga langsung berdiri dan menampis tangan tersebut dengan keberanian yang ia paksakan. “M-mau apa, Mi?” tanya Lula dengan wajah pias, takut jika Edna memintanya melayani pria hidung belang lagi. “Sialan! Sudah berani ngelawan sekarang, hah?!" maki Edna membentak. Lula menggelengkan kepala dengan cepat, lalu perhatian mereka tersita pada ponsel Lula yang tengah berdering. Dengan tangan bergetar Alula meraih ponsel tersebut dan langsung mengangkat panggilan Arhan. “Kamu kenapa?,” tanya Arhan begitu panggilan video terhubung. Ia menatap heran pada ekspresi tegang Lula saat ini. "Nggakpapa, Mas,” balas Lula tergugup sambil mentap Edna yang tengah melototinya. Tatapan Edna nampak tajam, bahkan ia mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara untuk memperingati Lula. Lula mengangguk meski samar, lalu berusaha tersenyum pada Argan yang ada di layar ponselnya. “Kamu baru bangun?” tanya Arhan karena melihat rambut berantakan Lula. Beruntungnya kemerahan di pipi sudah terlihat samar, Lula juga telah menutupi tanda merah di leher dengan rambut panjangnya. “Iya Mas. Maaf ya semalam nggak aku angkat. Aku sudah tidur,” balasnya sedikit berbohong. “Nggakpapa, aku juga cuma mau ngabarin kalau aku sudah sampai dengan selamat. Kamu jangan lupa sarapa, aku mau siap-siap ke pertemuan.” terlihat Arhan yang tengah sibuk mengenakan dasi dan jasnya. “Iya, kamu juga jangan sampai nggak sarapan ya,” balas Lula menahan air mata yang hendak keluar. “Hmm...." Arhan hanya berdeham, terlihat begitu acuh. . “I love you, Mas,” ucap Lula untuk menutupi ketakutannya, bersamaan dengan Max mematikan panggilannya. Sontak Lula menangis dengan tertunduk, membuat Edna bedecak sebal dan menggerutu. “I love you… i love you… aku muak mendengar kata itu. Cepat turun, buatkan sarapan, selama Max pergi kamu yang beresin rumah ini, semua pembantu sudah aku liburkan!" perintah Edna membuat Lula terkejut. Lula mengangkat wajah, menatap wajah Edna dengan lekat. “Mi, kenapa Mami seperti ini ke Lula, Mi? Lula salah apa, Mi?” tanya lagi untuk kesekian kali. “Salah kamu karena kamu tidak bisa memberikanku keturunan!” balas Edna dengan penuh penekanan. Lula terperangah dengan ucapan Edna, matanya terkunci pada mata Edna dengan tubuh bergetar. Ia menggelengkan kepala, tak percaya dengan alasan yang Edna lontarkan. “J-jadi gara-gara itu Mami tega jual Lula ke pria semalam?” tanya Lula tak percaya. Lula menutup mulut dengan satu telapak tangannya, ia berdiri dan mengambil langkah maju untuk menghampiri ibu mertuanya. Edna menyeringai sambil bersedekap dada. “Kenapa? Nggak terima? Tahu kamu mandul aku nggak akan nerima kamu jadi menantuku,” ucap Edna lagi membuat hati dan pikiran Lula semakin hancur. “M-mandul? Mami bilang Lula mandul?” tanyanya dengan suara bergetar. “Ya! Kamu mandul, enak sekali kamu selama beberapa tahun ini menikmati harta kami. Sekarang saatnya kamu bayar apa yang sudah kamu nikmati, aku juga akan menacarikan Arhan wanita yang bisa memberikan keturunan,” balas Edna membuat dunia Lula hancur. Tubuh Lula membeku, pandangan matanya nampak kosong. Ia tersenyum getir ketika menerima takdir yang begitu menyakitkan. “Aku mandul? Aku mandul….” lirihnya tak percaya sambil tertawa sumbang. “Dasar gila, cepat turun! Siapkan sarapan dan bersihkan rumah ini, benar-benar menantu tak berguna!"Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan