Aku yang dicap sebagai perawan tua tiba-tiba dinikahi oleh Rizal–berondong yang usianya sepantaran dengan adik laki-lakiku. Meskipun kata orang-orang Rizal adalah pemuda yang berandalan, tapi selama menikah denganku, Rizal sangat baik dalam memperlakukanku. Hingga suatu hari, rahasia besarnya terbongkar..
View More"Ustaz sudah punya calon istri belum?"
Aku hanya bisa ternganga ketika mendengar pertanyaan dari perempuan paruh baya yang suaranya sangat aku kenali itu.
Ya, suara perempuan paruh baya itu adalah orang yang sudah melahirkanku tiga puluh tiga tahun yang lalu atau yang biasa kupanggil dengan sebutan Ibu.
Lagi-lagi, Ibu bertanya hal yang memalukan lagi. Kemarin, beliau bertanya hal demikian kepada Juragan tanah, Juragan minyak, bahkan Juragan beras. Dan sekarang, Ibuku bertanya kepada ustad yang sedang mengadakan sesi tanya-jawab setelah ceramah yang disampaikannya selesai.
"Kalau belum punya calon istri, apa mau saya jodohkan dengan putri saya? Dia cantik lho, Taz."
Aku langsung menutup wajahku menggunakan masker yang berada di saku gamisku.
Mungkin niat Ibu baik, agar diriku yang dicap sebagai perawan tua ini segera bertemu jodohnya. Tapi, apa harus sampai segitunya? Menjadi perawan tua bukanlah tindakan kriminal, ‘kan?
Terkadang, aku ingin menangis meratapi nasib. Hal seperti ini bukan hanya sekali terjadi, tetapi sudah berulang kali.
Namun, apalah dayaku yang tidak bisa menghentikan aksi Ibuku tersebut. Karena kalau aku menghentikannya, ujung-ujungnya, doa-doa buruk darinya akan ke luar begitu saja.
"Ibumu berulah lagi, Ra." Mbok Sum, perempuan yang usianya sepantaran dengan Ibuku yang kebetulan duduk bersebelahan denganku menyenggol lenganku.
Sudah menjadi rahasia umum kalau Ibu adalah orang yang gemar mencarikan jodoh untuk putrinya yang disebut sebagai perawan tua ini.
Aku menoleh sembari tersenyum kecut. Mau marahpun itu juga akan terasa percuma.
"Sebaiknya kamu pulang duluan sebelum mendengar kata penolakan."
Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Perkataan Mbok Sum memang benar adanya. Dari sekian usaha yang Ibuku lakukan, ujung-ujungnya mereka akan menolak dengan alasan berbagai macam. Mulai dari sudah beristri, sudah mempunyai calon, ingin mempunyai calon yang usianya masih muda atau belum ingin menikah.
Ah, benar-benar memalukan bukan? Ibaratnya aku adalah sebuah barang yang diobral ke sana-sini agar segera laku, namun pada akhirnya tidak ada yang membelinya juga.
"Ya sudah, kalau begitu saya pulang duluan ya, Mbok. Kalau ibu saya bertanya, bilang saja tidak tahu."
"Iya, Ra."
Tanpa pikir panjang, aku segera beranjak dari tempat dudukku lalu menyelinap ke luar dari masjid ini.
Aku berjalan ke rumah dengan gontai. Bingung sekali kalau berada di posisiku saat ini. Aku tulang punggung keluarga, wajar kalau belum menemukan jodoh karena sibuk bekerja. Ayahku meninggal dunia ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar karena sakit.
Dulu, pernah ada yang melamar saat usiaku dua puluh lima tahun, tapi ditolak oleh Ibu dengan mentah-mentah karena calon suamiku adalah orang miskin. Aku disuruh bekerja untuk menyekolahkan kedua adikku. Sekarang, aku belum menikah, Ibuku malah kalang kabut.
"Ibu mana, Mbak?" tanya Fika adikku, saat aku baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah.
"Masih di masjid, Fik. Mbak pulang duluan."
Saudara perempuan yang terpaut usia lima tahun dariku itu langsung mendekat ke arahku.
"Bagi duit dong, Mbak," pintanya kemudian.
Aku melepas kerudungku lalu duduk di kursi ruang tamu. "Memangnya suamimu nggak ngasih duit? Kok, dari kemarin minta Mbak terus?"
"Perhitungan banget sama adik sendiri. Pantesan jadi perawan tua! Pantesan gak laku-laku!"
Aku langsung mengucap istighfar saat Fika berkata demikian. Sebenarnya tidak hanya Fika, Ibuku pun juga sering mengatakan hal serupa jika aku tidak memberikan apa yang mereka minta. Kalau begini, rasa-rasanya aku ingin menghilang dari peredaran bumi.
"Ya sudah tunggu sebentar, Mbak ambilkan."
"Nah, gitu dong!"
Aku beranjak dari tempat dudukku menuju kamar lalu mengambil tiga lembar uang berwarna merah dan aku berikan kepada Adikku tersebut.
"Kok, cuma segini? Kuranglah, Mbak!"
"Kemarin kamu sudah aku kasih lima ratus ribu lho, Fik."
"Ah, kalau pelit bilang aja pelit!" tanpa berterimakasih, Fika langsung pergi meninggalkan rumah begitu saja.
Aku mengelus dada melihat kepergiannya. Zaman sekarang mencari uang itu susah. Dia hanya tahunya meminta saja. Padahal suaminya juga bekerja, dia juga belum mempunyai anak. Tapi, tetap saja kalau urusan uang, aku yang selalu dimintainya. Kalau tidak dikasih, doa-doa buruknya langsung keluar begitu saja.
Aku langsung pergi ke kamarku. Sore ini aku akan kembali ke ibu kota, meskipun jatah liburku masih satu hari. Sungguh aku sudah tidak betah berada di rumah ini.
***
"Ayo buruan pakai kerudungnya! Orang kok lelet, pantesan jodohnya juga lelet!" omel ibuku lagi. Niat hati ingin kembali ke ibu kota kemarin sore akhirnya gagal karena perempuan paruh baya itu tidak mengizinkannya.
"Rara sudah bilang kalau nggak mau ikut arisan, Bu. Itu 'kan arisan khusus ibu-ibu."
"Lha, seharusnya kamu juga sudah jadi ibu-ibu! Umur 33 tahun belum menikah memangnya wajar?"
"Nggak ada batasan waktu kapan orang itu menikah, Bu."
"Iya, tapi Ibu tuh malu, Ra. Tiap hari ada saja yang bertanya kapan kamu nikah. Katanya kamu perempuan gak laku, katanya kamu kena sawan makanya sulit jodoh."
"Ya ... tinggal jawab aja kalau belum ketemu jodohnya, Bu."
Terdengar Ibuku mendengus kesal. "Ini efeknya kalau suka mendebat orang tua! Lama-lama, kamu Ibu jodohkan juga dengan pak Kades dari kampung sebelah biar dijadikan istri keempatnya!"
"Tega amat sama anak sendiri, Bu."
"Makanya sekarang ikut Ibu! Nanti Ibu mau minta suaminya bu Ndari untuk menerawangmu!"
"Astaghfirullah, menerawang gimana maksudnya, Bu?"
"Siapa tau kamu ketempelan jin, jadi jodohnya sulit. Udah ayo cepet pakai kerudungnya!"
"Iya-iya." Tak ingin berdebat lagi, dengan terpaksa aku menurut.
Aku segera memakai kerudung yang telah disiapkan oleh Ibu dan berjalan mengikutinya.
***
"Rara harus dimandikan kembang tujuh rupa tepat malam jum'at nanti Bu Retno."
Aku melongo, baru juga tiba di tempat arisan, Pak Karyo—suaminya Bu Ndari sudah berkata demikian.
Inikah yang dinamakan menerawang?
"Aura anak Bu Retno ini hitam pekat penuh dengan kegelapan. Memandikannya dengan kembang tujuh rupa akan membuat aura hitam itu menghilang."
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ini ajaran dari mana ya Allah? Rasanya aku ingin berlari menjauh dari orang-orang ini.
"Terus memandikannya harus jam dua belas malam tepat di sungai dekat pohon besar."
Aku langsung menarik lengan baju Ibuku agar tidak mengikuti perkataan konyol tersebut.
"Jangan lupa bawa sesajennya, kembang tujuh rupa dan telur ayam hitam tujuh butir."
"Ya baiklah, nanti malam akan saya bawa."
"Bu, aku nggak mau. Itu sama saja syirik, lho," bisikku pada Ibu.
"Ini demi kebaikanmu, Ra. Biar kamu itu segera bertemu dengan jodohmu!"
"Bu, jodoh itu urusan Allah."
"Diam, kamu! Bisanya bikin pusing kepala saja! Pulang duluan sana nggak usah jadi ikut arisan!" bentak Ibuku yang membuat kami langsung menjadi pusat perhatian.
Rasanya malu sekali berada di posisiku saat ini. Sehina inikah perempuan berusia matang tapi belum menikah?
“Wanita lain?” Rizal terkekeh menatapku. “Mana mungkin aku punya wanita lain, Mbak!”“Lha itu Mawar.”Rizal lagi-lagi terkekeh. “Dia hanyalah mantan tunangannya Samuel.”“Mantan, tapi masih cium-ciuman.”“Oooh … yang waktu itu? Yang kamu kabur dari mansion itu, Mbak?”Aku terdiam. Aku tak mungkin berkata pada Rizal, jika hatiku saat itu benar-benar panas.“Kamu harus tahu yang sebenarnya, Mbak. Perempuan itulah yang terlebih dahulu mencium Samuel—dia memaksa Samuel untuk balikan. Namun, Samuel menolaknya. Samuel benci penghianatan.”Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Berarti … aku salah menilai Samuel? Rasa bersalah tiba-tiba menelusup jiwaku. Andai aku tidak kabur saat itu, bukankah semuanya akan baik-baik saja?Aku mengusap perutku yang kempes. Bulir-bulir bening tiba-tiba membasahi kedua pipiku. “Lho, kenapa malah menangis, Mbak?”Aku menggelengkan kepalaku seraya menyeka air mataku yang sudah mengucur dengan deras.“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Mbak.” Rizal kemudian menarikku
Sudah berminggu-minggu aku terkurung di dalam rumah sakit ini. Sesekali aku keluar hanya untuk berjemur. Itu pun harus dengan penjagaan yang super ketat. Bibi Pram tiba-tiba memasuki ruangan yang kuhuni dengan tergopoh-gopoh. Kalau sudah seperti itu, ia pasti akan menyampaikan sesuatu yang penting.“Nyonya, Anda harus melihat berita hari ini di televisi!” katanya yang kini sedang sibuk mencari remote tv.“Ada apa, Bi?”Tanpa menjawab pertanyaanku, Bibi Pram yang sudah menemukan remote tiba-tiba segera menyalakan televisi dan mencari channel yang diinginkannya.Begitu mendapatkan channel tersebut, Bibi Pram langsung menyuruhku untuk melihatnya.“Pimpinan William Group telah diambil alih oleh anak semata wayangnya yang bernama Afrizal Samuelim Exel.”Aku terbelalak membaca line berita dalam channel televisi tersebut.Jadi, Samuel sudah berhasil mengambil alih pimpinan William Group?Aku segera menyimak isi berita tersebut, tampak sang pembawa acara menyampaikan isi beritanya dengan lug
