Home / Fantasi / Shadow Rebellion / Bab 2: Pengungkapan dan Konsekuensinya

Share

Bab 2: Pengungkapan dan Konsekuensinya

Author: BarokHart
last update Last Updated: 2024-12-11 11:06:49

Mobil hitam mereka meluncur melalui jalan-jalan gelap Neon City, lampu-lampu neon memantul di jendela yang basah oleh gerimis. Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Alan, Dewi, dan Thomas baru saja berhasil keluar dari markas The Council dengan membawa data penting. Namun, perasaan aman jauh dari kata hadir. Ada sesuatu yang menggelitik di benak Alan, sebuah firasat buruk yang sulit ia abaikan.

Alan melirik ke arah Dewi yang duduk di sampingnya. Jaket hitamnya kini kotor dan sedikit robek, mencerminkan pertempuran sebelumnya. Tangannya dengan santai menyentuh perban di pergelangan tangannya, meski wajahnya tetap menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan.

“Kenapa kita nggak langsung menghancurkan mereka, Alan?” tanya Dewi dengan nada frustrasi. “Kenapa harus memutar-mutar seperti ini? Kita sudah tahu siapa musuhnya.”

Alan menghela napas panjang, matanya tetap fokus ke jalan di depan. “Karena mereka menguasai permainan ini, Dewi. Kalau kita bertindak gegabah, kita hanya akan memberi mereka alasan untuk menghancurkan kita lebih cepat. Kita harus sabar.”

Di kursi belakang, Thomas menatap layar kecil di ponselnya, mengetik cepat dengan ekspresi penuh konsentrasi. “Sabar atau nggak, kita punya masalah baru,” katanya tiba-tiba.

Alan menoleh sekilas melalui kaca spion. “Apa yang kamu temukan?”

Thomas mengarahkan ponselnya ke depan, menunjukkan layar berisi serangkaian dokumen. “Nama ini muncul di sebagian besar file yang kita unduh. John Blackwood. Dia bukan hanya anggota The Council, dia otaknya. Setiap operasi besar yang pernah mereka jalankan punya tanda tangannya.”

Dewi menyipitkan mata, mencoba mengingat sesuatu. “John Blackwood... Nama itu nggak asing. Tapi aku nggak ingat di mana aku mendengarnya.”

Alan menekan pedal gas lebih dalam, matanya mengeras. “Kamu pernah mendengarnya, karena dia dulu adalah bagian dari kita. Dia pernah berdiri di sisi kita, sebelum dia memutuskan untuk menjual semua yang dia tahu ke The Council.”

Sebuah keheningan berat menyelimuti mobil.

Dewi akhirnya bersuara, nadanya penuh kemarahan. “Jadi, dia pengkhianat. Kalau begitu, aku semakin yakin kita harus bergerak sekarang. Kita nggak bisa membiarkan orang seperti dia hidup lebih lama.”

Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi Blackwood bukan orang sembarangan. Dia tahu cara kita berpikir, cara kita bertindak. Kalau kita ingin menjatuhkannya, kita harus lebih cerdas daripada dia.”

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di tempat persembunyian mereka, sebuah apartemen sederhana namun aman di jantung kota. Begitu masuk, Thomas langsung duduk di meja kerjanya, melanjutkan analisis terhadap data yang mereka curi. Alan, sementara itu, memindai peta digital yang menampilkan lokasi-lokasi penting milik The Council.

“Kita harus bertindak cepat,” Alan berkata tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Blackwood pasti sudah tahu kalau kita mengambil datanya. Dan dia tidak akan tinggal diam.”

Dewi berdiri di samping jendela, memperhatikan gerimis yang masih turun. “Biarkan dia datang. Aku tidak sabar untuk membuatnya menyesal.”

Namun, suasana tenang itu tak bertahan lama. Beberapa jam kemudian, sebuah ledakan keras mengguncang apartemen mereka. Kaca jendela pecah, dan dinding bergetar hebat.

