Aku terbangun dalam ruangan yang tak begitu asing ketika sorot sebuah lampu menyilaukan mataku.“Kontrakan?” Aku menautkan alisku melihat sekeliling. Kenapa aku bisa berada di kontrakan? Bukankah aku tadi berada di sebuah kamar apartemen, lalu Rizal ....Aku langsung mengacak-acak rambutku dengan kasar manakala mengingat kejadian yang membuat hatiku remuk redam itu.Aku segera mengubah posisiku menjadi duduk sambil sesekali memegangi kepalaku yang terasa berat.Entah mengapa, aku seperti orang yang sudah tidur dalam waktu yang sangat lama sekali. Aku bahkan seperti orang linglung yang seperti habis meminum sesuatu yang memabukkan hingga otakku tidak bisa berpikir dengan sempurna.Sebenarnya, apa yang terjadi denganku?“Mbak, kamu sudah bangun? Kamu gak apa-apa?” tiba-tiba dari arah depan, Rizal datang menghampiriku dengan raut wajah khawatirnya.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan takut. “Jangan! Jangan mendekat!”Rizal menghentikan langkahnya, ia menatapku dengan ekspresi yang
Sejak kejadian aku yang hendak menjodohkan Rizal dengan Adel anak tetangga kontrakanku. Rizal tidak pernah pulang ke kontrakan lagi.Aku sampai penasaran. Sebenarnya dia ke mana? Apa dia marah padaku? Seketika, ada sedikit rasa was-was dalam hatiku kenapa Rizal tidak pulang. Tiba-tiba, aku teringat nama perempuan yang pernah disebut oleh Rizal waktu itu.Mawar. Siapa perempuan itu? Apakah Rizal tinggal di rumah perempuan itu?Aku menepuk-nepuk kepalaku. Lagian, untuk apa aku memikirkannya? Dia tidak pulang selamanya pun bukankah itu pertanda hal yang baik untukku?“Pagi-pagi sudah melamun aja, Mbak!” ujar Rizal yang membuatku tersentak. Baru juga aku memikirkannya, bocah menyebalkan itu tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.“Kamu masak apa, Mbak?" tanyanya kemudian.“Aku belum masak.”Rizal terlihat kecewa dengan jawabanku barusan. “Padahal aku lapar. Ya sudahlah, aku tidur saja.” Ia berlalu meninggalkanku ke ruang depan untuk tidur.Aku terdiam. Sebenarnya, aku tidak pernah memasak
"Aku nggak punya saudara kembar, Mbak.""Tapi, kamu ....""Aku kenapa? Ada yang salah?"Aku memainkan ujung-ujung jariku. Rasanya aku takut jika mengemukakan pendapatku padanya saat ini tentang dua sosok berbeda yang ada dalam dirinya."Kalau kamu melihat perubahan dari diriku, itu hanya karena alkohol, Mbak," terangnya kemudian."Al-alkohol?"Rizal tertawa sumbang. "Kamu pasti tak menyangka jika aku pecandu alkohol, 'kan?""Aku, aku tidak tahu apapun tentangmu, Zal.""Maka dari itu, jangan pernah menyimpulkan apapun dariku jika kamu tidak tahu apapun, Mbak!"***Malam harinya, Rizal berpamitan berangkat bekerja.Aku yang tidak puas dengan jawaban Rizal berkaitan ia yang tak memiliki saudara kembar tiba-tiba punya pemikiran untuk mengikutinya saat ini.Siapa tahu, dengan mengikutinya, aku bisa membongkar rahasianya, jika sebenarnya dia memang memiliki saudara kembar dan sering berganti posisi untuk mempermainkan hidupku.Satu hal yang membuatku curiga. Memangnya alkohol bisa membuat s
Malam ini, aku harus merelakan dua lembar uang kertasku yang berwarna merah melayang begitu saja. Satu lembar untuk membayar sebotol air putih, dan selembarnya lagi untuk membayar Pak tukang ojek yang terlalu lama menungguku.Aku menghela napas panjang sambil mengamati dompetku yang isinya tinggal recehan gara-gara peristiwa malam ini.Ah, benar-benar kasihan sekali hidupku ini! "Dari mana kamu, Mbak?" tanya Rizal begitu aku membuka pintu kontrakan.Aku terlonjak kaget, nampak saat ini ada Rizal yang tengah duduk sembari menatapku dengan penasaran."Aku-aku ...," mati aku! Aku harus bilang apa padanya?Lagian, kenapa tiba-tiba dia sudah berada di rumah? Bukankah dia tadi ke restoran mewah bersama seorang wanita?"Mbak?""Eh, ya?""Kamu kenapa malah bengong begitu?"Aku segera menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Eng-enggak ada apa-apa."Rizal berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiriku yang masih berdiri di depan pintu."Coba aku tanya sekali lagi. Kamu habis dari mana, Mbak Rar
Aku membelanjakan sisa uang recehan yang kupunya dengan bahan makanan seadanya untuk membuat sarapan pagi ini.Mencium bau masakanku, Rizal yang tidur pulas di ranjangku terdengar sudah bangun.Semalam, aku terpaksa memilih tidur di ruang depan daripada harus tidur berdua dengan bocah menyebalkan bin tengil itu."Masak apa, Mbak?" tanyanya yang sudah berdiri di belakangku."Masak oreg tempe."Rizal manggut-manggut lalu menempelkan wajahnya di bahu kananku."Kam-kamu ngapain!""Lihat Mbak Rara masak.""Tapi, kepalamu nggak perlu di letakkan di bahuku juga, 'kan?""Hehe." Bocah itu langsung meringis dan menegakkan posisinya kembali dan pergi berlalu meninggalkanku.Aku langsung mengusap dadaku yang berdetak dengan cepat. Rasa-rasanya, jantungku bisa copot jika Rizal bertingkah seperti itu terus.***"Aku berangkat kerja dulu, Zal!" pekikku pada Rizal yang berada di dalam kamar mandi."Tunggu, Mbak! Jangan berangkat dulu!""Nanti aku terlambat!"Terdengar Rizal membuka pintu kamar mandi
Setelah pulang kerja, aku dan Mila mampir di kafe langganan kami dan seperti biasa duduk di rooftop yang sepi."Sepertinya kamu lelah sekali, Ra. Apa kita pulang saja? Kamu bisa cerita lain kali saja," kata Mila ketika melihatku yang tertunduk dengan sangat lesu."Gak apa-apa, Mil. Hanya bercerita saja aku masih sanggup."Mila mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Selama ini, aku belum menceritakan perihal Mas Feri adalah mantanku.Entahlah, rasanya aku enggan saja menceritakan hal ini pada Mila karena aku tidak mau membahas Mas Feri lagi dalam hidupku."Kalau begitu, kamu mau bercerita apa? Aku siap mendengarkan." Mila mulai menodongku dengan rasa penasarannya. Sepertinya, ia cukup antusias dengan cerita hidupku."Aku merasa, Rizal punya rahasia besar," kataku kemudian."Rahasia besar apa?""Sepertinya, Rizal punya saudara kembar.""What?!" Mila berteriak dengan histeris, bahkan aku langsung membekap mulutnya karena menjadi pusat perhatian segelintir orang yang duduk di rooftop jug
Malam ini, Rizal hanya berdiam diri di rumah dan sibuk bermain playstation keluaran terbaru yang entah kapan dibelinya.Aku menghela napas panjang, gagal sudah rencanaku yang hendak membuntutinya lagi karena dia tidak pergi ke mana-mana."Tanganmu sudah baikan, Zal?" tanyaku sembari memperhatikan tangannya yang sibuk menggerakkan stik PS ke kanan dan ke kiri."Aman, Mbak. Semua berkat bantuan Mbak Rara." Dia melirikku sekilas dan tersenyum."Sebenarnya, kamu tadi ada masalah apa, Zal?""Ah, biasa masalah kerjaan."Aku mengernyitkan dahiku. Dari pertengkaran yang aku tangkap, sepertinya itu bukan tentang pekerjaan.Kenapa Rizal berbohong padaku? Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Untuk saat ini, aku pura-pura percaya saja dengan perkataannya. Banyak keanehan Rizal yang perlu aku selidiki. Termasuk dengan buku tebal usang miliknya yang sempat aku baca tadi.Tuk! Tuk! Tuk!Pintu diketuk berulang kali membuatku langsung tersentak. Aku segera berjala
"Rara!! Gimana-gimana?" tanya Mila begitu antusias ketika aku baru saja tiba di tempat kerja."Gimana apanya?" Aku meletakkan tas ranselku dan duduk di samping kulkas seperti biasanya."Gimana, semalam kamu udah mbuntuti suamimu itu lagi apa belum?""Dia semalam enggak ke mana-mana.""Yaaah ...," Mila terlihat kecewa. "Padahal aku sudah semangat sekali mau mendengarkan ceritamu!""Ceritaku gak menarik padahal.""Gak menarik gimana? Bagiku menarik banget, lho. Kalau masuk FTV, jalan ceritamu ini pasti booming. Mana suami brondongmu tu guanteng banget udah ngalah-ngalahin Lee Min Ho!"Aku geleng-geleng kepala dengan perkataan Mila yang menurutku begitu berlebihan. "Lee Min Ho lagi, Lee Min Ho lagi, pasti kupingnya panas gara-gara kamu sebut-sebut terus!"Mila terkekeh pelan. "Fans Lee Min Ho garis keras. Tapi, sekarang lebih ngefans sama suamimu. Haha ... canda, Ra.""Hish, ada-ada saja kamu ini!""Kalau aku belum menikah, akan kurebut suamimu. Tapi, yang versi badboy-nya saja. Yang ver
“Wanita lain?” Rizal terkekeh menatapku. “Mana mungkin aku punya wanita lain, Mbak!”“Lha itu Mawar.”Rizal lagi-lagi terkekeh. “Dia hanyalah mantan tunangannya Samuel.”“Mantan, tapi masih cium-ciuman.”“Oooh … yang waktu itu? Yang kamu kabur dari mansion itu, Mbak?”Aku terdiam. Aku tak mungkin berkata pada Rizal, jika hatiku saat itu benar-benar panas.“Kamu harus tahu yang sebenarnya, Mbak. Perempuan itulah yang terlebih dahulu mencium Samuel—dia memaksa Samuel untuk balikan. Namun, Samuel menolaknya. Samuel benci penghianatan.”Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Berarti … aku salah menilai Samuel? Rasa bersalah tiba-tiba menelusup jiwaku. Andai aku tidak kabur saat itu, bukankah semuanya akan baik-baik saja?Aku mengusap perutku yang kempes. Bulir-bulir bening tiba-tiba membasahi kedua pipiku. “Lho, kenapa malah menangis, Mbak?”Aku menggelengkan kepalaku seraya menyeka air mataku yang sudah mengucur dengan deras.“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Mbak.” Rizal kemudian menarikku
Sudah berminggu-minggu aku terkurung di dalam rumah sakit ini. Sesekali aku keluar hanya untuk berjemur. Itu pun harus dengan penjagaan yang super ketat. Bibi Pram tiba-tiba memasuki ruangan yang kuhuni dengan tergopoh-gopoh. Kalau sudah seperti itu, ia pasti akan menyampaikan sesuatu yang penting.“Nyonya, Anda harus melihat berita hari ini di televisi!” katanya yang kini sedang sibuk mencari remote tv.“Ada apa, Bi?”Tanpa menjawab pertanyaanku, Bibi Pram yang sudah menemukan remote tiba-tiba segera menyalakan televisi dan mencari channel yang diinginkannya.Begitu mendapatkan channel tersebut, Bibi Pram langsung menyuruhku untuk melihatnya.“Pimpinan William Group telah diambil alih oleh anak semata wayangnya yang bernama Afrizal Samuelim Exel.”Aku terbelalak membaca line berita dalam channel televisi tersebut.Jadi, Samuel sudah berhasil mengambil alih pimpinan William Group?Aku segera menyimak isi berita tersebut, tampak sang pembawa acara menyampaikan isi beritanya dengan lug
Kehilangan buah hati ternyata menimbulkan luka yang dalam bagiku. Aku sudah seperti orang kehilangan arah dan tidak tahu harus melakukan apa.Aku merasa hidupku seperti tidak ada artinya lagi. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh dan tak berbentuk lagi.Andai aku tidak dikurung, andai Samuel mau menyelesaikan setiap masalah tanpa amarah yang meledak. Aku rasa, kejadian buruk ini tidak akan terjadi.Bolehkah aku membencinya yang telah membuatku seperti ini?Pintu kamar rawat yang kuhuni tiba-tiba terbuka.Kukira yang datang adalah Bibi Pram. Namun, ternyata yang datang adalah laki-laki yang membuatku menjadi hampir gila seperti ini.Aku membuang muka. Aku benar-benar muak melihatnya.“Bagaimana keadaanmu?”“Puas kamu membuatku seperti ini?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kalau perlu bunuh saja aku sekalian!”Ia hanya diam. Namun, suara langkah kakinya seperti sedang menuju ke arahku. Dan secara mengejutkan, ia tiba-tiba memelukku dengan erat.Aku meronta-ronta. Untuk apa memelukku? D
Aku merasakan tubuhku diangkat seseorang yang berlari entah menuju ke mana.Dari nada teriakannya, ia terdengar panik dengan keadaanku saat ini.“Tolong selamatkan istri saya, dok!”Istri? Apa yang dimaksud adalah aku?Seseorang yang menggendong tubuhku ini terus berlari.Hingga beberapa saat kemudian, aku merasa diletakkan di sebuah tempat tidur lalu ditarik dengan tergesa-gesa oleh suara riuh orang yang tidak aku ketahui mereka itu siapa.Mataku benar-benar tidak bisa terbuka seakan ada beban berat yang menimpanya.“Bapak tunggu di luar ruangan. Kami akan berusaha menyelamatkan istri dan anak Anda!”“Lakukan yang terbaik, dok! Saya tidak mau kehilangan mereka!”Tubuhku terasa dibawa menuju ke sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas … perutku rasanya seperti sedang diremas-remas.***“Mama … Mama … bangunlah ….” kata seorang anak kecil membangunkanku yang sedang terlelap.Aku mengedarkan pandanganku. Di mana aku berada? Kenapa tempat ini semuanya berwarn
Keinginan tinggal di rumah Nenek Nur selamanya dan juga keinginan membangun tempat ini nyatanya hanyalah menjadi angan-angan semata.Pagi-pagi sekali—lebih tepatnya sehabis subuh, rumah Nenek Nur di gedor-gedor pintunya hingga mau roboh.Ketika aku membuka pintu, tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang aku ketahui mereka itu siapa langsung menyeretku agar pergi dari rumah Nenek Nur. Tidak ada yang bisa menolongku meskipun para warga yang berada di sana ingin melakukannya. Orang-orang yang membawaku ini membawa senjata tajam dan sengaja digunakan untuk menakut-nakuti mereka.Begitu hampir tiba di mobil, aku melihat sesosok laki-laki yang aku hindari tengah bersandar pada pintu mobil dengan sepuntung rokok yang berada di jemarinya.Dia menatapku tajam bak perisai yang siap menembus lawannya.Dia pikir, aku akan takut ditatap seperti itu? Tidak akan! Aku bukan Rara yang lemah seperti dulu kala! Bahkan, jika aku mati hari ini, aku siap!“Kenapa kabur?” tanyanya dingin melebihi din
Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyetop sebuah angkot ketika sudah sampai di luar.Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan ada yang mengikutiku tidak.Lagi-lagi aku bernapas lega, syukurlah tidak ada yang mengikutiku sama sekali.Sekarang, tinggal memikirkan aku harus pergi ke mana.Tiba-tiba, nama Mila melintas di pikiranku. Sepertinya, untuk sementara waktu aku akan ke rumahnya dulu.Aku segera mengeluarkan ponselku lalu menghubungi Mila.“Assalamualaikum, Rara? Ya ampuuun … ke mana saja kamu selama ini? Kenapa pesanku nggak pernah kamu balas?” cerocos Mila begitu panggilanku telah diangkatnya.“Waalaykumussallam, Mil. Nanti aku ceritakan semuanya. Kamu ada di rumah?”“Iya, aku ada di rumah. Kan, ini hari liburku!”“Oke, aku akan datang ke rumahmu.”Begitu panggilan terputus, aku segera minta turun dari angkot guna memesan taxi online menuju rumah Mila yang jaraknya sangat jauh.*Setibanya di rumah Mila, dia langsung menyambutku dengan heboh. Apalagi ketika mengetahui p
Aku terlonjak kaget ketika terbangun sudah tidak berada di bawah tiang mansion dekat taman.Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru arah. Kamar? Kenapa aku bisa berada di dalam kamar? Siapa yang memindahkanku?Aku beranjak dari atas ranjang ketika menyadari tidak ada Samuel di kamar ini. Sepertinya, aku harus segera pergi sebelum dia kembali.“Mau ke mana lagi?”Deg!Baru beberapa langkah kakiku melangkah, sebuah suara berhasil membuatku tak berkutik sama sekali.Aku menoleh ke arah belakang, tampak ada Samuel yang baru saja muncul dari balik pintu kamar mandi menatapku dengan tajam.“Eh, kamu sudah mendingan?” tanyaku berbasa-basi dan berusaha bersikap tenang seakan tak terjadi apa-apa.“Lumayan.”“Alhamdulillah, aku merasa senang. Kalau begitu aku—”“Ini semua berkat obat manis yang kau berikan.”Aku seketika meringis ke arahnya. Sudah dipastikan wajahku saat ini semerah tomat menahan malu. “Ma-maaf, aku tidak bermak—”“Aku suka.”Kedua mataku langsung melebar melebar sempurna mena
“Nyonya Muda, apa yang sedang Anda lakukan pagi-pagi begini di dapur?” tanya Bibi Pram menghampiriku yang sedang berkutat di dapur mansion seorang diri. Dapur mansion ada dua bagian. Dapur kotor untuk memasak sehari-hari yang dipakai oleh pelayan. Sementara dapur bersih biasanya dipakai oleh tuan rumah ketika ingin memasak sendiri. “Suamiku sedang sakit, Bi. Aku ingin membuatkannya bubur.” Bibi Pram melihat panci yang berada di atas kompor. Sedetik kemudian, perempuan paruh baya itu tersenyum ke arahku. “Apa boleh saya membantu Anda?” tanyanya kemudian. “Aku bisa sendiri, Bi.” “Apa Anda serius?” Aku menoleh ke arah panci sambil garuk-garuk kepala. Jujur saja, aku belum pernah membuat bubur. “Sebenarnya, saya belum pernah membuat bubur sendiri, Bi. Ini saya cuma cari tutorial di sosial media.” Lagi-lagi Bibi Pram tersenyum. “Berarti, saya boleh membantu, kan?” Aku langsung nyengir ke arah Bibi Pram. “Ya sudah, tolong bantuin ya, Bi.” “Baik, Nyonya Muda.” Bibi Pr
Aku meringkuk di sudut ruangan dengan pikiran yang kacau balau. Jiwa Rizal dan Samuel benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Tuan dan Nyonya William untuk kepentingan mereka sendiri. Hari nurani mereka sebagai orang tua sepertinya sudah rusak. Bukan rusak lagi, tapi sudah hancur dan tak berbentuk. Anak mempunyai penyakit kepribadian ganda bukannya disembuhkan, tapi malah semakin dimanfaatkan. Bukankah itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak manusiawi? Aku mengepalkan kedua tanganku. Tekad dalam hatiku semakin membara untuk menjatuhkan mereka. Hatiku benar-benar sakit raga suamiku diperlakukan seperti itu! Di saat sedang kalut seperti ini, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Dari balik pintu muncullah sosok seorang laki-laki yang aku khawatirkan sedari tadi. Dengan wajah yang babak belur dan baju yang bersimbah darah ia berjalan perlahan memasuki kamar. “Astagfirullah, Samuel!” Aku segera berlari menghampirinya. Melihat kondisi Samuel saat ini membuat air mataku langsung mengucur den