Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar.
"Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan. "John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target." "Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat. Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan ini cepat. Kalau terlalu lama, mereka akan mulai curiga." Langkah mereka teratur saat menyusuri lorong bawah tanah yang dingin. Bau logam bercampur dengan udara lembap, menciptakan suasana yang menyesakkan. Thomas mengarahkan mereka melalui kamera pengintai yang telah ia retas sebelumnya, sementara Alan menjaga ketat setiap sudut, memastikan tak ada ancaman yang terlewat. Mereka hampir mencapai ruang kontrol utama ketika suara alarm tiba-tiba terdengar. Thomas bersumpah pelan di saluran komunikasi. "Seseorang baru saja mematikan akses kamera. Kita punya waktu paling lama tiga menit sebelum mereka datang ke arahmu." Dewi tertawa kecil, meskipun situasinya mencekam. "Tiga menit cukup untukku menyelesaikan separuh pasukan mereka." Alan meliriknya sekilas. "Kita tidak di sini untuk bermain, Dewi. Fokus pada misi." Dewi mengangkat bahu, lalu berbisik lirih, melantunkan empat bait lagu pendek yang sama berulang kali—kebiasaannya saat menghadapi tekanan. Alan tahu, itu caranya menenangkan diri, sesuatu yang meski aneh, selalu berhasil menjaga fokusnya. Ketika mereka tiba di pintu ruang kontrol, Alan segera mengeluarkan perangkat kecil yang terlihat seperti pistol dengan kabel. Dengan cekatan, dia menyambungkannya ke panel. Dalam hitungan detik, pintu baja tebal itu terbuka. Di dalam, tiga teknisi yang sibuk di depan layar komputer menoleh terkejut. Tapi sebelum mereka sempat bereaksi, Dewi sudah bergerak. Dengan kecepatan luar biasa, dia melumpuhkan mereka tanpa suara. "Sudah kubilang, tiga menit cukup," ujarnya dengan senyum puas. Alan tidak menanggapi. Dia segera duduk di depan salah satu terminal, menghubungkan tabletnya ke sistem. Jari-jarinya menari cepat di atas layar, mencoba mengakses data tentang Helios Protocol. Thomas, yang terus memantau dari luar, memberikan peringatan. "Mereka sudah mendekat. Sepuluh orang, bersenjata berat. Aku bisa menahan beberapa dari jarak jauh, tapi kalian harus cepat." "Dewi, pastikan mereka tidak masuk ke sini. Aku butuh lima menit lagi," ujar Alan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Dewi berdiri di depan pintu, menarik napas dalam sambil menggenggam erat Crimson Scythe. "Kalau begitu, ayo kita lihat seberapa kuat mereka." Pertarungan sengit pecah di lorong sempit. Dewi menggunakan kelincahannya untuk menghindari tembakan dan menyerang balik dengan presisi mematikan. Crimson Scythe-nya bergerak cepat, memotong udara dan melumpuhkan musuh dengan efisiensi brutal. Thomas, dari jarak jauh, memberikan dukungan dengan tembakan presisi. Setiap kali salah satu musuh mencoba mengepung Dewi, sebuah peluru dari Falcon Rifle membuat mereka jatuh seketika. "Aku butuh waktu lebih lama!" suara Alan terdengar melalui headset, disertai suara ketikan cepat. "Sistem ini lebih rumit dari yang kuduga." "Kita tak punya waktu," balas Thomas. "Pasukan tambahan sudah hampir tiba." Dewi menggigit bibirnya, kembali menyenandungkan lagu empat baitnya untuk menjaga fokus. Meski dikepung, gerakannya tetap lincah, menari di antara musuh. Alan akhirnya menyelesaikan pekerjaannya, menarik kabel dari terminal dengan cepat. "Data sudah kita dapatkan. Kita keluar sekarang." Dewi mundur ke dalam ruangan, napasnya sedikit tersengal. "Mereka lebih keras kepala dari yang kukira. Tapi aku masih berdiri." Alan tidak membuang waktu. Dia memimpin mereka keluar melalui jalur pelarian yang sudah direncanakan sebelumnya. Thomas terus memberikan perlindungan, meskipun salah satu musuh berhasil menembakkan peluru yang mengenai bahunya. "Thomas, kau baik-baik saja?" tanya Alan saat mereka mencapai pintu keluar. "Aku tidak akan mati karena ini," jawab Thomas, meskipun suaranya sedikit melemah. Mereka berhasil mencapai titik aman di luar fasilitas, tempat kendaraan mereka sudah menunggu. Namun, ketika mereka masuk dan mulai menjauh, Alan menyadari satu hal: pertarungan ini baru permulaan. Dia menatap tablet di tangannya, di mana peta dan data tentang Helios Protocol yang baru saja mereka curi terpampang jelas. Ada rahasia besar di dalamnya, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Alan menyimpan tablet itu dengan ekspresi keras. "Kita harus bersiap. The Council tidak akan tinggal diam. Dan ini baru permulaan."Alan menyalakan proyektor kecil dari tablet di tangannya. Cahaya biru redup memancar ke udara di dalam kendaraan, memunculkan peta holografis kompleks yang penuh dengan data. Jalur-jalur merah menunjukkan jaringan rahasia The Council, sementara titik-titik kuning menandai fasilitas yang perlu dihancurkan."Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menutup akses ini," kata Alan dengan nada tegas, menunjuk salah satu titik kuning yang berkedip. "Fasilitas di Turkmenistan adalah pusat komunikasi utama. Jika kita bisa melumpuhkan server mereka di sana, semua komunikasi global mereka akan terganggu."Dewi, yang sedang membersihkan bilah Crimson Scythe-nya, bersiul pelan. "Turkmenistan? Tempat itu terkenal dengan gurun panas dan pengawasan ketat. Bagaimana kita bisa masuk tanpa dibakar hidup-hidup?"Thomas, yang sedang membalut luka di bahunya, mendongak. "Aku bisa memetakan jalur aman melalui radar mereka. Tapi kita butuh lebih dari sekadar peta. Kita butuh pengalih perhatian."Alan mengang
Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal. Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi. "Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini." Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah." Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat." Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot. "Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir." "Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam era
Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan. “Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di
Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter
Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan
Setelah pagi berlalu dengan diskusi strategi dan perencanaan, tim mulai bersiap menghadapi perjalanan mereka berikutnya. Suasana kabin yang sempat hangat kini mulai memudar seiring persiapan dimulai, masing-masing sibuk dengan tugasnya.Thomas, yang selalu tenggelam dalam pekerjaannya, memeriksa prototipe senjata baru miliknya di meja kayu dekat perapian. Cahaya redup dari api membuat detail alat-alatnya terlihat lebih menyeramkan, dan dia tampak sibuk menyolder komponen kecil. "Phantom Rifle sudah siap," gumamnya pada dirinya sendiri. "Tapi yang ini… masih terlalu rentan."Dewi mendekat, menyilangkan tangan sambil menatap senjata itu. "Apa itu akan bertahan jika kita dikejar lagi seperti di Hong Kong?"Thomas mendongak, menghela napas pendek. "Belum tentu. Tapi aku rasa ini cukup untuk memberikan kejutan jika kita menemukan mereka lebih dulu."Dewi tersenyum tipis, meraih Crimson Scythe miliknya yang bersandar di dinding. "Kalau senjatamu gagal, aku yang akan memastikan kita keluar h
Gudang tua itu berubah menjadi arena penuh ketegangan. Alan berdiri dengan nafas teratur, sementara Reven melepaskan sisa alat plasma yang rusak di lengannya. Tatapan penuh kebencian dan senyum miring di wajah Reven menunjukkan bahwa ini hanyalah pemanasan. “Selalu cerdas dengan trik kecilmu, Alan,” ujar Reven sambil merogoh sesuatu dari ikat pinggangnya. Sebuah bilah energik pendek, lebih ringan, muncul di tangannya. Warnanya biru kehitaman, seperti malam yang tak berujung. “Kalau ini hanya pemanasan, aku tak sabar melihat apa yang kau punya sebenarnya,” balas Alan dingin. Dengan sigap, ia memutar tubuhnya, pistolnya menembakkan peluru khusus yang meluncur seperti kilat, memantul di berbagai sudut ruangan. Reven hanya tertawa, tubuhnya bergerak dengan kecepatan yang tak wajar, menghindari semua peluru yang terpental. “Trik lama ini? Kau pikir aku belum mempelajarinya, Alan?” Reven menyeringai, melompat ke arah Alan dengan serangan berputar. Alan menghindar ke samping, nyari
Gudang itu kembali hening setelah Reven tak sadarkan diri. Alan dan Rey berdiri di tengah ruangan yang berantakan, dengan debu masih mengambang di udara. Suara langkah mereka bergema saat mereka mendekati tubuh Reven yang tergeletak. Alan mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, memindai Reven untuk memastikan tidak ada jebakan lain. “Tidak ada sinyal pemicu aktif,” kata Alan setelah beberapa detik. “Dia bersih... untuk saat ini.”Rey memutar pisau kecilnya, menyimpannya kembali ke dalam sarung di pinggangnya. “Dia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Kau tahu itu, kan?”Alan mengangguk sambil menatap Reven dengan ekspresi serius. “Aku tahu. Itu sebabnya aku tidak akan membiarkannya bebas lagi. Kita bawa dia ke markas. Mungkin dia bisa memberi kita informasi tentang siapa yang mengendalikan semua ini.”Rey menghela napas panjang, matanya masih waspada memindai ruangan. “Kau yakin tempat ini aman? Ledakan tadi pasti sudah menarik perhatian seseorang.”Alan berjalan ke arah je
Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka
Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri
Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y
Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m
Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin
Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b
Pertempuran itu semakin sengit. Dentuman senjata bergema tanpa henti, bercampur dengan suara serangan tajam dari Crimson Scythe Dewi yang memotong udara. Musuh terus berdatangan seperti ombak tanpa akhir, dan setiap serangan mereka terasa semakin mendesak. Seseorang melompat dari sudut gelap ruangan, mencoba menusuk salah satu anggota tim, tetapi gerakan itu dihentikan oleh tembakan presisi Phantom Rifle. Peluru Thomas menembus helm musuh, membuatnya terjatuh dengan bunyi yang menghentak. Thomas mengatur napas, peluh bercucuran di dahinya, tetapi matanya tetap terfokus. “Kita harus keluar dari sini, atau mereka akan terus berdatangan,” katanya dengan nada tegas. Dewi hanya memberikan anggukan singkat. Tangannya terangkat, dan dalam satu ayunan Crimson Scythe, dia menghancurkan salah satu dinding yang menghalangi jalan keluar. "Lewat sini!" serunya, tetapi sebelum tim bisa bergerak, sebuah tim musuh lain menyerbu masuk, dipimpin oleh seseorang dengan lambang The Council yang tampak
Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i
Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat