“So, kita makan lagi atau kamu mau istirahat dulu,” ucap Taka sambil meraih wanita itu ke dalam pelukannya.
“Aku lapar lagi, makan dulu yu sebelum perutku bernyanyi panjang,” ucap wanita bernama Wisang itu kepada Taka dengan manjanya.
“Okay, just of to you, honey,” bisik Taka sangat lembut.
“Mulai deh, gombal,” ucap Wisang sambil mencubit kecil pinggang pria tersebut.
Mereka kemudian berjalan ke arah restoran yang berada tidak jauh dari hotel tersebut. Dengan menggunakan sebuah koridor penghubung, mereka bisa mengakses restoran berkelas itu dengan sangat mudah.
Pilihan Wisang pun berakhir pada sebuah restoran Sunda yang menyuguhkan berbagai suguhan khas bumi Parahyangan ini.
“Aku suka nasi liwet komplitnya, bagaimana?” ucap Wisang kepada Taka meminta persetujuan pria tersebut.
“Terserah, aku ikut saja,” jawab Taka seperti biasa.
“Ah, dan dua porsi sundae ice cream untuk penutupnya ya,” ucap Wisang dengan tanpa segan memesankan menu makan siang mereka kali ini.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, keduanya kemudian saling bertukar kabar.
“Bagaimana kabarmu?” ucap Taka sambil menggenggam erat tangan kiri Wisang.
“Seperti yang terlihat, begini saja,” jawab Wisang dengan irisan perih yang mendadak menusuk relung hatinya mengingat sang suami yang hingga saat ini masih asyik dengan kehidupannya sendiri dan terus mengabaikannya.
Taka menatap jauh ke dalam mata indah Wisang. Apa yang kurang dari wanita ini sebenarnya? Hidung mancung kecil yang mempesona. Kulit sawo matang khas wanita Jawa yang memang eksotik. Bibir tipis berwarna pink yang bisa dibilang menggoda. Hasilnya, tidak ada yang kurang dari pengamatan singkat Taka. Wanita di depannya ini cantik luar dan dalam.
"Terima kasih sudah membantuku dan Genta."
"Genta, iya. Tapi, kamu? Perasaan aku ga bantu apa pun deh? " tanya Wisang sambil memakan potongan buah yang tersedia di meja mereka.
"Ada lah, " balas Taka sambil menatap tajam ke arah Wisang. Entahlah, Taka menyukai berlama-lama melihat wajah Wisang sekarang ini. Sejak mengetahui ada yang tidak beres dengan pernikahannya Dimas, membuat Taka memperhatikan Wisang. Lebih jauhnya menyelidiki.
Sekali lagi hasilnya nihil. Wisang adalah wanita baik-baik dan dari keluarga baik-baik juga. Lalu alasan apa lagi yang dimiliki Dimas? Dan wanita yang dia dengar, Taka sangat yakin itu wanita lain.
"Apa? " tanya Wisang penasaran.
"Tanpa kamu tahu. Kehadiranmu saja di rumahku yang sepi sudah merubah atmosfer orang yang tinggal di dalamnya. "
"Uhhh… manis sekali. Biasanya kalo manis begini ada udang di balik batu! " Wisang mencoba tidak terpengaruh dengan perkataan Taka. Baginya lelaki sama saja. Pada akhirnya seperti Dimas.
Taka seakan tahu arti dari ekspresi Wisang, dia langsung memegang tangan Wisang yang tampak kecil di tangannya yang lebar. Agar Wisang tahu, dia berbeda.
"Kecil sekali tanganmu, Wisang? "
"Terus aku harus balik ke perut emak gitu? Tanyain kenapa bikin tanganku kecil begini? " ujar Wisang sehingga membuatku tergelak.
"Maksud aku… tangan kecil ini tampak pantas di tanganku."
Deg…
Desiran itu menghantam Wisang kembali. Apa yang dikatakan Taka sebenarnya membuatnya jatuh pada kumpulan bunga yang harum dan tidak ingin bangkit.
"Kenapa Taka? Kamu bisa dapatin wanita lain yang lebih dari aku. Aku cuma tutor dan aku istri sahabatmu. "
"Aku tidak mau mencampuri urusanmu dengan Dimas. Aku hanya menyukaimu."
"Tapi kenapa? Alasannya? Menyukai seseorang butuh alasan. Dan di umur kita yang bisa dibilang tidak muda ini kurasa kejujuran lebih penting, kan?”
"Karena itu… karena kita dua orang dewasa yang sebenarnya tidak perlu repot untuk menyukai seseorang yang memang layak untuk di sukai."
Jawaban Taka yang pelan dan menusuk itu seperti pedang yang terhunus tajam ke dalam hati Wisang.
Dia memikirkan … banyak sekali … sampai dia bingung sendiri mau memilih apa sebagai jawaban untuk Taka.
Taka menyentil dahi Wisang dan berkata, "ga usah banyak mikir. Nanti cepet tua! " Seakan tahu apa dipikirkan wanita itu.
Setelah makan mereka selesai, Taka memutuskan mengajak Wisang bermain ke tempat yang lebih tenang.
"Kita mau kemana? " tanya Wisang sambil menatap jalanan yang dipenuhi pohon jati yang menjulang tinggi.
"Adalah… healing. Aku butuh itu. "
Wisang menatap Taka yang sedang menatap lurus ke depan.
"Jangan lama-lama ngeliatin. Nanti jatuh cinta. "
Sontak wajah Wisang memerah, dia tidak mau berpikir apa pun. Nyatanya dia dan Taka adalah teman.
'Teman… ya teman… ' batin Wisang.
Rupanya Taka mengajak Wisang ke spot yang tersembunyi dan sedikit saja yang tahu. Taka suka ke sini, jika sedang suntuk dengan pekerjaannya yang menumpuk.
Mereka turun dan Wisang mengikuti jalan setapak yang Taka tunjukan.
"Mana tanganmu? "
Karena Wisang bingung dan terpaku, membuat Taka tak sabar dan langsung menyambar tangan mungil itu untuk dia genggam.
"Licin di sini. Nanti kamu jatuh. "
Mendengar hal itu membuat Wisang tersenyum. Di balik sosok yang kadang tidak bisa Wisang tebak keadaan hatinya itu tersimpan sosok lelaki yang penuh perhatian dan luar biasa menggoda.
Jangan tanya sudah berapa kali Wisang memfantasikan Taka dalam keadaan Topless. Pikiran gila itu datang begitu saja dan dia mengutuk dirinya sendiri karena tampak sangat mudah menjadi wanita.
Sesampainya di tempat yang dituju.
Langkah keduanya terhenti pada sebuah batuan besar di antara deretan hutan jati yang menjulang dan juga sebuah sungai dangkal yang mengalirkan airnya dengan sangat tenang. Gemerincik air ditambah kicauan burung yang bersahutan, menjadi suara alam yang ikut mewakili lantunan syahdu jiwa keduanya yang kini mulai terhempas dalam sebuah gejolak.
Wisang, pasrah menikmati sentuhan hangat Taka yang kini tak hanya menggenggam tangannya saja.
Pria itu, merengkuhnya dalam pelukan yang sukses memberikan rasa nyaman untuk Wisang.
Duduk di atas batuan besar yang dikelilingi rindangnya perdu berbunga biru dan dinaungi teduhnya dedaunan jati yang merimbun ke arahnya, membuat keduanya merasa relaks dan semakin nyaman.
“Apa kau suka?” tanya Taka sambil mengeratkan rangkulannya. Membawa tubuh Wisang semakin dekat ke dalam dirinya.
Hati Wisang mendesir hebat, mengalirkan gairah yang aneh dan sulit dihentikannya.
“Maaf, tapi ini pertama kalinya,” ucap Wisang sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh Taka yang terasa seperti candu baginya.
Keduanya terdiam, menikmati getaran hebat yang terus mengalir di dalam urat nadinya. Taka yang lama sendirian setelah kematian sang istri, untuk pertama kalinya berada sedekat ini dengan seorang perempuan yang diam-diam menjadi pengisi tahta hatinya ini.
Sebanding lurus dengan Taka, Wisang yang belum pernah berdekatan seintens ini dengan seorang lelaki menjadi salah tingkah dan sangat gugup karenanya.
Wanita ini merasa nafasnya kian tak beraturan, seolah ada yang menyekat rongga nafasnya dan membuatnya sangat sulit bernafas.
“Kau gugup?” ucap Taka sambil menengadahkan wajah Wisang dengan tangannya.
“Aku,” ucap Wisang dengan wajah kemerahannya menatap Taka yang kini menatap teduh kepadanya.
Aliran hebat membuat keduanya semakin tersengat gairah yang begitu cepat meruntuhkan pertahanan iman keduanya.
“Wisang, kau … sangat manis,” ucap Taka sambil mendekatkan wajahnya kepada Wisang.
Napas keduanya saling memburu, uap hangat menyentuh wajah mereka masing-masing. Wisang yang kian merasa kepanasan membuat wanita itu membuka perlahan bibirnya. Namun hal ini justru membuat Taka semakin tergoda.
Pria itu mengecupnya lembut, menahannya beberapa saat dan kembali mengecup lebih kuat.
“Ta ..” ucap Wisang tercekat karena kini bibir Taka sudah melumat bibirnya dengan sangat hebat. Memainkan setiap belahannya dengan sangat bergairah. Membuat Wisang menggeserkan duduknya demi memberikan akses;lebih terhadap pria itu yang barus aja memberikannya pengalaman hebat yang mendebarkan.
“Wisang, maaf … aku … “ ucap Taka sesaat setelah melepaskan pagutannya sambil menyeka sudut bibir wanita itu yang kini basah oleh saliva keduanya.
“Kau membuatku basah,” ucap Taka sambil menarik tubuh Wisang ke dalam dekapannya.Wisang yang mulai mencium bau hormon berkembang sejak masuk ke kamar bungalow ini tidak bisa lagi menampik tatapan sendu Taka.“Keringat maksudku!” ujar Taka sambil menyentil dahi Wisang untuk kesekian kalinya.“Awww … seneng banget nyentil jidat orang sih? Sakit, tau!” balas Wisang dengan bibir yang sudah manyun. Membuat Taka semakin gemas pada istri orang ini.Wisang tersenyum, jeda berikutnya dia justru memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Taka. Dia mencondongkan tubuhnya hingga membuat Taka harus memundurkan tubuh untuk memberikan Wisang ruang.“Cium aku lagi,” ucap Wisang yang entah mendapatkan keberanian dari mana melakukannya.Wanita itu terus menatap Taka dengan intens, membiarkan gairah kembali menyapa mereka berdua kali ini.“Ayo Taka, aku menginginkannya,” ucap Wisang dengan semakin menghimpit pria itu.Dua buntalan kembar Wisang yang berada di balik kemeja berkancing wanita itu kini sem
“Sialan lu. Gue kaget tau!” balas Taka sambil melempar pulpen dari saku nya. Untung saja lemparan Taka meleset. Jika tidak, sudah dipastikan jidat Dimas sebagai tempat mendarat yang sempurna.“Lagian gue panggil dari tadi lu diem aje.”Taka hanya tertawa melihat sahabatnya yang semakin lama semakin berisi itu.“Sejak nikah gendutan, Lu?”“Susunya cocok dong!!” jawab Dimas memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi.Jawaban Dimas menggelitik batin Taka, jika saja dia tidak tahu kondisi rumah tangga Dimas, dipastikan dia akan ikut tertawa. Nyatanya Taka malah bersikap datar setelah tadi sempat tertawa. Dia melihat Dimas sebagai sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab sekarang. Meskipun dia sendiri juga bukan lelaki baik karena mengajak istri sahabatnya sendiri berselingkuh.“Ngapain lu kesini?” tanya Taka setelahnya.“Lu ikutan tender kain batik yang diminta Pak Menteri?” tanya Dimas mulai serius. Dimas tahu sepak terja
“Wisang … Wisang …!!” Terdengar suara mertua Wisang di balik pintu, membuat ciuman itu berhenti dan Taka menjerit karena bibirnya digigit Wisang.“Auuww …!!”“Shut! Diem Taka… sana cepet ke kamar aku dan ngumpet!! Ada mertua aku!”Taka langsung melotot dan lari terbirit-birit ke dalam kamar diikuti Wisang dan menyimpan Taka di lemarinya. “Jangan keluar sampai aku datang ya!” perintah Wisang yang membuat Taka mengernyit.“Kaki aku ga muat, Sayang!”“Tekuk aja udah. Cepet Taka!!”Taka langsung mendesah dan langsung menekuk kakinya agar muat di lemari Wisang yang memang tidak mempunyai ruang yang besar.“Ampun deh! Sempit banget!!” Umpat Taka pasrah saat Wisang langsung menutup lemari itu dan menguncinya.Sambil membereskan wajah dan bajunya yang sempat berantakan akibat ulah Taka, Wisang menenangkan degup jantungnya dan sebisa mungkin santai menghadapi mertuanya.Wisang membuka pintu itu dan ber
