Beranda / Fantasi / Shadow Rebellion / Bab 7: Dunia Baru - Akhir Sebuah Awal

Share

Bab 7: Dunia Baru - Akhir Sebuah Awal

Penulis: BarokHart
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-11 14:48:36

Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan.

“Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan.

Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di luar sana.”

Thomas mendengus dari belakang. “Aku tahu ini tidak akan semudah yang kalian pikirkan. The Council selalu punya cadangan. Mereka tidak akan menyerah begitu saja.”

Alan mengangguk, tetapi ada kerutan di dahinya yang menunjukkan kecemasan. "Aku tahu. Mereka hanya mengganti satu markas, tapi aku merasa ada yang lebih besar di balik semua ini. Kita baru memecahkan sebagian kecil dari teka-teki ini."

Dewi menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sepertinya kita selalu mengalahkan satu, dan mereka muncul dengan dua. Aku benci perasaan ini.”

Perasaan yang sama juga melanda Alan. Setelah semua upaya yang mereka lakukan, setelah begitu banyak nyawa yang hilang, mereka merasa seperti hanya berputar-putar di tempat. Seperti mereka hanyalah pion dalam permainan besar yang belum mereka pahami sepenuhnya.

Tiba-tiba, pesawat itu terguncang. Guncangan keras menyentak mereka, membuat Alan seketika terbangun dari pikirannya. Dewi langsung meraih gagang senjatanya, Crimson Scythe, dan Thomas sudah siap dengan senapan Phantom Rifle-nya.

“Penerbangan stabil kembali. Tadi hanya turbulensi,” kata Alan, memeriksa instrumen di pesawat. Namun, meskipun turbulensi itu sudah lewat, suasana tegang tetap melingkupi kabin.

“Ini tidak biasa,” kata Dewi, masih waspada. “Turbulensi itu... ada yang merancangnya.”

Alan memandang Dewi, kemudian kembali ke peta. “Kita hampir sampai. Kota kecil di Eropa Timur. Kita akan memeriksanya.”

Mereka terbang ke daerah yang tidak jauh dari perbatasan. Kota kecil itu tampak damai di luar jendela pesawat, tetapi Alan merasa ada sesuatu yang mengganggu. Mereka mendarat di lapangan terbuka di luar kota, jauh dari mata-mata yang mungkin ada. Hanya ada suara angin yang menggema di malam yang sepi, tapi ketenangan itu terasa mencurigakan.

“Dewi, pastikan tidak ada yang mengintai. Thomas, periksa peralatan,” perintah Alan.

Dewi mengangguk dan turun pertama kali, memeriksa sekitar dengan sigap. Thomas mengikuti di belakang, memeriksa setiap komponen peralatan mereka. Alan turun terakhir, matanya menyapu seluruh area. Segala sesuatu tampak tenang, tetapi ada perasaan yang menggelitik di dalam dirinya—perasaan bahwa mereka sedang dipantau.

Mereka bergerak cepat, menyusuri jalan kecil yang mengarah ke pusat kota. Semuanya terlalu sunyi, seperti ada yang menjaga jarak dari mereka. “Ada yang tidak beres di sini,” kata Dewi, berbisik.

Alan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Mereka terus berjalan, berhati-hati mengamati setiap langkah. Tidak ada orang yang terlihat di jalan-jalan yang mereka lalui, dan lampu jalan hanya berkedip lemah, memberi kesan bahwa kota ini seperti kota mati. Begitu mereka memasuki area yang lebih padat, mereka menemukan beberapa penduduk yang tampak gelisah. Mata mereka kosong, seakan-akan tidak ada kehidupan di balik tatapan mereka.

“Di sini, cepat,” bisik Alan, menarik mereka menuju bangunan besar yang tampak usang di ujung jalan. Bangunan itu dilapisi lumut dan terlihat tak terawat, tetapi ada sesuatu di dalam yang menarik perhatian Alan.

Mereka menyelinap masuk ke dalam bangunan melalui pintu belakang yang terbuka sedikit. Begitu mereka masuk, mereka disambut dengan udara dingin dan bau busuk. Di dalam, ruangannya luas dan kosong, hanya ada rak-rak tua dan alat-alat yang tampak seperti sisa-sisa eksperimen.

“Lihat ini,” kata Thomas, menunjukkan meja logam besar di sudut ruangan. Di atasnya, tergeletak beberapa tabung berisi cairan kehijauan yang berpendar. Alan mendekat, matanya menyipit. Apa yang mereka lihat bukan hanya sampel biasa—ini adalah bahan yang digunakan dalam eksperimen berbahaya.

“Apa ini?” Dewi bertanya, mencermati cairan itu.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kita harus keluar dari sini,” kata Alan, tetapi tiba-tiba suara keras dari luar menghentikan langkah mereka. Pintu utama bangunan itu terbuka, dan beberapa sosok muncul. Mereka mengenakan pelindung tubuh dan memegang senjata canggih.

“Dewi, Thomas, siap!” teriak Alan.

Perkelahian pun dimulai. Thomas, dengan senapan Phantom Rifle-nya, mulai menembak para penjaga satu per satu, sementara Dewi dengan sigap memutar Crimson Scythe-nya, menghindari serangan dan menghancurkan musuh yang mencoba mendekat. Alan bergerak cepat, dengan hati-hati memilih titik yang tepat untuk menembak.

“Tidak ada waktu untuk bertarung habis-habisan,” teriak Dewi saat dia menghabisi salah satu penjaga dengan gerakan cepat. “Kita harus keluar sekarang!”

Mereka mundur, terus bergerak menuju pintu belakang. Alan mengumpulkan semua data yang bisa mereka ambil, memastikan setiap informasi yang mereka dapatkan tidak hilang begitu saja. Dengan bantuan peralatan mereka, mereka berhasil meloloskan diri dari tempat itu.

Sesampainya di pesawat, Alan menatap peta lagi. Mereka tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya—mereka harus menghancurkan lebih banyak dari yang telah mereka temukan, dan memastikan The Council tidak bisa melanjutkan eksperimen mereka. Namun, meskipun mereka berhasil melarikan diri, perasaan gelisah itu tidak hilang. Mereka baru saja menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar, dan mereka tahu, perjalanan ini masih panjang.

Bab terkait

  • Shadow Rebellion    Bab 8: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Shadow Rebellion    Bab 9: Di Balik Bayangan

    Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Shadow Rebellion    Bab 10: Bayangan Dari Masalalu

    Setelah pagi berlalu dengan diskusi strategi dan perencanaan, tim mulai bersiap menghadapi perjalanan mereka berikutnya. Suasana kabin yang sempat hangat kini mulai memudar seiring persiapan dimulai, masing-masing sibuk dengan tugasnya.Thomas, yang selalu tenggelam dalam pekerjaannya, memeriksa prototipe senjata baru miliknya di meja kayu dekat perapian. Cahaya redup dari api membuat detail alat-alatnya terlihat lebih menyeramkan, dan dia tampak sibuk menyolder komponen kecil. "Phantom Rifle sudah siap," gumamnya pada dirinya sendiri. "Tapi yang ini… masih terlalu rentan."Dewi mendekat, menyilangkan tangan sambil menatap senjata itu. "Apa itu akan bertahan jika kita dikejar lagi seperti di Hong Kong?"Thomas mendongak, menghela napas pendek. "Belum tentu. Tapi aku rasa ini cukup untuk memberikan kejutan jika kita menemukan mereka lebih dulu."Dewi tersenyum tipis, meraih Crimson Scythe miliknya yang bersandar di dinding. "Kalau senjatamu gagal, aku yang akan memastikan kita keluar h

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Shadow Rebellion    Bab 11: Pertarungan Bayangan: Awal dari Kekacauan

    Gudang tua itu berubah menjadi arena penuh ketegangan. Alan berdiri dengan nafas teratur, sementara Reven melepaskan sisa alat plasma yang rusak di lengannya. Tatapan penuh kebencian dan senyum miring di wajah Reven menunjukkan bahwa ini hanyalah pemanasan. “Selalu cerdas dengan trik kecilmu, Alan,” ujar Reven sambil merogoh sesuatu dari ikat pinggangnya. Sebuah bilah energik pendek, lebih ringan, muncul di tangannya. Warnanya biru kehitaman, seperti malam yang tak berujung. “Kalau ini hanya pemanasan, aku tak sabar melihat apa yang kau punya sebenarnya,” balas Alan dingin. Dengan sigap, ia memutar tubuhnya, pistolnya menembakkan peluru khusus yang meluncur seperti kilat, memantul di berbagai sudut ruangan. Reven hanya tertawa, tubuhnya bergerak dengan kecepatan yang tak wajar, menghindari semua peluru yang terpental. “Trik lama ini? Kau pikir aku belum mempelajarinya, Alan?” Reven menyeringai, melompat ke arah Alan dengan serangan berputar. Alan menghindar ke samping, nyari

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Shadow Rebellion    Bab 12: Kembali ke Pusat Kendali Operasi Sementara

    Gudang itu kembali hening setelah Reven tak sadarkan diri. Alan dan Rey berdiri di tengah ruangan yang berantakan, dengan debu masih mengambang di udara. Suara langkah mereka bergema saat mereka mendekati tubuh Reven yang tergeletak. Alan mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, memindai Reven untuk memastikan tidak ada jebakan lain. “Tidak ada sinyal pemicu aktif,” kata Alan setelah beberapa detik. “Dia bersih... untuk saat ini.”Rey memutar pisau kecilnya, menyimpannya kembali ke dalam sarung di pinggangnya. “Dia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Kau tahu itu, kan?”Alan mengangguk sambil menatap Reven dengan ekspresi serius. “Aku tahu. Itu sebabnya aku tidak akan membiarkannya bebas lagi. Kita bawa dia ke markas. Mungkin dia bisa memberi kita informasi tentang siapa yang mengendalikan semua ini.”Rey menghela napas panjang, matanya masih waspada memindai ruangan. “Kau yakin tempat ini aman? Ledakan tadi pasti sudah menarik perhatian seseorang.”Alan berjalan ke arah je

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Shadow Rebellion    Bab 13: Jejak Terakhir

    Malam semakin larut, dan suasana di ruang briefing terasa penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Semua sudah duduk di sekitar meja holografik, memeriksa data yang Sophia baru saja presentasikan. Namun, meskipun tidak ada kata-kata keras yang keluar, perasaan cemas dan tidak puas tampaknya mulai menyelimuti setiap sudut ruangan. Alan menatap peta dengan fokus, seolah berusaha menenangkan diri. “Jadi, kita semua sepakat masuk lewat jalur bawah tanah?” tanyanya, suaranya agak tegas, meski jelas ada kekhawatiran yang terpendam. Dewi mengangguk, tetapi matanya tak lepas dari Rey. “Aku rasa pengalihan di sisi barat agak berisiko, Rey. Kalau ada yang salah—” “Aku paham, Dewi,” jawab Rey, sedikit lebih cepat dari yang biasanya, seolah ingin menghindari pembicaraan lebih lanjut. “Aku bisa menangani itu. Kau jangan khawatir.” Dewi melanjutkan, “Aku cuma tidak ingin kita kehilangan siapa pun, Rey. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat atau lebih cepat, tapi bagaimana kita bisa saling

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Shadow Rebellion    Bab 14: Bayang-bayang penghianatan

    Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Shadow Rebellion    Bab 15: Percikan Keraguan

    Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03

Bab terbaru

  • Shadow Rebellion    Bab 22: Motel yang Sunyi

    Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka

  • Shadow Rebellion    Bab 21: Langit yang Tidak Lagi Sama

    Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri

  • Shadow Rebellion    Bab 20: Bayangan Kekejaman

    Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y

  • Shadow Rebellion    Bab 19: Pasukan Perubahan

    Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m

  • Shadow Rebellion    Bab 18: Langkah yang Berseberangan

    Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin

  • Shadow Rebellion    Bab 17: Pecahan Takdir

    Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b

  • Shadow Rebellion    Bab 16: Bayang di Antara Peluru

    Pertempuran itu semakin sengit. Dentuman senjata bergema tanpa henti, bercampur dengan suara serangan tajam dari Crimson Scythe Dewi yang memotong udara. Musuh terus berdatangan seperti ombak tanpa akhir, dan setiap serangan mereka terasa semakin mendesak. Seseorang melompat dari sudut gelap ruangan, mencoba menusuk salah satu anggota tim, tetapi gerakan itu dihentikan oleh tembakan presisi Phantom Rifle. Peluru Thomas menembus helm musuh, membuatnya terjatuh dengan bunyi yang menghentak. Thomas mengatur napas, peluh bercucuran di dahinya, tetapi matanya tetap terfokus. “Kita harus keluar dari sini, atau mereka akan terus berdatangan,” katanya dengan nada tegas. Dewi hanya memberikan anggukan singkat. Tangannya terangkat, dan dalam satu ayunan Crimson Scythe, dia menghancurkan salah satu dinding yang menghalangi jalan keluar. "Lewat sini!" serunya, tetapi sebelum tim bisa bergerak, sebuah tim musuh lain menyerbu masuk, dipimpin oleh seseorang dengan lambang The Council yang tampak

  • Shadow Rebellion    Bab 15: Percikan Keraguan

    Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i

  • Shadow Rebellion    Bab 14: Bayang-bayang penghianatan

    Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status