Kehilangan buah hati ternyata menimbulkan luka yang dalam bagiku. Aku sudah seperti orang kehilangan arah dan tidak tahu harus melakukan apa.Aku merasa hidupku seperti tidak ada artinya lagi. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh dan tak berbentuk lagi.Andai aku tidak dikurung, andai Samuel mau menyelesaikan setiap masalah tanpa amarah yang meledak. Aku rasa, kejadian buruk ini tidak akan terjadi.Bolehkah aku membencinya yang telah membuatku seperti ini?Pintu kamar rawat yang kuhuni tiba-tiba terbuka.Kukira yang datang adalah Bibi Pram. Namun, ternyata yang datang adalah laki-laki yang membuatku menjadi hampir gila seperti ini.Aku membuang muka. Aku benar-benar muak melihatnya.“Bagaimana keadaanmu?”“Puas kamu membuatku seperti ini?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kalau perlu bunuh saja aku sekalian!”Ia hanya diam. Namun, suara langkah kakinya seperti sedang menuju ke arahku. Dan secara mengejutkan, ia tiba-tiba memelukku dengan erat.Aku meronta-ronta. Untuk apa memelukku? D
Aku merasakan tubuhku diangkat seseorang yang berlari entah menuju ke mana.Dari nada teriakannya, ia terdengar panik dengan keadaanku saat ini.“Tolong selamatkan istri saya, dok!”Istri? Apa yang dimaksud adalah aku?Seseorang yang menggendong tubuhku ini terus berlari.Hingga beberapa saat kemudian, aku merasa diletakkan di sebuah tempat tidur lalu ditarik dengan tergesa-gesa oleh suara riuh orang yang tidak aku ketahui mereka itu siapa.Mataku benar-benar tidak bisa terbuka seakan ada beban berat yang menimpanya.“Bapak tunggu di luar ruangan. Kami akan berusaha menyelamatkan istri dan anak Anda!”“Lakukan yang terbaik, dok! Saya tidak mau kehilangan mereka!”Tubuhku terasa dibawa menuju ke sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas … perutku rasanya seperti sedang diremas-remas.***“Mama … Mama … bangunlah ….” kata seorang anak kecil membangunkanku yang sedang terlelap.Aku mengedarkan pandanganku. Di mana aku berada? Kenapa tempat ini semuanya berwarn
Keinginan tinggal di rumah Nenek Nur selamanya dan juga keinginan membangun tempat ini nyatanya hanyalah menjadi angan-angan semata.Pagi-pagi sekali—lebih tepatnya sehabis subuh, rumah Nenek Nur di gedor-gedor pintunya hingga mau roboh.Ketika aku membuka pintu, tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang aku ketahui mereka itu siapa langsung menyeretku agar pergi dari rumah Nenek Nur. Tidak ada yang bisa menolongku meskipun para warga yang berada di sana ingin melakukannya. Orang-orang yang membawaku ini membawa senjata tajam dan sengaja digunakan untuk menakut-nakuti mereka.Begitu hampir tiba di mobil, aku melihat sesosok laki-laki yang aku hindari tengah bersandar pada pintu mobil dengan sepuntung rokok yang berada di jemarinya.Dia menatapku tajam bak perisai yang siap menembus lawannya.Dia pikir, aku akan takut ditatap seperti itu? Tidak akan! Aku bukan Rara yang lemah seperti dulu kala! Bahkan, jika aku mati hari ini, aku siap!“Kenapa kabur?” tanyanya dingin melebihi din
Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyetop sebuah angkot ketika sudah sampai di luar.Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan ada yang mengikutiku tidak.Lagi-lagi aku bernapas lega, syukurlah tidak ada yang mengikutiku sama sekali.Sekarang, tinggal memikirkan aku harus pergi ke mana.Tiba-tiba, nama Mila melintas di pikiranku. Sepertinya, untuk sementara waktu aku akan ke rumahnya dulu.Aku segera mengeluarkan ponselku lalu menghubungi Mila.“Assalamualaikum, Rara? Ya ampuuun … ke mana saja kamu selama ini? Kenapa pesanku nggak pernah kamu balas?” cerocos Mila begitu panggilanku telah diangkatnya.“Waalaykumussallam, Mil. Nanti aku ceritakan semuanya. Kamu ada di rumah?”“Iya, aku ada di rumah. Kan, ini hari liburku!”“Oke, aku akan datang ke rumahmu.”Begitu panggilan terputus, aku segera minta turun dari angkot guna memesan taxi online menuju rumah Mila yang jaraknya sangat jauh.*Setibanya di rumah Mila, dia langsung menyambutku dengan heboh. Apalagi ketika mengetahui p
