Home / Sci-Fi / Shadow Rebellion / Bab 6: Kekacauan yang Terkoordinasi

Share

Bab 6: Kekacauan yang Terkoordinasi

Author: BarokHart
last update Last Updated: 2024-12-11 14:14:26

Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal.

Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi.

"Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini."

Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah."

Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat."

Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot.

"Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir."

"Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam erat Crimson Scythe-nya, bersiap jika ada tentara yang menyerbu masuk.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lorong. Tentara yang mengejar mereka terpeleset di lantai yang kini dipenuhi cairan mengkilap. Alan memandang tablet dengan heran, memperhatikan rekaman drone yang menunjukkan kekacauan itu. Thomas menyeringai.

"Jebakan minyakku bekerja. Aku tahu ini ide brilian."

"Kau sungguh-sungguh membawa minyak di misi seperti ini?" Alan menggeleng, tak percaya.

Thomas balas menatap dengan datar. "Minyak murah, efisien, dan memberikan hiburan. Solusi ideal untuk situasi stres."

Dewi tertawa lepas, sedikit lebih rileks. "Kau tahu, aku mulai menghargai gaya kerja Thomas. Dia seperti koki yang suka bereksperimen. Kadang bikin mual, tapi hasil akhirnya lumayan."

Alan tidak menanggapi candaan itu. Ia menunjuk peta di tablet. "Ada pintu keluar darurat di sebelah barat. Masih belum dijaga. Kita harus bergerak sekarang."

Mereka menyusuri lorong sempit dengan cepat, suara alarm terus berdenging di atas kepala. Tentara menyebar, memaksa mereka berhenti lagi. Dewi mengeluarkan botol kecil dari tasnya—cairan transparan dengan bau menyengat.

"Apa itu?" tanya Alan, setengah bingung.

"Parfum," jawab Dewi ringan.

"Parfum? Serius? Ini misi penyusupan!"

Dewi hanya tersenyum. "Parfum bisa menyelamatkan nyawa."

Sebelum Alan bisa membalas, Dewi menyemprotkan cairan itu ke dinding. Dalam hitungan detik, reaksi kimia terjadi, menciptakan asap tebal dengan bau menyengat yang menusuk hidung. Tentara yang mengejar mereka terbatuk keras, mundur sambil mengusap wajah.

"Aku suka efek sampingnya," Dewi terkikik. "Kalau mau beri hadiah, jangan pernah kasih aku parfum murahan."

Alan mendesah, menggiring mereka maju. "Kau bisa bercanda nanti. Sekarang kita fokus keluar."

Saat mereka mencapai pintu keluar darurat, sekelompok tentara sudah menunggu, senjata diarahkan ke kepala mereka. Dewi mengangkat tangan, mendesah pelan.

"Hebat. Momen klise di mana kita ditangkap," katanya.

Thomas menatap dingin, melepaskan ranselnya dengan sengaja. Sebuah ledakan kecil memicu kilatan cahaya terang yang membutakan semua orang. Dalam kekacauan itu, Alan menunduk dan melumpuhkan dua tentara dengan gerakan presisi.

Dewi, yang terbiasa dengan cahaya terang, menyerbu ke depan, Crimson Scythe-nya bergerak cepat. Dalam hitungan detik, ia menumbangkan sisa tentara dengan brutal namun efisien.

"Aku mulai kagum pada kejeniusan kita," katanya sambil menyeka keringat.

"Kadang aku heran kenapa aku masih hidup bersama kalian," timpal Thomas sambil mengangkat ranselnya kembali.

"Suatu hari, aku akan menulis buku tentang ini. Judulnya, Bagaimana Tidak Gila Saat Bekerja dengan Orang-Orang Ini."

Alan menatap peta holografis di tangannya. Rasa lelah terpancar dari wajahnya, tapi sorot matanya tetap penuh determinasi.

"Ini baru awal," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Setiap kemenangan kecil hanya membuat permainan ini semakin berbahaya."

Dewi menyeringai lemah, membuka satu mata. "Tantangan itu menyenangkan, Alan. Jangan terlalu serius."

Alan mengabaikan komentar mereka, pikirannya sudah tertuju pada langkah selanjutnya. Meski tim ini kacau, ia tahu satu hal pasti—ini satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Related chapters

  • Shadow Rebellion    Bab 7: Dunia Baru - Akhir Sebuah Awal

    Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan. “Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 8: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter

    Last Updated : 2024-12-13
  • Shadow Rebellion    Bab 9: Di Balik Bayangan

    Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan

    Last Updated : 2024-12-14
  • Shadow Rebellion    Bab 1: Ketegangan yang Tumbuh

    Malam itu, Neon City tampak seperti kota yang melupakan napasnya sendiri. Langit penuh kabut neon, namun keheningan yang menggelayut terasa tidak wajar. Di salah satu gedung pencakar langit, sebuah pertemuan rahasia berlangsung, jauh dari jangkauan dunia. Tapi di balik bayangan gelap gedung itu, tiga sosok bersiap mengubah takdir kota. Alan berdiri di depan jendela besar, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Dia tidak pernah memalingkan pandangan meski malam di luar begitu gelap. Detik-detik terakhir sebelum mereka bergerak terasa seperti bom waktu. Namun wajahnya tetap tak terganggu. Baginya, malam ini bukan sekadar misi—ini adalah awal dari revolusi. "Dewi, semuanya sudah siap?" tanya Alan, suaranya rendah tapi penuh kendali. Dewi memutar-mutar pisau kecil di tangannya, kebiasaan yang hanya muncul saat kecemasannya tak bisa disembunyikan. Tapi dia, seperti biasa, tetap memberi kesan tak kenal takut. "Siap. Pintu belakang sudah bersih. Jalur masuk juga sudah ak

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 2: Pengungkapan dan Konsekuensinya

    Mobil hitam mereka meluncur melalui jalan-jalan gelap Neon City, lampu-lampu neon memantul di jendela yang basah oleh gerimis. Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Alan, Dewi, dan Thomas baru saja berhasil keluar dari markas The Council dengan membawa data penting. Namun, perasaan aman jauh dari kata hadir. Ada sesuatu yang menggelitik di benak Alan, sebuah firasat buruk yang sulit ia abaikan. Alan melirik ke arah Dewi yang duduk di sampingnya. Jaket hitamnya kini kotor dan sedikit robek, mencerminkan pertempuran sebelumnya. Tangannya dengan santai menyentuh perban di pergelangan tangannya, meski wajahnya tetap menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. “Kenapa kita nggak langsung menghancurkan mereka, Alan?” tanya Dewi dengan nada frustrasi. “Kenapa harus memutar-mutar seperti ini? Kita sudah tahu siapa musuhnya.” Alan menghela napas panjang, matanya tetap fokus ke jalan di depan. “Karena mereka menguasai permainan ini, Dewi. Kalau kita bertindak gegabah, kita hanya akan me

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    bab 3: Keputusan Berat

    Cahaya pagi menyelinap ke celah-celah kecil di ruang bawah tanah markas tersembunyi mereka. Setelah ledakan yang mengguncang apartemen sebelumnya, Alan, Dewi, dan Thomas kini berlindung di tempat yang lebih aman. Namun, suasana tegang tidak memudar. Mereka duduk di depan layar besar yang penuh dengan peta digital, data rahasia, dan analisis tentang pergerakan The Council. Setiap keputusan yang mereka buat sekarang tidak hanya menentukan hidup mereka, tetapi juga nasib dunia yang coba mereka selamatkan. Alan, yang memimpin tim, tampak serius, duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan. Di seberangnya, Dewi terus memeriksa senjatanya, Crimson Scythe, dengan gerakan gelisah. Thomas berdiri di dekat meja kontrol, matanya menatap layar penuh titik-titik merah—menandakan lokasi pasukan musuh. “Ini bukan lagi operasi kecil,” kata Thomas, memecah keheningan. “Blackwood tahu kita bergerak. Dan jika data yang kita dapat kemarin benar, mereka sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dari y

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 4: Helios Protocol

    Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar. "Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan."John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target.""Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat. Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan i

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 5: Melawan Waktu

    Alan menyalakan proyektor kecil dari tablet di tangannya. Cahaya biru redup memancar ke udara di dalam kendaraan, memunculkan peta holografis kompleks yang penuh dengan data. Jalur-jalur merah menunjukkan jaringan rahasia The Council, sementara titik-titik kuning menandai fasilitas yang perlu dihancurkan."Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menutup akses ini," kata Alan dengan nada tegas, menunjuk salah satu titik kuning yang berkedip. "Fasilitas di Turkmenistan adalah pusat komunikasi utama. Jika kita bisa melumpuhkan server mereka di sana, semua komunikasi global mereka akan terganggu."Dewi, yang sedang membersihkan bilah Crimson Scythe-nya, bersiul pelan. "Turkmenistan? Tempat itu terkenal dengan gurun panas dan pengawasan ketat. Bagaimana kita bisa masuk tanpa dibakar hidup-hidup?"Thomas, yang sedang membalut luka di bahunya, mendongak. "Aku bisa memetakan jalur aman melalui radar mereka. Tapi kita butuh lebih dari sekadar peta. Kita butuh pengalih perhatian."Alan mengang

    Last Updated : 2024-12-11

Latest chapter

  • Shadow Rebellion    Bab 9: Di Balik Bayangan

    Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan

  • Shadow Rebellion    Bab 8: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter

  • Shadow Rebellion    Bab 7: Dunia Baru - Akhir Sebuah Awal

    Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan. “Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di

  • Shadow Rebellion    Bab 6: Kekacauan yang Terkoordinasi

    Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal. Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi. "Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini." Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah." Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat." Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot. "Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir." "Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam era