Bagai petir di siang bolong. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Taka, dan bukan suaminya membuat Wisang benar-benar dilanda dilema. Wisang hanya wanita yang membutuhkan kata-kata seperti itu. Merasa dibutuhkan? Siapa yang tidak seperti itu? Tapi kenapa harus Taka yang mengatakannya?Kenapa bukan suaminya sendiri? Wisang benar-benar muak terhadap kisah cintanya yang kandas. Jika pun Taka menganggap dia hanya pelarian?“Kau bukan pelarian,” ucap Taka seakan tahu apa yang sedang di pikirkan Wisang.“Benarkah?” balas Wisang dengan suara pasrahnya. “Mungkinkah aku akan terluka untuk kali kedua?” Taka menatap jauh ke dalam mata bulat milik Wisang. Dia mencoba mencari alasan mengapa Dimas memperlakukan Wisang sedemikian rupa? Salah apa wanita ini sampai Dimas sama sekali tidak berhasrat padanya. Wisang menurut pandangan Taka seratus delapan puluh derajat berbeda.“Sampai saat ini … aku tidak ada alasan untuk melukaimu! Jangan bertanya masa depan padaku, karena yang aku tahu saat
Desah dan lenguh terus terdengar silih berganti, membuat kamar luas yang berada di lantai atas rumah mewah bergaya minimalis ini mendadak terasa panas.Suhu AC yang menunjukkan angka 20°C nyatanya terasa panas untuk kedua insan yang kini tengah dimabuk gelora membara ini.Mereka tak juga berhenti saling memuaskan dahaga yang seakan baru saja menemukan pemiliknya."Tidak Mas, aku lelah." Wisang menahan tubuh kekar yang kini sedang menindihnya itu dengan kedua tangannya saat si pemilik tubuh hendak kembali mencumbunya."Maafkan aku, sayang." Taka pun mengubah cumbuannya menjadi kecupan lembut pada kening Wisang.Setelahnya, Taka kemudian melepaskan penyatuan mereka dan berbaring di sebelah Wisang."Kemarilah," ucap Taka sambil merentangkan tangan kanannya dan membawa Wisang berbaring di atasnya.Keduanya berpelukan dengan tenang, sementara kedua tangan mereka masih saling menggenggam."Tidurlah.""Kau mau tidur disini?""Ya, tentu saja." Taka menjawab sambil mengusap lembut kepala Wisan
Wisang merasa terpukul dengan tuntutan Dimas yang begitu tiba-tiba. Dia merasa seperti semua yang dia bangun selama ini runtuh dalam sekejap. Namun, di balik keputusasaan, ada api keberanian yang mulai berkobar di dalam dirinya. Dia tahu dia harus bertahan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depannya. Dengan gemetar, tapi dengan tekad yang bulat, Wisang menolak untuk menandatangani surat cerai itu."Dimas, aku tidak akan menandatangani ini. Aku akan melawanmu, aku tidak akan membiarkanmu mengambil segalanya dariku," ucap Wisang dengan suara gemetar, tetapi penuh dengan tekad.Dimas terkekeh sinis, tetapi juga bisa merasakan bahwa Wisang tidak lagi menjadi wanita yang mudah ditekan seperti sebelumnya. Dia menyadari bahwa perlawanan dari Wisang tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja."Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Aku sudah bersiap untuk segala kemungkinan. Dan video itu... aku akan menghadapinya dengan kepala tegak. Aku tidak akan mem
Dengan wajah merah padam dan penuh amarah, Dimas berdiri dan menampar Wisang keras-keras. Wisang terhuyung ke belakang, merasakan panas di pipinya. Sandra hanya tertawa kecil di sudut ruangan, menikmati tontonan di depannya.“Kau akan menyesal sudah melawan aku, Wisang!” teriak Dimas sambil mengusap kopi dari wajahnya. Wisang merasa sakit hati, marah, dan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar dari apartemen. Air mata bercucuran di pipinya saat dia menuju mobilnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi yang pasti dia harus menjauh dari Dimas dan Sandra.Dengan tangan gemetar, Wisang menghidupkan mesin mobilnya dan melaju kencang di jalanan kota yang ramai. Pikirannya kacau, penuh dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan Dimas selanjutnya. Saat itu, dia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin, untuk mencari perlindungan.Namun, nasib berkata lain. Di sebuah persimpangan jalan, dalam kondisi emosional yang tidak stabil, Wisang tidak melihat sebuah truk besar
Satu pekan kemudian. Dimas murka dan langsung berdiri, berjalan cepat menghampiri Wisang dengan mata yang penuh amarah. Dia meraih pergelangan tangan Wisang dengan kasar, mencengkeramnya erat hingga Wisang meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan, hah? Kau pikir bisa melawanku begitu saja?" Dimas menggeram, wajahnya merah padam. "Aku sudah muak denganmu. Kau tidak akan pernah menang, Wisang. Kau mendengar itu?" Wisang menatap Dimas dengan penuh keberanian, meski hatinya berdebar kencang. "Aku tidak akan pernah tunduk padamu lagi, Dimas. Kau bisa mengancamku, memindahkan Kakek, atau bahkan mencoba memanfaatkan Taka. Tapi aku tidak akan pernah menyerah." Dimas tertawa sinis, mendorong Wisang hingga terjatuh ke lantai. "Kau wanita bodoh, Wisang. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi." Sebelum Dimas bisa berkata lebih banyak, pintu apartemen terbuka dengan keras. Taka berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh determinasi dan kemarahan. "Dimas, lepaskan dia sekarang!" Taka mengan
Setelah hari yang penuh ketegangan, Wisang memutuskan untuk membuat sesuatu yang istimewa untuk Taka. Dimas boleh saja terus mengusik mereka, tetapi malam ini, ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan pria yang dicintainya.Di dapur apartemen kecil mereka, Wisang berdiri dengan celemek terikat di pinggang. Taka duduk di kursi bar, mengamati dengan senyum miring. "Aku tak pernah tahu kalau kau bisa memasak," katanya, menyandarkan dagunya di tangan.Wisang tertawa pelan sambil membalik steak di atas panggangan. "Kau pikir aku hanya bisa bekerja dan bertengkar dengan Dimas?" ia melirik ke belakang dengan senyum menggoda.Taka mengangkat bahu. "Yah, jujur saja, aku selalu melihatmu sebagai orang yang lebih suka makan di luar daripada repot-repot memasak sendiri."Wisang mengangguk sambil menuangkan saus ke atas steak yang sudah matang. "Itu benar. Tapi untuk orang yang kucintai, aku rela melakukan apa pun. Termasuk belajar memasak."Taka menatapnya, matanya melembut. Wisang memang buka
Setelah Dimas pergi, Wisang menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya ke bahu Taka. "Aku tidak tahu apakah dia benar-benar akan menyerah atau hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali mengacau," gumamnya lirih.Taka membelai lembut rambut Wisang, menenangkan perempuan yang ia cintai. "Yang penting sekarang, kita tetap berdiri bersama. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya, Wisang."Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dua hari kemudian, Wisang menerima sebuah panggilan telepon dari kantor lamanya."Wisang, kami baru saja mendapat surat dari pengacara. Dimas mengajukan tuntutan."Jantung Wisang berdegup kencang. "Tuntutan apa?" tanyanya dengan suara tertahan."Dia menuntut karena dugaan penyalahgunaan informasi internal saat kamu masih bekerja di sini. Dia mengklaim ada kebocoran data yang merugikan perusahaan. Kami tahu ini mungkin hanya alasan, tapi... ini bisa menjadi masalah besar."Wisang hampir tidak bisa bernapas. Dimas benar-benar tidak akan membiarkan
Keesokan harinya, setelah kembali dari perjalanan mereka, Wisang dan Taka memutuskan untuk duduk bersama di ruang tamu mereka yang tenang. Meskipun mereka baru saja menikmati ketenangan Eropa yang indah, kenyataan kembali menghantui mereka, dan ketegangan yang mengalir dari Dimas semakin terasa.Wisang menggenggam tangan Taka dengan erat. "Aku rasa kita sudah cukup jauh dari Dimas, tapi dia tetap mengawasi kita," katanya, suara penuh kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. "Aku tidak ingin dia menghancurkan apa yang sudah kita bangun."Taka menatapnya dengan penuh perhatian, meyakinkan Wisang dengan tatapan yang dalam. "Kita harus ingat satu hal, Wisang," kata Taka lembut. "Kita sudah berjalan sejauh ini bersama. Tidak ada yang bisa mengubah itu, tidak peduli berapa banyak dia berusaha mengontrol kita. Kita akan melalui ini bersama, apapun yang terjadi."Wisang mengangguk, meskipun di dalam hatinya, keraguan itu tetap ada. Dimas bukan orang yang mudah dihadapi, dan dia tahu betul apa
"Dimas tidak akan pernah menyerah, padahal dia yang terus menyakitiku sebelumnya," lirih Wisang."Bagaimana jika kita pergi ke Eropa?" Taka yang mendengar kalimat lirih sang istri pun bertanya kepada Wisang.Wisang meliriknya dengan sedikit kebingungan. "Eropa? Serius? Bukankah kita lebih baik tetap di sini?"Taka tersenyum, meletakkan cangkir kopi di mejanya. "Justru karena kita sibuk mengawasi segalanya, kita perlu jeda. Aku bisa menyelesaikan semuanya dari sana, dan kita bisa sejenak meninggalkan segala tekanan ini. Pikirkan ini sebagai kesempatan untuk menyegarkan diri."Wisang terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu. Dia tahu, ini bukan hanya tentang liburan biasa. Taka tidak pernah meminta sesuatu yang tidak penting, dan kesempatan ini mungkin menjadi satu-satunya cara untuk keluar dari rutinitas penuh stres yang mereka jalani."Tapi, Eropa... itu jauh sekali. Dan kita masih begitu berisiko."Taka mengangguk memahami kekhawatiran Wisang. "Aku tahu, tapi ini bukan hanya soal peke
Taka terdiam sejenak, menatap jauh ke luar jendela ruang kerjanya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detik jam yang menggema di dinding. Wisang, yang selama ini menjadi pendamping setianya, melangkah mendekat.“Wisang…” Taka memulai, suaranya berat. “Kau tahu apa yang membuatku tidak pernah mundur dalam menghadapi Dimas?”Wisang menatapnya penuh perhatian, mencoba membaca pikiran pria di depannya. “Karena kau tahu dia akan terus menjadi ancaman bagi semua yang kau bangun, Taka. Aku mengerti itu.”Taka tersenyum pahit. “Sebagian benar. Tapi lebih dari itu, aku melihat pantulan diriku di dalam dirinya. Kita berdua bukan orang baik, Wisang. Kita hanya mencoba bertahan di dunia yang tidak pernah adil sejak awal.”Wisang tertegun, lalu mendekatkan diri lebih dekat. Dengan ragu, ia merentangkan tangannya dan memeluk Taka. “Taka, kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mungkin… mungkin Dimas tidak akan seperti ini jika saja dulu kalian tidak pernah bertemu. Jika dia ti
Malam berikutnya, Taka dan timnya mengadakan pertemuan tertutup di vila terpencil miliknya. Wisang, Sofia, dan beberapa anggota kunci hadir untuk merancang langkah berikutnya."Informasi yang kita terima menunjukkan bahwa Dimas sedang merencanakan serangan besar," ujar Sofia sambil memproyeksikan data ke layar besar. "Dia sedang menghubungi beberapa pengusaha besar untuk mendukung kampanye negatif terhadap Anda, Taka."Taka menyimak dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangan ke Wisang. "Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar berpengaruh?"Wisang membuka catatan di laptopnya. "Dari sepuluh nama yang terlibat, tiga di antaranya punya koneksi kuat dengan media dan pemerintah. Sisanya hanya pengikut Dimas yang mencari keuntungan.""Kalau begitu, fokuskan perhatian kita pada tiga orang itu," perintah Taka. "Cari celah mereka. Semua orang punya kelemahan."Sofia tersenyum tipis. "Aku sudah mulai menyelidiki salah satu dari mereka. Dia memiliki masalah pajak yang belum terselesai
Keesokan harinya, media penuh dengan spekulasi dan analisis tentang pertemuan Taka dan Dimas. Foto-foto mereka menjadi headline di berbagai portal berita, dengan tajuk seperti “Dua Raksasa Bisnis Bertemu: Konflik atau Kerjasama?” hingga “Ketegangan di Pameran Seni: Apa yang Sebenarnya Terjadi Antara Taka dan Dimas?”.Wisang, yang menyadari betapa besarnya dampak pemberitaan ini, masuk ke ruang kerja Taka sambil membawa tablet yang menampilkan beberapa berita terbaru."Ini semakin membesar, Taka. Media tidak hanya fokus pada pameran, mereka membuat narasi bahwa ini adalah perang kekuasaan," kata Wisang sambil menyodorkan tablet itu.Taka menatap layar tanpa banyak ekspresi, lalu mengembalikan tablet itu ke meja. "Itu yang Dimas inginkan. Dia tahu cara menggunakan media untuk memancingku," ujarnya dengan nada datar.Wisang mengangguk. "Tapi ini juga kesempatan, Taka. Kita bisa membalikkan narasi ini menjadi keuntungan kita. Mungkin...""Jangan pikirkan strategi yang terlalu mencolok," p
Di sebuah pameran seni yang diselenggarakan di pusat kota, seluruh kota seakan terfokus pada acara tersebut. Pameran itu menarik perhatian banyak tokoh penting dan masyarakat luas, namun yang paling menyita perhatian adalah dua sosok yang hadir: Taka dan Dimas. Meskipun mereka berada di belahan dunia yang berbeda, pertemuan mereka di acara itu menjadi titik balik yang sangat diantisipasi.Taka hadir sebagai seorang pengusaha sukses dengan citra kuat dan penuh percaya diri. Ia berjalan melalui pameran dengan langkah mantap, tampak elegan dalam balutan setelan hitam yang mengesankan. Di sampingnya, Wisang dan beberapa anggota tim pengamanan mengikuti dengan hati-hati, memastikan segala sesuatunya berjalan lancar.Sementara itu, Dimas juga hadir, namun dengan penampilan yang lebih sederhana dibandingkan Taka. Ia tidak secerah Taka, namun ada ketegangan di wajahnya yang menunjukkan bahwa pertemuan ini adalah sebuah kesempatan besar baginya. Dimas datang bersama beberapa orang kepercayaann
Keadaan semakin tegang seiring berjalannya waktu. Meskipun Taka sudah memperkuat pengamanan di rumah baru, ia tahu ancaman Dimas tidak akan berhenti hanya karena mereka pindah tempat. Taka merasa bahwa mereka harus bergerak lebih cepat dan lebih cermat, mengambil langkah hukum yang lebih besar untuk menekan Dimas sekaligus melindungi Ghenta.Di pagi hari, Taka memutuskan untuk mengunjungi pengacara mereka, menanyakan kemungkinan untuk mempercepat proses gugatan terhadap Dimas. Dengan penuh tekad, Taka memasuki kantor pengacara, disertai Wisang yang selalu mendukung langkah-langkahnya. Begitu mereka duduk di ruang rapat pengacara, Taka langsung berbicara."Bagaimana perkembangannya? Aku tidak punya banyak waktu. Dimas sudah pasti merencanakan sesuatu."Pengacara itu menatap mereka dengan serius. "Kami sudah mendapatkan dokumen-dokumen yang bisa memperkuat gugatan kita. Namun, untuk memastikan agar Dimas tidak lolos, kita harus melakukan dua hal: pertama, kita harus memastikan bahwa sem