"Ustaz sudah punya calon istri belum?"
Aku hanya bisa ternganga ketika mendengar pertanyaan dari perempuan paruh baya yang suaranya sangat aku kenali itu.
Ya, suara perempuan paruh baya itu adalah orang yang sudah melahirkanku tiga puluh tiga tahun yang lalu atau yang biasa kupanggil dengan sebutan Ibu.
Lagi-lagi, Ibu bertanya hal yang memalukan lagi. Kemarin, beliau bertanya hal demikian kepada Juragan tanah, Juragan minyak, bahkan Juragan beras. Dan sekarang, Ibuku bertanya kepada ustad yang sedang mengadakan sesi tanya-jawab setelah ceramah yang disampaikannya selesai.
"Kalau belum punya calon istri, apa mau saya jodohkan dengan putri saya? Dia cantik lho, Taz."
Aku langsung menutup wajahku menggunakan masker yang berada di saku gamisku.
Mungkin niat Ibu baik, agar diriku yang dicap sebagai perawan tua ini segera bertemu jodohnya. Tapi, apa harus sampai segitunya? Menjadi perawan tua bukanlah tindakan kriminal, ‘kan?
Terkadang, aku ingin menangis meratapi nasib. Hal seperti ini bukan hanya sekali terjadi, tetapi sudah berulang kali.
Namun, apalah dayaku yang tidak bisa menghentikan aksi Ibuku tersebut. Karena kalau aku menghentikannya, ujung-ujungnya, doa-doa buruk darinya akan ke luar begitu saja.
"Ibumu berulah lagi, Ra." Mbok Sum, perempuan yang usianya sepantaran dengan Ibuku yang kebetulan duduk bersebelahan denganku menyenggol lenganku.
Sudah menjadi rahasia umum kalau Ibu adalah orang yang gemar mencarikan jodoh untuk putrinya yang disebut sebagai perawan tua ini.
Aku menoleh sembari tersenyum kecut. Mau marahpun itu juga akan terasa percuma.
"Sebaiknya kamu pulang duluan sebelum mendengar kata penolakan."
Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Perkataan Mbok Sum memang benar adanya. Dari sekian usaha yang Ibuku lakukan, ujung-ujungnya mereka akan menolak dengan alasan berbagai macam. Mulai dari sudah beristri, sudah mempunyai calon, ingin mempunyai calon yang usianya masih muda atau belum ingin menikah.
Ah, benar-benar memalukan bukan? Ibaratnya aku adalah sebuah barang yang diobral ke sana-sini agar segera laku, namun pada akhirnya tidak ada yang membelinya juga.
"Ya sudah, kalau begitu saya pulang duluan ya, Mbok. Kalau ibu saya bertanya, bilang saja tidak tahu."
"Iya, Ra."
Tanpa pikir panjang, aku segera beranjak dari tempat dudukku lalu menyelinap ke luar dari masjid ini.
Aku berjalan ke rumah dengan gontai. Bingung sekali kalau berada di posisiku saat ini. Aku tulang punggung keluarga, wajar kalau belum menemukan jodoh karena sibuk bekerja. Ayahku meninggal dunia ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar karena sakit.
Dulu, pernah ada yang melamar saat usiaku dua puluh lima tahun, tapi ditolak oleh Ibu dengan mentah-mentah karena calon suamiku adalah orang miskin. Aku disuruh bekerja untuk menyekolahkan kedua adikku. Sekarang, aku belum menikah, Ibuku malah kalang kabut.
"Ibu mana, Mbak?" tanya Fika adikku, saat aku baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah.
"Masih di masjid, Fik. Mbak pulang duluan."
Saudara perempuan yang terpaut usia lima tahun dariku itu langsung mendekat ke arahku.
"Bagi duit dong, Mbak," pintanya kemudian.
Aku melepas kerudungku lalu duduk di kursi ruang tamu. "Memangnya suamimu nggak ngasih duit? Kok, dari kemarin minta Mbak terus?"
"Perhitungan banget sama adik sendiri. Pantesan jadi perawan tua! Pantesan gak laku-laku!"
Aku langsung mengucap istighfar saat Fika berkata demikian. Sebenarnya tidak hanya Fika, Ibuku pun juga sering mengatakan hal serupa jika aku tidak memberikan apa yang mereka minta. Kalau begini, rasa-rasanya aku ingin menghilang dari peredaran bumi.
