Di balik bayang-bayang dunia yang terlihat damai, ada jaringan gelap yang mengendalikan nasib umat manusia: 'The Council', sekumpulan elit dunia yang menguasai politik, ekonomi, dan teknologi dengan tujuan menciptakan tatanan global baru. Namun, seorang pria bernama Alan, mantan agen dengan masa lalu kelam, muncul sebagai ancaman terbesar mereka. Dengan keahlian yang tak tertandingi dan tekad yang tak tergoyahkan, Alan memimpin tim yang terdiri dari individu-individu dengan kemampuan luar biasa namun penuh luka batin: Dewi Ambarwati, petarung yang tangguh namun rapuh di dalam, dan Thomas Silverlake, seorang sniper jenius yang menguasai medan dari jauh. Bersama-sama, mereka merancang misi-misi berbahaya untuk melumpuhkan jaringan The Council, mencuri sumber daya mereka, dan menghancurkan sistem dari dalam. Namun perjuangan mereka tidak mudah. Pengkhianatan, dilema moral, dan pengorbanan terus menghantui langkah mereka. Ketika rahasia mengejutkan tentang masa lalu Alan dan The Council terungkap, mereka dihadapkan pada pertarungan terakhir yang akan menentukan masa depan dunia. Apakah mereka mampu menghentikan The Council, atau malah menjadi bidak dalam permainan yang lebih besar? "Shadow Rebellion" adalah kisah penuh aksi, intrik, dan pengorbanan yang akan membawa pembaca menyusuri sisi gelap kekuasaan dan perjuangan untuk kebebasan.
View MoreAlan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka
Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri
Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y
Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m
Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin
Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b
Pertempuran itu semakin sengit. Dentuman senjata bergema tanpa henti, bercampur dengan suara serangan tajam dari Crimson Scythe Dewi yang memotong udara. Musuh terus berdatangan seperti ombak tanpa akhir, dan setiap serangan mereka terasa semakin mendesak. Seseorang melompat dari sudut gelap ruangan, mencoba menusuk salah satu anggota tim, tetapi gerakan itu dihentikan oleh tembakan presisi Phantom Rifle. Peluru Thomas menembus helm musuh, membuatnya terjatuh dengan bunyi yang menghentak. Thomas mengatur napas, peluh bercucuran di dahinya, tetapi matanya tetap terfokus. “Kita harus keluar dari sini, atau mereka akan terus berdatangan,” katanya dengan nada tegas. Dewi hanya memberikan anggukan singkat. Tangannya terangkat, dan dalam satu ayunan Crimson Scythe, dia menghancurkan salah satu dinding yang menghalangi jalan keluar. "Lewat sini!" serunya, tetapi sebelum tim bisa bergerak, sebuah tim musuh lain menyerbu masuk, dipimpin oleh seseorang dengan lambang The Council yang tampak
Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i
Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat
Malam itu, Neon City tampak seperti kota yang melupakan napasnya sendiri. Langit penuh kabut neon, namun keheningan yang menggelayut terasa tidak wajar. Di salah satu gedung pencakar langit, sebuah pertemuan rahasia berlangsung, jauh dari jangkauan dunia. Tapi di balik bayangan gelap gedung itu, tiga sosok bersiap mengubah takdir kota. Alan berdiri di depan jendela besar, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Dia tidak pernah memalingkan pandangan meski malam di luar begitu gelap. Detik-detik terakhir sebelum mereka bergerak terasa seperti bom waktu. Namun wajahnya tetap tak terganggu. Baginya, malam ini bukan sekadar misi—ini adalah awal dari revolusi. "Dewi, semuanya sudah siap?" tanya Alan, suaranya rendah tapi penuh kendali. Dewi memutar-mutar pisau kecil di tangannya, kebiasaan yang hanya muncul saat kecemasannya tak bisa disembunyikan. Tapi dia, seperti biasa, tetap memberi kesan tak kenal takut. "Siap. Pintu belakang sudah bersih. Jalur masuk juga sudah ak...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments