Home / Fantasi / Shadow Rebellion / bab 3: Keputusan Berat

Share

bab 3: Keputusan Berat

Author: BarokHart
last update Last Updated: 2024-12-11 11:12:25

Cahaya pagi menyelinap ke celah-celah kecil di ruang bawah tanah markas tersembunyi mereka. Setelah ledakan yang mengguncang apartemen sebelumnya, Alan, Dewi, dan Thomas kini berlindung di tempat yang lebih aman. Namun, suasana tegang tidak memudar. Mereka duduk di depan layar besar yang penuh dengan peta digital, data rahasia, dan analisis tentang pergerakan The Council. Setiap keputusan yang mereka buat sekarang tidak hanya menentukan hidup mereka, tetapi juga nasib dunia yang coba mereka selamatkan.

Alan, yang memimpin tim, tampak serius, duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan. Di seberangnya, Dewi terus memeriksa senjatanya, Crimson Scythe, dengan gerakan gelisah. Thomas berdiri di dekat meja kontrol, matanya menatap layar penuh titik-titik merah—menandakan lokasi pasukan musuh.

“Ini bukan lagi operasi kecil,” kata Thomas, memecah keheningan. “Blackwood tahu kita bergerak. Dan jika data yang kita dapat kemarin benar, mereka sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dari yang kita duga.”

Alan mengangguk perlahan, matanya tetap fokus pada layar. “Kita tidak bisa hanya menunggu. Tapi bergerak terlalu cepat juga akan jadi bencana. The Council sudah memonitor kita. Jika kita salah langkah, kita hanya akan mengantar diri kita ke jebakan mereka.”

Dewi mendengus pelan, meletakkan senjatanya di meja dengan sedikit kasar. “Alan, kita nggak punya banyak waktu. Mereka sudah menyerang kita di apartemen. Apa yang kau pikirkan sekarang? Duduk diam dan berharap mereka memberi kita waktu lebih?”

Alan menatap Dewi dengan tajam. “Aku memikirkan kita semua, Dewi. Bukan cuma soal menyerang, tapi memastikan kita bertahan untuk melawan mereka sampai akhir.”

“Kalau begitu, apa rencanamu?” balas Dewi, nada suaranya meninggi. “Karena terus menunggu jelas bukan pilihan.”

Thomas, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Ada cara untuk membalikkan keadaan. Kita harus membuat mereka berpikir kita lemah. Beri mereka harapan palsu bahwa kita tidak siap. Lalu, kita serang mereka dari sudut yang tidak mereka duga.”

Dewi mengerutkan kening, mencoba mencerna strategi itu. “Pura-pura lemah? Dan kalau mereka justru menyerang kita lebih dulu?”

Alan menjawab sebelum Thomas sempat. “Itulah risiko yang harus kita ambil. Tapi ini bukan hanya soal bertahan. Kita juga butuh informasi lebih banyak tentang rencana mereka. Blackwood bukan hanya ancaman, dia juga peluang.”

Nama itu, Blackwood, menggantung di udara. Dewi langsung terdiam, matanya menyipit tajam.

“Kau bicara seolah-olah dia akan membantu kita,” katanya. “Dia bagian dari semua ini, Alan. Apa kau benar-benar yakin kita bisa mempercayainya?”

Alan menarik napas panjang. “Aku tidak yakin, tapi dia adalah satu-satunya yang tahu bagaimana cara menghentikan mereka. Jika kita ingin menang, kita harus menemukannya.”

Thomas memandang Alan dengan hati-hati. “Kau tahu apa yang akan terjadi jika dia mengkhianati kita. Ini taruhan besar, Alan. Lebih besar dari yang pernah kita ambil sebelumnya.”

“Aku tahu,” jawab Alan tegas. “Tapi ini adalah satu-satunya cara.”

Beberapa jam kemudian, mereka bersiap meninggalkan markas. Jalan menuju tempat persembunyian John Blackwood penuh dengan risiko. Setelah serangan di apartemen mereka, The Council pasti sudah memperketat pengawasan. Dewi memeriksa peralatan tempurnya dengan teliti, sementara Thomas memastikan sistem pelacak mereka tidak terdeteksi oleh musuh.

“Kalau ini jebakan, kita semua akan mati,” gumam Dewi sambil menyandang Crimson Scythe di punggungnya.

“Kalau kita tidak mencoba, kita tetap akan mati,” balas Alan.

Mereka menyusuri jalan-jalan sempit di Neon City, menghindari kamera pengawas dan patroli musuh. Thomas, dengan perangkat portabelnya, memastikan jalur mereka tetap bersih. Beberapa kali, mereka harus bersembunyi di gang sempit untuk menghindari drone yang terbang rendah.

Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di sebuah gudang tua yang tersembunyi di bawah tanah. Alan mengetuk pintu baja besar dengan pola tertentu, seperti kode rahasia. Pintu itu bergeming, lalu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan rambut hitam beruban. Wajahnya lelah, dengan mata penuh kewaspadaan.

“Alan,” pria itu berkata, suaranya serak. “Kau seharusnya tidak datang ke sini. Mereka pasti sedang mengawasi.”

“Kami tidak punya pilihan, John,” jawab Alan dengan tegas. “Kau satu-satunya yang bisa membantu kami menghentikan mereka.”

John Blackwood memandang mereka satu per satu, ekspresinya sulit ditebak. “Kalian benar-benar ingin tahu apa yang sedang mereka rencanakan? Kau tahu risikonya, Alan. Jika mereka tahu aku membantu kalian, kita semua akan mati.”

“Kami sudah tahu risiko itu,” sela Dewi tajam. “Katakan apa yang kau tahu, Blackwood.”

John menghela napas panjang, lalu berjalan ke meja di tengah ruangan. Dia membuka sebuah peta digital yang menampilkan berbagai fasilitas milik The Council. “Mereka sedang mempersiapkan senjata pemusnah massal. Sebuah sistem yang bisa melumpuhkan semua infrastruktur global dalam waktu 24 jam. Jika mereka berhasil, dunia akan berada di bawah kendali penuh mereka.”

Alan mengepalkan tangannya. “Di mana mereka menyimpan senjata itu?”

John menunjuk ke salah satu titik di peta. “Di sini. Tapi kalian tidak bisa langsung masuk. Tempat itu dijaga lebih ketat daripada markas utama mereka.”

“Kalau begitu, kita harus menciptakan celah,” kata Thomas, mulai menganalisis peta. “Kita perlu tahu titik lemah mereka.”

John menatap mereka dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Ini bukan hanya soal masuk ke sana. Mereka tahu cara kalian berpikir. Aku harap kau tahu apa yang sedang kau lakukan, Alan.”

Alan menatap John dengan penuh tekad. “Aku tahu. Dan aku tidak akan berhenti sampai mereka dihentikan.”

Di bawah cahaya redup ruang bawah tanah itu, mereka menyadari satu hal: pertempuran mereka baru saja dimulai. Tapi dengan informasi dari John Blackwood, harapan kecil itu mulai tampak di tengah kegelapan.

Related chapters

  • Shadow Rebellion    Bab 4: Helios Protocol

    Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar. "Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan."John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target.""Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat. Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan i

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 5: Melawan Waktu

    Alan menyalakan proyektor kecil dari tablet di tangannya. Cahaya biru redup memancar ke udara di dalam kendaraan, memunculkan peta holografis kompleks yang penuh dengan data. Jalur-jalur merah menunjukkan jaringan rahasia The Council, sementara titik-titik kuning menandai fasilitas yang perlu dihancurkan."Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menutup akses ini," kata Alan dengan nada tegas, menunjuk salah satu titik kuning yang berkedip. "Fasilitas di Turkmenistan adalah pusat komunikasi utama. Jika kita bisa melumpuhkan server mereka di sana, semua komunikasi global mereka akan terganggu."Dewi, yang sedang membersihkan bilah Crimson Scythe-nya, bersiul pelan. "Turkmenistan? Tempat itu terkenal dengan gurun panas dan pengawasan ketat. Bagaimana kita bisa masuk tanpa dibakar hidup-hidup?"Thomas, yang sedang membalut luka di bahunya, mendongak. "Aku bisa memetakan jalur aman melalui radar mereka. Tapi kita butuh lebih dari sekadar peta. Kita butuh pengalih perhatian."Alan mengang

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 6: Kekacauan yang Terkoordinasi

    Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal. Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi. "Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini." Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah." Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat." Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot. "Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir." "Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam era

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 7: Dunia Baru - Akhir Sebuah Awal

    Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan. “Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 8: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter

    Last Updated : 2024-12-13
  • Shadow Rebellion    Bab 9: Di Balik Bayangan

    Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan

    Last Updated : 2024-12-14
  • Shadow Rebellion    Bab 10: Bayangan Dari Masalalu

    Setelah pagi berlalu dengan diskusi strategi dan perencanaan, tim mulai bersiap menghadapi perjalanan mereka berikutnya. Suasana kabin yang sempat hangat kini mulai memudar seiring persiapan dimulai, masing-masing sibuk dengan tugasnya.Thomas, yang selalu tenggelam dalam pekerjaannya, memeriksa prototipe senjata baru miliknya di meja kayu dekat perapian. Cahaya redup dari api membuat detail alat-alatnya terlihat lebih menyeramkan, dan dia tampak sibuk menyolder komponen kecil. "Phantom Rifle sudah siap," gumamnya pada dirinya sendiri. "Tapi yang ini… masih terlalu rentan."Dewi mendekat, menyilangkan tangan sambil menatap senjata itu. "Apa itu akan bertahan jika kita dikejar lagi seperti di Hong Kong?"Thomas mendongak, menghela napas pendek. "Belum tentu. Tapi aku rasa ini cukup untuk memberikan kejutan jika kita menemukan mereka lebih dulu."Dewi tersenyum tipis, meraih Crimson Scythe miliknya yang bersandar di dinding. "Kalau senjatamu gagal, aku yang akan memastikan kita keluar h

    Last Updated : 2024-12-20
  • Shadow Rebellion    Bab 11: Pertarungan Bayangan: Awal dari Kekacauan

    Gudang tua itu berubah menjadi arena penuh ketegangan. Alan berdiri dengan nafas teratur, sementara Reven melepaskan sisa alat plasma yang rusak di lengannya. Tatapan penuh kebencian dan senyum miring di wajah Reven menunjukkan bahwa ini hanyalah pemanasan. “Selalu cerdas dengan trik kecilmu, Alan,” ujar Reven sambil merogoh sesuatu dari ikat pinggangnya. Sebuah bilah energik pendek, lebih ringan, muncul di tangannya. Warnanya biru kehitaman, seperti malam yang tak berujung. “Kalau ini hanya pemanasan, aku tak sabar melihat apa yang kau punya sebenarnya,” balas Alan dingin. Dengan sigap, ia memutar tubuhnya, pistolnya menembakkan peluru khusus yang meluncur seperti kilat, memantul di berbagai sudut ruangan. Reven hanya tertawa, tubuhnya bergerak dengan kecepatan yang tak wajar, menghindari semua peluru yang terpental. “Trik lama ini? Kau pikir aku belum mempelajarinya, Alan?” Reven menyeringai, melompat ke arah Alan dengan serangan berputar. Alan menghindar ke samping, nyari

    Last Updated : 2024-12-22

Latest chapter

  • Shadow Rebellion    Bab 22: Motel yang Sunyi

    Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka

  • Shadow Rebellion    Bab 21: Langit yang Tidak Lagi Sama

    Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri

  • Shadow Rebellion    Bab 20: Bayangan Kekejaman

    Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y

  • Shadow Rebellion    Bab 19: Pasukan Perubahan

    Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m

  • Shadow Rebellion    Bab 18: Langkah yang Berseberangan

    Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin

  • Shadow Rebellion    Bab 17: Pecahan Takdir

    Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b

  • Shadow Rebellion    Bab 16: Bayang di Antara Peluru

    Pertempuran itu semakin sengit. Dentuman senjata bergema tanpa henti, bercampur dengan suara serangan tajam dari Crimson Scythe Dewi yang memotong udara. Musuh terus berdatangan seperti ombak tanpa akhir, dan setiap serangan mereka terasa semakin mendesak. Seseorang melompat dari sudut gelap ruangan, mencoba menusuk salah satu anggota tim, tetapi gerakan itu dihentikan oleh tembakan presisi Phantom Rifle. Peluru Thomas menembus helm musuh, membuatnya terjatuh dengan bunyi yang menghentak. Thomas mengatur napas, peluh bercucuran di dahinya, tetapi matanya tetap terfokus. “Kita harus keluar dari sini, atau mereka akan terus berdatangan,” katanya dengan nada tegas. Dewi hanya memberikan anggukan singkat. Tangannya terangkat, dan dalam satu ayunan Crimson Scythe, dia menghancurkan salah satu dinding yang menghalangi jalan keluar. "Lewat sini!" serunya, tetapi sebelum tim bisa bergerak, sebuah tim musuh lain menyerbu masuk, dipimpin oleh seseorang dengan lambang The Council yang tampak

  • Shadow Rebellion    Bab 15: Percikan Keraguan

    Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i

  • Shadow Rebellion    Bab 14: Bayang-bayang penghianatan

    Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status