"Ya sudah tunggu sebentar, Mbak ambilkan."
"Nah, gitu dong!"
Aku beranjak dari tempat dudukku menuju kamar lalu mengambil tiga lembar uang berwarna merah dan aku berikan kepada Adikku tersebut.
"Kok, cuma segini? Kuranglah, Mbak!"
"Kemarin kamu sudah aku kasih lima ratus ribu lho, Fik."
"Ah, kalau pelit bilang aja pelit!" tanpa berterimakasih, Fika langsung pergi meninggalkan rumah begitu saja.
Aku mengelus dada melihat kepergiannya. Zaman sekarang mencari uang itu susah. Dia hanya tahunya meminta saja. Padahal suaminya juga bekerja, dia juga belum mempunyai anak. Tapi, tetap saja kalau urusan uang, aku yang selalu dimintainya. Kalau tidak dikasih, doa-doa buruknya langsung keluar begitu saja.
Aku langsung pergi ke kamarku. Sore ini aku akan kembali ke ibu kota, meskipun jatah liburku masih satu hari. Sungguh aku sudah tidak betah berada di rumah ini.
***
"Ayo buruan pakai kerudungnya! Orang kok lelet, pantesan jodohnya juga lelet!" omel ibuku lagi. Niat hati ingin kembali ke ibu kota kemarin sore akhirnya gagal karena perempuan paruh baya itu tidak mengizinkannya.
"Rara sudah bilang kalau nggak mau ikut arisan, Bu. Itu 'kan arisan khusus ibu-ibu."
"Lha, seharusnya kamu juga sudah jadi ibu-ibu! Umur 33 tahun belum menikah memangnya wajar?"
"Nggak ada batasan waktu kapan orang itu menikah, Bu."
"Iya, tapi Ibu tuh malu, Ra. Tiap hari ada saja yang bertanya kapan kamu nikah. Katanya kamu perempuan gak laku, katanya kamu kena sawan makanya sulit jodoh."
"Ya ... tinggal jawab aja kalau belum ketemu jodohnya, Bu."
Terdengar Ibuku mendengus kesal. "Ini efeknya kalau suka mendebat orang tua! Lama-lama, kamu Ibu jodohkan juga dengan pak Kades dari kampung sebelah biar dijadikan istri keempatnya!"
"Tega amat sama anak sendiri, Bu."
"Makanya sekarang ikut Ibu! Nanti Ibu mau minta suaminya bu Ndari untuk menerawangmu!"
"Astaghfirullah, menerawang gimana maksudnya, Bu?"
"Siapa tau kamu ketempelan jin, jadi jodohnya sulit. Udah ayo cepet pakai kerudungnya!"
"Iya-iya." Tak ingin berdebat lagi, dengan terpaksa aku menurut.
Aku segera memakai kerudung yang telah disiapkan oleh Ibu dan berjalan mengikutinya.
***
"Rara harus dimandikan kembang tujuh rupa tepat malam jum'at nanti Bu Retno."
Aku melongo, baru juga tiba di tempat arisan, Pak Karyo—suaminya Bu Ndari sudah berkata demikian.
Inikah yang dinamakan menerawang?
"Aura anak Bu Retno ini hitam pekat penuh dengan kegelapan. Memandikannya dengan kembang tujuh rupa akan membuat aura hitam itu menghilang."
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ini ajaran dari mana ya Allah? Rasanya aku ingin berlari menjauh dari orang-orang ini.
"Terus memandikannya harus jam dua belas malam tepat di sungai dekat pohon besar."
Aku langsung menarik lengan baju Ibuku agar tidak mengikuti perkataan konyol tersebut.
"Jangan lupa bawa sesajennya, kembang tujuh rupa dan telur ayam hitam tujuh butir."
"Ya baiklah, nanti malam akan saya bawa."
"Bu, aku nggak mau. Itu sama saja syirik, lho," bisikku pada Ibu.
"Ini demi kebaikanmu, Ra. Biar kamu itu segera bertemu dengan jodohmu!"
"Bu, jodoh itu urusan Allah."
"Diam, kamu! Bisanya bikin pusing kepala saja! Pulang duluan sana nggak usah jadi ikut arisan!" bentak Ibuku yang membuat kami langsung menjadi pusat perhatian.
