“Selamat datang kembali di rumah Mbak Rara,” sambut Rizal ketika aku sudah sampai di kontrakan.
“Ya, terimakasih.” Aku melepaskan sepatuku dan segera masuk ke dalam kontrakan.
Seketika aku terkejut melihat penampakan kontrakanku saat ini. Semuanya tampak berubah semua.
Cat tembok kontrakan yang biasanya terlihat kusam dan mengelupas, kini berubah menjadi tembok cantik dengan wallpaper bunga.
Ruangan utama ada karpet bulu-bulu berwarna merah muda dan di depan karpet ada sebuah televisi layar lebar di letakkan di atas meja yang aesthetic.
Tak sampai di situ, kini ruangan tengah yang biasa aku pakai untuk tidur kini ada bad cover minimalis disertai dengan dipannya.
Lalu ada kulkas, lemari pakaian, dispenser baru, dan berbagai pernak-pernik yang menambah kontrakanku menjadi tempat yang nyaman.
Ketika aku berjalan ke dapur. Di sana sudah ada lemari piring baru disertai dengan peralatan memasak yang lengkap.
Aku sampai mencubit kedua tanganku, barangkali aku hanya mimpi, kontrakan kumuhku berubah menjadi sangat cantik.
“Apa kamu suka, Mbak?” tanya Rizal yang berdiri di belakangku. Dia menatapku dengan penuh harap seakan minta pujian dariku.
“Semuanya terlihat sangat cantik dan keren.”
Rizal langsung meloncat kegirangan mendapatkan pujian dariku.
“Tapi, dari mana kamu dapat uang untuk membeli berang-barang ini?” Aku menatapnya dengan penuh selidik. “Kamu enggak mencuri, ‘kan?”
“Tega sekali menuduh suamimu ini mencuri, Mbak!” Ia kemudian menarik tanganku agar duduk di karpet bulu yang baru dibelinya. “Sebenarnya, aku ini punya pekerjaan, Mbak.”
“Pekerjaan apa?”
“Ah, kamu nggak perlu tahu pekerjaanku apa. Yang penting, aku bisa menafkahimu, Mbak.”
“Pekerjaannya halal, nggak?”
Rizal berpikir sejenak lalu mengangguk. “Halal, Mbak.”
“Aku sudah menekuni pekerjaan ini lama, Mbak. Tapi, orang tuaku selalu melarangku. Aku bahkan selalu dimarahi, bahkan dipukuli. Aku selalu mencoba kabur dari rumah, tapi orang tuaku selalu berhasil menemukanku. Jadi, maaf ya Mbak, terpaksa aku menjebakmu agar aku bisa ke luar dari rumah sialan itu.”
Aku manggut-manggut mendengar cerita Rizal. Kenapa aku jadi kasihan dengannya, ya?
“Lihatlah luka lebam ini, Mbak.” Rizal menunjuk lehernya sendiri. “Ini dipukul oleh orang tuaku.”
Aku mengamati tanda biru di leher Rizal yang katanya adalah lebam sehabis dipukuli.
Kenapa aku merasa ada yang aneh, ya?
Aku ingin menyentuhnya untuk memastikannya. Namun, tangan Rizal menepisku.
“Jangan disentuh, Mbak. Ini masih sakit.”
“Oh. Ma-maaf.”
Rizal kemudian membuka kancing kemeja yang ia pakai. “Nih, di sini juga ada lebam, Mbak.” Ia menunjuk bahunya.
Aku menyipitkan kedua mataku. “Mana, sih?” Aku sungguh tak melihat luka lebam yang Rizal maksud.
“Masa enggak kelihatan?”
Aku menggeleng.
“Ck.” Rizal berdecak, dan tiba-tiba melepas kemejanya. Aku menjerit histeris, apa pula bocah itu bikin kaget saja suka melepas pakaiannya sembarangan.
“Nggak usah teriak-teriak juga kali, Mbak. Aku cuma melepas kemejaku, bukan celanaku!”
Aku langsung memukul lengan Rizal dengan kesal. Meskipun hanya kemejanya yang dilepas, bukankah itu tidak sopan?
“Sekarang kelihatan lebamnya ‘kan, Mbak?” Ia menunjukkan bahunya lagi.
Aku mengamatinya, memang sekarang bahunya terlihat lebam. Tapi, entah mengapa bentuknya terasa aneh.
“Kedip, Mbak! Nggak pernah lihat cowok buka baju, ya?”
Aku langsung mengalihkan pandanganku. Tadi katanya aku disuruh melihat bahunya yang ada lebamnya, eh bocah itu malah berkata begitu. Memang menyebalkan sekali rasanya!
***
Aku mendapati diriku yang terbangun di jam satu dini hari. Rasa lelah setelah seharian bekerja membuatku ketiduran.
Keadaan kontrakan sudah sepi. Apa Rizal sudah tidur juga?
Aku berjalan untuk mencari keberadaannya. Namun, aku tak mendapati Rizal.
“Dia ke mana? Apa bekerja? Kerja apa jam segini belum pulang?”
Saat aku hendak berbalik arah, aku mendengar suara handel pintu dibuka.
Dari balik pintu, muncullah Rizal dengan penampilan berantakannya dan terlihat sempoyongan ketika berjalan.
“Rizal kamu kenapa?” Aku menghampirinya untuk menutup pintu dan membantunya berjalan.
“Rizal apa yang terjadi? Kamu kena–” aku menggantung kalimatku ketika Rizal tiba-tiba mendorongku ke dinding dan mengungkungku.
“Rizal kamu kenapa, sih!” Aku mencoba mendorong Rizal sekuat mungkin. Namun, Rizal sama sekali tak bergerak.
“Mbak …,” tiba-tiba ia menangkup wajahku, lalu mendaratkan ciuman di bibirku dengan ganas. Aroma alkohol menyeruak di indra penciumanku. Apakah Rizal sedang mabuk?
Aku mendorong bahunya sekuat tenaga, ciumannya yang ganas benar-benar membuatku kehabisan oksigen.
“Rizal, sadarlah!”
Entah setan mana yang merasukinya, ia tiba-tiba membopong tubuhku ke atas ranjang dan melanjutkan ciumannya dengan lebih brutal lagi.
“Rizal, hentikan!” Aku menangis mencoba mencegahnya. Namun, bukannya berhenti ia malah semakin kalap mata.
Rizal melepas semua pakaiannya dan melepas paksa pakaian yang aku kenakan.
“Layani aku malam ini, Mbak!”
"Nggak! Aku nggak mau!" teriakku memberontak. Aku mencoba melawan Rizal. Namun, tenaganya tidak bisa aku lawan.
Dengan deraian air mata yang membasahi pipi, malam ini, kesucianku yang kujaga selama ini direnggut paksa oleh suami yang tak pernah kuharapkan.
"Ustaz sudah punya calon istri belum?"Aku hanya bisa ternganga ketika mendengar pertanyaan dari perempuan paruh baya yang suaranya sangat aku kenali itu.Ya, suara perempuan paruh baya itu adalah orang yang sudah melahirkanku tiga puluh tiga tahun yang lalu atau yang biasa kupanggil dengan sebutan Ibu.Lagi-lagi, Ibu bertanya hal yang memalukan lagi. Kemarin, beliau bertanya hal demikian kepada Juragan tanah, Juragan minyak, bahkan Juragan beras. Dan sekarang, Ibuku bertanya kepada ustad yang sedang mengadakan sesi tanya-jawab setelah ceramah yang disampaikannya selesai."Kalau belum punya calon istri, apa mau saya jodohkan dengan putri saya? Dia cantik lho, Taz."Aku langsung menutup wajahku menggunakan masker yang berada di saku gamisku.Mungkin niat Ibu baik, agar diriku yang dicap sebagai perawan tua ini segera bertemu jodohnya. Tapi, apa harus sampai segitunya? Menjadi perawan tua bukanlah tindakan kriminal, ‘kan?Terkadang, aku ingin menangis meratapi nasib. Hal seperti ini buk
Aku terus mondar-mandir di dalam rumah dengan gelisah. Kalau sampai nanti malam Ibu menyeretku ke sungai agar mandi kembang tujuh rupa bagaimana? Ibu, 'kan orangnya nekat.Apa aku kabur saja?Tapi kalau kabur, nanti aku dicap sebagai anak yang durhaka bagaimana?Di saat pikiran sedang buntu begini, suara pintu diketuk berulangkali mengalihkan perhatianku.Aku segera ke luar dari kamar untuk membuka pintu rumah yang sedang diketuk itu."Yuda ke mana?" tanya seorang pemuda ketika aku sudah membuka pintu yang diketuknya tadi. Pemuda itu bernama Rizal. Dia adalah teman adik laki-lakiku. "Dari kemarin Yuda nggak ada di rumah," jawabku kemudian.Rizal membuang puntung rokok yang berada di tangannya dan langsung menerobos masuk saja ke dalam rumah dengan tidak sopan."Lho, kok kamu malah main masuk aja? Yuda beneran nggak ada!" Aku mengikuti Rizal, dengan harapan bocah itu segera keluar dari dalam rumah. Sebenarnya, dari dulu aku tidak suka kalau Yuda berteman dengan Rizal. Rizal ini band
"Yes! Akhirnya aku bebas dari rumah neraka itu!" teriak Rizal kencang. Ia bahkan melompat ke udara dengan kegirangan tanpa memikirkan perasaanku yang terluka karena perbuatannya.Aku menghentikan langkahku seraya menatapnya dengan marah. "Kamu sengaja melakukan ini agar bebas dari rumah?""Iya.” Pemuda itu mengangguk tanpa merasa bersalah. “Aku sudah muak berada di rumah itu!""Tapi kamu menjadikanku korban, Zal!""Itu urusanmu sendiri, Mbak! Yang penting, rencanaku berhasil!"Aku terduduk dengan lemas. Air mataku luruh begitu saja membanjiri kedua pipiku. Tega sekali Rizal menjadikanku korban hanya untuk kepentingannya sendiri.“Harusnya, kamu berterimakasih padaku, Mbak.” Ia menepuk dadanya sendiri. “Berkat aku, kamu nggak dicap sebagai perawan tua lagi.”“Tapi gara-gara kamu, aku diusir oleh ibuku sendiri dan diusir dari kampung, Zal!” teriakku frustrasi.“Kamu justru bebas, Mbak!” Rizal ikutan berteriak. “Kamu nggak perlu menanggung hidup ibumu dan adik-adikmu yang gak tahu diuntu
“Oii, Mbak Rara! Kapan kamu nikah?”“Aku mau nikah kapan itu bukan urusanmu!”“Mau aku kenalkan dengan kakekku, gak, Mbak? Dia masih perkasa, lho!”“Dasar Rizal menyebalkan! Pulang sana, jangan main ke rumah ini lagi!”–“Mata bengkak disertai lingkaran hitam di bawahnya. Hmm … pasti kamu semalam habis menangis dan kurang tidur, ya?” tebak Mila. Dia adalah rekan satu kerjaan yang cukup dekat denganku. Bahkan, ia adalah satu-satunya orang yang paham akan keadaan keluargaku.“Kamu bertengkar lagi dengan ibu dan adikmu?” Ia melanjutkan pertanyaannya lagi.Aku hanya terdiam, anggukan lemahku padanya langsung membuatnya mengerti.“Kamu bisa cerita kalau sudah tenang. Aku ambilkan minum dulu, ya.” Tanpa menunggu persetujuanku, Mila sudah melesat menuju dapur.“Taraaa … coklat panas untuk yang sedang punya masalah.” Mila tersenyum cerah sembari meletakkan secangkir coklat panas di depanku saat ini.“Terimakasih, Mila.”“Sama-sama.” Mila tersenyum padaku. “Aku mau beli pengharum ruangan dulu,
