Aku terus mondar-mandir di dalam rumah dengan gelisah. Kalau sampai nanti malam Ibu menyeretku ke sungai agar mandi kembang tujuh rupa bagaimana? Ibu, 'kan orangnya nekat.
Apa aku kabur saja?
Tapi kalau kabur, nanti aku dicap sebagai anak yang durhaka bagaimana?
Di saat pikiran sedang buntu begini, suara pintu diketuk berulangkali mengalihkan perhatianku.
Aku segera ke luar dari kamar untuk membuka pintu rumah yang sedang diketuk itu.
"Yuda ke mana?" tanya seorang pemuda ketika aku sudah membuka pintu yang diketuknya tadi.
Pemuda itu bernama Rizal. Dia adalah teman adik laki-lakiku.
"Dari kemarin Yuda nggak ada di rumah," jawabku kemudian.
Rizal membuang puntung rokok yang berada di tangannya dan langsung menerobos masuk saja ke dalam rumah dengan tidak sopan.
"Lho, kok kamu malah main masuk aja? Yuda beneran nggak ada!" Aku mengikuti Rizal, dengan harapan bocah itu segera keluar dari dalam rumah.
Sebenarnya, dari dulu aku tidak suka kalau Yuda berteman dengan Rizal. Rizal ini bandelnya luar biasa dan suka membuat onar di kampung ini. Aku hanya takut kalau Yuda bisa tertular kenakalannya Rizal.
"Ah, aku nggak percaya, palingan dia ngumpet!"
"Yuda beneran nggak ada, Rizal!"
Seakan tak menggubris perkataanku, Rizal malah mengecek seluruh bagian rumah. Dia juga main buka-buka kamar sembarangan dan memeriksa setiap sudutnya.
"Tuh, ‘kan enggak ada. Mendingan sekarang kamu ke luar, deh!"
"Ck, si Yuda beneran kurang ajar!" terlihat Rizal meninju tembok kamarku dengan kesal.
"Kurang ajar bagaimana?"
"Dia nyolong hp-ku."
"Yuda adikku nggak mungkin mencuri. Dia anak yang baik."
"Halah, kamu nggak tau tabiatnya karna kamu merantau, Mbak! Aku, lho yang tiap hari bersama dia sudah tahu kelakuannya seperti apa!"
Aku memijat pelipisku yang berdenyut nyeri. Yuda adalah adik yang baik dan penurut kalau aku nasehati. Masa iya dia berbuat seperti itu?
"Rara!"
Aku terkejut ketika mendengar suara Ibu yang memanggilku secara tiba-tiba. Aduh, kenapa Ibu sudah pulang di saat rumah ini sedang kedatangan tamu tak diundang?
"Rara sini!" Ibu memanggilku lagi.
"Iya, Bu, sebentar!"
Aku menoleh pada Rizal yang masih berdiam diri di samping tembok kamarku.
"Zal, kamu ngumpet dulu, gih!"
"Ngapain ngumpet?"
"Itu ada ibuku."
"Ya terus kenapa?"
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Bagaimana ya cara menjelaskan pada si Rizal kalau kami bisa-bisa dituduh melakukan hal yang aneh-aneh? Apalagi, saat ini kami sedang berduaan di dalam kamar.
Di kampung ini, pantang yang namanya seorang perempuan berduaan dengan seorang laki-laki di dalam rumah. Kalau sampai hal itu terjadi, maka akan menjadi bahan gunjingan satu kampung. Dan aku tak mau hal itu terjadi.
"Pokoknya sembunyi aja dulu, bisa gawat urusannya!"
Rizal tidak menggubrisku, dia dengan PD-nya malah ke luar dari dalam kamar.
"Rizal! Rizal! Kumohon jangan ke luar dulu!" Aku mencoba menahan lengannya, tapi kekuatannya terlalu besar untuk aku tahan.
"Lho, Rizal ngapain kamu disini?" tanya Ibuku dengan ekspresi keterkejutan luar biasa.
"Rizal sedang apa disini?"
Aku juga ikut terkejut. Ternyata saat ini yang berada di hadapan kami bukan hanya Ibu, melainkan ada Bu Ndari dan Pak Karyo.
Kesialan macam apa ini, ya Allah?
"Rizal ada di sini nyari Yuda, kok." Aku mencoba menjelaskan pada mereka.
Ibu memicingkan matanya, begitupun dengan Bu Ndari dan Pak Karyo, mereka seakan tak percaya dengan perkataanku.
“Tapi … kalian baru saja keluar dari dalam kamar. Jangan-jangan—" Bu Ndari menjeda kalimatnya dan menutup mulutnya yang menganga.
"Yuda, ‘kan sedang pergi ke kampung seberang dari beberapa hari yang lalu, Ra! Kamu jangan bikin Ibu malu kenapa, sih!"
Aku segera mencubit lengan Rizal agar segera menjelaskan kepada mereka, tapi si Rizal malah terdiam bagai patung.
"Zal, bilangin kalau kamu ke sini beneran nyari Yuda!"
Rizal mengacak-acak rambutnya dan tiba-tiba merangkul bahuku. "Ah, kalian menganggu saja!"
Aku terkejut begitupun dengan Ibu dan yang lainnya.
"Aku baru mau berbuat hal yang iya-iya dengan mbak Rara, eh kalian malah datang!"
Reflek aku menginjak kaki Rizal. Ini anak benar-benar keterlaluan sekali membuat narasi fitnah semacam ini.
"Astaghfirullah, benar, Ra?"
"Enggak, Bu. Rara bersumpah enggak seperti itu! Rizal kesini beneran hanya mencari Yuda!"
Ibuku geleng-geleng kepala seakan tak mempercayai penjelasanku.
"Sebaiknya kita bawa mereka berdua ke rumah orangtuanya Rizal!" kata Pak Karyo dengan tegas dan langsung diangguki oleh Ibu dan Bu Ndari.
"Bu, aku enggak berbuat apa-apa, tolong jangan bawa ke sana!"
"Kamu memang bisanya cuma bikin malu, Ra!"
Air mataku tiba-tiba mengalir begitu saja. Kenapa rasanya sesakit ini, ya Allah? Ibu adalah satu-satunya orang yang aku punya, tapi Ibu tidak pernah berada di pihakku.
Aku harus bagaimana?
“Ayo ke luar!” Ibu menarik kerudungku dengan kasar, bahkan sampai terlepas.
Aku memohon ampun pada Ibu, tapi perempuan paruh baya itu tak menggubrisku dan bergantian menarik rambutku.
Kegaduhan yang kami lakukan sukses membuat para tetangga berlari menghampiri kami dan tiba-tiba ikut menghakimi kami.
Aku hanya bisa menangis tanpa bisa berkata-kata lagi.
Beberapa saat kemudian, kami telah sampai di rumah orang tuanya Rizal. Orang tua Rizal adalah orang kaya raya yang terkenal dengan sebutan juragan kontrakan karena kontrakannya ada dimana-mana. Konon katanya, penghasilannya satu bulan bisa tembus beratus-ratus juta.
Kami semua kini duduk di ruang tamu. Pak Nardi dan Bu Ika menatap ke arahku dan ke arah Rizal dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Beneran kamu di dalam kamar berduaan dengan mbak Rara?" Pak Nardi menatap Rizal yang menunduk.
"Iya."
"Kenapa?"
"Sebenarnya Rizal mencari keberadaan Yuda, Pak. Dia memeriksa semua sudut rumah termasuk kamar dan kebetulan saya mengikutinya," potongku mencoba menjelaskan.
"Benar begitu, Rizal?"
Rizal terdiam, namun tiba-tiba menggeleng. "Aku sudah dewasa, Yah. Ayah pasti tahulah apa yang akan dilakukan laki-laki dan perempuan di dalam kamar."
Mulutku ternganga, bagaimana mungkin Rizal bisa berkata demikian?
"Rizal, kenapa kamu berbohong?"
"Aku enggak berbohong."
"Tapi, kamu tadi—"
"Sudahlah, Mbak!" Rizal memotong ucapanku. Ia menoleh padaku dan menatapku dengan serius. "Nggak perlu malu lagi untuk mengakui hubungan kita. Lagipula aku akan bertanggung jawab."
Kedua bola mataku hampir saja keluar dari peraduannya gara-gara perkataan Rizal yang tidak masuk akal itu.
"Hubungan apa? Kita tidak ada—"
"Rara cukup!" Ibu berteriak ke arahku. "Ibu malu dengan kejadian hari ini! Ibu mau, kamu menikah dengan Rizal malam ini juga dan angkat kaki dari kampung ini!"
Seketika tangisku pecah lagi. Ya Allah... aku sungguh tidak berbuat macam-macam, tapi malah mendapat musibah seperti ini.
Malam itu juga, aku dan Rizal dinikahkan paksa oleh Penghulu. Dan setelah ijab qobul selesai, aku dan Rizal diusir begitu saja dari kampung. Kami dianggap sampah yang menjijikkan dan layak dibuang.
"Yes! Akhirnya aku bebas dari rumah neraka itu!" teriak Rizal kencang. Ia bahkan melompat ke udara dengan kegirangan tanpa memikirkan perasaanku yang terluka karena perbuatannya.Aku menghentikan langkahku seraya menatapnya dengan marah. "Kamu sengaja melakukan ini agar bebas dari rumah?""Iya.” Pemuda itu mengangguk tanpa merasa bersalah. “Aku sudah muak berada di rumah itu!""Tapi kamu menjadikanku korban, Zal!""Itu urusanmu sendiri, Mbak! Yang penting, rencanaku berhasil!"Aku terduduk dengan lemas. Air mataku luruh begitu saja membanjiri kedua pipiku. Tega sekali Rizal menjadikanku korban hanya untuk kepentingannya sendiri.“Harusnya, kamu berterimakasih padaku, Mbak.” Ia menepuk dadanya sendiri. “Berkat aku, kamu nggak dicap sebagai perawan tua lagi.”“Tapi gara-gara kamu, aku diusir oleh ibuku sendiri dan diusir dari kampung, Zal!” teriakku frustrasi.“Kamu justru bebas, Mbak!” Rizal ikutan berteriak. “Kamu nggak perlu menanggung hidup ibumu dan adik-adikmu yang gak tahu diuntu
Aku membuka selimut yang membungkus tubuhku dengan kasar lalu menatap Rizal dengan geram. “Apalagi, sih, Zal? Bisa jangan ganggu aku terus? Aku capek, aku mau tidur! Besok aku kerja!”Rizal kemudian memperlihatkan bantal yang dipegangnya padaku. “Bantalnya bisa tukar nggak, Mbak? Masa aku tidur pakai bantal gambar helo kiti, yang benar saja kamu, Mbak!”Aku menghela napas panjang. Perkara bantal saja jadi masalah. Memangnya, kalau dia memakai bantal bergambar helo kiti, jenis kelaminnya bakalan berubah? Tidak, ‘kan?Segera kuambil sebuah bantal polos di sampingku lalu aku lemparkan padanya.“Nah, gini, dong!” Dia segera berlalu dari hadapanku ke ruang depan.Segera kubaringkan diriku di tempat tidur lagi. Aku sudah sangat lelah dan butuh istirahat. Kejadian hari ini benar-benar menguras semua tenagaku. Barangkali, ketika aku tidur, beban hidupku sedikit berkurang.“Mbak?” tiba-tiba bocah menyebalkan itu memanggilku lagi. Buru-buru kutarik selimutku dan pura-pura tertidur dengan harapa
“Selamat datang kembali, Mbak Rara,” sambut Rizal ceria ketika aku sudah sampai di kontrakan.“Ya, terimakasih.” Aku melepaskan sepatuku dan segera masuk ke dalam kontrakan.Seketika aku terkejut melihat penampakan kontrakanku saat ini. Kenapa semuanya tampak berubah semua?Cat tembok kontrakan yang biasanya terlihat kusam dan mengelupas, kini berubah menjadi tembok cantik dengan wallpaper bunga.Ruangan utama ada karpet bulu-bulu berwarna merah muda dan di depan karpet ada sebuah televisi layar lebar di letakkan di atas meja yang aesthetic.Tak sampai di situ, ruangan tengah yang biasa aku pakai untuk tidur kini ada bad cover minimalis disertai dengan dipannya.Lalu ada sebuah kulkas, lemari pakaian, dispenser baru, dan berbagai pernak-pernik yang memperlengkap isi kontrakanku.Ketika aku berjalan ke dapur. Di sana sudah ada lemari piring baru disertai dengan peralatan memasak yang lengkap pula.Aku sampai mencubit kedua tanganku, barangkali aku hanya mimpi, kontrakan kumuhku berubah
Seharian ini, aku bekerja dengan pikiran yang kacau balau. Gara-gara hal itu, aku banyak melakukan kesalahan sehingga mendapatkan omelan dari Bu Sinta. “Kamu masih niat kerja nggak sih, Ra?” bentak Bu Sinta sambil berkacak pinggang ketika aku lagi-lagi memecahkan sebuah gelas. “Ma-maaf, Bu. Saya tidak sengaja.” “Gak sengaja gimana! Sudah lima gelas yang kamu pecahkan, lho! Kamu pikir itu gelasmu!” “Ma-maaf, Bu.” “Ck, bulan ini gajimu dipotong karena sudah memecahkan gelas!” Aku hanya menunduk dan tak berniat membantah perkataan Bu Sinta. Mau bagaimanapun, ini memang salahku. Tidak apa-apa jika gajiku dipotong. “Rara, sudah enggak usah diambil hati. Sini aku bantuin beresin pecahan gelasnya,” kata Mila ketika Bu Sinta sudah pergi. “Sepertinya masalahmu cukup berat. Ceritakan padaku setelah pulang kerja nanti.” Setelah pulang kerja, aku dan Mila berhenti di sebuah cafe langganan kami. Kami sengaja memilih duduk di rooftop yang cukup sepi. Mila menatapku serius, tapi dar
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menatap Rizal. "Ap-apa katamu tadi, Zal?"Rizal bangkit dari atas tubuhku seraya menggeleng pelan. "Bukan apa-apa, Mbak!" Dia langsung pergi begitu saja meninggalkanku.Kuseka embun di sudut mataku sembari melihat punggungnya yang berlalu. "Mimpi hidup denganku di rumah mewah bersama anak-anak yang cantik mirip aku?"Aku salah dengar atau apa, ya?***Seharian ini, aku hanya mendiamkan Rizal. Namun, bocah itu tetap tidak merasa bersalah sama sekali.Dia malah sibuk memberi makan ikan, menonton televisi sambil tertawa-tawa, bahkan kini ia terdengar asyik mengobrol dengan para tetangga.Sungguh, dia manusia yang tidak mempunyai peri kemanusiaan!Aku mengintip dari balik jendela. Saat ini, Rizal duduk dikerubungi oleh para Ibu-ibu. Mereka mengatakan, kalau Rizal sangatlah tampan.Aku menyipitkan mataku memperhatikan Rizal dari kejauhan. Tampan?Sebenarnya, aku akui ia cukup tampan. Alisnya tebal, matanya tajam dan agak-agak kebiruan, lalu hidungnya mancung
Tiba-tiba, malam ini aku sudah berada di kedai pinggir jalan bersama Rizal.Aku sudah bersikukuh tidak mau makan malam dengannya, tapi bocah menyebalkan itu terus-terusan merengek padaku.Daripada aku menjadi gila dan berakhir masuk rumah sakit jiwa, pada akhirnya dengan terpaksa aku menuruti kemauannya.Sikap yang aku benci pada diriku sendiri adalah tidak tegaan pada orang meskipun orang itu musuhku sekalipun."Kamu makan apa, Mbak?" "Makan angin!"Rizal malah tertawa. "Ish, Mbak Rara sukanya ngelawak!" Ia kemudian melambaikan tangannya pada salah satu pelayan kedai tersebut."Mas, pesan bebek goreng sambal matah dua porsi sama es jeruk dua gelas, ya.""Baik, Mas. Mohon ditunggu."Setelah kepergian pelayan itu, aku menyipitkan mataku menatap Rizal."Kenapa, Mbak?" tanya Rizal keheranan."Kamu, kok, tahu kalau aku suka bebek goreng sambal matah?""Daripada Mbak Rara makan angin, mendingan aku pesankan menu kesukaanku juga."Aku mengeryitkan dahiku. Entah mengapa, jawaban Rizal barus
Aku bekerja dalam keadaan mengantuk luar biasa. Semalaman aku menunggu kepulangan Rizal, akan tetapi bocah itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya dan membuatku lagi-lagi tak bisa tidur dengan nyenyak.Sebenarnya, dia pergi ke mana? Ke tempat kerjanya? Ke rumah temannya? Mengingat ekspresi kesakitannya tadi malam, apa jangan-jangan ... dia pergi ke rumah sakit dan berakhir di rawat di sana?Mila yang berdiri di sampingku tiba-tiba menyenggol lenganku. "Masih pagi. Jangan melamun terus," bisiknya padaku."Aku enggak melamun, hanya saja ... sedang memikirkan sesuatu.""Memikirkan apa? Suami brondongmu?""Sssttt ...," aku langsung menempelkan jari telunjukku pada bibir Mila. "Untuk apa aku memikirkan makhluk menyebalkan itu," sambungku kemudian yang membuat Mila memincingkan matanya."Aku tahu kamu membencinya, tapi benci dan cinta itu beda tipis!""Heleeeh, preeet!"Mila langsung tertawa dengan ucapanku barusan. "Tapi, dia nggak melakukan yang aneh-aneh lagi padamu, 'kan?""Engga
Kedua mataku membola. Bagaimana dia bisa tahu kalau namaku adalah Rara?“Iya, ‘kan, Rara Prahesti?” tanyanya lagi dengan penuh penekanan.“Be-benar, saya Rara, Pak.”Laki-laki yang berada di dalam mobil itu tiba-tiba tersenyum simpul. “Kamu masih ingat aku nggak?”Aku mengamati wajah pria itu lalu menggeleng pelan.“Masa nggak ingat?” Laki-laki itu kemudian membuka kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. “Kalau sekarang ingat, nggak?”Aku menyipitkan mataku menatap pria itu lagi. Wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya.Ah, kenapa semuanya terasa sangat familiar?Aku berpikir sejenak. Hingga tiba-tiba, sekelebat ingatanku pada pria itu berputar di otakku.“Bagaimana, apa sudah ingat?”“Ka-kamu … Mas Feri?”Laki-laki itu terkekeh pelan sembari mengangguk. “Syukurlah kalau kamu masih mengingatku.”Aku terkejut luar biasa. Bahkan, mulutku langsung menganga dengan lebar.“Bagaimana kabarmu?”Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu dan memilih menunduk. Kakiku kugeser secara perlah
"Aku nggak punya saudara kembar, Mbak.""Tapi, kamu ....""Aku kenapa? Ada yang salah?"Aku memainkan ujung-ujung jariku. Rasanya aku takut jika mengemukakan pendapatku padanya saat ini tentang dua sosok berbeda yang ada dalam dirinya."Kalau kamu melihat perubahan dari diriku, itu hanya karena alkohol, Mbak," terangnya kemudian."Al-alkohol?"Rizal tertawa sumbang. "Kamu pasti tak menyangka jika aku pecandu alkohol, 'kan?""Aku, aku tidak tahu apapun tentangmu, Zal.""Maka dari itu, jangan pernah menyimpulkan apapun dariku jika kamu tidak tahu apapun, Mbak!"***Malam harinya, Rizal berpamitan berangkat bekerja.Aku yang tidak puas dengan jawaban Rizal berkaitan ia yang tak memiliki saudara kembar tiba-tiba punya pemikiran untuk mengikutinya saat ini.Siapa tahu, dengan mengikutinya, aku bisa membongkar rahasianya, jika sebenarnya dia memang memiliki saudara kembar dan sering berganti posisi untuk mempermainkan hidupku.Satu hal yang membuatku curiga. Memangnya alkohol bisa membuat s
Sejak kejadian aku yang hendak menjodohkan Rizal dengan Adel anak tetangga kontrakanku. Rizal tidak pernah pulang ke kontrakan lagi.Aku sampai penasaran. Sebenarnya dia ke mana? Apa dia marah padaku? Seketika, ada sedikit rasa was-was dalam hatiku kenapa Rizal tidak pulang. Tiba-tiba, aku teringat nama perempuan yang pernah disebut oleh Rizal waktu itu.Mawar. Siapa perempuan itu? Apakah Rizal tinggal di rumah perempuan itu?Aku menepuk-nepuk kepalaku. Lagian, untuk apa aku memikirkannya? Dia tidak pulang selamanya pun bukankah itu pertanda hal yang baik untukku?“Pagi-pagi sudah melamun aja, Mbak!” ujar Rizal yang membuatku tersentak. Baru juga aku memikirkannya, bocah menyebalkan itu tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.“Kamu masak apa, Mbak?" tanyanya kemudian.“Aku belum masak.”Rizal terlihat kecewa dengan jawabanku barusan. “Padahal aku lapar. Ya sudahlah, aku tidur saja.” Ia berlalu meninggalkanku ke ruang depan untuk tidur.Aku terdiam. Sebenarnya, aku tidak pernah memasak
Aku terbangun dalam ruangan yang tak begitu asing ketika sorot sebuah lampu menyilaukan mataku.“Kontrakan?” Aku menautkan alisku melihat sekeliling. Kenapa aku bisa berada di kontrakan? Bukankah aku tadi berada di sebuah kamar apartemen, lalu Rizal ....Aku langsung mengacak-acak rambutku dengan kasar manakala mengingat kejadian yang membuat hatiku remuk redam itu.Aku segera mengubah posisiku menjadi duduk sambil sesekali memegangi kepalaku yang terasa berat.Entah mengapa, aku seperti orang yang sudah tidur dalam waktu yang sangat lama sekali. Aku bahkan seperti orang linglung yang seperti habis meminum sesuatu yang memabukkan hingga otakku tidak bisa berpikir dengan sempurna.Sebenarnya, apa yang terjadi denganku?“Mbak, kamu sudah bangun? Kamu gak apa-apa?” tiba-tiba dari arah depan, Rizal datang menghampiriku dengan raut wajah khawatirnya.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan takut. “Jangan! Jangan mendekat!”Rizal menghentikan langkahnya, ia menatapku dengan ekspresi yang
“Pegangan!”“Aku gak mau!”Rizal menepikan motornya di pinggir jalan lalu menarik kedua tanganku dengan paksa agar melingkar di pinggangnya.“Aku bilang gak mau pegangan!”“Berani lepas, aku pastikan kamu terkapar di aspal!”Aku yang semula tengah memberontak langsung terdiam mendengar ancamannya. Perangai Rizal kali ini sama seperti malam itu. Tiba-tiba, aku merasakan rasa ketakutan yang luar biasa. Apalagi, jalanan yang kami lalui bukanlah jalan menuju ke kontrakan.Jangan-jangan, aku akan dibuang Rizal ke lautan, atau yang lebih parah, dimutilasi dan—Aku memejamkan mataku. Aku benar-benar tak bisa membayangkan nasib diriku sendiri. Apabila aku meninggal hari ini, semoga saja Allah mengampuni segala dosa-dosaku.“Turun!” perintah Rizal ketika kami tiba di depan sebuah gedung megah nan elit.“Pak, parkirin motornya!” ia berteriak pada salah satu Sekuriti di sana begitu aku sudah turun dari motor.“Baik, Den!” Sekuriti itu berlari tergopoh-gopoh membawa motor sport Rizal ke tempat pa
“Rara, kamu nunggu angkot? Aku antar saja bagaimana?” Mas Feri menghentikan laju mobilnya ketika melihatku tengah berdiri di pinggir jalan.Aku menarik napas panjang. Rasanya aku benar-benar tidak betah bekerja di tempat ini lagi. Selain Bu Sinta dan Robi, kini malah ketambahan Mas Feri.“Tidak, Pak. Terimakasih,” tolakku kemudian.“Ayolah, masuk aja. Gak apa-apa.” Mas Feri turun dari mobil menghampiriku.Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Aku takut ada yang memergoki kami lalu membuat fitnah.“Maaf, Pak. Tidak.” Aku segera memundurkan langkahku.“Kenapa? Aku hanya menawarkan bantuan saja. Kita bisa berteman, ‘kan?”Aku menggelengkan kepalaku. “Bahkan, status sosial kita berbeda. Maaf saya tidak bisa.”“Rara ayolah, aku ingin berbicara banyak padamu. Aku—” "Maaf, saya tidak bisa," tukasku sebelum dia melanjutkan kata-katanya."Kenapa kamu berubah? Apa kamu sudah tidak ada rasa lagi denganku?"Rasanya aku ingin tertawa mendengar pertanyaannya. Pertanyaan itu sungguh terdengar
Aku berlari tergesa-gesa menuruni sebuah angkot. Hari ini aku bangun kesiangan. Jangankan mandi, salat subuh saja aku lupakan.Ya ampun, bagaimana hidupku tidak kacau balau jika urusan dengan Tuhan saja aku ke sampingkan.Tunggu! Kenapa semalam aku jadi tidak bisa tidur lagi, ya? Apa karena Rizal memujiku cantik?Tidak-tidak, aku menggelengkan kepalaku berulangkali. Masa hanya itu penyebab tidak bisa tidurku!Aku pasti insomnia. "Baiklah, pulang kerja nanti aku akan beli obat di apotek."Bruuuk!Tiba-tiba, kesialan menimpaku lagi. Secara tak sengaja, aku menabrak Robi–rekan kerjaku yang sedang membawa ember berisi air bekas pel.Ember tersebut jatuh, hingga air kotor itu mengenai celanaku dan tumpah di mana-mana. Robi menatapku dengan geram, sejak dulu, ia memang tidak suka dengan diriku.“Sial! Kalau jalan pakai mata!” bentaknya kesal.“Ma-maaf, aku gak sengaja.” Aku segera berlari mengambil pel dan membersihkannya.“Lihat, sepatuku jadi basah kena air kotor itu!”“Maaf, Robi. Aku be
Aku memang lelah setelah seharian bekerja. Namun, rasa lelah itu berkali-kali lipat bertambah ketika mengatahui fakta, bahwa Mas Feri kini menjadi CEO di tempat kerjaku."Lesu sekali pulang kerja, Mbak! Capek, ya?" seru Rizal menghampiriku yang sedang berjalan lunglai bagai tak punya tulang.Aku mendongakkan kepalaku yang tertunduk. Rasa lelahku menguap begitu saja ketika melihat orang yang aku khawatirkan semalaman akhirnya pulang."Rizal? Kamu sudah pulang? Semalam kamu ke mana? Kamu kenapa?" Aku langsung membekap mulutku yang melemparkan banyak pertanyaan pada bocah tengil itu. Bisa-bisa, dia ke-PDan karena merasa aku khawatirkan."Tenang, Mbak! Santui." Dia tersenyum senang. "Kamu tidak perlu khawatir pada suami tampanmu ini."Nah, 'kan, apa aku bilang. Dia langsung PD bin narsis."Ayo, Mbak, masuk." Rizal tiba-tiba menarik kedua tanganku agar segera masuk ke dalam kontrakan."Aku perhatikan, kamu lelah sekali, Mbak. Kerjaanmu berat, ya?" Rizal tak menjawab rentetan pertanyaanku
Kedua mataku membola. Bagaimana dia bisa tahu kalau namaku adalah Rara?“Iya, ‘kan, Rara Prahesti?” tanyanya lagi dengan penuh penekanan.“Be-benar, saya Rara, Pak.”Laki-laki yang berada di dalam mobil itu tiba-tiba tersenyum simpul. “Kamu masih ingat aku nggak?”Aku mengamati wajah pria itu lalu menggeleng pelan.“Masa nggak ingat?” Laki-laki itu kemudian membuka kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. “Kalau sekarang ingat, nggak?”Aku menyipitkan mataku menatap pria itu lagi. Wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya.Ah, kenapa semuanya terasa sangat familiar?Aku berpikir sejenak. Hingga tiba-tiba, sekelebat ingatanku pada pria itu berputar di otakku.“Bagaimana, apa sudah ingat?”“Ka-kamu … Mas Feri?”Laki-laki itu terkekeh pelan sembari mengangguk. “Syukurlah kalau kamu masih mengingatku.”Aku terkejut luar biasa. Bahkan, mulutku langsung menganga dengan lebar.“Bagaimana kabarmu?”Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu dan memilih menunduk. Kakiku kugeser secara perlah
Aku bekerja dalam keadaan mengantuk luar biasa. Semalaman aku menunggu kepulangan Rizal, akan tetapi bocah itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya dan membuatku lagi-lagi tak bisa tidur dengan nyenyak.Sebenarnya, dia pergi ke mana? Ke tempat kerjanya? Ke rumah temannya? Mengingat ekspresi kesakitannya tadi malam, apa jangan-jangan ... dia pergi ke rumah sakit dan berakhir di rawat di sana?Mila yang berdiri di sampingku tiba-tiba menyenggol lenganku. "Masih pagi. Jangan melamun terus," bisiknya padaku."Aku enggak melamun, hanya saja ... sedang memikirkan sesuatu.""Memikirkan apa? Suami brondongmu?""Sssttt ...," aku langsung menempelkan jari telunjukku pada bibir Mila. "Untuk apa aku memikirkan makhluk menyebalkan itu," sambungku kemudian yang membuat Mila memincingkan matanya."Aku tahu kamu membencinya, tapi benci dan cinta itu beda tipis!""Heleeeh, preeet!"Mila langsung tertawa dengan ucapanku barusan. "Tapi, dia nggak melakukan yang aneh-aneh lagi padamu, 'kan?""Engga