Rasanya malu sekali berada di posisiku saat ini. Sehina inikah perempuan berusia matang tapi belum menikah?
Aku terus mondar-mandir di dalam rumah dengan gelisah. Kalau sampai nanti malam Ibu menyeretku ke sungai agar mandi kembang tujuh rupa bagaimana? Ibu, 'kan orangnya nekat.Apa aku kabur saja?Tapi kalau kabur, nanti aku dicap sebagai anak yang durhaka bagaimana?Di saat pikiran sedang buntu begini, suara pintu diketuk berulangkali mengalihkan perhatianku.Aku segera ke luar dari kamar untuk membuka pintu rumah yang sedang diketuk itu."Yuda ke mana?" tanya seorang pemuda ketika aku sudah membuka pintu yang diketuknya tadi. Pemuda itu bernama Rizal. Dia adalah teman adik laki-lakiku. "Dari kemarin Yuda nggak ada di rumah," jawabku kemudian.Rizal membuang puntung rokok yang berada di tangannya dan langsung menerobos masuk saja ke dalam rumah dengan tidak sopan."Lho, kok kamu malah main masuk aja? Yuda beneran nggak ada!" Aku mengikuti Rizal, dengan harapan bocah itu segera keluar dari dalam rumah. Sebenarnya, dari dulu aku tidak suka kalau Yuda berteman dengan Rizal. Rizal ini band
"Yes! Akhirnya aku bebas dari rumah neraka itu!" teriak Rizal kencang. Ia bahkan melompat ke udara dengan kegirangan tanpa memikirkan perasaanku yang terluka karena perbuatannya.Aku menghentikan langkahku seraya menatapnya dengan marah. "Kamu sengaja melakukan ini agar bebas dari rumah?""Iya.” Pemuda itu mengangguk tanpa merasa bersalah. “Aku sudah muak berada di rumah itu!""Tapi kamu menjadikanku korban, Zal!""Itu urusanmu sendiri, Mbak! Yang penting, rencanaku berhasil!"Aku terduduk dengan lemas. Air mataku luruh begitu saja membanjiri kedua pipiku. Tega sekali Rizal menjadikanku korban hanya untuk kepentingannya sendiri.“Harusnya, kamu berterimakasih padaku, Mbak.” Ia menepuk dadanya sendiri. “Berkat aku, kamu nggak dicap sebagai perawan tua lagi.”“Tapi gara-gara kamu, aku diusir oleh ibuku sendiri dan diusir dari kampung, Zal!” teriakku frustrasi.“Kamu justru bebas, Mbak!” Rizal ikutan berteriak. “Kamu nggak perlu menanggung hidup ibumu dan adik-adikmu yang gak tahu diuntu
Aku membuka selimut yang membungkus tubuhku dengan kasar lalu menatap Rizal dengan geram. “Apalagi, sih, Zal? Bisa jangan ganggu aku terus? Aku capek, aku mau tidur! Besok aku kerja!”Rizal kemudian memperlihatkan bantal yang dipegangnya padaku. “Bantalnya bisa tukar nggak, Mbak? Masa aku tidur pakai bantal gambar helo kiti, yang benar saja kamu, Mbak!”Aku menghela napas panjang. Perkara bantal saja jadi masalah. Memangnya, kalau dia memakai bantal bergambar helo kiti, jenis kelaminnya bakalan berubah? Tidak, ‘kan?Segera kuambil sebuah bantal polos di sampingku lalu aku lemparkan padanya.“Nah, gini, dong!” Dia segera berlalu dari hadapanku ke ruang depan.Segera kubaringkan diriku di tempat tidur lagi. Aku sudah sangat lelah dan butuh istirahat. Kejadian hari ini benar-benar menguras semua tenagaku. Barangkali, ketika aku tidur, beban hidupku sedikit berkurang.“Mbak?” tiba-tiba bocah menyebalkan itu memanggilku lagi. Buru-buru kutarik selimutku dan pura-pura tertidur dengan harapa
“Selamat datang kembali, Mbak Rara,” sambut Rizal ceria ketika aku sudah sampai di kontrakan.“Ya, terimakasih.” Aku melepaskan sepatuku dan segera masuk ke dalam kontrakan.Seketika aku terkejut melihat penampakan kontrakanku saat ini. Kenapa semuanya tampak berubah semua?Cat tembok kontrakan yang biasanya terlihat kusam dan mengelupas, kini berubah menjadi tembok cantik dengan wallpaper bunga.Ruangan utama ada karpet bulu-bulu berwarna merah muda dan di depan karpet ada sebuah televisi layar lebar di letakkan di atas meja yang aesthetic.Tak sampai di situ, ruangan tengah yang biasa aku pakai untuk tidur kini ada bad cover minimalis disertai dengan dipannya.Lalu ada sebuah kulkas, lemari pakaian, dispenser baru, dan berbagai pernak-pernik yang memperlengkap isi kontrakanku.Ketika aku berjalan ke dapur. Di sana sudah ada lemari piring baru disertai dengan peralatan memasak yang lengkap pula.Aku sampai mencubit kedua tanganku, barangkali aku hanya mimpi, kontrakan kumuhku berubah
Seharian ini, aku bekerja dengan pikiran yang kacau balau. Gara-gara hal itu, aku banyak melakukan kesalahan sehingga mendapatkan omelan dari Bu Sinta. “Kamu masih niat kerja nggak sih, Ra?” bentak Bu Sinta sambil berkacak pinggang ketika aku lagi-lagi memecahkan sebuah gelas. “Ma-maaf, Bu. Saya tidak sengaja.” “Gak sengaja gimana! Sudah lima gelas yang kamu pecahkan, lho! Kamu pikir itu gelasmu!” “Ma-maaf, Bu.” “Ck, bulan ini gajimu dipotong karena sudah memecahkan gelas!” Aku hanya menunduk dan tak berniat membantah perkataan Bu Sinta. Mau bagaimanapun, ini memang salahku. Tidak apa-apa jika gajiku dipotong. “Rara, sudah enggak usah diambil hati. Sini aku bantuin beresin pecahan gelasnya,” kata Mila ketika Bu Sinta sudah pergi. “Sepertinya masalahmu cukup berat. Ceritakan padaku setelah pulang kerja nanti.” Setelah pulang kerja, aku dan Mila berhenti di sebuah cafe langganan kami. Kami sengaja memilih duduk di rooftop yang cukup sepi. Mila menatapku serius, tapi dar
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menatap Rizal. "Ap-apa katamu tadi, Zal?"Rizal bangkit dari atas tubuhku seraya menggeleng pelan. "Bukan apa-apa, Mbak!" Dia langsung pergi begitu saja meninggalkanku.Kuseka embun di sudut mataku sembari melihat punggungnya yang berlalu. "Mimpi hidup denganku di rumah mewah bersama anak-anak yang cantik mirip aku?"Aku salah dengar atau apa, ya?***Seharian ini, aku hanya mendiamkan Rizal. Namun, bocah itu tetap tidak merasa bersalah sama sekali.Dia malah sibuk memberi makan ikan, menonton televisi sambil tertawa-tawa, bahkan kini ia terdengar asyik mengobrol dengan para tetangga.Sungguh, dia manusia yang tidak mempunyai peri kemanusiaan!Aku mengintip dari balik jendela. Saat ini, Rizal duduk dikerubungi oleh para Ibu-ibu. Mereka mengatakan, kalau Rizal sangatlah tampan.Aku menyipitkan mataku memperhatikan Rizal dari kejauhan. Tampan?Sebenarnya, aku akui ia cukup tampan. Alisnya tebal, matanya tajam dan agak-agak kebiruan, lalu hidungnya mancung
Tiba-tiba, malam ini aku sudah berada di kedai pinggir jalan bersama Rizal.Aku sudah bersikukuh tidak mau makan malam dengannya, tapi bocah menyebalkan itu terus-terusan merengek padaku.Daripada aku menjadi gila dan berakhir masuk rumah sakit jiwa, pada akhirnya dengan terpaksa aku menuruti kemauannya.Sikap yang aku benci pada diriku sendiri adalah tidak tegaan pada orang meskipun orang itu musuhku sekalipun."Kamu makan apa, Mbak?" "Makan angin!"Rizal malah tertawa. "Ish, Mbak Rara sukanya ngelawak!" Ia kemudian melambaikan tangannya pada salah satu pelayan kedai tersebut."Mas, pesan bebek goreng sambal matah dua porsi sama es jeruk dua gelas, ya.""Baik, Mas. Mohon ditunggu."Setelah kepergian pelayan itu, aku menyipitkan mataku menatap Rizal."Kenapa, Mbak?" tanya Rizal keheranan."Kamu, kok, tahu kalau aku suka bebek goreng sambal matah?""Daripada Mbak Rara makan angin, mendingan aku pesankan menu kesukaanku juga."Aku mengeryitkan dahiku. Entah mengapa, jawaban Rizal barus
Aku bekerja dalam keadaan mengantuk luar biasa. Semalaman aku menunggu kepulangan Rizal, akan tetapi bocah itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya dan membuatku lagi-lagi tak bisa tidur dengan nyenyak.Sebenarnya, dia pergi ke mana? Ke tempat kerjanya? Ke rumah temannya? Mengingat ekspresi kesakitannya tadi malam, apa jangan-jangan ... dia pergi ke rumah sakit dan berakhir di rawat di sana?Mila yang berdiri di sampingku tiba-tiba menyenggol lenganku. "Masih pagi. Jangan melamun terus," bisiknya padaku."Aku enggak melamun, hanya saja ... sedang memikirkan sesuatu.""Memikirkan apa? Suami brondongmu?""Sssttt ...," aku langsung menempelkan jari telunjukku pada bibir Mila. "Untuk apa aku memikirkan makhluk menyebalkan itu," sambungku kemudian yang membuat Mila memincingkan matanya."Aku tahu kamu membencinya, tapi benci dan cinta itu beda tipis!""Heleeeh, preeet!"Mila langsung tertawa dengan ucapanku barusan. "Tapi, dia nggak melakukan yang aneh-aneh lagi padamu, 'kan?""Engga
"Rizal ... kamu benar Rizal?" "Benar, Mbak. Aku Rizal. Aku suamimu." Rizal segera menghampiriku, ia berjongkok di depanku seraya memelukku yang kini sedang menangis. "Maafkan aku, Mbak. Kumohon maafkan aku membuatmu berada di posisi ini." Dia ikutan menangis, tangisan pilu yang cukup menyayat hatiku. Sebenarnya, Rizal tidak bersalah. Samuel adalah pelakunya, tapi Rizal terus meminta maaf seakan ini semua adalah kesalahannya. "Ayo, Mbak, kita bangun dulu." Rizal membantuku berdiri dengan hati-hati, lalu memapahku untuk duduk di sofa ruang tamu. "Aku ambilkan minum dulu, ya." Aku menahan pergelangan tangan Rizal yang hendak pergi. "Duduklah, aku enggak haus."Rizal menurut, ia lantas duduk di sebelahku dengan pandangan yang menunduk ke bawah."Akhirnya, kamu sudah tahu rahasiaku, Mbak," katanya setelah kami terdiam cukup lama. "Kamu pasti menganggapku aneh."Ia kemudian menyadarkan tubuhnya di sofa, pandangannya menerawang jauh ke atas. "Sekarang, keputusan aku serahkan padamu, M
Lama-lama, aku merasakan dadaku yang semakin sesak. Bahkan, aku hampir seperti kekurangan oksigen gara-gara bersembunyi di balik selimut yang tebal sedari tadi.Sebenarnya, apa yang sedang di bahas Samuel di telepon itu? Sudahlah lama, pakai bahasa Inggris pula, aku mana paham.Tubuhku semakin kaku, tidak bergerak sedari tadi membuat kakiku jadi kesemutan. Aduh, bagaimana ini? Aku benar-benar sudah tak tahan.“Ya, Dad. Aku akan mengurusnya nanti.”Seketika aku bernapas dengan lega ketika mendengar Samuel menyudahi sambungan teleponnya. Terdengar, ia meletakkan ponselnya di atas meja, di samping tempat persembunyianku ini."Perasaan, tadi selimutnya di atas," ucapnya yang dapat aku dengar. Jantungku berpacu dengan cepat. Kalau sampai Samuel mengetahui keberadaan aku di sini. Mungkin, riwayatku akan tamat.Aku memejamkan kedua mataku dengan takut. Rasa takut itu memudar ketika terdengar langkah kaki Samuel semakin menjauh. Sepertinya, sekarang dia sedang ke kamar mandi karena aku mend
Seketika semua pikiran memenuhi kapasitas otakku. Berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Aku mencoba mengontrol rasa takutku. Dengan ragu, aku segera mengambil buku tersebut.Aku beringsut duduk bersandar pada dipan kasur berukuran king size di kamar ini. Tanganku bergerak membuka perlahan lembaran buku usang itu. Jantungku berdegup kencang, lembaran pertama dan kedua, sama persis dengan yang pernah aku baca ketika berada di kontrakan.Berarti, ini memanglah buku Rizal.Namanya, Mbak Rara. Aku mulai menyukainya ketika sering bermain ke rumahnya. Dia adalah kakak temanku–Yuda.Wajahnya cantik, orangnya baik, meskipun sedikit judes tapi hatiku merasa nyaman bila dekat dengannya. Aku suka wanita itu, meskipun umur kami berbeda jauh.Deg!Mataku membelalak sempurna membaca halaman ketiga lembaran buku usang tersebut. Jadi, Rizal menyukaiku sudah lama?Sepulang sekolah, aku selalu mampir ke rumah Yuda hanya untuk melihat Mbak Rara.Aku dengar, dia bekerja di kampung sebelah menjadi a
"Keluarlah! Aku tidak suka siapapun memasuki ruangan itu!”“Ba-baik.” Aku segera berdiri dan ke luar dari ruangan tersebut dengan perasaan campur aduk. Ketika aku sampai di depan Samuel, tiba-tiba aku merasakan nyeri di telapak kaki akibat tertusuk pecahan kaca tadi. Kuangkat kakiku yang nyeri tersebut. Namun, tubuhku terasa limbung dan akhirnya aku terjatuh dalam posisi tengkurap.Aku merasa aneh, bukankah kalau jatuh itu sakit? Sekarang, aku kok tidak merasakan apapun. Lantai keras yang sempat kupijak tadi mendadak empuk.Tunggu! Empuk? Aku segera mendongakkan kepalaku dengan takut-takut. Jangan-jangan aku—“Huwaaa!!!” Aku langsung berteriak histeris ketika menyadari saat ini bukan jatuh di atas lantai, melainkan sedang jatuh di atas tubuh Samuel.Astaghfirullah, kenapa aku ceroboh sekali?Aku buru-buru mengubah posisiku menjadi duduk. Aku sangat takut jika Samuel marah karena kelakuanku.“Ma-maaf, a-aku tidak sengaja,” kataku takut-takut sambil menundukkan kepala–tak berani menata
"Ap-apa maksudmu?”“Nanti kamu juga tahu!” Samuel beranjak dari posisi duduknya dan berlalu meninggalkanku begitu saja. Sebenarnya apa maksud ucapannya? Rizal memangnya kenapa?“Jangan pernah berpikir untuk kabur!” ancamnya sebelum melangkahkan kakinya ke luar dari apartemen ini.Aku menatap punggungnya yang telah berlalu. Selama dia pergi, sepertinya aku harus mencari jawaban atas pertanyaan di benakku ini seorang diri.Tiba-tiba, aku kepikiran tentang bekas sayatan panjang berwarna hitam di pinggang Samuel yang sama persis dengan milik Rizal. Walaupun mereka kembar atau walaupun mereka dilukai oleh penjahat yang sama, aku rasa bekasnya tidak akan sama dan semirip itu. Jangan-jangan ….“Jangan-jangan Rizal mempermainkanku dengan mengganti nama menjadi Samuel?”“Tapi, aku bisa merasakan jika mereka memang seperti orang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama!”Tunggu! Tunggu! Barusan aku berbicara apa?“Seperti orang yang berbeda. Namun, dalam bentuk fisik yang sama?”Itu dia!