Aku terlonjak kaget ketika terbangun sudah tidak berada di bawah tiang mansion dekat taman.Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru arah. Kamar? Kenapa aku bisa berada di dalam kamar? Siapa yang memindahkanku?Aku beranjak dari atas ranjang ketika menyadari tidak ada Samuel di kamar ini. Sepertinya, aku harus segera pergi sebelum dia kembali.“Mau ke mana lagi?”Deg!Baru beberapa langkah kakiku melangkah, sebuah suara berhasil membuatku tak berkutik sama sekali.Aku menoleh ke arah belakang, tampak ada Samuel yang baru saja muncul dari balik pintu kamar mandi menatapku dengan tajam.“Eh, kamu sudah mendingan?” tanyaku berbasa-basi dan berusaha bersikap tenang seakan tak terjadi apa-apa.“Lumayan.”“Alhamdulillah, aku merasa senang. Kalau begitu aku—”“Ini semua berkat obat manis yang kau berikan.”Aku seketika meringis ke arahnya. Sudah dipastikan wajahku saat ini semerah tomat menahan malu. “Ma-maaf, aku tidak bermak—”“Aku suka.”Kedua mataku langsung melebar melebar sempurna mena
“Nyonya Muda, apa yang sedang Anda lakukan pagi-pagi begini di dapur?” tanya Bibi Pram menghampiriku yang sedang berkutat di dapur mansion seorang diri. Dapur mansion ada dua bagian. Dapur kotor untuk memasak sehari-hari yang dipakai oleh pelayan. Sementara dapur bersih biasanya dipakai oleh tuan rumah ketika ingin memasak sendiri. “Suamiku sedang sakit, Bi. Aku ingin membuatkannya bubur.” Bibi Pram melihat panci yang berada di atas kompor. Sedetik kemudian, perempuan paruh baya itu tersenyum ke arahku. “Apa boleh saya membantu Anda?” tanyanya kemudian. “Aku bisa sendiri, Bi.” “Apa Anda serius?” Aku menoleh ke arah panci sambil garuk-garuk kepala. Jujur saja, aku belum pernah membuat bubur. “Sebenarnya, saya belum pernah membuat bubur sendiri, Bi. Ini saya cuma cari tutorial di sosial media.” Lagi-lagi Bibi Pram tersenyum. “Berarti, saya boleh membantu, kan?” Aku langsung nyengir ke arah Bibi Pram. “Ya sudah, tolong bantuin ya, Bi.” “Baik, Nyonya Muda.” Bibi Pr
Aku meringkuk di sudut ruangan dengan pikiran yang kacau balau. Jiwa Rizal dan Samuel benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Tuan dan Nyonya William untuk kepentingan mereka sendiri. Hari nurani mereka sebagai orang tua sepertinya sudah rusak. Bukan rusak lagi, tapi sudah hancur dan tak berbentuk. Anak mempunyai penyakit kepribadian ganda bukannya disembuhkan, tapi malah semakin dimanfaatkan. Bukankah itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak manusiawi? Aku mengepalkan kedua tanganku. Tekad dalam hatiku semakin membara untuk menjatuhkan mereka. Hatiku benar-benar sakit raga suamiku diperlakukan seperti itu! Di saat sedang kalut seperti ini, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Dari balik pintu muncullah sosok seorang laki-laki yang aku khawatirkan sedari tadi. Dengan wajah yang babak belur dan baju yang bersimbah darah ia berjalan perlahan memasuki kamar. “Astagfirullah, Samuel!” Aku segera berlari menghampirinya. Melihat kondisi Samuel saat ini membuat air mataku langsung mengucur den
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments