Ketika perhatian dan juga ranjang panas Taka (sang partner kerja) justru selalu menyambutnya dengan segala cinta. Akankah Wisang memilih hengkang dari Dimas yang terus menyia-nyiakan dirinya? Atau .... dia akan tetap bertahan dengan terus menjadi partner Taka? Sebagai wanita kedua yang ada dalam hidup Taka dan tetap menjadi Nyonya Dimas. Baca terus kemelut jiwa Wisang, wanita muda nan cerdas dan seksi yang terjebak dalam hasrat terlarang dengan sang partner.
View MoreMalam berikutnya.Di sebuah kafe yang cukup tersembunyi di pusat kota, Dimas duduk dengan tenang, menyesap kopinya sambil menunggu seseorang. Senyumnya tipis ketika melihat seorang wanita berambut panjang berwarna cokelat keemasan memasuki ruangan.Larissa.Ia melangkah anggun, mengenakan gaun hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Matanya yang tajam langsung mengunci pandangan ke arah Dimas. Begitu sampai di meja, ia duduk tanpa basa-basi, menyilangkan tangan di dada."Aku tidak menyangka kau akan menghubungiku duluan," ujar Larissa dengan nada penuh penilaian.Dimas tersenyum kecil. "Kita berdua menginginkan hal yang sama, bukan?"Larissa mengangkat alis. "Kau ingin memisahkan Taka dan Wisang, sedangkan aku hanya ingin Taka kembali padaku. Jangan salah paham, Dimas. Aku tidak peduli dengan urusan pribadimu."Dimas terkekeh. "Oh, tapi kita berdua sama-sama tahu bahwa mereka berdua tidak akan mudah dipisahkan tanpa sedikit… dorongan."Larissa menatapnya lama, lalu m
Taka berdiri di bawah lampu jalan, menunggu dengan gelisah. Hanya ada beberapa mobil yang melintas di sekitar area parkir restoran ini. Ia tidak ingin bertemu Larissa di rumah atau di tempat yang bisa menimbulkan kecurigaan. Maka, ia memilih lokasi netral—tempat yang cukup ramai untuk menghindari kesalahpahaman, tetapi cukup sepi agar mereka bisa berbicara tanpa gangguan.Tak lama kemudian, sebuah sedan hitam berhenti di dekatnya. Larissa keluar dari mobil dengan anggun, mengenakan mantel panjang berwarna krem. Wajahnya tetap sama seperti yang Taka ingat—dingin, penuh percaya diri, dan licik.“Kau benar-benar datang,” ucap Larissa dengan senyum tipis.Taka menyilangkan tangan di dada. “Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu keluargaku.”Larissa mengangkat alisnya, lalu melipat tangan. “Oh? Jadi sekarang kau menyebut mereka keluargamu?” Ia terkekeh kecil. “Padahal dulu, kau pernah menyebutku sebagai satu-satunya wanita yang kau cintai.”Taka menghela napas, berusaha mengendalikan emosi
Larissa baru saja berbalik menuju mobilnya ketika Wisang mengejarnya, langkahnya cepat dan penuh emosi yang tertahan.“Tunggu, Larissa,” panggil Wisang, suaranya tegas.Wanita itu berhenti, menoleh dengan ekspresi datar. “Apa lagi?”Wisang menatapnya tajam. “Apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini? Kau membuat janji dengan Ghenta tanpa bicara dengan kami dulu, seolah kau lebih berhak atasnya.”Larissa menyilangkan tangan di dadanya. “Aku tidak perlu izin darimu atau Taka untuk menghabiskan waktu dengan Ghenta. Aku sudah mengenalnya sejak lama, dan dia menyayangiku.”Taka yang berdiri di ambang pintu menghela napas, tetapi membiarkan Wisang menangani ini.“Kau pikir itu alasan yang cukup?” Wisang mendekat, suaranya sedikit meninggi. “Kau tidak bisa seenaknya masuk ke dalam kehidupan kami dan membuat keputusan sepihak! Ghenta bukan anakmu, Larissa!”Mata Larissa berkilat marah. “Dan kau juga bukan ayah kandungnya, Wisang! Tapi kenapa kau bertingkah seolah kau yang paling berhak?”Ucapann
Malam itu, setelah menghabiskan waktu bersama di taman, Wisang duduk di teras rumah dengan secangkir teh di tangannya. Udara malam terasa lebih sejuk dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja. Ia sedang berpikir, mencerna semua yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Taka muncul dari dalam rumah, membawa selimut tipis. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Wisang, menyelimutinya dengan pelan."Udara dingin," katanya singkat.Wisang menatapnya sekilas, lalu kembali memandang ke depan. "Aku baik-baik saja."Taka menghela napas, lalu mengeratkan selimut itu di bahu Wisang. "Aku tahu kau kuat. Tapi bukan berarti kau harus selalu sendiri dalam semua hal."Kata-kata itu menusuk sesuatu dalam diri Wisang. Ia tidak menjawab, hanya mengaduk tehnya perlahan.Beberapa saat berlalu dalam keheningan, sebelum akhirnya Taka kembali membuka suara."Kau percaya padaku, Wisang?"Pria itu terdiam. Sebuah pertanyaan sederhana, tapi jawabannya tidak sesederhana itu."Jujur saja," lanjut Ta
Wisang duduk di meja makan, menatap piring di depannya tanpa banyak nafsu. Biasanya, makan malam adalah momen yang hangat. Ia dan Taka akan duduk bersama, membicarakan hari mereka, berbagi cerita kecil tentang Ghenta. Tapi malam ini, yang ada hanyalah keheningan. Taka duduk di seberang, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya membuka suara. “Kau sudah makan?” tanyanya pelan. Wisang mengangguk, meski hanya menyentuh makanannya sedikit. “Ya.” Taka terdiam sejenak sebelum akhirnya bangkit, membawa piring kotor ke wastafel. Biasanya, Wisang yang selalu mengomel saat ia lupa mencuci piringnya sendiri. Tapi kali ini, Wisang hanya diam, membiarkan Taka bergerak dengan caranya sendiri. Ketika Taka kembali ke meja makan, ia menatap Wisang lama. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, tapi kata-kata terasa sulit untuk keluar. “Aku akan tidur lebih awal,” Wisang berkata akhirnya, bangkit dari kursinya. Taka refleks berdiri juga. “Wisang…” Wisang menoleh, menunggu. Taka menggigit bibi
Taka masih duduk di ruang tamu. Lampu utama sudah ia matikan, menyisakan cahaya lampu meja yang temaram. Di hadapannya, secangkir kopi yang tadi ia buat sudah dingin. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup rapat.Di balik pintu itu, Wisang ada di sana. Tapi entah kenapa, rasanya ia seperti berada sangat jauh.Taka menghela napas, mencoba memahami perasaannya sendiri. Ia marah. Ia kecewa. Tapi yang lebih besar dari itu semua—ia takut.Selama ini, ia selalu berpikir bahwa meski ada pertengkaran di antara mereka, Wisang tidak akan benar-benar pergi. Wisang akan tetap berada di sisinya, tetap mencintainya, tetap menjadi tempat pulang bagi dirinya dan Ghenta.Tapi jawaban Wisang tadi—Aku tidak tahu—menghantamnya lebih keras dari apa pun.Taka mengusap wajahnya. Ia ingin masuk ke kamar itu, berbicara dengan Wisang, meminta maaf jika memang itu yang diperlukan. Tapi kakinya terasa berat. Ia takut, jika ia memaksa masuk, Wisang akan semakin menjauh.Malam semakin larut.Dan untuk pert
Wisang menatap layar ponselnya yang menunjukkan pukul sebelas malam. Ia mengembuskan napas pelan, membiarkan suara gemerincing sendok yang bertemu dengan cangkir di tangannya memenuhi pikirannya. Kafe tempatnya duduk kini mulai sepi. Beberapa pelanggan terakhir sudah beranjak pergi, meninggalkan aroma kopi yang masih menggantung di udara.Ia tahu, ia seharusnya pulang. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk kembali ke rumah secepat itu. Untuk pertama kalinya, ia ingin membiarkan waktu berlalu tanpa merasa harus bertanggung jawab terhadap siapa pun.Namun, saat ia menyentuh layar ponselnya, sebuah panggilan masuk muncul.Taka.Wisang menatap nama itu beberapa saat, membiarkan ponsel bergetar di atas meja. Ia tahu bahwa Taka pasti marah. Tapi kali ini, ia tidak ingin terburu-buru menjawab. Ia ingin menikmati sedikit kebebasan yang baru saja ia cicipi hari ini.Namun, ketika ponselnya bergetar lagi untuk kedua kalinya, Wisang akhirnya menyerah. Ia mengangkatnya dengan malas.“
Tangis Wisang perlahan mereda, tapi dadanya masih terasa sesak. Ia mengangkat kepala, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Cangkir teh di hadapannya masih utuh, dingin, seperti hatinya yang kini membeku.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi tak peduli seberapa dalam ia menarik udara, kekosongan dalam dadanya tetap ada.Selama ini, ia bertahan. Ia menahan semuanya, berusaha tidak memperlihatkan betapa lelah dan sakitnya ia menghadapi semua ini. Tapi pagi ini, satu hal yang ia takutkan benar-benar terjadi.Taka telah mencabut peran itu darinya—haknya sebagai ibu, haknya sebagai satu-satunya sosok yang selalu ada untuk Ghenta.Dan yang lebih menyakitkan?Taka bahkan tidak menyadari betapa dalamnya luka yang ia tinggalkan.---Pintu rumah masih terbuka sedikit, membiarkan angin pagi masuk dan menyapu ruangan. Wisang akhirnya bangkit, menutupnya perlahan sebelum kembali ke dalam.Ia berjalan menuju kamar Ghenta, tempat anaknya tidur tadi malam. Ia merapi
Tangis Wisang mengalir tanpa henti, meskipun ia mencoba mengusap air matanya dengan kasar. Suara sesenggukannya terdengar lirih di antara kesunyian pagi. Ia tidak ingin menangis seperti ini, tidak ingin merasa selemah ini. Namun, hatinya sudah terlalu penuh, dan pagi ini menjadi puncaknya.Ia membiarkan dirinya larut dalam tangis untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang. Ia menghapus sisa air mata yang masih menggenang di pipinya, berusaha menenangkan diri. Namun, perasaan hampa itu tetap ada.Ketika ia menatap cangkir teh yang kini sudah dingin sepenuhnya, sebuah pikiran melintas di benaknya."Apa aku masih dibutuhkan?"Selama ini, ia selalu berusaha menjadi bagian dari kehidupan Taka dan Ghenta. Ia selalu memastikan bahwa rumah tetap hangat, bahwa anaknya merasa dicintai, bahwa Taka memiliki seseorang yang selalu ada untuknya.Namun sekarang, satu per satu perannya diambil.Jika Ghenta bisa diurus oleh Larissa... Jika Taka bisa memutuskan segalanya sendiri... Jika
“Kau? Sedang apa disini?” tanya Taka dengan mata melebar menatap seorang wanita berbalut dress formal dengan balutan cardigan denim yang memberi kesan lebih kasual yang tengah berdiri di hadapannya.“Papa sudah pulang?” sahut seorang anak remaja bernama Ghenta itu menyahutnya.“Ya, dan kalian sedang apa?” tanya Taka kembali mengulang tanyanya.“Papa, ini Mrs Dini yang menjadi Guru Pengajarku. Papa sudah menyetujuinya kan dan kami sudah dua pekan mulai belajar. Jangan katakan Papa melupakannya,” ucap Ghenta panjang lebar. ”Oh, begitu ya. Maaf sayang, Papa bukannya lupa hanya kaget karena Mrs Dini yang kamu katakan ini adalah Tante Wisang istrinya sahabat Papa. Kau ingat Om Dimas?” jawab Taka sambil menyodorkan tangannya kepada Wisang.“Really? Mrs Dini adalah istri Om Dimas?” ucap Ghenta sangat terkejut mengetahuinya.Dan wanita yang disebut keduanya itu pun mengangguk sambil tersenyum.“Waah, asyik dong,” seru Ghenta yang memang merasa nyaman belajar dengan Wisang menjadi sangat antu...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments