Beranda / Fantasi / Shadow Rebellion / Bab 8: Jejak di Balik Bayangan

Share

Bab 8: Jejak di Balik Bayangan

Penulis: BarokHart
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-13 16:21:38

Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.

Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.

“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”

Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”

“Apa itu?” tanya Dewi.

Alan terdiam sejenak, matanya tetap terpaku pada layar di hadapannya. “Cairan itu—tabung berisi zat berpendar kehijauan itu. Itu bukan eksperimen biasa. Aku merasa mereka sedang menciptakan senjata biologis yang jauh lebih berbahaya dari apa yang kita bayangkan.”

Dewi mengernyitkan dahi. “Senjata biologis? Itu berarti mereka mempersiapkan perang besar.”

“Betul,” jawab Alan, suaranya terdengar lebih berat. “Dan itu berarti kita harus bertindak cepat, sebelum mereka punya kesempatan untuk menggunakannya.”

Di belakang mereka, Thomas duduk diam dengan senapan Phantom Rifle-nya di pangkuan, seolah sedang merenung. Meskipun dia tidak banyak berbicara, pikirannya berputar-putar, menganalisis setiap kata yang keluar dari mulut Alan dan Dewi. “Jika itu benar, kita tidak hanya melawan The Council. Kita melawan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang bisa menghancurkan semua orang, tanpa memandang siapa mereka.”

Alan mengalihkan pandangannya ke Thomas. “Kau benar. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang dunia.”

Dewi menatap mereka berdua, lalu mengangguk. “Kita butuh rencana yang lebih matang. Kita harus menembus markas mereka dengan cara yang lebih halus. Jika mereka benar-benar membuat senjata semacam itu, kita tidak bisa berhadapan dengan mereka secara langsung.”

Alan berpikir sejenak, lalu menatap peta yang terbuka di layar. “Kita harus menuju ke pusat riset mereka. Di sana kemungkinan besar kita bisa menemukan lebih banyak bukti dan mungkin menghentikan mereka sebelum terlambat.”

Thomas mengeluarkan sebuah peta dari tasnya. “Aku sudah memeriksa lokasi mereka. Ada satu fasilitas besar di daerah pegunungan, tempat yang sulit diakses. Kita bisa menyusup ke sana, tapi kita butuh informasi lebih lanjut tentang pertahanan mereka.”

Dewi menatap peta itu, berpikir keras. “Ada banyak rute masuk yang bisa kita coba, tapi mereka pasti sudah mengantisipasi kita. Kita harus bergerak cepat dan tanpa suara.”

Alan menarik napas dalam-dalam, matanya penuh tekad. “Tidak ada waktu untuk ragu. Jika kita bisa menghentikan mereka di fasilitas itu, kita bisa memutuskan mata rantai mereka. Tapi kita harus bergerak bersama-sama, saling melindungi.”

Mereka terdiam sejenak, masing-masing merenungkan apa yang baru saja dikatakan Alan. Saat ini, mereka bukan hanya tim. Mereka sudah menjadi sesuatu yang lebih. Sesuatu yang jauh lebih kuat daripada sekadar sekutu dalam pertempuran. Mereka adalah keluarga yang saling bergantung satu sama lain.

Setelah beberapa detik, Dewi berbicara lagi. “Aku rasa kita sudah siap. Kita hanya perlu memastikan bahwa tidak ada yang terlewat.”

Thomas mengangguk, lalu menyarankan, “Mungkin kita juga perlu menyiapkan jalur keluar darurat. Jika semuanya berantakan, kita butuh rencana B.”

Alan memandang mereka berdua, rasa percaya diri semakin terlihat di wajahnya. “Rencana B akan sangat bergantung pada rencana A. Kita harus membuatnya sempurna.”

Mereka menghabiskan beberapa jam berikutnya mempersiapkan segala sesuatunya. Dewi dan Thomas memeriksa senjata dan perlengkapan mereka, memastikan bahwa semuanya dalam kondisi terbaik. Alan tetap fokus pada peta dan data yang mereka kumpulkan, merancang setiap langkah dengan cermat.

Malam itu, saat pesawat mereka mendekati lokasi tujuan, udara semakin dingin. Mereka sudah tidak banyak berbicara lagi, masing-masing terlarut dalam pemikiran mereka sendiri. Alan merasakan tekanan yang semakin berat di dadanya. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.

Pemandangan dari jendela pesawat menunjukkan puncak-puncak pegunungan yang diselimuti salju, kontras dengan langit malam yang gelap. Tanah yang akan mereka jejakkan kembali ke dalam kegelapan, di mana The Council menunggu dengan segala kebohongan dan rahasia yang belum terungkap.

Alan meremas gagang kursinya, menatap puncak gunung yang semakin dekat. "Kita harus siap untuk apa pun yang akan kita temui di sana."

Saat pesawat itu mulai mendarat dengan mulus di lapangan terbuka, Dewi, Thomas, dan Alan tahu bahwa ini bukan sekadar misi lagi. Ini adalah pertempuran terakhir mereka, dan hanya satu pihak yang bisa keluar sebagai pemenang.

Bab terkait

  • Shadow Rebellion    Bab 9: Di Balik Bayangan

    Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Shadow Rebellion    Bab 10: Bayangan Dari Masalalu

    Setelah pagi berlalu dengan diskusi strategi dan perencanaan, tim mulai bersiap menghadapi perjalanan mereka berikutnya. Suasana kabin yang sempat hangat kini mulai memudar seiring persiapan dimulai, masing-masing sibuk dengan tugasnya.Thomas, yang selalu tenggelam dalam pekerjaannya, memeriksa prototipe senjata baru miliknya di meja kayu dekat perapian. Cahaya redup dari api membuat detail alat-alatnya terlihat lebih menyeramkan, dan dia tampak sibuk menyolder komponen kecil. "Phantom Rifle sudah siap," gumamnya pada dirinya sendiri. "Tapi yang ini… masih terlalu rentan."Dewi mendekat, menyilangkan tangan sambil menatap senjata itu. "Apa itu akan bertahan jika kita dikejar lagi seperti di Hong Kong?"Thomas mendongak, menghela napas pendek. "Belum tentu. Tapi aku rasa ini cukup untuk memberikan kejutan jika kita menemukan mereka lebih dulu."Dewi tersenyum tipis, meraih Crimson Scythe miliknya yang bersandar di dinding. "Kalau senjatamu gagal, aku yang akan memastikan kita keluar h

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Shadow Rebellion    Bab 11: Pertarungan Bayangan: Awal dari Kekacauan

    Gudang tua itu berubah menjadi arena penuh ketegangan. Alan berdiri dengan nafas teratur, sementara Reven melepaskan sisa alat plasma yang rusak di lengannya. Tatapan penuh kebencian dan senyum miring di wajah Reven menunjukkan bahwa ini hanyalah pemanasan. “Selalu cerdas dengan trik kecilmu, Alan,” ujar Reven sambil merogoh sesuatu dari ikat pinggangnya. Sebuah bilah energik pendek, lebih ringan, muncul di tangannya. Warnanya biru kehitaman, seperti malam yang tak berujung. “Kalau ini hanya pemanasan, aku tak sabar melihat apa yang kau punya sebenarnya,” balas Alan dingin. Dengan sigap, ia memutar tubuhnya, pistolnya menembakkan peluru khusus yang meluncur seperti kilat, memantul di berbagai sudut ruangan. Reven hanya tertawa, tubuhnya bergerak dengan kecepatan yang tak wajar, menghindari semua peluru yang terpental. “Trik lama ini? Kau pikir aku belum mempelajarinya, Alan?” Reven menyeringai, melompat ke arah Alan dengan serangan berputar. Alan menghindar ke samping, nyari

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Shadow Rebellion    Bab 12: Kembali ke Pusat Kendali Operasi Sementara

    Gudang itu kembali hening setelah Reven tak sadarkan diri. Alan dan Rey berdiri di tengah ruangan yang berantakan, dengan debu masih mengambang di udara. Suara langkah mereka bergema saat mereka mendekati tubuh Reven yang tergeletak. Alan mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, memindai Reven untuk memastikan tidak ada jebakan lain. “Tidak ada sinyal pemicu aktif,” kata Alan setelah beberapa detik. “Dia bersih... untuk saat ini.”Rey memutar pisau kecilnya, menyimpannya kembali ke dalam sarung di pinggangnya. “Dia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Kau tahu itu, kan?”Alan mengangguk sambil menatap Reven dengan ekspresi serius. “Aku tahu. Itu sebabnya aku tidak akan membiarkannya bebas lagi. Kita bawa dia ke markas. Mungkin dia bisa memberi kita informasi tentang siapa yang mengendalikan semua ini.”Rey menghela napas panjang, matanya masih waspada memindai ruangan. “Kau yakin tempat ini aman? Ledakan tadi pasti sudah menarik perhatian seseorang.”Alan berjalan ke arah je

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Shadow Rebellion    Bab 13: Jejak Terakhir

    Malam semakin larut, dan suasana di ruang briefing terasa penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Semua sudah duduk di sekitar meja holografik, memeriksa data yang Sophia baru saja presentasikan. Namun, meskipun tidak ada kata-kata keras yang keluar, perasaan cemas dan tidak puas tampaknya mulai menyelimuti setiap sudut ruangan. Alan menatap peta dengan fokus, seolah berusaha menenangkan diri. “Jadi, kita semua sepakat masuk lewat jalur bawah tanah?” tanyanya, suaranya agak tegas, meski jelas ada kekhawatiran yang terpendam. Dewi mengangguk, tetapi matanya tak lepas dari Rey. “Aku rasa pengalihan di sisi barat agak berisiko, Rey. Kalau ada yang salah—” “Aku paham, Dewi,” jawab Rey, sedikit lebih cepat dari yang biasanya, seolah ingin menghindari pembicaraan lebih lanjut. “Aku bisa menangani itu. Kau jangan khawatir.” Dewi melanjutkan, “Aku cuma tidak ingin kita kehilangan siapa pun, Rey. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat atau lebih cepat, tapi bagaimana kita bisa saling

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Shadow Rebellion    Bab 14: Bayang-bayang penghianatan

    Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Shadow Rebellion    Bab 15: Percikan Keraguan

    Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Shadow Rebellion    Bab 16: Bayang di Antara Peluru

    Pertempuran itu semakin sengit. Dentuman senjata bergema tanpa henti, bercampur dengan suara serangan tajam dari Crimson Scythe Dewi yang memotong udara. Musuh terus berdatangan seperti ombak tanpa akhir, dan setiap serangan mereka terasa semakin mendesak. Seseorang melompat dari sudut gelap ruangan, mencoba menusuk salah satu anggota tim, tetapi gerakan itu dihentikan oleh tembakan presisi Phantom Rifle. Peluru Thomas menembus helm musuh, membuatnya terjatuh dengan bunyi yang menghentak. Thomas mengatur napas, peluh bercucuran di dahinya, tetapi matanya tetap terfokus. “Kita harus keluar dari sini, atau mereka akan terus berdatangan,” katanya dengan nada tegas. Dewi hanya memberikan anggukan singkat. Tangannya terangkat, dan dalam satu ayunan Crimson Scythe, dia menghancurkan salah satu dinding yang menghalangi jalan keluar. "Lewat sini!" serunya, tetapi sebelum tim bisa bergerak, sebuah tim musuh lain menyerbu masuk, dipimpin oleh seseorang dengan lambang The Council yang tampak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04

Bab terbaru

  • Shadow Rebellion    Bab 22: Motel yang Sunyi

    Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka

  • Shadow Rebellion    Bab 21: Langit yang Tidak Lagi Sama

    Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri

  • Shadow Rebellion    Bab 20: Bayangan Kekejaman

    Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y

  • Shadow Rebellion    Bab 19: Pasukan Perubahan

    Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m

  • Shadow Rebellion    Bab 18: Langkah yang Berseberangan

    Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin

  • Shadow Rebellion    Bab 17: Pecahan Takdir

    Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b

  • Shadow Rebellion    Bab 16: Bayang di Antara Peluru

    Pertempuran itu semakin sengit. Dentuman senjata bergema tanpa henti, bercampur dengan suara serangan tajam dari Crimson Scythe Dewi yang memotong udara. Musuh terus berdatangan seperti ombak tanpa akhir, dan setiap serangan mereka terasa semakin mendesak. Seseorang melompat dari sudut gelap ruangan, mencoba menusuk salah satu anggota tim, tetapi gerakan itu dihentikan oleh tembakan presisi Phantom Rifle. Peluru Thomas menembus helm musuh, membuatnya terjatuh dengan bunyi yang menghentak. Thomas mengatur napas, peluh bercucuran di dahinya, tetapi matanya tetap terfokus. “Kita harus keluar dari sini, atau mereka akan terus berdatangan,” katanya dengan nada tegas. Dewi hanya memberikan anggukan singkat. Tangannya terangkat, dan dalam satu ayunan Crimson Scythe, dia menghancurkan salah satu dinding yang menghalangi jalan keluar. "Lewat sini!" serunya, tetapi sebelum tim bisa bergerak, sebuah tim musuh lain menyerbu masuk, dipimpin oleh seseorang dengan lambang The Council yang tampak

  • Shadow Rebellion    Bab 15: Percikan Keraguan

    Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i

  • Shadow Rebellion    Bab 14: Bayang-bayang penghianatan

    Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status