Wisang merasa terpukul dengan tuntutan Dimas yang begitu tiba-tiba. Dia merasa seperti semua yang dia bangun selama ini runtuh dalam sekejap. Namun, di balik keputusasaan, ada api keberanian yang mulai berkobar di dalam dirinya. Dia tahu dia harus bertahan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depannya. Dengan gemetar, tapi dengan tekad yang bulat, Wisang menolak untuk menandatangani surat cerai itu."Dimas, aku tidak akan menandatangani ini. Aku akan melawanmu, aku tidak akan membiarkanmu mengambil segalanya dariku," ucap Wisang dengan suara gemetar, tetapi penuh dengan tekad.Dimas terkekeh sinis, tetapi juga bisa merasakan bahwa Wisang tidak lagi menjadi wanita yang mudah ditekan seperti sebelumnya. Dia menyadari bahwa perlawanan dari Wisang tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja."Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Aku sudah bersiap untuk segala kemungkinan. Dan video itu... aku akan menghadapinya dengan kepala tegak. Aku tidak akan mem
Dengan wajah merah padam dan penuh amarah, Dimas berdiri dan menampar Wisang keras-keras. Wisang terhuyung ke belakang, merasakan panas di pipinya. Sandra hanya tertawa kecil di sudut ruangan, menikmati tontonan di depannya.“Kau akan menyesal sudah melawan aku, Wisang!” teriak Dimas sambil mengusap kopi dari wajahnya. Wisang merasa sakit hati, marah, dan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar dari apartemen. Air mata bercucuran di pipinya saat dia menuju mobilnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi yang pasti dia harus menjauh dari Dimas dan Sandra.Dengan tangan gemetar, Wisang menghidupkan mesin mobilnya dan melaju kencang di jalanan kota yang ramai. Pikirannya kacau, penuh dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan Dimas selanjutnya. Saat itu, dia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin, untuk mencari perlindungan.Namun, nasib berkata lain. Di sebuah persimpangan jalan, dalam kondisi emosional yang tidak stabil, Wisang tidak melihat sebuah truk besar
Satu pekan kemudian. Dimas murka dan langsung berdiri, berjalan cepat menghampiri Wisang dengan mata yang penuh amarah. Dia meraih pergelangan tangan Wisang dengan kasar, mencengkeramnya erat hingga Wisang meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan, hah? Kau pikir bisa melawanku begitu saja?" Dimas menggeram, wajahnya merah padam. "Aku sudah muak denganmu. Kau tidak akan pernah menang, Wisang. Kau mendengar itu?" Wisang menatap Dimas dengan penuh keberanian, meski hatinya berdebar kencang. "Aku tidak akan pernah tunduk padamu lagi, Dimas. Kau bisa mengancamku, memindahkan Kakek, atau bahkan mencoba memanfaatkan Taka. Tapi aku tidak akan pernah menyerah." Dimas tertawa sinis, mendorong Wisang hingga terjatuh ke lantai. "Kau wanita bodoh, Wisang. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi." Sebelum Dimas bisa berkata lebih banyak, pintu apartemen terbuka dengan keras. Taka berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh determinasi dan kemarahan. "Dimas, lepaskan dia sekarang!" Taka mengan
Setelah beberapa jam perjalanan, Taka dan Wisang akhirnya tiba di alamat yang diberikan. Rumah tua di pinggir kota itu terlihat sepi dan terabaikan. Taka memeriksa sekeliling sebelum mereka berdua perlahan-lahan mendekati pintu depan. “Ini tempatnya,” bisik Taka. “Kita harus berhati-hati.” Wisang mengangguk, hatinya berdebar keras. Mereka membuka pintu dengan hati-hati, langkah mereka pelan namun tegas. Ketika mereka masuk, aroma debu dan kelembaban menyambut mereka. Dengan cepat, mereka menyusuri lorong menuju kamar di ujung. Di dalam kamar, Kakek Radez terkejut melihat cucunya dan Taka. Matanya berbinar melihat mereka, meski tubuhnya terlihat lemah. Wisang berlari mendekat, memeluk kakeknya dengan erat. “Kakek, kami datang untuk menyelamatkanmu,” kata Wisang dengan suara yang terisak. Kakek Radez mengangguk lemah. “Aku tahu kau akan datang, Wisang. Kau selalu kuat.” Taka berjaga-jaga di dekat pintu, memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Dimas. “Kita harus segera per
Beberapa hari kemudian, Taka menghadiri sebuah konferensi bisnis internasional di hotel mewah di pusat kota. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai pebisnis dan investor terkenal dari seluruh dunia. Taka berjalan memasuki aula utama dengan percaya diri, meski pikirannya masih dipenuhi oleh ancaman Dimas.Saat dia sedang berbicara dengan beberapa kolega, Taka melihat Dimas memasuki ruangan. Dimas tidak sendirian; dia datang bersama seorang pria muda berambut pirang, berdarah Jerman, yang dikenal sebagai Ethan. Ethan adalah seorang pebisnis asing yang sangat terkenal dengan keberaniannya dalam berinvestasi besar-besaran. Taka merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tahu bahwa kedatangan Dimas bersama Ethan bukanlah kebetulan.Dimas tersenyum sinis saat pandangan mereka bertemu. Tanpa basa-basi, dia mendekati Taka dengan Ethan di sisinya. "Taka, perkenalkan, ini Ethan," kata Dimas dengan nada yang penuh dengan kepura-puraan ramah. "Ethan, ini Taka, pria yang sering kali membuat bis
Malam semakin menia, Taka dan Wisang memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama lebih lama. Mereka berdua beranjak ke kamar, di mana suasana semakin intim dan penuh dengan cinta. Setiap sentuhan dan bisikan semakin memperkuat ikatan yang mereka miliki.Wisang menarik Taka mendekat, jemarinya dengan lembut mengusap wajah Taka. Mereka saling memandang, memahami perasaan masing-masing tanpa perlu berkata-kata. Taka kemudian memeluk Wisang erat, mencium lehernya dengan lembut, merasakan detak jantung yang semakin cepat.Wisang merespons dengan ciuman yang penuh gairah, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan penuh hasrat. Sentuhan mereka semakin intens, tangan mereka menjelajahi tubuh satu sama lain, menikmati setiap momen kedekatan yang selama ini dirindukan.Mereka jatuh ke tempat tidur, masih terjebak dalam ciuman yang membara. Wisang menggenggam tangan Taka, menariknya lebih dekat lagi. Malam itu menjadi malam yang penuh gairah, di mana mereka membiarkan perasaan mereka meng
Wisang baru saja pulang kerja dan merasa sangat lelah. Dia memutuskan untuk berganti pakaian sebelum menemui Kakek yang sedang berkebun di halaman belakang. Setelah merasa lebih nyaman, Wisang berjalan keluar dan melihat Kakek sedang sibuk dengan tanah dan bibit di tangannya.Wisang mengetuk pintu pagar dan melangkah masuk. "Kakek, aku pulang!"Kakek, yang sedang berjongkok, berdiri dan membersihkan tangannya dari tanah. Senyum hangat menyambut Wisang."Oh, Wisang! Bagaimana harimu di kantor?"Wisang tersenyum sambil melepas sepatu, merasa senang bisa pulang."Cukup baik, Kek. Banyak pekerjaan seperti biasa. Aku pulang sebentar untuk ganti pakaian."Kakek mengangguk sambil tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya dengan penuh semangat."Bagus. Kerja keras memang penting. Ayo, masuk dulu. Kebetulan Kakek sedang menanam bunga mawar baru."Wisang mendekat dan memandangi bunga-bunga yang sedang ditanam oleh Kakek."Mawar? Warna apa kali ini, Kek?"Kakek tersenyum bangga dan menunjuk bunga
Malam itu, bulan menggantung tinggi di langit, memancarkan cahaya perak yang lembut. Di bawah sinar rembulan, Wisang dan Taka duduk di taman kota yang sepi, tempat yang sering mereka kunjungi sejak awal hubungan mereka. Namun, malam ini terasa berbeda. Ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka, dan hati mereka dipenuhi kebingungan dan kecemasan.Wisang menatap ke arah bintang-bintang, pikirannya melayang jauh. "Taka," katanya dengan suara pelan, "kita sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi jika Dimas tidak kunjung menceraikanku, kita tak akan pernah bisa bersama secara utuh."Taka menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku tahu, Wisang. Tapi aku juga tahu betapa sulitnya bagimu untuk meninggalkannya. Kau sudah mencoba sejauh ini, tapi Dimas selalu menemukan cara untuk menunda perceraian itu."Wisang mengangguk, merasakan keputusasaan yang mendalam. "Dia selalu berjanji akan melakukannya, tapi selalu ada alasan baru setiap kali. Aku tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian
Keesokan harinya, Taka dan Wisang bertemu dengan tim keamanan untuk merencanakan langkah selanjutnya. Mereka memutuskan untuk meningkatkan pengamanan, bukan hanya di rumah, tetapi juga saat mereka bepergian. Taka memutuskan untuk tidak membiarkan Dimas melihat ketakutan mereka, tetapi lebih memilih untuk menunjukkan sikap tenang dan terkontrol.Di sisi lain, Dimas tidak berhenti mengawasi. Setiap langkah Taka dan Ghenta dipantau dengan cermat. Namun, Dimas juga menyadari bahwa Taka semakin berhati-hati dan mulai menyusun langkah yang lebih strategis.Pada suatu sore, ketika Taka dan Wisang sedang berbincang di ruang kerja, seorang pengacara dari firma hukum Taka datang membawa kabar penting. Ternyata, Dimas telah mulai menggerakkan pengaruhnya untuk mengancam bisnis Taka dengan berbagai cara—baik melalui penyebaran rumor maupun dengan memanipulasi pasar.“Ini sudah di luar dugaan kita,” kata pengacara itu. “Dimas telah membeli saham dari beberapa perusahaan sekutu Taka dan mulai membe
Seminggu berlalu dengan persiapan penuh kecemasan dan antisipasi. Ghenta, anak semata wayang Taka, akhirnya tiba di Indonesia.Di bandara, Taka berdiri dengan Wisang di sampingnya. Kedua pria itu sama-sama tampak cemas namun penuh harapan. Ketika pintu kedatangan internasional terbuka, seorang bocah lelaki berusia sekitar 10 tahun muncul, membawa koper kecil dengan ekspresi penuh kegembiraan.“Papa!” serunya sambil berlari menuju Taka.Ghenta memandang Wisang dengan mata penuh rasa ingin tahu.Taka berdiri, menepuk bahu Ghenta dengan lembut. “Dia lebih dari sekadar sahabat Papa, Nak. Nanti Papa ceritakan.”Ghenta mengangguk kecil, lalu kembali memegang tangan Taka. “Aku lapar, Papa. Bisa kita makan sesuatu dulu?”Taka dan Wisang saling pandang sebelum mengangguk serempak. “Tentu. Ada kafe kecil yang Papa suka di dekat sini. Yuk, kita ke sana,” kata Taka sambil membawa koper Ghenta.---Di kafe, mereka duduk di meja sudut yang tenang. Ghenta dengan antusias menceritakan kehidupan di Er
Taka menghela napas keras, tetapi menuruti permintaan Wisang. Dia kembali duduk, meski tubuhnya masih tegang seperti busur yang siap memanah. "Baik. Arka, lanjutkan."Arka menelan ludah, suaranya bergetar ketika dia mulai berbicara lagi. “Mereka memberiku tugas untuk mendapatkan informasi. Apa pun tentang keuangan yayasan, jaringan relasi kalian, bahkan proyek-proyek kecil. Mereka ingin tahu kelemahan kalian.”Wisang menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit. "Jadi, semua data yang bocor beberapa bulan terakhir... itu ulahmu?"Arka mengangguk pelan, rasa bersalah terpancar jelas di wajahnya. "Aku tidak punya pilihan, Wisang. Mereka mengancam keluargaku. Aku... aku hanya ingin melindungi mereka."Taka mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap tajam ke dalam mata Arka. "Dan sekarang, kamu akan menebus kesalahanmu. Kamu akan memberikan setiap nama, setiap detail, dan semua bukti yang kamu miliki. Jika tidak, aku sendiri yang akan memastikan kamu tidak bisa menyentuh ke
Taka berdiri di depan jendela, matanya menatap mobil yang terbakar di luar dengan tatapan yang keras. Suasana malam itu terasa semakin menegangkan. Wisang berdiri di sampingnya, tangan terkepal erat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, namun juga tekad yang membara.“Dimas... ini sudah di luar kendali,” bisik Wisang, suara bergetar, meski dia mencoba menenangkan dirinya sendiri.Taka mengalihkan pandangannya ke Wisang, kemudian berbalik menghadapnya dengan tatapan penuh rasa waspada. "Tidak, ini bukan hanya Dimas. Ini lebih dari itu, Wisang. Kita tahu siapa yang berusaha menjatuhkan kita, tapi sekarang mereka semakin berani."Wisang menggelengkan kepala, kebingungan merayapi pikirannya. “Tapi bagaimana bisa mereka tahu kita sedang mencari bukti tentang Arka? Bagaimana mereka bisa mendekati kita tanpa kita ketahui?”Taka menggenggam bahu Wisang, menatapnya dengan serius. “Ada seseorang di dalam kita. Seseorang yang mendekatkan diri untuk mendapatkan kepercayaan kita. Dan dia sekarang be
Meskipun Taka dan Wisang mulai menemukan kebahagiaan mereka setelah melalui banyak cobaan, bayang-bayang masa lalu yang penuh intrik dan pengkhianatan tetap mengintai di sudut kehidupan mereka. Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, kedamaian yang mereka bangun mulai terganggu oleh sebuah ancaman yang tak terduga.Sebuah kabar buruk datang melalui surat yang dikirimkan ke kantor yayasan mereka. Surat itu berisi ancaman yang jelas: "Kalian pikir kalian sudah menang? Tidak akan ada yang bisa melarikan diri dari masa lalu. Semuanya akan runtuh, satu per satu."Taka dan Wisang merasa ketegangan mulai kembali merayapi hidup mereka. Meski mereka berpikir bahwa Dimas sudah tidak memiliki kekuatan lagi setelah kejatuhannya, surat ini jelas mengindikasikan bahwa seseorang, mungkin dari lingkaran Dimas yang masih memiliki sisa-sisa pengaruh, berusaha untuk merusak mereka lagi.Taka menggelengkan kepalanya, matanya tajam menatap surat itu. “Ini pasti dari seseorang yang ingin membalas dendam.
Pesan itu membuat jantung Wisang berdetak kencang. Dia tahu bahwa Dimas pasti sudah mendapatkan informasi tentang mereka. Meskipun dia berusaha menenangkan dirinya, ketegangan kembali melanda. “Taka, kita harus lebih berhati-hati. Dimas tahu apa yang kita lakukan. Dia sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar,” ujar Wisang dengan suara tegang.Taka mengerutkan kening, merasakan dorongan kemarahan yang tiba-tiba. “Kami tidak akan mundur sekarang, Wisang. Ini saatnya untuk membuat langkah berani. Dimas tak bisa terus mendikte hidup kita. Kita harus hadapi dia dengan cara yang lebih besar.”Malam itu, mereka memutuskan untuk mempercepat proses investigasi dan mempersiapkan langkah hukum yang lebih tegas. Mereka tidak hanya ingin membersihkan nama yayasan, tetapi juga memberikan pelajaran kepada Dimas tentang betapa berbahayanya kebohongan dan manipulasi yang ia sebarkan.Namun, mereka tidak bisa bekerja sendirian. Dalam pertemuan rahasia dengan beberapa sekutu yang mereka percayai, me
Minggu-minggu berikutnya terasa penuh dengan ketegangan bagi Taka dan Wisang. Mereka terus berusaha untuk membersihkan nama yayasan dari tuduhan palsu yang dilontarkan Dimas. Setiap langkah mereka diawasi dengan cermat oleh para pihak yang ingin melihat mereka gagal. Namun, meskipun beban yang mereka tanggung semakin berat, mereka berdua tetap saling mendukung, berpegangan tangan dengan kuat dan saling memberi semangat.Sementara itu, Dimas semakin terobsesi dengan menghancurkan mereka. Ia tahu bahwa jika ia bisa mengalahkan Taka dan Wisang, ia akan bisa merebut kembali kekuasaan yang pernah ia miliki dan menjadikan mereka sebagai sasaran untuk balas dendam. Dengan pengaruh yang masih dimilikinya, Dimas mulai merancang serangan-serangan lebih licik, memanfaatkan celah di dunia bisnis dan politik untuk memanipulasi keadaan demi keuntungannya.Pada suatu malam, Taka dan Wisang duduk bersama di kantor yayasan, melihat laporan investigasi yang telah mereka susun bersama tim pengacara. Tak
Hari itu, setelah hampir seminggu penuh dengan pertemuan hukum dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan kebakaran, Wisang dan Taka akhirnya punya waktu untuk duduk bersama, beristirahat sejenak dari segala keruwetan. Mereka berada di sebuah kafe kecil yang sepi, di sudut kota yang sering mereka kunjungi sejak dulu. Tempat itu memiliki kenangan tersendiri bagi mereka, kenangan akan masa-masa sulit yang telah mereka lewati bersama.Wisang duduk dengan tenang, menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Taka yang terlihat lelah namun tetap tegar. "Kamu sudah melalui banyak hal, Taka. Aku terkejut melihat bagaimana kamu bisa tetap teguh menghadapi semuanya."Taka menatap Wisang, senyumnya penuh kehangatan. "Karena aku tahu, aku tidak sendirian. Kamu ada di sini dengan aku. Itulah yang membuatku bisa bertahan."Wisang terdiam sejenak, hatinya dipenuhi oleh perasaan yang sulit diungkapkan. Mereka sudah melalui banyak hal bersama: kebangkitan yayasan, konfrontasi dengan Dimas, dan ket
Setelah percakapan emosional mereka, Wisang dan Taka memutuskan untuk menghadapi skandal ini bersama. Namun, usaha mereka untuk mengatasi masalah itu belum selesai. Dimas masih menjadi ancaman besar. Sementara itu, berita tentang kebakaran perusahaan Taka mulai menyebar, membawa konsekuensi yang lebih besar dari sekadar kerusakan fisik.Dua hari kemudian, Taka menerima laporan dari tim investigasi kebakaran. Dokumen yang diserahkan kepadanya mengungkapkan sesuatu yang mencurigakan: kebakaran itu bukan kecelakaan. Ada jejak bahan bakar yang tidak biasa ditemukan di lokasi.“Ini sabotase,” kata Taka, menggenggam laporan itu dengan tangan gemetar. “Seseorang sengaja menghancurkan ini.”Wisang, yang berada di sampingnya, mencoba menenangkan Taka. “Kita harus melapor ke polisi dan mengusut ini sampai tuntas.”Namun, Taka menggeleng. “Tidak semudah itu. Kalau kita membawa ini ke pihak berwajib sekarang, reputasi perusahaan yang tersisa akan hancur. Investor akan pergi, dan aku akan kehilang