Satu pekan kemudian. Dimas murka dan langsung berdiri, berjalan cepat menghampiri Wisang dengan mata yang penuh amarah. Dia meraih pergelangan tangan Wisang dengan kasar, mencengkeramnya erat hingga Wisang meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan, hah? Kau pikir bisa melawanku begitu saja?" Dimas menggeram, wajahnya merah padam. "Aku sudah muak denganmu. Kau tidak akan pernah menang, Wisang. Kau mendengar itu?" Wisang menatap Dimas dengan penuh keberanian, meski hatinya berdebar kencang. "Aku tidak akan pernah tunduk padamu lagi, Dimas. Kau bisa mengancamku, memindahkan Kakek, atau bahkan mencoba memanfaatkan Taka. Tapi aku tidak akan pernah menyerah." Dimas tertawa sinis, mendorong Wisang hingga terjatuh ke lantai. "Kau wanita bodoh, Wisang. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi." Sebelum Dimas bisa berkata lebih banyak, pintu apartemen terbuka dengan keras. Taka berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh determinasi dan kemarahan. "Dimas, lepaskan dia sekarang!" Taka mengan
Setelah beberapa jam perjalanan, Taka dan Wisang akhirnya tiba di alamat yang diberikan. Rumah tua di pinggir kota itu terlihat sepi dan terabaikan. Taka memeriksa sekeliling sebelum mereka berdua perlahan-lahan mendekati pintu depan. “Ini tempatnya,” bisik Taka. “Kita harus berhati-hati.” Wisang mengangguk, hatinya berdebar keras. Mereka membuka pintu dengan hati-hati, langkah mereka pelan namun tegas. Ketika mereka masuk, aroma debu dan kelembaban menyambut mereka. Dengan cepat, mereka menyusuri lorong menuju kamar di ujung. Di dalam kamar, Kakek Radez terkejut melihat cucunya dan Taka. Matanya berbinar melihat mereka, meski tubuhnya terlihat lemah. Wisang berlari mendekat, memeluk kakeknya dengan erat. “Kakek, kami datang untuk menyelamatkanmu,” kata Wisang dengan suara yang terisak. Kakek Radez mengangguk lemah. “Aku tahu kau akan datang, Wisang. Kau selalu kuat.” Taka berjaga-jaga di dekat pintu, memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Dimas. “Kita harus segera per
Beberapa hari kemudian, Taka menghadiri sebuah konferensi bisnis internasional di hotel mewah di pusat kota. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai pebisnis dan investor terkenal dari seluruh dunia. Taka berjalan memasuki aula utama dengan percaya diri, meski pikirannya masih dipenuhi oleh ancaman Dimas.Saat dia sedang berbicara dengan beberapa kolega, Taka melihat Dimas memasuki ruangan. Dimas tidak sendirian; dia datang bersama seorang pria muda berambut pirang, berdarah Jerman, yang dikenal sebagai Ethan. Ethan adalah seorang pebisnis asing yang sangat terkenal dengan keberaniannya dalam berinvestasi besar-besaran. Taka merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tahu bahwa kedatangan Dimas bersama Ethan bukanlah kebetulan.Dimas tersenyum sinis saat pandangan mereka bertemu. Tanpa basa-basi, dia mendekati Taka dengan Ethan di sisinya. "Taka, perkenalkan, ini Ethan," kata Dimas dengan nada yang penuh dengan kepura-puraan ramah. "Ethan, ini Taka, pria yang sering kali membuat bis
Malam semakin menia, Taka dan Wisang memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama lebih lama. Mereka berdua beranjak ke kamar, di mana suasana semakin intim dan penuh dengan cinta. Setiap sentuhan dan bisikan semakin memperkuat ikatan yang mereka miliki.Wisang menarik Taka mendekat, jemarinya dengan lembut mengusap wajah Taka. Mereka saling memandang, memahami perasaan masing-masing tanpa perlu berkata-kata. Taka kemudian memeluk Wisang erat, mencium lehernya dengan lembut, merasakan detak jantung yang semakin cepat.Wisang merespons dengan ciuman yang penuh gairah, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan penuh hasrat. Sentuhan mereka semakin intens, tangan mereka menjelajahi tubuh satu sama lain, menikmati setiap momen kedekatan yang selama ini dirindukan.Mereka jatuh ke tempat tidur, masih terjebak dalam ciuman yang membara. Wisang menggenggam tangan Taka, menariknya lebih dekat lagi. Malam itu menjadi malam yang penuh gairah, di mana mereka membiarkan perasaan mereka meng
Wisang baru saja pulang kerja dan merasa sangat lelah. Dia memutuskan untuk berganti pakaian sebelum menemui Kakek yang sedang berkebun di halaman belakang. Setelah merasa lebih nyaman, Wisang berjalan keluar dan melihat Kakek sedang sibuk dengan tanah dan bibit di tangannya.Wisang mengetuk pintu pagar dan melangkah masuk. "Kakek, aku pulang!"Kakek, yang sedang berjongkok, berdiri dan membersihkan tangannya dari tanah. Senyum hangat menyambut Wisang."Oh, Wisang! Bagaimana harimu di kantor?"Wisang tersenyum sambil melepas sepatu, merasa senang bisa pulang."Cukup baik, Kek. Banyak pekerjaan seperti biasa. Aku pulang sebentar untuk ganti pakaian."Kakek mengangguk sambil tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya dengan penuh semangat."Bagus. Kerja keras memang penting. Ayo, masuk dulu. Kebetulan Kakek sedang menanam bunga mawar baru."Wisang mendekat dan memandangi bunga-bunga yang sedang ditanam oleh Kakek."Mawar? Warna apa kali ini, Kek?"Kakek tersenyum bangga dan menunjuk bunga
Malam itu, bulan menggantung tinggi di langit, memancarkan cahaya perak yang lembut. Di bawah sinar rembulan, Wisang dan Taka duduk di taman kota yang sepi, tempat yang sering mereka kunjungi sejak awal hubungan mereka. Namun, malam ini terasa berbeda. Ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka, dan hati mereka dipenuhi kebingungan dan kecemasan.Wisang menatap ke arah bintang-bintang, pikirannya melayang jauh. "Taka," katanya dengan suara pelan, "kita sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi jika Dimas tidak kunjung menceraikanku, kita tak akan pernah bisa bersama secara utuh."Taka menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku tahu, Wisang. Tapi aku juga tahu betapa sulitnya bagimu untuk meninggalkannya. Kau sudah mencoba sejauh ini, tapi Dimas selalu menemukan cara untuk menunda perceraian itu."Wisang mengangguk, merasakan keputusasaan yang mendalam. "Dia selalu berjanji akan melakukannya, tapi selalu ada alasan baru setiap kali. Aku tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian
Malam harinya, Dimas duduk sendirian di bar, gelas wiski di tangannya. Ia telah menenggak beberapa gelas, mencoba menenggelamkan rasa sakit dan kebenciannya dalam alkohol. Malam itu terasa gelap dan berat, seakan memantulkan kekacauan yang terjadi dalam hatinya."Apa yang kau lakukan, Dimas?" gumamnya pada diri sendiri. "Bagaimana bisa dia meninggalkanku begitu saja? Kita sudah bersama begitu lama."Pikirannya melayang pada malam-malam yang dihabiskan bersama Wisang, cinta yang pernah mereka miliki, dan janji-janji yang mereka buat. Tapi sekarang semua itu terasa hampa, dan yang tersisa hanyalah rasa marah dan penghinaan. Ia merasa dikhianati oleh orang yang paling dicintainya.Seorang pelayan bar mendekat, melihat Dimas yang tampak kacau. "Anda baik-baik saja, Pak? Mungkin sudah cukup untuk malam ini."Dimas menggelengkan kepala, meneguk sisa wiski dalam gelasnya. "Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku kehilangan segalanya."Pelayan itu menghela napas, merasa kasihan pada pria yang je
Ketika Dimas sampai di rumah, perasaan campur aduk menghinggapi hatinya. Ia membuka pintu dengan hati-hati, berusaha tidak membuat kebisingan. Namun, langkahnya yang berat membangunkan ibunya yang sedang beristirahat di ruang tamu."Dimas, kamu sudah pulang," sapa ibunya dengan suara lembut namun penuh kekhawatiran. "Kamu terlihat lelah. Apa yang terjadi? Dan di mana Wisang?"Dimas terdiam sejenak, merasakan kebingungan yang semakin mendalam. Ia belum sempat memberi tahu ibunya tentang perpisahan dengan Wisang. Bagaimana caranya menjelaskan semuanya?"Bu," Dimas akhirnya membuka suara, suaranya bergetar, "ada banyak yang perlu Ibu ketahui. Wisang... dia sudah pergi."Wajah ibunya berubah, terlihat cemas dan terkejut. "Pergi? Maksudmu apa, Nak? Apa yang terjadi?"Dimas mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan semuanya. "Wisang dan aku... kami sudah tidak bersama lagi, Bu. Dia memilih untuk bersama Taka."Ibunya terdiam, mencoba mencerna informasi yang
"Dimas tidak akan pernah menyerah, padahal dia yang terus menyakitiku sebelumnya," lirih Wisang."Bagaimana jika kita pergi ke Eropa?" Taka yang mendengar kalimat lirih sang istri pun bertanya kepada Wisang.Wisang meliriknya dengan sedikit kebingungan. "Eropa? Serius? Bukankah kita lebih baik tetap di sini?"Taka tersenyum, meletakkan cangkir kopi di mejanya. "Justru karena kita sibuk mengawasi segalanya, kita perlu jeda. Aku bisa menyelesaikan semuanya dari sana, dan kita bisa sejenak meninggalkan segala tekanan ini. Pikirkan ini sebagai kesempatan untuk menyegarkan diri."Wisang terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu. Dia tahu, ini bukan hanya tentang liburan biasa. Taka tidak pernah meminta sesuatu yang tidak penting, dan kesempatan ini mungkin menjadi satu-satunya cara untuk keluar dari rutinitas penuh stres yang mereka jalani."Tapi, Eropa... itu jauh sekali. Dan kita masih begitu berisiko."Taka mengangguk memahami kekhawatiran Wisang. "Aku tahu, tapi ini bukan hanya soal peke
Taka terdiam sejenak, menatap jauh ke luar jendela ruang kerjanya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detik jam yang menggema di dinding. Wisang, yang selama ini menjadi pendamping setianya, melangkah mendekat.“Wisang…” Taka memulai, suaranya berat. “Kau tahu apa yang membuatku tidak pernah mundur dalam menghadapi Dimas?”Wisang menatapnya penuh perhatian, mencoba membaca pikiran pria di depannya. “Karena kau tahu dia akan terus menjadi ancaman bagi semua yang kau bangun, Taka. Aku mengerti itu.”Taka tersenyum pahit. “Sebagian benar. Tapi lebih dari itu, aku melihat pantulan diriku di dalam dirinya. Kita berdua bukan orang baik, Wisang. Kita hanya mencoba bertahan di dunia yang tidak pernah adil sejak awal.”Wisang tertegun, lalu mendekatkan diri lebih dekat. Dengan ragu, ia merentangkan tangannya dan memeluk Taka. “Taka, kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mungkin… mungkin Dimas tidak akan seperti ini jika saja dulu kalian tidak pernah bertemu. Jika dia ti