  • Shadow Rebellion    Bab 5: Melawan Waktu

    Alan menyalakan proyektor kecil dari tablet di tangannya. Cahaya biru redup memancar ke udara di dalam kendaraan, memunculkan peta holografis kompleks yang penuh dengan data. Jalur-jalur merah menunjukkan jaringan rahasia The Council, sementara titik-titik kuning menandai fasilitas yang perlu dihancurkan."Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menutup akses ini," kata Alan dengan nada tegas, menunjuk salah satu titik kuning yang berkedip. "Fasilitas di Turkmenistan adalah pusat komunikasi utama. Jika kita bisa melumpuhkan server mereka di sana, semua komunikasi global mereka akan terganggu."Dewi, yang sedang membersihkan bilah Crimson Scythe-nya, bersiul pelan. "Turkmenistan? Tempat itu terkenal dengan gurun panas dan pengawasan ketat. Bagaimana kita bisa masuk tanpa dibakar hidup-hidup?"Thomas, yang sedang membalut luka di bahunya, mendongak. "Aku bisa memetakan jalur aman melalui radar mereka. Tapi kita butuh lebih dari sekadar peta. Kita butuh pengalih perhatian."Alan mengang

  • Shadow Rebellion    Bab 4: Helios Protocol

    Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar. "Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan."John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target.""Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat. Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan i

  • Shadow Rebellion    bab 3: Keputusan Berat

    Cahaya pagi menyelinap ke celah-celah kecil di ruang bawah tanah markas tersembunyi mereka. Setelah ledakan yang mengguncang apartemen sebelumnya, Alan, Dewi, dan Thomas kini berlindung di tempat yang lebih aman. Namun, suasana tegang tidak memudar. Mereka duduk di depan layar besar yang penuh dengan peta digital, data rahasia, dan analisis tentang pergerakan The Council. Setiap keputusan yang mereka buat sekarang tidak hanya menentukan hidup mereka, tetapi juga nasib dunia yang coba mereka selamatkan. Alan, yang memimpin tim, tampak serius, duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan. Di seberangnya, Dewi terus memeriksa senjatanya, Crimson Scythe, dengan gerakan gelisah. Thomas berdiri di dekat meja kontrol, matanya menatap layar penuh titik-titik merah—menandakan lokasi pasukan musuh. “Ini bukan lagi operasi kecil,” kata Thomas, memecah keheningan. “Blackwood tahu kita bergerak. Dan jika data yang kita dapat kemarin benar, mereka sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dari y

  • Shadow Rebellion    Bab 2: Pengungkapan dan Konsekuensinya

    Mobil hitam mereka meluncur melalui jalan-jalan gelap Neon City, lampu-lampu neon memantul di jendela yang basah oleh gerimis. Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Alan, Dewi, dan Thomas baru saja berhasil keluar dari markas The Council dengan membawa data penting. Namun, perasaan aman jauh dari kata hadir. Ada sesuatu yang menggelitik di benak Alan, sebuah firasat buruk yang sulit ia abaikan. Alan melirik ke arah Dewi yang duduk di sampingnya. Jaket hitamnya kini kotor dan sedikit robek, mencerminkan pertempuran sebelumnya. Tangannya dengan santai menyentuh perban di pergelangan tangannya, meski wajahnya tetap menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. “Kenapa kita nggak langsung menghancurkan mereka, Alan?” tanya Dewi dengan nada frustrasi. “Kenapa harus memutar-mutar seperti ini? Kita sudah tahu siapa musuhnya.” Alan menghela napas panjang, matanya tetap fokus ke jalan di depan. “Karena mereka menguasai permainan ini, Dewi. Kalau kita bertindak gegabah, kita hanya akan me

  • Shadow Rebellion    Bab 1: Ketegangan yang Tumbuh

    Malam itu, Neon City tampak seperti kota yang melupakan napasnya sendiri. Langit penuh kabut neon, namun keheningan yang menggelayut terasa tidak wajar. Di salah satu gedung pencakar langit, sebuah pertemuan rahasia berlangsung, jauh dari jangkauan dunia. Tapi di balik bayangan gelap gedung itu, tiga sosok bersiap mengubah takdir kota. Alan berdiri di depan jendela besar, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Dia tidak pernah memalingkan pandangan meski malam di luar begitu gelap. Detik-detik terakhir sebelum mereka bergerak terasa seperti bom waktu. Namun wajahnya tetap tak terganggu. Baginya, malam ini bukan sekadar misi—ini adalah awal dari revolusi. "Dewi, semuanya sudah siap?" tanya Alan, suaranya rendah tapi penuh kendali. Dewi memutar-mutar pisau kecil di tangannya, kebiasaan yang hanya muncul saat kecemasannya tak bisa disembunyikan. Tapi dia, seperti biasa, tetap memberi kesan tak kenal takut. "Siap. Pintu belakang sudah bersih. Jalur masuk juga sudah ak

DMCA.com Protection Status