Larissa baru saja berbalik menuju mobilnya ketika Wisang mengejarnya, langkahnya cepat dan penuh emosi yang tertahan.“Tunggu, Larissa,” panggil Wisang, suaranya tegas.Wanita itu berhenti, menoleh dengan ekspresi datar. “Apa lagi?”Wisang menatapnya tajam. “Apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini? Kau membuat janji dengan Ghenta tanpa bicara dengan kami dulu, seolah kau lebih berhak atasnya.”Larissa menyilangkan tangan di dadanya. “Aku tidak perlu izin darimu atau Taka untuk menghabiskan waktu dengan Ghenta. Aku sudah mengenalnya sejak lama, dan dia menyayangiku.”Taka yang berdiri di ambang pintu menghela napas, tetapi membiarkan Wisang menangani ini.“Kau pikir itu alasan yang cukup?” Wisang mendekat, suaranya sedikit meninggi. “Kau tidak bisa seenaknya masuk ke dalam kehidupan kami dan membuat keputusan sepihak! Ghenta bukan anakmu, Larissa!”Mata Larissa berkilat marah. “Dan kau juga bukan ayah kandungnya, Wisang! Tapi kenapa kau bertingkah seolah kau yang paling berhak?”Ucapann
Taka berdiri di bawah lampu jalan, menunggu dengan gelisah. Hanya ada beberapa mobil yang melintas di sekitar area parkir restoran ini. Ia tidak ingin bertemu Larissa di rumah atau di tempat yang bisa menimbulkan kecurigaan. Maka, ia memilih lokasi netral—tempat yang cukup ramai untuk menghindari kesalahpahaman, tetapi cukup sepi agar mereka bisa berbicara tanpa gangguan.Tak lama kemudian, sebuah sedan hitam berhenti di dekatnya. Larissa keluar dari mobil dengan anggun, mengenakan mantel panjang berwarna krem. Wajahnya tetap sama seperti yang Taka ingat—dingin, penuh percaya diri, dan licik.“Kau benar-benar datang,” ucap Larissa dengan senyum tipis.Taka menyilangkan tangan di dada. “Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu keluargaku.”Larissa mengangkat alisnya, lalu melipat tangan. “Oh? Jadi sekarang kau menyebut mereka keluargamu?” Ia terkekeh kecil. “Padahal dulu, kau pernah menyebutku sebagai satu-satunya wanita yang kau cintai.”Taka menghela napas, berusaha mengendalikan emosi
Malam berikutnya.Di sebuah kafe yang cukup tersembunyi di pusat kota, Dimas duduk dengan tenang, menyesap kopinya sambil menunggu seseorang. Senyumnya tipis ketika melihat seorang wanita berambut panjang berwarna cokelat keemasan memasuki ruangan.Larissa.Ia melangkah anggun, mengenakan gaun hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Matanya yang tajam langsung mengunci pandangan ke arah Dimas. Begitu sampai di meja, ia duduk tanpa basa-basi, menyilangkan tangan di dada."Aku tidak menyangka kau akan menghubungiku duluan," ujar Larissa dengan nada penuh penilaian.Dimas tersenyum kecil. "Kita berdua menginginkan hal yang sama, bukan?"Larissa mengangkat alis. "Kau ingin memisahkan Taka dan Wisang, sedangkan aku hanya ingin Taka kembali padaku. Jangan salah paham, Dimas. Aku tidak peduli dengan urusan pribadimu."Dimas terkekeh. "Oh, tapi kita berdua sama-sama tahu bahwa mereka berdua tidak akan mudah dipisahkan tanpa sedikit… dorongan."Larissa menatapnya lama, lalu m
Malam semakin larut ketika Wisang tiba di yayasan tempat Taka bekerja. Langkahnya mantap, tapi hatinya dipenuhi keraguan. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar tentang pertemuannya dengan Larissa sore tadi. Wanita itu bukan hanya kembali ke kehidupan Taka, tapi juga membawa aura ancaman yang sulit diabaikan.Ketika Wisang memasuki kantor utama yayasan, ia menemukan Taka masih sibuk di balik meja kerjanya. Pria itu tengah membaca laporan keuangan dengan serius, tetapi begitu melihat Wisang, ia langsung meletakkan dokumen itu dan menatap istrinya dengan lembut.“Kau masih di sini?” Taka bertanya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Wisang mengangguk, kemudian duduk di kursi di hadapan suaminya. “Aku ingin bicara.”Taka menatapnya dengan penuh perhatian. “Tentang Larissa?”Wisang menghela napas, merasa terbebani dengan segala yang ada di pikirannya. “Aku bertemu dengannya sore ini. Dia datang untuk menjemput Ghenta.”Taka mengangguk, tidak terkejut. “Aku tahu dia akan datang
Wisang duduk di sudut kamar, tangannya mengepal di atas lututnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tetapi pikirannya jauh dari pemandangan yang terbentang di luar sana. Semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir terus berputar di kepalanya seperti film yang tak ada habisnya.Pertemuannya dengan Larissa membuatnya merasa semakin terpojok. Wanita itu berbicara seolah-olah dirinya adalah korban, seolah-olah Wisang adalah orang ketiga yang masuk ke dalam pernikahan Taka. Padahal, selama ini, Wisang yang harus menghadapi kenyataan bahwa dia menikahi seorang pria yang masih dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya.Dia mencintai Taka, tidak diragukan lagi. Tetapi cinta itu kini terasa bercampur dengan rasa sakit yang sulit ia jelaskan. Bagaimana mungkin dia harus terus bertahan sementara Larissa seolah berusaha membuatnya tampak seperti perebut suami orang? Bagaimana mungkin dia harus bertahan dengan fakta bahwa Dimas dan Larissa sedang berusaha memisahkan mereka?Taka sudah ber
Di suatu tempat yang remang-remang, di sebuah lounge eksklusif yang hanya dihadiri oleh kalangan tertentu, Larissa duduk di sofa beludru dengan segelas anggur merah di tangannya. Di hadapannya, Dimas bersandar dengan santai, mengaduk minuman di gelasnya sambil menatap Larissa dengan tatapan penuh perhitungan."Jadi, kau sudah memikirkan rencana kita?" tanya Larissa, menyesap anggurnya dengan tenang.Dimas menyeringai. "Tentu saja. Taka tidak akan bisa menolak masa lalunya. Kita hanya perlu memancingnya ke dalam situasi yang membuatnya tak punya pilihan selain kembali padamu."Larissa menyilangkan kakinya, mengangkat alisnya dengan ekspresi tertarik. "Dan bagaimana kau berencana melakukannya? Wisang adalah masalah utama di sini. Taka mungkin masih memiliki perasaan padaku, tapi Wisang selalu ada di sampingnya. Dia tidak akan begitu saja membiarkan Taka kembali padaku."Dimas mengetukkan jemarinya di atas meja, berpikir sejenak sebelum berbicara, "Kau benar. Maka kita harus membuat Wisa
Reuni SMA itu seharusnya menjadi malam penuh nostalgia dan kebahagiaan bagi para alumni. Namun, bagi Wisang dan Taka, malam itu perlahan berubah menjadi ajang konspirasi yang mengancam hubungan mereka.Di balkon yang sepi, Wisang masih berdiri berhadapan dengan Dimas. Suasana di antara mereka penuh ketegangan. Wisang mencoba mengendalikan emosinya, tapi kata-kata Dimas terus menggema di pikirannya.“Aku bahagia dengan pilihanku,” ulang Wisang dengan suara lebih tegas. Namun, Dimas hanya tersenyum kecil, seolah-olah dia tahu sesuatu yang Wisang sendiri enggan akui.“Aku tidak yakin, Wisang,” kata Dimas, bersandar di pagar balkon. “Aku hanya ingin kau memikirkan sesuatu… Jika Taka benar-benar mencintaimu, mengapa dia tidak pernah benar-benar melepaskanku dari hidupnya?”Wisang menegang. “Apa maksudmu?”Dimas merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah foto kecil. Dia menyerahkannya pada Wisang dengan ekspresi penuh kemenangan.Deng
Di dalam mobil yang melaju pelan di bawah cahaya lampu jalan, Taka menatap Wisang dengan ekspresi yang sulit diartikan. Suara lembut musik dari radio mengisi kesunyian di antara mereka, namun ada ketegangan yang tak terucapkan."Jika aku tiada... apakah kau akan kembali pada Dimas?" Taka akhirnya bertanya, suaranya nyaris tenggelam dalam desiran AC mobil.Wisang yang tengah fokus menyetir menoleh sekilas dengan kening berkerut. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"Taka menghela napas, menatap ke luar jendela. "Aku hanya penasaran. Dimas pernah menjadi bagian besar dalam hidupku. Aku tahu dia bukan pria yang baik, tapi... jika aku tak ada lagi di sisimu, kau mungkin akan merasa lebih mudah untuk kembali padanya."Wisang menggeleng pelan, matanya tetap terarah ke jalan. "Dimas adalah masa lalu, Taka. Aku tidak akan kembali padanya, bahkan jika kau tiada sekalipun."Taka tertawa kecil, meskipun terdengar getir. "Benarkah? Kau tadi tampak begitu bersyukur karena dia berhasil membangun
Subuh masih menggantung di langit, meninggalkan sisa embun dan hawa dingin yang menempel di kulit. Wisang, Taka, Kompol Arief, dan Ipda Santi melaju dalam kendaraan taktis menuju lokasi cadangan yang tak tercatat dalam sistem manapun—sebuah rumah aman milik intelijen yang bahkan sebagian besar anggota kepolisian pun tidak tahu keberadaannya.Mobil berhenti di bawah jembatan layang tua di luar Jakarta, lalu masuk ke jalur servis tersembunyi. Gerbang besi terbuka otomatis setelah Arief mengirimkan kode melalui perangkat satelit. Di balik gerbang itu, sebuah bangunan beton sederhana berdiri. Tak mencolok, tapi dijaga ketat oleh pasukan tak berseragam.Begitu masuk, mereka langsung diarahkan ke ruang brifing. Peta besar Jakarta dan sekitarnya terpajang di dinding, disertai titik-titik merah menyala yang berkedip—menunjukkan pergerakan musuh yang sedang dilacak.Kompol Arief menatap Wisang. “Mulai sekarang, kita harus main cepat. Wira tidak hanya mengincarmu, tapi juga nama besar keluarga
Wisang bergerak cepat. Ia menggenggam tangan Taka dan menariknya ke belakang, menuju dapur yang terhubung langsung dengan pintu keluar belakang vila.“Jangan panik. Kita harus cari jalan keluar, bukan buka pintu,” bisiknya.Namun belum sempat mereka melangkah lebih jauh, suara dentuman keras terdengar. Pintu depan tidak diketuk lagi—melainkan didobrak paksa.BRAK!Taka menjerit tertahan. Wisang segera meraih pisau dapur sebagai alat pertahanan seadanya. Langkah kaki bergema memasuki ruang utama vila, diiringi desisan suara laki-laki yang jelas tidak mereka kenal.“Ayo keluar, Wisang... Taka. Jangan bikin aku membuang waktu.”Wisang memberi isyarat kepada Taka untuk berlari ke luar lewat pintu belakang, namun suara di luar semakin ramai. Setidaknya ada tiga orang lain di luar sana—dan mereka tidak datang dengan niat baik.Tiba-tiba, bunyi tembakan terdengar. Satu peluru melesat menembus jendela kaca dapur, membuat mereka tersentak mundur.“Kita terjebak,” gumam Wisang.Taka mulai gemet
Salah satu polisi itu, yang mengenakan seragam lengkap dengan tanda nama bertuliskan “F. Alvaro,” menatap mereka dengan sorot waspada.“Maaf kami datang tiba-tiba,” katanya tegas, “tapi kami mendapat informasi kredibel bahwa Anda berdua masuk dalam daftar target ancaman dari sindikat kejahatan keuangan lintas negara. Kami perlu membawa Anda ke tempat aman sementara penyelidikan dilanjutkan.”“Tempat aman?” Wisang menggenggam tangan Taka erat. “Apa yang sedang terjadi sebenarnya?”Polisi lain, yang lebih muda dan mengenalkan diri sebagai Briptu Maya, mengangguk. “Ada kemungkinan kelompok ini sudah mengetahui posisi Anda sejak beberapa minggu lalu. Penangkapan Dimas memicu pergerakan baru dari pihak-pihak yang ingin mengamankan diri mereka sendiri... dan mungkin menghabisi saksi-saksi kunci.”Taka menarik napas tajam. “Mereka menganggap kita saksi kunci?”“Lebih dari itu, Pak Taka,” jawab Briptu Maya serius. “Anda berdua adalah potongan utama dalam rangkaian besar yang sedang coba kami
Taka mendekat pelan, duduk di samping Wisang. Ia meraih tangan Wisang dan menggenggamnya erat, memberi ruang untuk tenang tanpa perlu bicara. Tapi detik berikutnya, ponsel Wisang kembali bergetar.Pesan masuk dari nomor tak dikenal.Satu foto. Satu kalimat.“Sudah saatnya kamu tahu siapa Dimas sebenarnya.”Wisang dan Taka menatap layar yang sama.Foto itu memperlihatkan dua remaja laki-laki berseragam sekolah internasional di luar negeri. Salah satunya adalah Dimas. Dan satunya lagi...“Taka?” Wisang menatap pria di sampingnya. “Itu... kamu?”Taka menegang. Rahangnya mengeras.Ia berdiri, menjauh, lalu menyandarkan diri ke dinding.“Wisang…” katanya pelan. “Aku nggak pernah cerita soal masa laluku di Swiss. Aku sempat sekolah di sana. Dan Dimas—dia temanku. Teman dekat. Satu asrama. Tapi juga orang pertama yang bikin aku sadar bahwa nggak semua orang datang buat niat baik.”Wisang menatapnya tajam. “Jangan bilang kalau kalian pernah—”“Tidak.” Taka buru-buru menepis. “Tapi aku pernah
Taka terlihat terdiam, tak langsung menjawab pertanyaan Dira. Sorot matanya bergerak dari wajah Wisang ke Dira, lalu kembali ke Wisang—seolah sedang memohon izin untuk bicara jujur.“Dira nggak ada di daftar itu,” ujar Taka pelan. “Kamu satu-satunya yang dari awal aku anggap pelindung Wisang. Saksi hidup... kalau dia masih punya seseorang yang peduli sebelum aku datang.”Dira mengerutkan dahi, emosi yang tadi memuncak perlahan menurun, meski belum sepenuhnya percaya. “Tapi lo tetap ngelakuin semua itu di belakang dia, Tak.”“Aku tahu,” jawab Taka, nyaris berbisik. “Dan aku siap tanggung semua risikonya.”Sebelum ada yang sempat menimpali…Ponsel Wisang berdering keras. Ia melihat nama di layar—Pak Rendra, tetangganya dulu saat masih tinggal bersama Dimas. Dengan keraguan, ia menjawab panggilan itu, dan seisi ruangan langsung hening.“Pak Rendra? Ada apa pagi buta begini?”Suara berat pria itu terdengar panik, tapi jelas. “Wisang… kamu udah tahu kabar Dimas belum?”“Belum. Kenapa?” Jan
Ketukan di pintu menginterupsi keheningan pagi itu. Lembut, tapi cukup untuk membuat Wisang dan Taka menoleh bersamaan.Taka bangkit refleks. “Aku yang bukain,” katanya cepat, mencoba menjaga kendali atas situasi.Wisang membiarkan.Saat pintu dibuka, sosok perempuan dengan hoodie oversized dan celana training abu-abu muncul di ambang pintu—Dira.“Pagi,” sapa Dira, wajahnya terlihat gelisah. “Aku... nggak tahu harus ke mana. Jadi, maaf banget kalau tiba-tiba datang.”Taka mengerutkan kening. “Dira? Ada apa?”Wisang mendekat, sedikit bingung. “Masuk dulu.”Dira melangkah masuk, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha tetap tenang. Ia duduk di tepi sofa, menunduk. Taka duduk di hadapannya, Wisang berdiri tak jauh.“Gue kabur dari rumah,” katanya akhirnya. “Bokap gue maksa gue nikah sama calon yang dia pilih. Buat nutup-nutupin proyek yang dia gagal handle. Semacam... barter nama baik keluarga.”Taka menghela napas berat. “Dan lo nggak bisa bilang ke nyokap?”“Nyokap gue udah nyerah. Lo
Layar ponsel memantulkan wajah Dira yang tersenyum samar—bukan senyum hangat, tapi senyum penuh rahasia. Suara di seberangnya tenang, bahkan nyaris manis."Aku tahu kamu mungkin mikir aku ini cuma masa lalu Taka yang belum move on," ujar Dira, matanya menatap lurus ke arah kamera. "Tapi kamu salah, Wisang. Aku bukan cuma masa lalu. Aku bagian dari hidup Taka yang dia sembunyikan, dan itu... termasuk dirimu."Wisang menegang. "Maksudmu apa?"Taka yang duduk tak jauh di belakang, tampak mulai panik. Wajahnya pucat. “Dira, hentikan. Kamu nggak tahu apa-apa—”"Aku tahu semuanya, Tak," potong Dira tajam. "Dan kamu nggak bisa tutup-tutupin ini selamanya."Ia kembali menatap Wisang. "Taka nggak ngaku, kan? Kalau dia dulu pernah ikut dalam proyek 'Clean List'? Program bersih-bersih sosial yang waktu itu dijalankan pemerintah secara diam-diam. Termasuk pencatatan data penyintas trauma dan orang-orang yang dianggap ‘bermasalah secara mental dan moral’?"Wisang mengernyit, bingung. Tapi Dira ter
Malam itu, setelah kepulangan dari kejaksaan dan pertemuan tak terduga dengan Dira, Wisang dan Taka memutuskan untuk singgah di rumah Wisang. Rumah itu kini lebih hangat, dengan aroma lavender di ruang tamu dan foto-foto kecil yang Wisang gantung kembali di dinding—kenangan yang dulu ia singkirkan ketika semuanya terasa hancur.Taka duduk di sofa, menatap foto lama Wisang saat masih menjadi guru les privat, tersenyum pada anak-anak yang memeluknya dalam potret. “Kamu kelihatan bahagia di sini,” gumamnya.Wisang menyeduh dua cangkir teh jahe dan menyerahkannya pada Taka. “Aku memang bahagia saat itu. Tapi bukan karena mereka... tapi karena aku merasa dihargai. Diperlukan. Dan... dicintai dengan tulus oleh diriku sendiri.”Taka menatapnya. “Aku bikin kamu kehilangan itu, ya?”Wisang tidak menjawab langsung. Ia duduk di sebelah Taka, lalu berkata pelan, “Bukan kamu yang membuat aku kehilangan diriku, Tak. Tapi semua yang kita alami... rasa takut, rasa sayang, semua bercampur sampai aku s
Beberapa hari setelah pertemuan itu…Wisang kembali ke rutinitasnya, mencoba menata hidup di rumah barunya. Ia mulai mengajar les lagi, membuka kelas daring, dan menata hari-harinya agar tetap sibuk. Tapi pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Tatapan Dimas, cara Taka meminta maaf, semua itu terus berputar dalam benaknya.Dan benar saja…Malam itu, saat Wisang baru saja selesai membersihkan dapur, pintu rumahnya diketuk keras.Dug… dug… dug…Ia mengintip dari jendela—jantungnya langsung melompat.Dimas. Lagi.Namun kali ini, ekspresinya jauh berbeda. Wajahnya tampak marah. Sorot matanya tajam. Seperti seseorang yang datang membawa dendam.Wisang membuka pintu dengan hati-hati. “Apa lagi, Dim?”“Boleh aku masuk?” tanya Dimas, tanpa senyum.“Kalau kamu datang buat bikin keributan, lebih baik kamu pulang.”“Bukan. Aku cuma mau kasih kamu sesuatu.”Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat besar.Wisang ragu, tapi ia mengambilnya. Begitu dibuka, matanya membelalak.“Ini…?”Foto-foto. Bebera