Kedua mataku membola. Bagaimana dia bisa tahu kalau namaku adalah Rara?“Iya, ‘kan, Rara Prahesti?” tanyanya lagi dengan penuh penekanan.“Be-benar, saya Rara, Pak.”Laki-laki yang berada di dalam mobil itu tiba-tiba tersenyum simpul. “Kamu masih ingat aku nggak?”Aku mengamati wajah pria itu lalu menggeleng pelan.“Masa nggak ingat?” Laki-laki itu kemudian membuka kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. “Kalau sekarang ingat, nggak?”Aku menyipitkan mataku menatap pria itu lagi. Wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya.Ah, kenapa semuanya terasa sangat familiar?Aku berpikir sejenak. Hingga tiba-tiba, sekelebat ingatanku pada pria itu berputar di otakku.“Bagaimana, apa sudah ingat?”“Ka-kamu … Mas Feri?”Laki-laki itu terkekeh pelan sembari mengangguk. “Syukurlah kalau kamu masih mengingatku.”Aku terkejut luar biasa. Bahkan, mulutku menganga dengan lebar.“Bagaimana kabarmu?”Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu dan memilih menunduk. Kakiku kugeser secara perlahan ke sam
“Selamat datang kembali di rumah Mbak Rara,” sambut Rizal ketika aku sudah sampai di kontrakan.“Ya, terimakasih.” Aku melepaskan sepatuku dan segera masuk ke dalam kontrakan.Seketika aku terkejut melihat penampakan kontrakanku saat ini. Semuanya tampak berubah semua.Cat tembok kontrakan yang biasanya terlihat kusam dan mengelupas, kini berubah menjadi tembok cantik dengan wallpaper bunga.Ruangan utama ada karpet bulu-bulu berwarna merah muda dan di depan karpet ada sebuah televisi layar lebar di letakkan di atas meja yang aesthetic.Tak sampai di situ, kini ruangan tengah yang biasa aku pakai untuk tidur kini ada bad cover minimalis disertai dengan dipannya.Lalu ada kulkas, lemari pakaian, dispenser baru, dan berbagai pernak-pernik yang menambah kontrakanku menjadi tempat yang nyaman.Ketika aku berjalan ke dapur. Di sana sudah ada lemari piring baru disertai dengan peralatan memasak yang lengkap.Aku sampai mencubit kedua tanganku, barangkali aku hanya mimpi, kontrakan kumuhku b
Kedua mataku membola. Bagaimana dia bisa tahu kalau namaku adalah Rara?“Iya, ‘kan, Rara Prahesti?” tanyanya lagi dengan penuh penekanan.“Be-benar, saya Rara, Pak.”Laki-laki yang berada di dalam mobil itu tiba-tiba tersenyum simpul. “Kamu masih ingat aku nggak?”Aku mengamati wajah pria itu lalu menggeleng pelan.“Masa nggak ingat?” Laki-laki itu kemudian membuka kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. “Kalau sekarang ingat, nggak?”Aku menyipitkan mataku menatap pria itu lagi. Wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya.Ah, kenapa semuanya terasa sangat familiar?Aku berpikir sejenak. Hingga tiba-tiba, sekelebat ingatanku pada pria itu berputar di otakku.“Bagaimana, apa sudah ingat?”“Ka-kamu … Mas Feri?”Laki-laki itu terkekeh pelan sembari mengangguk. “Syukurlah kalau kamu masih mengingatku.”Aku terkejut luar biasa. Bahkan, mulutku menganga dengan lebar.“Bagaimana kabarmu?”Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu dan memilih menunduk. Kakiku kugeser secara perlahan ke sam
“Oii, Mbak Rara! Kapan kamu nikah?”“Aku mau nikah kapan itu bukan urusanmu!”“Mau aku kenalkan dengan kakekku, gak, Mbak? Dia masih perkasa, lho!”“Dasar Rizal menyebalkan! Pulang sana, jangan main ke rumah ini lagi!”–“Mata bengkak disertai lingkaran hitam di bawahnya. Hmm … pasti kamu semalam habis menangis dan kurang tidur, ya?” tebak Mila. Dia adalah rekan satu kerjaan yang cukup dekat denganku. Bahkan, ia adalah satu-satunya orang yang paham akan keadaan keluargaku.“Kamu bertengkar lagi dengan ibu dan adikmu?” Ia melanjutkan pertanyaannya lagi.Aku hanya terdiam, anggukan lemahku padanya langsung membuatnya mengerti.“Kamu bisa cerita kalau sudah tenang. Aku ambilkan minum dulu, ya.” Tanpa menunggu persetujuanku, Mila sudah melesat menuju dapur.“Taraaa … coklat panas untuk yang sedang punya masalah.” Mila tersenyum cerah sembari meletakkan secangkir coklat panas di depanku saat ini.“Terimakasih, Mila.”“Sama-sama.” Mila tersenyum padaku. “Aku mau beli pengharum ruangan dulu,
"Yes! Akhirnya aku bebas dari rumah neraka itu!" teriak Rizal kencang. Ia bahkan melompat ke udara dengan kegirangan tanpa memikirkan perasaanku yang terluka karena perbuatannya.Aku menghentikan langkahku seraya menatapnya dengan marah. "Kamu sengaja melakukan ini agar bebas dari rumah?""Iya.” Pemuda itu mengangguk tanpa merasa bersalah. “Aku sudah muak berada di rumah itu!""Tapi kamu menjadikanku korban, Zal!""Itu urusanmu sendiri, Mbak! Yang penting, rencanaku berhasil!"Aku terduduk dengan lemas. Air mataku luruh begitu saja membanjiri kedua pipiku. Tega sekali Rizal menjadikanku korban hanya untuk kepentingannya sendiri.“Harusnya, kamu berterimakasih padaku, Mbak.” Ia menepuk dadanya sendiri. “Berkat aku, kamu nggak dicap sebagai perawan tua lagi.”“Tapi gara-gara kamu, aku diusir oleh ibuku sendiri dan diusir dari kampung, Zal!” teriakku frustrasi.“Kamu justru bebas, Mbak!” Rizal ikutan berteriak. “Kamu nggak perlu menanggung hidup ibumu dan adik-adikmu yang gak tahu diuntu
Aku terus mondar-mandir di dalam rumah dengan gelisah. Kalau sampai nanti malam Ibu menyeretku ke sungai agar mandi kembang tujuh rupa bagaimana? Ibu, 'kan orangnya nekat.Apa aku kabur saja?Tapi kalau kabur, nanti aku dicap sebagai anak yang durhaka bagaimana?Di saat pikiran sedang buntu begini, suara pintu diketuk berulangkali mengalihkan perhatianku.Aku segera ke luar dari kamar untuk membuka pintu rumah yang sedang diketuk itu."Yuda ke mana?" tanya seorang pemuda ketika aku sudah membuka pintu yang diketuknya tadi. Pemuda itu bernama Rizal. Dia adalah teman adik laki-lakiku. "Dari kemarin Yuda nggak ada di rumah," jawabku kemudian.Rizal membuang puntung rokok yang berada di tangannya dan langsung menerobos masuk saja ke dalam rumah dengan tidak sopan."Lho, kok kamu malah main masuk aja? Yuda beneran nggak ada!" Aku mengikuti Rizal, dengan harapan bocah itu segera keluar dari dalam rumah. Sebenarnya, dari dulu aku tidak suka kalau Yuda berteman dengan Rizal. Rizal ini band
"Ustaz sudah punya calon istri belum?"Aku hanya bisa ternganga ketika mendengar pertanyaan dari perempuan paruh baya yang suaranya sangat aku kenali itu.Ya, suara perempuan paruh baya itu adalah orang yang sudah melahirkanku tiga puluh tiga tahun yang lalu atau yang biasa kupanggil dengan sebutan Ibu.Lagi-lagi, Ibu bertanya hal yang memalukan lagi. Kemarin, beliau bertanya hal demikian kepada Juragan tanah, Juragan minyak, bahkan Juragan beras. Dan sekarang, Ibuku bertanya kepada ustad yang sedang mengadakan sesi tanya-jawab setelah ceramah yang disampaikannya selesai."Kalau belum punya calon istri, apa mau saya jodohkan dengan putri saya? Dia cantik lho, Taz."Aku langsung menutup wajahku menggunakan masker yang berada di saku gamisku.Mungkin niat Ibu baik, agar diriku yang dicap sebagai perawan tua ini segera bertemu jodohnya. Tapi, apa harus sampai segitunya? Menjadi perawan tua bukanlah tindakan kriminal, ‘kan?Terkadang, aku ingin menangis meratapi nasib. Hal seperti ini buk