Malam berikutnya, Taka dan timnya mengadakan pertemuan tertutup di vila terpencil miliknya. Wisang, Sofia, dan beberapa anggota kunci hadir untuk merancang langkah berikutnya."Informasi yang kita terima menunjukkan bahwa Dimas sedang merencanakan serangan besar," ujar Sofia sambil memproyeksikan data ke layar besar. "Dia sedang menghubungi beberapa pengusaha besar untuk mendukung kampanye negatif terhadap Anda, Taka."Taka menyimak dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangan ke Wisang. "Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar berpengaruh?"Wisang membuka catatan di laptopnya. "Dari sepuluh nama yang terlibat, tiga di antaranya punya koneksi kuat dengan media dan pemerintah. Sisanya hanya pengikut Dimas yang mencari keuntungan.""Kalau begitu, fokuskan perhatian kita pada tiga orang itu," perintah Taka. "Cari celah mereka. Semua orang punya kelemahan."Sofia tersenyum tipis. "Aku sudah mulai menyelidiki salah satu dari mereka. Dia memiliki masalah pajak yang belum terselesai
Keesokan harinya, media penuh dengan spekulasi dan analisis tentang pertemuan Taka dan Dimas. Foto-foto mereka menjadi headline di berbagai portal berita, dengan tajuk seperti “Dua Raksasa Bisnis Bertemu: Konflik atau Kerjasama?” hingga “Ketegangan di Pameran Seni: Apa yang Sebenarnya Terjadi Antara Taka dan Dimas?”.Wisang, yang menyadari betapa besarnya dampak pemberitaan ini, masuk ke ruang kerja Taka sambil membawa tablet yang menampilkan beberapa berita terbaru."Ini semakin membesar, Taka. Media tidak hanya fokus pada pameran, mereka membuat narasi bahwa ini adalah perang kekuasaan," kata Wisang sambil menyodorkan tablet itu.Taka menatap layar tanpa banyak ekspresi, lalu mengembalikan tablet itu ke meja. "Itu yang Dimas inginkan. Dia tahu cara menggunakan media untuk memancingku," ujarnya dengan nada datar.Wisang mengangguk. "Tapi ini juga kesempatan, Taka. Kita bisa membalikkan narasi ini menjadi keuntungan kita. Mungkin...""Jangan pikirkan strategi yang terlalu mencolok," p
Di sebuah pameran seni yang diselenggarakan di pusat kota, seluruh kota seakan terfokus pada acara tersebut. Pameran itu menarik perhatian banyak tokoh penting dan masyarakat luas, namun yang paling menyita perhatian adalah dua sosok yang hadir: Taka dan Dimas. Meskipun mereka berada di belahan dunia yang berbeda, pertemuan mereka di acara itu menjadi titik balik yang sangat diantisipasi.Taka hadir sebagai seorang pengusaha sukses dengan citra kuat dan penuh percaya diri. Ia berjalan melalui pameran dengan langkah mantap, tampak elegan dalam balutan setelan hitam yang mengesankan. Di sampingnya, Wisang dan beberapa anggota tim pengamanan mengikuti dengan hati-hati, memastikan segala sesuatunya berjalan lancar.Sementara itu, Dimas juga hadir, namun dengan penampilan yang lebih sederhana dibandingkan Taka. Ia tidak secerah Taka, namun ada ketegangan di wajahnya yang menunjukkan bahwa pertemuan ini adalah sebuah kesempatan besar baginya. Dimas datang bersama beberapa orang kepercayaann
Keadaan semakin tegang seiring berjalannya waktu. Meskipun Taka sudah memperkuat pengamanan di rumah baru, ia tahu ancaman Dimas tidak akan berhenti hanya karena mereka pindah tempat. Taka merasa bahwa mereka harus bergerak lebih cepat dan lebih cermat, mengambil langkah hukum yang lebih besar untuk menekan Dimas sekaligus melindungi Ghenta.Di pagi hari, Taka memutuskan untuk mengunjungi pengacara mereka, menanyakan kemungkinan untuk mempercepat proses gugatan terhadap Dimas. Dengan penuh tekad, Taka memasuki kantor pengacara, disertai Wisang yang selalu mendukung langkah-langkahnya. Begitu mereka duduk di ruang rapat pengacara, Taka langsung berbicara."Bagaimana perkembangannya? Aku tidak punya banyak waktu. Dimas sudah pasti merencanakan sesuatu."Pengacara itu menatap mereka dengan serius. "Kami sudah mendapatkan dokumen-dokumen yang bisa memperkuat gugatan kita. Namun, untuk memastikan agar Dimas tidak lolos, kita harus melakukan dua hal: pertama, kita harus memastikan bahwa sem
Keesokan harinya, Taka memanggil tim pengamanan untuk melakukan pengecekan lebih mendalam terhadap setiap detail di rumah dan sekitar area sekolah Ghenta. Ia tidak bisa lagi menganggap remeh ancaman yang terus datang. Tidak hanya pengamanan fisik yang diperkuat, tetapi juga sistem keamanan digitalnya—termasuk kamera dan perangkat pemantau—diperiksa kembali untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari segala arah.Di tengah persiapan itu, Wisang menghampiri Taka dengan ekspresi serius. "Aku ingin ikut serta dalam langkah-langkahmu. Dimas sudah terlalu jauh. Kita tidak bisa hanya diam dan menunggu."Taka menatap Wisang sejenak. "Aku tahu. Aku tidak akan membiarkan dia menyentuh Ghenta. Tapi ini bukan hanya soal perlindungan fisik. Kita perlu langkah hukum yang lebih kuat.""Dan aku akan siap mendukungmu, Taka," jawab Wisang dengan keyakinan. "Aku akan berbicara dengan pengacara kita. Kita bisa menggunakan semua bukti ini untuk menjatuhkan Dimas."Taka mengangguk. "Aku percaya padamu,
Keesokan harinya, Taka dan Wisang bertemu dengan tim keamanan untuk merencanakan langkah selanjutnya. Mereka memutuskan untuk meningkatkan pengamanan, bukan hanya di rumah, tetapi juga saat mereka bepergian. Taka memutuskan untuk tidak membiarkan Dimas melihat ketakutan mereka, tetapi lebih memilih untuk menunjukkan sikap tenang dan terkontrol.Di sisi lain, Dimas tidak berhenti mengawasi. Setiap langkah Taka dan Ghenta dipantau dengan cermat. Namun, Dimas juga menyadari bahwa Taka semakin berhati-hati dan mulai menyusun langkah yang lebih strategis.Pada suatu sore, ketika Taka dan Wisang sedang berbincang di ruang kerja, seorang pengacara dari firma hukum Taka datang membawa kabar penting. Ternyata, Dimas telah mulai menggerakkan pengaruhnya untuk mengancam bisnis Taka dengan berbagai cara—baik melalui penyebaran rumor maupun dengan memanipulasi pasar.“Ini sudah di luar dugaan kita,” kata pengacara itu. “Dimas telah membeli saham dari beberapa perusahaan sekutu Taka dan mulai membe
Seminggu berlalu dengan persiapan penuh kecemasan dan antisipasi. Ghenta, anak semata wayang Taka, akhirnya tiba di Indonesia.Di bandara, Taka berdiri dengan Wisang di sampingnya. Kedua pria itu sama-sama tampak cemas namun penuh harapan. Ketika pintu kedatangan internasional terbuka, seorang bocah lelaki berusia sekitar 10 tahun muncul, membawa koper kecil dengan ekspresi penuh kegembiraan.“Papa!” serunya sambil berlari menuju Taka.Ghenta memandang Wisang dengan mata penuh rasa ingin tahu.Taka berdiri, menepuk bahu Ghenta dengan lembut. “Dia lebih dari sekadar sahabat Papa, Nak. Nanti Papa ceritakan.”Ghenta mengangguk kecil, lalu kembali memegang tangan Taka. “Aku lapar, Papa. Bisa kita makan sesuatu dulu?”Taka dan Wisang saling pandang sebelum mengangguk serempak. “Tentu. Ada kafe kecil yang Papa suka di dekat sini. Yuk, kita ke sana,” kata Taka sambil membawa koper Ghenta.---Di kafe, mereka duduk di meja sudut yang tenang. Ghenta dengan antusias menceritakan kehidupan di Er