Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya.
"Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah Edna yang sedari tadi tersenyum senang. Kekalutan juga ketakutannya semakin diperparah karena menyadari arah yang diambil oleh Edna adalah jalan yang tak seharusnya mereka ambil. "M-mi, kita mau ke mana?" tatnya Lula dengan takut. "Kita mampir sebentar ke rumah Stella, tadinya aku mau mengajakmu ke bertemu dengan Maria, tapi Maria pasti tidak akan cocok denganmu," balas Edna membuat Lula bingung. "Siapa Stella, Mi? Setauku Mami tidak punya teman bernama Stella," tanya Lula. "Nanti juga kau akan tahu, duduk saja yang manis. Aku pastikan kau akan senang bertemu dengannya," balas Edna sambil mengulas senyum misterius. Hati Lula semakin tak tenang, ia meremas jari jemarinya dengan tangan bergetar. Lula memegang erat ponsel juga tas dengan erat dan siap untuk melarikan diri jika ada kesempatan. Namun sayangnya mobil itu melesat begitu cepat hingga tanpa terasa tiba di rumah mewah dengan dua pilar besar yang menyanggahnya. "Ayo turun," ajak Edna seraya membuka sabuk pengamannya. Lula nampak siaga, ia tersenyum getir dan langsung membuka sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya. Tatapannya terkunci pada Edna yang kini menatap rumah besar tersebut sambil tersenyum. Lula langsung melihat ke sekitar, ia terperangah dengan banyaknya mobil mewah juga wanita berbusana minim. 'Aku rasa ada yang tidak beres, lebih baik aku lari,' batinnya. Lula keluar dari mobil, lalu berusaha melarikan diri. Namun sayangnya pergerakan itu terlihat oleh Edna. Tentu wanita paruh baya itu panik, merasa tak suka dengan tindakan Lula. Ia pun berteriak dan meminta penjaga untuk menangkap Lula. "Hei! Tangkap dia!" teriak Edna seraya menunjuk Lula yang kini tengah berlari menuju gerbang depan. Sontak para penjaga di rumah mewah itu bergegas menangkap Luka. Mungkin hari ini adalah hari kesialan lain baginya. Penjaga membawa Lula dengan mudah ke hadapan Edna yang kini tengah berkacak pinggang dengan wajah mengeras. Tanpa diduga wanita paruh baya yang dulu sangat menyayangi Lula melayangkan tamparan hebat ke wajah menantunya. Plak! "Menantu sialan! Mau ke mana kau, hah?" maki Edna. "Mi, aku tahu pasti Mami mau menjualku lagi seperti semalam. Aku tidak mau Mi," balas Lula takut, berusaha memberontak dari cekalan penjaga yang menangkapnya. Edna tertawa terbahak-bahak, ia bertepuk tangan di hadapan Lula sambil tersenyum. "Bagus, akhirnya kau sadar. Sekarang kemarikan tas dan ponselmu!" Edna merampas ponsel juga tas milik Lula dan meminta penjaga tersebut membawa Lula ke dalam. "Bawa dia masuk!" perintah Edna dengan sarkas, tak ada kelembutan di setiap kata yang dilontarkan wanita itu. "Tidak Mi! Aku tidak mau! Aku mohon Mi... Aku mohon ampuni aku! Mami!" teriak Lula frustasi. Tubuh Lula terseret dengan paksa meski wanita cantik itu terus memberontak. Tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria yang mencekalnya. Lula pun akhirnya masuk ke dalam rumah mewah tersebut, ia melihat beberapa wanita berpakaian seksi yang kini tengah duduk dengan para pria. Mereka semua terlihat memanjakan pria itu, hingga tubuh Lula bergetar ketakutan. "Hai Jeng... Jadi juga ke sini. Dia menantu yang mau kau titipkan di sini?" tunjuk wanita bernama Stella pada Lula. "Ya... Hanya sementara saja sampai anakku pulang. Kau tahu bukan apa yang harus kau lakukan?" balas Edna dengan nada santai. "Tentu saja, tapi aku tidak bisa membayar mahal karena dia bukan perawan," ucap Stella membuat Lula menggelengkan kepala dengan panik. "Mi... Jangan Mi... Aku mohon, Mi." kali ini Lula tak bisa lagi menahan kesedihannya. Ia menangis di hadapan semua orang hingga membuat Stella murka. Dengan cepat Stella menghampirinya, ia menjambak rambut Lula hingga wajah wanita itu mendongak ke atas karena mehanan perih yang begitu luar biasa di kulit kepalanya. "Jangan berteriak di sini! Aku tidak suka air mata, tersenyumlah," pinta Stella sarkas. Edan nampak menikmati apa yang terjadi depannya. Tak ada belas kasih sedikitpun di hati saat melihat kesakitan yang dirasakan menantunya. Justru wanita paruh baya itu duduk dengan santai sambil memperhatikan Lula yang tengah kesakitan. "Bawa wanita ini masuk ke kamarnya. Berikan ia pakaian yang biasa ada di lemari, lalu rias wajahnya" perintah Stella oada salah satu wanita seksi di dekatnya. "Baik, Madam," balasnya patuh sambil tersenyum. Wanita bernama Lucia menarik paksa lengan Lula. Ia berjalan menaiki tangga, mencengkeram lengan Lula dengan erat agar wanita itu tak melakukan pemberontakan. "Diamlah, jangan banyak bergerak, kau tidak akan bisa lari dari tempat ini. Lebih baik kau patuh jika ingin selamat," ucap Lucia memperingati Lula. Lula sudah kehabisan tenaga, ia menoleh ke belakang untuk melihat wajah Edna. Bibirnya tersenyum miris sambil terisak. 'Mami sudah keterlaluan, ternyata ini sifat asli Mami setelah tidak membutuhkanku,' batinnya menyayat hati. 'Kalau seperti ini bagaimana aku bisa melarikan diri? Tidak, aku tidak boleh lemah, aku harus bisa kabur dari sini,' sambungnya menguatkan diri dan tekad."Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan