Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan. “Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di luar sana.” Thomas mendengus dari belakang. “Aku tahu ini tidak akan semudah yang kalian pikirkan. The Council selalu punya cadangan. Mereka tidak akan menyerah begitu saja.” Alan mengangguk, tetapi ada kerutan di dahinya yang menunjukkan kecemasan. "Aku tahu. Mereka hanya mengganti satu markas, tapi aku merasa ada yang lebih besar di balik semua ini. Kita baru memecahkan sebagian kecil dari teka-teki ini." Dewi menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sepertinya kita selalu mengalahkan satu, dan mereka muncul dengan dua. Aku benci perasaan ini.” Perasaan yang sama juga melanda Alan. Setelah semua upaya yang mereka lakukan, setelah begitu banyak nyawa yang hilang, mereka merasa seperti hanya berputar-putar di tempat. Seperti mereka hanyalah pion dalam permainan besar yang belum mereka pahami sepenuhnya. Tiba-tiba, pesawat itu terguncang. Guncangan keras menyentak mereka, membuat Alan seketika terbangun dari pikirannya. Dewi langsung meraih gagang senjatanya, Crimson Scythe, dan Thomas sudah siap dengan senapan Phantom Rifle-nya. “Penerbangan stabil kembali. Tadi hanya turbulensi,” kata Alan, memeriksa instrumen di pesawat. Namun, meskipun turbulensi itu sudah lewat, suasana tegang tetap melingkupi kabin. “Ini tidak biasa,” kata Dewi, masih waspada. “Turbulensi itu... ada yang merancangnya.” Alan memandang Dewi, kemudian kembali ke peta. “Kita hampir sampai. Kota kecil di Eropa Timur. Kita akan memeriksanya.” Mereka terbang ke daerah yang tidak jauh dari perbatasan. Kota kecil itu tampak damai di luar jendela pesawat, tetapi Alan merasa ada sesuatu yang mengganggu. Mereka mendarat di lapangan terbuka di luar kota, jauh dari mata-mata yang mungkin ada. Hanya ada suara angin yang menggema di malam yang sepi, tapi ketenangan itu terasa mencurigakan. “Dewi, pastikan tidak ada yang mengintai. Thomas, periksa peralatan,” perintah Alan. Dewi mengangguk dan turun pertama kali, memeriksa sekitar dengan sigap. Thomas mengikuti di belakang, memeriksa setiap komponen peralatan mereka. Alan turun terakhir, matanya menyapu seluruh area. Segala sesuatu tampak tenang, tetapi ada perasaan yang menggelitik di dalam dirinya—perasaan bahwa mereka sedang dipantau. Mereka bergerak cepat, menyusuri jalan kecil yang mengarah ke pusat kota. Semuanya terlalu sunyi, seperti ada yang menjaga jarak dari mereka. “Ada yang tidak beres di sini,” kata Dewi, berbisik. Alan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Mereka terus berjalan, berhati-hati mengamati setiap langkah. Tidak ada orang yang terlihat di jalan-jalan yang mereka lalui, dan lampu jalan hanya berkedip lemah, memberi kesan bahwa kota ini seperti kota mati. Begitu mereka memasuki area yang lebih padat, mereka menemukan beberapa penduduk yang tampak gelisah. Mata mereka kosong, seakan-akan tidak ada kehidupan di balik tatapan mereka. “Di sini, cepat,” bisik Alan, menarik mereka menuju bangunan besar yang tampak usang di ujung jalan. Bangunan itu dilapisi lumut dan terlihat tak terawat, tetapi ada sesuatu di dalam yang menarik perhatian Alan. Mereka menyelinap masuk ke dalam bangunan melalui pintu belakang yang terbuka sedikit. Begitu mereka masuk, mereka disambut dengan udara dingin dan bau busuk. Di dalam, ruangannya luas dan kosong, hanya ada rak-rak tua dan alat-alat yang tampak seperti sisa-sisa eksperimen. “Lihat ini,” kata Thomas, menunjukkan meja logam besar di sudut ruangan. Di atasnya, tergeletak beberapa tabung berisi cairan kehijauan yang berpendar. Alan mendekat, matanya menyipit. Apa yang mereka lihat bukan hanya sampel biasa—ini adalah bahan yang digunakan dalam eksperimen berbahaya. “Apa ini?” Dewi bertanya, mencermati cairan itu. “Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kita harus keluar dari sini,” kata Alan, tetapi tiba-tiba suara keras dari luar menghentikan langkah mereka. Pintu utama bangunan itu terbuka, dan beberapa sosok muncul. Mereka mengenakan pelindung tubuh dan memegang senjata canggih. “Dewi, Thomas, siap!” teriak Alan. Perkelahian pun dimulai. Thomas, dengan senapan Phantom Rifle-nya, mulai menembak para penjaga satu per satu, sementara Dewi dengan sigap memutar Crimson Scythe-nya, menghindari serangan dan menghancurkan musuh yang mencoba mendekat. Alan bergerak cepat, dengan hati-hati memilih titik yang tepat untuk menembak. “Tidak ada waktu untuk bertarung habis-habisan,” teriak Dewi saat dia menghabisi salah satu penjaga dengan gerakan cepat. “Kita harus keluar sekarang!” Mereka mundur, terus bergerak menuju pintu belakang. Alan mengumpulkan semua data yang bisa mereka ambil, memastikan setiap informasi yang mereka dapatkan tidak hilang begitu saja. Dengan bantuan peralatan mereka, mereka berhasil meloloskan diri dari tempat itu. Sesampainya di pesawat, Alan menatap peta lagi. Mereka tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya—mereka harus menghancurkan lebih banyak dari yang telah mereka temukan, dan memastikan The Council tidak bisa melanjutkan eksperimen mereka. Namun, meskipun mereka berhasil melarikan diri, perasaan gelisah itu tidak hilang. Mereka baru saja menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar, dan mereka tahu, perjalanan ini masih panjang.Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter
Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan
Malam itu, Neon City tampak seperti kota yang melupakan napasnya sendiri. Langit penuh kabut neon, namun keheningan yang menggelayut terasa tidak wajar. Di salah satu gedung pencakar langit, sebuah pertemuan rahasia berlangsung, jauh dari jangkauan dunia. Tapi di balik bayangan gelap gedung itu, tiga sosok bersiap mengubah takdir kota. Alan berdiri di depan jendela besar, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Dia tidak pernah memalingkan pandangan meski malam di luar begitu gelap. Detik-detik terakhir sebelum mereka bergerak terasa seperti bom waktu. Namun wajahnya tetap tak terganggu. Baginya, malam ini bukan sekadar misi—ini adalah awal dari revolusi. "Dewi, semuanya sudah siap?" tanya Alan, suaranya rendah tapi penuh kendali. Dewi memutar-mutar pisau kecil di tangannya, kebiasaan yang hanya muncul saat kecemasannya tak bisa disembunyikan. Tapi dia, seperti biasa, tetap memberi kesan tak kenal takut. "Siap. Pintu belakang sudah bersih. Jalur masuk juga sudah ak
Mobil hitam mereka meluncur melalui jalan-jalan gelap Neon City, lampu-lampu neon memantul di jendela yang basah oleh gerimis. Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Alan, Dewi, dan Thomas baru saja berhasil keluar dari markas The Council dengan membawa data penting. Namun, perasaan aman jauh dari kata hadir. Ada sesuatu yang menggelitik di benak Alan, sebuah firasat buruk yang sulit ia abaikan. Alan melirik ke arah Dewi yang duduk di sampingnya. Jaket hitamnya kini kotor dan sedikit robek, mencerminkan pertempuran sebelumnya. Tangannya dengan santai menyentuh perban di pergelangan tangannya, meski wajahnya tetap menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. “Kenapa kita nggak langsung menghancurkan mereka, Alan?” tanya Dewi dengan nada frustrasi. “Kenapa harus memutar-mutar seperti ini? Kita sudah tahu siapa musuhnya.” Alan menghela napas panjang, matanya tetap fokus ke jalan di depan. “Karena mereka menguasai permainan ini, Dewi. Kalau kita bertindak gegabah, kita hanya akan me
Cahaya pagi menyelinap ke celah-celah kecil di ruang bawah tanah markas tersembunyi mereka. Setelah ledakan yang mengguncang apartemen sebelumnya, Alan, Dewi, dan Thomas kini berlindung di tempat yang lebih aman. Namun, suasana tegang tidak memudar. Mereka duduk di depan layar besar yang penuh dengan peta digital, data rahasia, dan analisis tentang pergerakan The Council. Setiap keputusan yang mereka buat sekarang tidak hanya menentukan hidup mereka, tetapi juga nasib dunia yang coba mereka selamatkan. Alan, yang memimpin tim, tampak serius, duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan. Di seberangnya, Dewi terus memeriksa senjatanya, Crimson Scythe, dengan gerakan gelisah. Thomas berdiri di dekat meja kontrol, matanya menatap layar penuh titik-titik merah—menandakan lokasi pasukan musuh. “Ini bukan lagi operasi kecil,” kata Thomas, memecah keheningan. “Blackwood tahu kita bergerak. Dan jika data yang kita dapat kemarin benar, mereka sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dari y
Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar. "Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan."John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target.""Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat. Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan i
Alan menyalakan proyektor kecil dari tablet di tangannya. Cahaya biru redup memancar ke udara di dalam kendaraan, memunculkan peta holografis kompleks yang penuh dengan data. Jalur-jalur merah menunjukkan jaringan rahasia The Council, sementara titik-titik kuning menandai fasilitas yang perlu dihancurkan."Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menutup akses ini," kata Alan dengan nada tegas, menunjuk salah satu titik kuning yang berkedip. "Fasilitas di Turkmenistan adalah pusat komunikasi utama. Jika kita bisa melumpuhkan server mereka di sana, semua komunikasi global mereka akan terganggu."Dewi, yang sedang membersihkan bilah Crimson Scythe-nya, bersiul pelan. "Turkmenistan? Tempat itu terkenal dengan gurun panas dan pengawasan ketat. Bagaimana kita bisa masuk tanpa dibakar hidup-hidup?"Thomas, yang sedang membalut luka di bahunya, mendongak. "Aku bisa memetakan jalur aman melalui radar mereka. Tapi kita butuh lebih dari sekadar peta. Kita butuh pengalih perhatian."Alan mengang
Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal. Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi. "Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini." Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah." Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat." Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot. "Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir." "Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam era
Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan
Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter
Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan. “Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di
Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal. Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi. "Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini." Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah." Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat." Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot. "Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir." "Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam era
Alan menyalakan proyektor kecil dari tablet di tangannya. Cahaya biru redup memancar ke udara di dalam kendaraan, memunculkan peta holografis kompleks yang penuh dengan data. Jalur-jalur merah menunjukkan jaringan rahasia The Council, sementara titik-titik kuning menandai fasilitas yang perlu dihancurkan."Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menutup akses ini," kata Alan dengan nada tegas, menunjuk salah satu titik kuning yang berkedip. "Fasilitas di Turkmenistan adalah pusat komunikasi utama. Jika kita bisa melumpuhkan server mereka di sana, semua komunikasi global mereka akan terganggu."Dewi, yang sedang membersihkan bilah Crimson Scythe-nya, bersiul pelan. "Turkmenistan? Tempat itu terkenal dengan gurun panas dan pengawasan ketat. Bagaimana kita bisa masuk tanpa dibakar hidup-hidup?"Thomas, yang sedang membalut luka di bahunya, mendongak. "Aku bisa memetakan jalur aman melalui radar mereka. Tapi kita butuh lebih dari sekadar peta. Kita butuh pengalih perhatian."Alan mengang
Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar. "Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan."John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target.""Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat. Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan i
Cahaya pagi menyelinap ke celah-celah kecil di ruang bawah tanah markas tersembunyi mereka. Setelah ledakan yang mengguncang apartemen sebelumnya, Alan, Dewi, dan Thomas kini berlindung di tempat yang lebih aman. Namun, suasana tegang tidak memudar. Mereka duduk di depan layar besar yang penuh dengan peta digital, data rahasia, dan analisis tentang pergerakan The Council. Setiap keputusan yang mereka buat sekarang tidak hanya menentukan hidup mereka, tetapi juga nasib dunia yang coba mereka selamatkan. Alan, yang memimpin tim, tampak serius, duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan. Di seberangnya, Dewi terus memeriksa senjatanya, Crimson Scythe, dengan gerakan gelisah. Thomas berdiri di dekat meja kontrol, matanya menatap layar penuh titik-titik merah—menandakan lokasi pasukan musuh. “Ini bukan lagi operasi kecil,” kata Thomas, memecah keheningan. “Blackwood tahu kita bergerak. Dan jika data yang kita dapat kemarin benar, mereka sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dari y
Mobil hitam mereka meluncur melalui jalan-jalan gelap Neon City, lampu-lampu neon memantul di jendela yang basah oleh gerimis. Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Alan, Dewi, dan Thomas baru saja berhasil keluar dari markas The Council dengan membawa data penting. Namun, perasaan aman jauh dari kata hadir. Ada sesuatu yang menggelitik di benak Alan, sebuah firasat buruk yang sulit ia abaikan. Alan melirik ke arah Dewi yang duduk di sampingnya. Jaket hitamnya kini kotor dan sedikit robek, mencerminkan pertempuran sebelumnya. Tangannya dengan santai menyentuh perban di pergelangan tangannya, meski wajahnya tetap menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. “Kenapa kita nggak langsung menghancurkan mereka, Alan?” tanya Dewi dengan nada frustrasi. “Kenapa harus memutar-mutar seperti ini? Kita sudah tahu siapa musuhnya.” Alan menghela napas panjang, matanya tetap fokus ke jalan di depan. “Karena mereka menguasai permainan ini, Dewi. Kalau kita bertindak gegabah, kita hanya akan me
Malam itu, Neon City tampak seperti kota yang melupakan napasnya sendiri. Langit penuh kabut neon, namun keheningan yang menggelayut terasa tidak wajar. Di salah satu gedung pencakar langit, sebuah pertemuan rahasia berlangsung, jauh dari jangkauan dunia. Tapi di balik bayangan gelap gedung itu, tiga sosok bersiap mengubah takdir kota. Alan berdiri di depan jendela besar, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Dia tidak pernah memalingkan pandangan meski malam di luar begitu gelap. Detik-detik terakhir sebelum mereka bergerak terasa seperti bom waktu. Namun wajahnya tetap tak terganggu. Baginya, malam ini bukan sekadar misi—ini adalah awal dari revolusi. "Dewi, semuanya sudah siap?" tanya Alan, suaranya rendah tapi penuh kendali. Dewi memutar-mutar pisau kecil di tangannya, kebiasaan yang hanya muncul saat kecemasannya tak bisa disembunyikan. Tapi dia, seperti biasa, tetap memberi kesan tak kenal takut. "Siap. Pintu belakang sudah bersih. Jalur masuk juga sudah ak