Aku mengusap mataku yang basah lalu mencoba berdiri dari posisiku saat ini. Kulangkahkan kaki secara perlahan menuju daun pintu.Terkunci?Aku mencoba memutar-mutar handle pintu kembali, tapi hasilnya sama saja, pintu kamar mandi benar-benar tidak dapat terbuka.Maksudnya, aku dikunci di dalam kamar mandi? Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Aku yakin, Samuel akan segera membukakan pintu jika urusannya dengan wanita itu selesai.Namun, lama-lama aku menjadi kesal sendiri. Entah sudah berapa lama aku menunggu, dia tak ada tanda-tanda untuk membukakan pintu.Dia tidak lupa kalau aku berada di kamar mandi, ‘kan?Aku mencoba tenang kembali. Barangkali, pembicaraannya dengan Mawar teramat panjang sehingga belum ada waktu untuk membukakan pintu.Aku kemudian duduk di sudut kamar mandi yang kering. Aku lelah dengan rentetan kejadian yang menimpaku hari ini. Hingga tanpa terasa, mataku terpejam dengan sendirinya.***Aku terbangun saat merasakan sesak di dada. Kondisi
“Halo, Ra. Kamu di mana? Aku mencarimu ke mana-mana, kok, nggak ada?” tanya Mila panik begitu aku berhasil mengangkat teleponnya secara sembunyi-sembunyi.“Aku-aku dalam masalah.” Aku berbicara dengan sangat lirih, takut dua orang yang sedang bercumbu di depan sana memergokiku.“Dalam masalah apa?”“Aku—”Praaang!Tiba-tiba, aku mendengar suara barang yang dilempar dengan sangat kencang.“Halo, Ra. Ada apa? Kamu baik-baik saja?”“Nan-nanti aku telpon lagi, Mil.” Buru-buru kumatikan ponselku dan mengantonginya ke dalam saku celana.Aku mengintip dari tempat persembunyianku untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.Di depan sana, nampak Mawar tengah berkacak pinggang di depan Samuel dengan ekspresi marah.“Aku curiga!” teriak Mawar yang membuatku tercengang.“Curiga apa? Semuanya sudah kuberikan padamu. Apapun maumu sudah kuturuti, kurang apa lagi, Mawar?”“Aku benci dengan perempuan itu! Aku mau dia menghilang dari kehidupan kita!”Seketika aku memegangi jantungku yang berdegup kencan
Tubuhku seketika menegang mendengar suara orang yang bertanya padaku barusan. Nada dingin yang terasa menusuk kuping membuatku mengingat tentang kekejaman seseorang.Tidak mungkin dia, 'kan?“Hei, kamu tuli?”Dengan takut-takut, aku membalikkan badanku. Bola mataku hampir ke luar dari peraduannya ketika mengetahui yang berdiri di belakangku saat ini adalah Rizal.Sorot mata tajam diiringi dengan seringai yang menakutkan, aku yakin sekali, dia bukanlah Rizal suamiku.“Ikut aku!”Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. “Aku tidak mau!”“Kamu berani menolak ajakanku!?”“Kamu bukan suamiku!”Laki-laki yang sangat mirip sekali dengan Rizal itu mengeraskan rahangnya, tangannya terkepal erat, tatapannya semakin tajam menghunus jantungku.Sejurus kemudian, ia tiba-tiba menarik tanganku dengan paksa. Aku mengedarkan pandanganku. Tempat yang semula ramai kenapa mendadak sepi?“To—” Belum sempat aku berteriak, tangannya sudah terlebih dahulu membekap mulutku dan membawaku menuju ke sebuah mobi
“Gimana rasanya disuapin cewek cantik, Zal?” tanyaku pada Rizal begitu kami sudah pulang dari rumah Bu Yuli. Sejujurnya, tadi aku merasa kesal melihatnya pasrah disuapin oleh Adel. Bukankah dia bisa menolak untuk menghargaiku sebagai istrinya? Rizal malah menikmatinya tanpa memperdulikan keberadaanku.Bukannya cemburu, hanya saja ... aku merasa tidak nyaman.“Adel memang istri idaman sekali, kan? Sudah perhatian, pintar masak, cantik lagi, pokoknya sem—aaawww!” Aku langsung menjerit begitu saja ketika Rizal tiba-tiba menarik pinggangku dan memelukku dari belakang.“Kamu lagi cemburu ya, Mbak?” Dia mengencangkan pelukannya lalu mendaratkan dagunya di bahuku.“Ap-apa, sih? Ke-kenapa aku harus cemburu?" "Kan, aku suami kamu." Rizal berbisik di samping telingaku dengan lembut. Hembusan napasnya membuat tubuhku seperti disengat aliran listrik bertegangan tinggi."Bi-bisa lepasin aku, nggak?" tiba-tiba hawa panas menjalar ke seluruh tubuhku."Memangnya kenapa? Aku suka posisi ini. Apalagi