Alan bergerak lebih cepat dari pikirannya sendiri. Dia meraih pistol dari meja terdekat, matanya tajam memindai situasi. Dewi, meskipun terkejut, sudah dalam posisi bertarung, tangan kanannya mencengkeram Crimson Scythe-nya yang selalu siap di punggungnya.

“Thomas!” seru Alan.

Thomas muncul dari ruangan lain, membawa tas berisi perangkat penting. “Ini mereka, Alan! Mereka sudah tahu lokasi kita!”

Tanpa membuang waktu, Alan memberi isyarat kepada Dewi untuk memeriksa pintu keluar. Saat Dewi membuka pintu, serangan pun dimulai. Penjaga-penjaga bersenjata dari The Council menyerbu masuk. Tembakan membahana, memenuhi apartemen dengan suara yang memekakkan telinga.

Dewi, dengan keberanian luar biasa, melompat ke tengah kerumunan. Dengan gerakan cepat dan mematikan, Crimson Scythe-nya menebas para penyerang. Alan, di sisi lain, bergerak dengan presisi, peluru-peluru dari pistolnya mengenai sasaran tanpa ampun.

“Thomas, buka jalur keluar!” teriak Alan.

Thomas, meskipun dalam tekanan, berhasil mengaktifkan perangkat untuk membuka pintu belakang apartemen. “Jalur aman terbuka! Tapi kita harus cepat!”

Setelah pertempuran sengit, mereka akhirnya berhasil melarikan diri melalui lorong sempit yang mengarah ke jalan belakang. Meskipun berhasil selamat, luka-luka dan kelelahan mulai terasa.

-

Di tengah malam, mereka berhenti di sebuah gudang kosong untuk beristirahat. Alan menatap Dewi dan Thomas, menyadari bahwa misi ini semakin berbahaya.

“Mereka tahu gerakan kita,” katanya dengan suara tegas. “Kita tidak bisa tinggal diam lebih lama lagi. Blackwood akan terus memburu kita sampai dia berhasil.”

Dewi mengusap darah dari luka di pipinya, lalu tersenyum kecil. “Biarkan dia memburu kita. Dia nggak tahu siapa yang dia hadapi.”

Thomas mengangguk, meskipun wajahnya tampak lebih serius dari sebelumnya. “Ini baru permulaan, Alan. Kita harus siap menghadapi apa pun.”

Alan mengangguk pelan, matanya memandang jauh ke dalam kegelapan malam. “Betul. Ini baru permulaan. Tapi jika kita ingin menang, kita harus melangkah lebih cepat daripada mereka.”

Dan dengan itu, mereka bersiap untuk pertempuran berikutnya, menyadari bahwa setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada akhir yang tak terhindarkan: konfrontasi dengan John Blackwood.

Related chapters

  • Shadow Rebellion    bab 3: Keputusan Berat

    Cahaya pagi menyelinap ke celah-celah kecil di ruang bawah tanah markas tersembunyi mereka. Setelah ledakan yang mengguncang apartemen sebelumnya, Alan, Dewi, dan Thomas kini berlindung di tempat yang lebih aman. Namun, suasana tegang tidak memudar. Mereka duduk di depan layar besar yang penuh dengan peta digital, data rahasia, dan analisis tentang pergerakan The Council. Setiap keputusan yang mereka buat sekarang tidak hanya menentukan hidup mereka, tetapi juga nasib dunia yang coba mereka selamatkan. Alan, yang memimpin tim, tampak serius, duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan. Di seberangnya, Dewi terus memeriksa senjatanya, Crimson Scythe, dengan gerakan gelisah. Thomas berdiri di dekat meja kontrol, matanya menatap layar penuh titik-titik merah—menandakan lokasi pasukan musuh. “Ini bukan lagi operasi kecil,” kata Thomas, memecah keheningan. “Blackwood tahu kita bergerak. Dan jika data yang kita dapat kemarin benar, mereka sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dari y

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 4: Helios Protocol

    Pegunungan Ural berdiri angkuh, puncak-puncaknya berkilau di bawah cahaya bulan. Di tengah dinginnya malam, Alan memandangi peta elektronik yang terpampang di layar tablet di tangannya. Cahaya redup dari alat itu menyoroti wajahnya yang penuh tekad. Suara Thomas terdengar melalui headset, melaporkan kondisi area sekitar. "Kau yakin ini tempatnya?" Thomas memecah keheningan melalui headset mereka, suaranya terdengar datar, meski penuh kewaspadaan."John tidak pernah salah soal intelijen," jawab Alan pendek. Tangannya mengaktifkan Phantom Drone yang meluncur diam-diam di udara untuk mengintai lokasi. "Fokus pada target.""Gerbang utama sudah aman. Kau hanya perlu mengkhawatirkan patroli di lorong timur," kata Thomas dengan nada tenang. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang," jawab Alan singkat. Dewi mengangguk sambil merapikan sarung tangan kulitnya. Dia memegang Crimson Scythe dengan ringan, senjata khasnya yang sering membuat lawan gentar hanya dengan melihatnya. "Kita lakukan i

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 5: Melawan Waktu

    Alan menyalakan proyektor kecil dari tablet di tangannya. Cahaya biru redup memancar ke udara di dalam kendaraan, memunculkan peta holografis kompleks yang penuh dengan data. Jalur-jalur merah menunjukkan jaringan rahasia The Council, sementara titik-titik kuning menandai fasilitas yang perlu dihancurkan."Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menutup akses ini," kata Alan dengan nada tegas, menunjuk salah satu titik kuning yang berkedip. "Fasilitas di Turkmenistan adalah pusat komunikasi utama. Jika kita bisa melumpuhkan server mereka di sana, semua komunikasi global mereka akan terganggu."Dewi, yang sedang membersihkan bilah Crimson Scythe-nya, bersiul pelan. "Turkmenistan? Tempat itu terkenal dengan gurun panas dan pengawasan ketat. Bagaimana kita bisa masuk tanpa dibakar hidup-hidup?"Thomas, yang sedang membalut luka di bahunya, mendongak. "Aku bisa memetakan jalur aman melalui radar mereka. Tapi kita butuh lebih dari sekadar peta. Kita butuh pengalih perhatian."Alan mengang

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 6: Kekacauan yang Terkoordinasi

    Mereka bertiga bersembunyi di balik tumpukan peti logistik, napas mereka masih memburu setelah aksi terakhir. Alan menatap layar tablet kecilnya, peta fasilitas terpampang dengan jelas di atas layar holografis biru redup. Suara langkah tentara semakin mendekat, dan ketegangan di udara semakin tebal. Dewi melirik Alan dengan senyum sinis, meski sorot matanya menunjukkan kepanikan yang ia coba tutupi. "Alan, kau ingat, kan? Aku bilang tidak mau mati di gurun ini." Alan tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tenang. Kita belum mati... tapi kalau kau terus bicara, itu bisa berubah." Thomas, yang tengah memuat ulang peluru khusus ke dalam senjatanya, mendesah panjang. "Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—luka di bahuku atau mendengar kalian terus berdebat." Dewi tertawa pelan, lalu mulai bersenandung lagu empat baitnya yang familiar. Alan menoleh, melotot. "Dewi, serius. Kau bisa berhenti menyanyi? Itu bikin susah berpikir." "Refleks, tahu!" jawab Dewi sambil menggenggam era

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 7: Dunia Baru - Akhir Sebuah Awal

    Pesawat itu meluncur mulus, membelah langit malam yang gelap. Alan duduk di kursinya, matanya terpaku pada layar peta hologram yang berkelip menunjukkan posisi mereka. Mereka sudah beberapa jam terbang dari markas utama The Council yang baru saja dihancurkan. Misi yang mereka jalankan telah memberikan hasil yang memuaskan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dewi duduk di samping Alan, memperhatikan peta yang sama. Hanya ada sedikit kata-kata antara mereka. Semuanya terasa sunyi, bahkan meskipun pesawat itu terus bergerak cepat menuju tujuan mereka. Suara mesin pesawat adalah satu-satunya yang terdengar, selain desahan lembut dari Thomas yang sedang duduk di belakang mereka, memeriksa peralatan. “Ada yang terasa salah,” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. Alan meliriknya, matanya tetap pada layar peta. “Aku tahu apa yang kau maksud. Meskipun kita berhasil menghancurkan markas mereka, ini baru permulaan. Ada lebih banyak dari mereka di

    Last Updated : 2024-12-11
  • Shadow Rebellion    Bab 8: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, kabin pesawat terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah berhasil meloloskan diri dari markas The Council yang tersembunyi di Eropa Timur, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang mengambang di udara. Alan duduk di kursinya, tatapannya tajam, seakan menganalisis setiap detil yang telah mereka temukan semalam.Dewi duduk di sebelahnya, memeriksa peralatan tempur yang dia bawa. Terkadang dia melirik Alan, menunggu penjelasan lebih lanjut tentang rencana mereka selanjutnya. Namun, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi layar instrumen pesawat. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Alan,” Dewi akhirnya membuka suara. “Kau tahu kita harus bergerak cepat. Jika apa yang kita temukan kemarin benar, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.”Alan mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ada satu hal yang masih menggangguku.”“Apa itu?” tanya Dewi.Alan ter

    Last Updated : 2024-12-13
  • Shadow Rebellion    Bab 9: Di Balik Bayangan

    Pesawat kecil itu melaju dengan mulus di atas pegunungan yang tertutup salju, menuju tujuan yang belum sepenuhnya diketahui. Dalam kabin, suasana masih dipenuhi ketegangan meskipun misi terakhir mereka baru saja selesai. Meskipun markas utama The Council telah dihancurkan, mereka tahu ini hanya permulaan. Alan duduk di kursi depan, memindai layar peta yang menunjukkan lokasi-lokasi baru yang perlu mereka selidiki. Titik-titik merah semakin banyak bermunculan di seluruh dunia—sinyal dari berbagai kegiatan The Council, dan semakin lama semakin jelas bahwa mereka belum sepenuhnya musnah."Apa kita akan bisa menghentikan mereka?" Dewi bertanya, duduk di dekat Alan dengan tatapan tajam, siap jika terjadi sesuatu.Alan menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. "Mereka tidak hanya menghancurkan kita di satu tempat. Mereka telah merencanakan ini lebih lama daripada yang kita kira. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."Rey, yang duduk di sisi belakang, menyilangkan

    Last Updated : 2024-12-14
  • Shadow Rebellion    Bab 10: Bayangan Dari Masalalu

    Setelah pagi berlalu dengan diskusi strategi dan perencanaan, tim mulai bersiap menghadapi perjalanan mereka berikutnya. Suasana kabin yang sempat hangat kini mulai memudar seiring persiapan dimulai, masing-masing sibuk dengan tugasnya.Thomas, yang selalu tenggelam dalam pekerjaannya, memeriksa prototipe senjata baru miliknya di meja kayu dekat perapian. Cahaya redup dari api membuat detail alat-alatnya terlihat lebih menyeramkan, dan dia tampak sibuk menyolder komponen kecil. "Phantom Rifle sudah siap," gumamnya pada dirinya sendiri. "Tapi yang ini… masih terlalu rentan."Dewi mendekat, menyilangkan tangan sambil menatap senjata itu. "Apa itu akan bertahan jika kita dikejar lagi seperti di Hong Kong?"Thomas mendongak, menghela napas pendek. "Belum tentu. Tapi aku rasa ini cukup untuk memberikan kejutan jika kita menemukan mereka lebih dulu."Dewi tersenyum tipis, meraih Crimson Scythe miliknya yang bersandar di dinding. "Kalau senjatamu gagal, aku yang akan memastikan kita keluar h

    Last Updated : 2024-12-20

Latest chapter

  • Shadow Rebellion    Bab 22: Motel yang Sunyi

    Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka

  • Shadow Rebellion    Bab 21: Langit yang Tidak Lagi Sama

    Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri

  • Shadow Rebellion    Bab 20: Bayangan Kekejaman

    Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y

  • Shadow Rebellion    Bab 19: Pasukan Perubahan

    Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m

  • Shadow Rebellion    Bab 18: Langkah yang Berseberangan

    Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin

  • Shadow Rebellion    Bab 17: Pecahan Takdir

    Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b

  • Shadow Rebellion    Bab 16: Bayang di Antara Peluru

    Pertempuran itu semakin sengit. Dentuman senjata bergema tanpa henti, bercampur dengan suara serangan tajam dari Crimson Scythe Dewi yang memotong udara. Musuh terus berdatangan seperti ombak tanpa akhir, dan setiap serangan mereka terasa semakin mendesak. Seseorang melompat dari sudut gelap ruangan, mencoba menusuk salah satu anggota tim, tetapi gerakan itu dihentikan oleh tembakan presisi Phantom Rifle. Peluru Thomas menembus helm musuh, membuatnya terjatuh dengan bunyi yang menghentak. Thomas mengatur napas, peluh bercucuran di dahinya, tetapi matanya tetap terfokus. “Kita harus keluar dari sini, atau mereka akan terus berdatangan,” katanya dengan nada tegas. Dewi hanya memberikan anggukan singkat. Tangannya terangkat, dan dalam satu ayunan Crimson Scythe, dia menghancurkan salah satu dinding yang menghalangi jalan keluar. "Lewat sini!" serunya, tetapi sebelum tim bisa bergerak, sebuah tim musuh lain menyerbu masuk, dipimpin oleh seseorang dengan lambang The Council yang tampak

  • Shadow Rebellion    Bab 15: Percikan Keraguan

    Setelah pengakuan Alan, tim tampak tenggelam dalam kebisuan yang berat. Ketegangan terasa hampir meledak, seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Rey, yang biasanya paling cepat merespon, hanya menatap tajam ke arah Alan dengan pisau masih tergenggam erat di tangannya. Dewi akhirnya melangkah maju, suaranya datar namun dingin. “Kita di sini melawan The Council, tapi kau, Alan... kau dulu bagian dari mereka. Kau tahu berapa banyak nyawa yang hancur karena organisasi itu, dan sekarang kau ingin kami percaya bahwa kau ada di pihak kami?” Alan membalas tatapannya, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku tahu aku bersalah, Dewi. Tapi aku sudah meninggalkan mereka! Aku ada di sini untuk memperbaiki kesalahan itu, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!” Thomas, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kau berbohong pada kami sejak awal, Alan. Kau tahu mereka mengejar kita, dan kau tidak memberi tahu apa pun. Kau tahu lebih banyak dari yang kau akui.” Pria di lantai i

  • Shadow Rebellion    Bab 14: Bayang-bayang penghianatan

    Pria itu mendekat sedikit, matanya menyelidik, mengukur setiap gerakan mereka. Senyum mengerikan itu tetap terukir di wajahnya. “Kami tidak ingin banyak,” katanya, suaranya serak, seperti sudah lama tidak digunakan. “Kami hanya ingin tahu siapa yang menghalangi kami. Siapa di balik semua ini?” Rey mencengkeram gagang pisau dengan lebih erat, matanya terfokus pada pria itu. Alan tetap berdiri di depannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menggantung di udara. “Siapa kami, atau siapa yang kami lindungi, itu bukan urusanmu,” kata Alan dengan tegas, namun suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada ancaman. Pria itu tertawa, suara tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Ah, masih tidak paham? Ini bukan soal siapa yang kalian lindungi. Ini tentang siapa yang kalian pilih untuk dibela." Dia mengangkat tangannya, menepuk-nepuk udara dengan ringan. "Dan kalian jelas memilih pihak yang salah." Rey memiringkan kepala, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyanya, namun mat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status