“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung.
Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arhan menatapnya dengan mengerenyit heran. “Kamu kenapa sayang?” tanya Arham sambil menahan lengan Lula. Pria itu tersenyum getir sambil mengusap lembut perut sang istri. Lula tersenyum meski pikirannya sedang berkelana jauh. “Kenapa diam saja, hem?” tanya Arhan tanpa melepaskan tatapannya dari sang istri. “Nggak ada apa-apa kok,” balas Lula berusaha menutupi kegelisahannya. “Nanti malam aku yang antar ke bandara ya,” sambung Lula berusaha mengabaikan sikap Ibu mertuanya. Arhan menggeleng, lalu kembali menatap langit tanpa melepaskan tangan Lula yang masih digengamnya “Nggak usah, kamu istirahat aja di rumah. Aku pergi sama Danto,” tolak Arhan. Lula menghela napas, bibirnya tersenyum meski samar. Wanita itu menatap langit yang sama seperti yang ditatap oleh sang suami. “Oh iya Yank, hasil labnya gimana? Udah keluar kan? Kita suburkan? Aku sudah tidak sabar ingin memiliki anak, pasti rumah ini jadi ramai,” tanya Lula terdengar sangat bersemangat. “Belum keluar, nanti kalau sudah keluar aku kasih tahu kamu,” balas Arhan berbohong. “Jangan bilang samplenya hilang lagi, aku nggak mau lakukan tes itu lagi kalau samplenya hilang. Lebih baik pindah rumah sakit aja,” protes Lula tak suka. Bukan tanpa alasan Lula mengatakan semua itu. Mereka sudah melakukan tes sebanyak tiga kali. Namun ketiga hasil tes itu menunjukkan hasil yang sama, sehingga Arhan terus saja berbohong pada sang istri. “Hmm, terserah kamu aja,” balas Arhan tak ingin memperpanjang pembahasan. "Malam ini aku pergi ke Bali," ucap Arhan memberitahu. “Aku boleh ikut nggak?” tanya Lula penuh pengharapan. “Nggak bisa, jadwalnya padat sekali, aku takut kamu kesepian di sana. Kan kamu bilang mau pulang kampung,” balas Max sambil mengusap lembut kepala istrinya. Lula menghela napas lemas. “Iya, aku ingin melihat anak kakak. Yaudah, tapi janji ya, kalau sudah selesai langsung pulang.” Arhan mengangguk. “Hmm… aku akan langsung pulang begitu selesai. Tapi kali ini memakan banyak waktu, mungkin bisa sebulan atau lebih. Nggakpapa kan?” tanya Arhan memastikan. Lula mengangguk. “Nggakpapa, yang penting kamu jangan selingkuh. Jaga matanya ya.” tunjuk Lula pada mata sang suami hingga pria itu tersenyum tipis. “Tapi selama kamu pergi aku di kampung aja boleh kan? Aku kangen banget sama Ibu,” sambung Lula meminta izin. “Boleh, tapi jangan lama-lama. Kasian Mami sendirian di rumah,” balas Arhan tanpa menatap wajah istrinya. Lula terdiam sejenak, ia mengingat makian ibu mertua yang sempat menyakiti hati. Namun lidah itu nampak keluh untuk mengadukannya pada Arhan. Lebih tepatnya Lula takut Arhan tidak akan mempercayai ucapannya. ‘Semoga saja Mami cuma lagi kesal biasa, lagi pula mana ada anak yang terima ibunya dijelekkan, aku tidak ingin memperburuk hubunganku dengan mereka,’ batin Lula berusaha menutupi kegundahannya. “Kok diam aja?” tanya Arhan. “Nggakpapa, aku cuma lelah aja,” balas Lula sambil tersenyum. Beruntung Arhan tidak melanjutkan pembicaraan, hingga Lula bisa beristirahat karena kelelahaan setelah melakukan penyatuan tadi. * * * “Kamu pergi malam ini?” tanya Edna begitu Arhan berpamitan pada ibunya. “Iya Mi, aku titip Lula ya,” balas Arhan sambil tersenyum. “Hmm,” balas Edna hanya berdeham sambil melirik sinis pada sang menantu. Arhan tak menyadari lirikan sinis itu, namun tidak dengan Lula yang kini tengah meremas ujung dressnya sambil tersenyum getir. Hati dan pikirannya kembali merasa gelisah, ia bertanya-tanya dalam hati. Apa yang ia lakukan hingga bisa membuat sang mertua merubah sikapnya? Arhan mengecup punggung tangan juga kening Ibu yang sangat ia cintai. Lalu memeluk Lula dan mengecup kening sang istri di hadapan Edna-ibunya. Edna tak menyukainya, ia berpikir jika Arhan adalah pria bodoh yang masih mau bersikap baik pada wanita yang tak akan pernah bisa memberikan keturunan untuknya. “Aku pergi ya.” Arhan melambaikan tangan ketika ia sudah berada di dalam mobil. “Hati-hati di jalan." Lula membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum, berusaha ceria untuk mengantar kepergian sang suami. Namun keceriaannya tak berlangsung lama karena Edna langsung meraih tangan Lula dengan kasar dan menariknya masuk ke dalam rumah. “Ada apa, Mi?” tanya Lula begitu mereka telah berasa di dalam rumah. “Ganti pakaianmu, ikut Mami temui teman Mami,” balas Edna sedikit angkuh. Lula tak bisa menolak, ia mengangguk dan langsung berjalan ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Wanita itu juga merias wajahnya agar tak membuat sang Ibu mertua malu di hadapan teman-temannya. Tak hanya sekali dua kali Edna membawa Lula bertemu dengan teman-temannya, hingga Lula tak menaruh sedikitpun kecurigaan pada Edna. “Aku sudah siap Mi,” ucap Lula ketika ia sudah berada di hadapan Edan yang telah rapi dengan penampilannya. “Cantik juga, ayo ikut.” Edna langsung menarik tangan Lula dengan kasar. Nampak berbeda dengan sikap lembut yang biasa ia tunjukkan pada Lula sebelumnya. Lula mengerenyit heran, ia terus menatap Edna yang masih menunjukkan wajah tak bersahabatnya. “Kita mau ketemuan sama teman-teman Mami di mana?” tanya Lula berbasa-basi untuk mencairkan suasana hening dan canggung. “Nanti juga kamu tau,” balas Edna tanpa menoleh dan masih asik mematut ponselnya. Sepanjang perjalanan Lula terdiam, ia benar-benar merasa canggung dengan sikap dingin Ibu mertuanya. Lula pun melakukan hal yang sama, ia berseluncur di media sosial untuk membunuh kebosanannya. Tak berselang lama mobil mereka tiba di hotel berbintang. Tanpa membuang waktu Edna langsung membawa Lula masuk ke dalam hotel tersebut. Lula merasa bingung ketika Edna tak membawanya ke restoran, tempat biasa para teman-teman sang Ibu mertua berkumpul. “Mi, kita mau ke mana? Bukankah biasanya teman-teman Mami kumpulnya di restoran,” tanya Lula penasaran. “Jangan banyak tanya deh, ikut aja kenapa sih. Nanti kamu juga tau,” balas Edna berusaha bersikap biasa agar tak membuat menantunya curiga, lalu merangkul lengan Lula dan menambah kecepatan langkahnya. Lula tersenyum saat menerima perlakuan Edna di lengannya. Namun senyum itu sirna ketika keduanya berhenti tepat di depan kamar nomor 3421. Lula terdiam, lalu menoleh untuk melihat wajah sang Ibu mertua yang kini tengah tersenyum sambil menatap pintu kamar di depannya. “Di sini kumpulnya, Mi?” tanya Lula memastikan. “Iya, kamu harus ramah, senyum yang manis kalau teman Mami buka pintu,” pinta Edna sebelum menekan bel kamar. Lula melakukan apa yang diperintahkan oleh mertuanya. Ia tersenyum dengan tulus, seperti biasanya. Namun kali ini ada yang berbeda dengan senyuman misterius sang Ibu. Senyuman itu nampak sinis juga penuh kesombongan, tapi sayangnya Lula tak menyadari itu semua. Tak berselang lama pintu terbuka dan keluarlah pria paruh baya, nampak seperti usia empat puluh lima tahun, jauh lebih tua dari Lula. Lula menatap pria itu dengan bingung serta menghapus senyum seraya menoleh ke arah Ibu mertuanya. 'Kenapa temannya pria? Biasanya teman-temannya wanita?' batin Lula tak berani menyuarakan isi hatinya karena Edna tengah asik bertegur sapa dengan pria itu. "Bersenang-senanglah, tak perlu memakai pengaman karena dia tak akan bisa hamil. Nomor rekeningku masih yang lama," bisik Edna pada pria di hadapannya.Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan
"Tempat apa ini?" tanya Lula seraya memperhatikan sekitar. Rumah yang ia tapaki terlihat begitu mewah. Barang-barang yang ada di dalamnya pun nampak memukau matanya. Namun sayangnya kemewahan itu tak membuat Lula senang. Ia bergidik ngeri saat beberapa pasang pria dan wanita melintasinya sambil bercium*n. "Aku rasa kau bukan wanita bodoh, seharusnya kau tahu ini tempat apa," balas Lucia sinis. Lula menelan air liurnya sendiri. Ia pun kini telah masuk ke dalam kamar yang terlihat begitu rapi, bersih dan elagan. Sprei putih juga dekorasi serba putih telihat begitu menenangkan layaknya desain hotel mewah. Lucia mengambil pakaian dari dalam lemari dan melemparnya pada Lula. "Pakai itu, setelahnya aku akan merias wajahmu. Sepuluh menit lagi aku akan kembali," perintah Lucia lalu kekluar dari kamar Lula. Lula terperangah dengan gaun merah yang terlihat sangat minim. Gaun dengan lengan spageti, juga potongan rendah di bagian bawah membuat Lula enggan untuk memakainya. "Tidak, aku tidak
Edna menarik paksa Lula hingga wanita itu memasuki mobilnya. Lula merasa panik, ia berusaha melarikan diri namun sikap Edna kembali mengecohnya. Wanita paruh baya itu bersikap lembut, tersenyum seperti biasa hingga Lula teringat tentang kebaikan mertuanya. "Tenanglah, apa yang kau takutkan, hem? Aku hanya ingin mengantarmu, apakah ada yang salah? Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," ucap Edna dengan nada setenang mungkin. Lula mengerenyit heran, ia memperhatikan wajah Edna dengan seksama. "T-tapi, Mi. Mami serius mau ikut ke kampung juga?" tanya Lula memastikan. Namun sedetik kemudian kening Lula mengerenyit heran, merasa curiga pada niat Edna yang sebenarnya. 'Rasanya aku tidak percaya Mami mau ke kampung. Tidak mungkin juga Mami tidak membawa pakaian ganti, atau jangan-jangan....' batin Lula kembali cemas, namun sialnya sudah terlambat karena Edna telah menjalankan mobilnya. Wanita berambut panjang itu meremas tas sambil memperhatikan jalan. Ia menoleh dan memperhatikan wajah E
Lula menatap punggung Edna yang kian menjauh. Kemudian wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangan, tubuhnya luruh ke lantai dengan kaki berlipat. Ia menunduk, menangis, meraung dan memukuli perutnya dengan frustasi. “M-mas… Benarkah aku mandul? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?” lirihnya terasa perih di hati. Lula mengatur napas yang tersengal, ia menegapkan tubuh dan hendak menelepon Arhan untuk memastikan semuanya. Namun pergerakan itu terhenti kala mengingat sikap acuh Arhan padanya kemarin. Lula kembali tertawa dan menangis seperti orang gila. “Pantas kemarin sikap kalian berdua berubah, tapi apa harus sekeji ini menjualku ke orang lain?” ucapnya. “M-mas… apa kamu tahu apa yang dilakukan Mami padaku? Apa kamu juga menginginkan itu Mas?” Lula terus melontarkan pertanyaan yang sudah pasti tak akan mendapat balasan. Lula menegapkan tubuh, ia menggelengkan kepala kala mengingat sikap hangat Arhan sebelum berangkat ke Bali. Bahkan ketulusan itu masih bisa ia lihat dan rasakan sa
“Lama sekali, cepatlah. Seperti tidak pernah melakukan itu saja. Tidak usah manja,” ucap Edna sinis pada menantunya. Lula mengangguk tanpa ekspresi. Ia berusaha menerka apa yang membuat Ibu mertua tega melakukan hal keji ini padanya. Dalam diam Lula mengikuti langkah Edna dari belakang dan masuk ke dalam mobil. Tubuhnya terlihat kaku dan takut karena Edna tak juga menunjukkan sikap lembutnya. “M-mi, kalau aku ada salah aku minta maaf,” lirihnya berusaha membuka pembicaraan. “Hmm." Edna masih acuh dan hanya berdeham untuk membalas ucapan Lula. Lula menelan kepahitan hidup, tanpa sadar air matanya menetes dan berusaha membuang pandangannya ke luar jendela. Mati-matian Lula menahan sesak di hati meski terasa sangat sulit. Perjalanan kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang membuka suaranya. Begitu sampai Edna langsung masuk ke kamar dan mengisitirahatkan diri dengan nyaman. Namun tidak dengan Lula yang kini sedang meringkuk di samping kasur sambil menangis. Ia membiarka
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar t
Lagi-lagi Lula mengerenyitkan kening dengan bingung, ia sudah menajamkan pendengarannya. Namun bisikan itu hanya terdengar samar, sangat samar sampai Lula sendiri tak bisa mencernanya. Dalam hitungan detik pria itu dengan lancang merangkul pundak Lula dan mengajaknya dengan paksa. "Ayo kita masuk Baby...." ajak pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lula. "A-apa yang kau lakukan?! Lepas! Lepaskan aku!" Lula melakukan pemberontakan, namun sayangnya tenaga yang ia keluarkan tak sebanding dengan tenaga pria itu. Kepanikan mulai melanda hati, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lula berteriak bahkan sampai pintu itu hendak ditutup. Lula berusaha meraih pintu dan mencengkeramnya dengan erat untuk mempertahankan diri agar tak masuk lebih dalam lagi ke dalam kamar tersebut. Ia pun berteriak meminta pertolongan Edna, namun sayangnya semua itu sia-sia. "Mi!... Mami!" teriak Lula panik saat Edna hanya tersenyum sambil bersedekap dad
“Kenapa liatin saya kayak gitu? Heran kenapa saya bersikap seperti ini? Sia-sia saya menikahkanmu dengan Arhan, benar-benar menantu pembawa sial!” maki Edna lagi lalu pergi meninggalkan Lula yang kini tengah mematung. Lula benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Kakinya nampak tak bertenaga hingga ia langsung terduduk di bangku yang ada di dekatnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap punggung Ibu mertua yang kian menjauh. “M-mami kenapa ngomongnya gitu? Aku salah apa?” lirihnya tak bertenaga. Tangan Lula masih bergetar, namun ia memaksakan diri untuk menormalkan kembali kondisinya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan beribu tanya di kepala. Tatapannya nampak kosong bahkan sampai masuk ke dalam kamar. Lula melihat Arhan di balkon kamar. Pria bertubuh tegap itu tengah asik menghisap rokoknya sambil menatap langit. “Ini kopinya.” Lula meletakkan kopi di meja bundar kecil yang ada di samping suaminya. Tatapan mata wanita itu masih saja hampa hingga membuat Arha
“Mandul?” tanya Arhan Bahtiar Rajastra pada dokter kandungan yang ada di hadapannya. Arhan Bahtiar Rajastra, pria kaya raya berusia 32 tahun. Pria tampan pemilik hidung mancung itu saat ini sedang mengambil hasil pemeriksaan kesuburan dirinya dan sang istri. Namun ia dikejutkan oleh hasil yang diberikan dokter. Pria pemilik perusahaan Datvil property itu membolakan mata dengan tangan bergetar saat memegang kertas hasil pemeriksaan. “Tidak, tidak mungkin. Ini pasti salah,” racaunya tak percaya. “Hasil pengujian ini sudah akurat, Tuan. Jika Anda masih ragu bisa lakukan pemeriksaan ulang. Tapi seperti yang Anda tahu, ini sudah yang ke tiga kalinya Anda memeriksakan kesuburan Anda dan istri,” balas Dokter di hadapannya. Arhan meremas kertas tersebut dengan rahang mengeras dan keluar dari ruangan dokter. Langkah pria itu terkesan angkuh saat meninggalkan rumah sakit sambil memegang kertas yang sangat ia benci. Arhan berkendara dengan menggila, mobil yang ia kemudikan membelah jalan