“So, kita makan lagi atau kamu mau istirahat dulu,” ucap Taka sambil meraih wanita itu ke dalam pelukannya.
“Aku lapar lagi, makan dulu yu sebelum perutku bernyanyi panjang,” ucap wanita bernama Wisang itu kepada Taka dengan manjanya.
“Okay, just of to you, honey,” bisik Taka sangat lembut.
“Mulai deh, gombal,” ucap Wisang sambil mencubit kecil pinggang pria tersebut.
Mereka kemudian berjalan ke arah restoran yang berada tidak jauh dari hotel tersebut. Dengan menggunakan sebuah koridor penghubung, mereka bisa mengakses restoran berkelas itu dengan sangat mudah.
Pilihan Wisang pun berakhir pada sebuah restoran Sunda yang menyuguhkan berbagai suguhan khas bumi Parahyangan ini.
“Aku suka nasi liwet komplitnya, bagaimana?” ucap Wisang kepada Taka meminta persetujuan pria tersebut.
“Terserah, aku ikut saja,” jawab Taka seperti biasa.
“Ah, dan dua porsi sundae ice cream untuk penutupnya ya,” ucap Wisang dengan tanpa segan memesankan menu makan siang mereka kali ini.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, keduanya kemudian saling bertukar kabar.
“Bagaimana kabarmu?” ucap Taka sambil menggenggam erat tangan kiri Wisang.
“Seperti yang terlihat, begini saja,” jawab Wisang dengan irisan perih yang mendadak menusuk relung hatinya mengingat sang suami yang hingga saat ini masih asyik dengan kehidupannya sendiri dan terus mengabaikannya.
Taka menatap jauh ke dalam mata indah Wisang. Apa yang kurang dari wanita ini sebenarnya? Hidung mancung kecil yang mempesona. Kulit sawo matang khas wanita Jawa yang memang eksotik. Bibir tipis berwarna pink yang bisa dibilang menggoda. Hasilnya, tidak ada yang kurang dari pengamatan singkat Taka. Wanita di depannya ini cantik luar dan dalam.
"Terima kasih sudah membantuku dan Genta."
"Genta, iya. Tapi, kamu? Perasaan aku ga bantu apa pun deh? " tanya Wisang sambil memakan potongan buah yang tersedia di meja mereka.
"Ada lah, " balas Taka sambil menatap tajam ke arah Wisang. Entahlah, Taka menyukai berlama-lama melihat wajah Wisang sekarang ini. Sejak mengetahui ada yang tidak beres dengan pernikahannya Dimas, membuat Taka memperhatikan Wisang. Lebih jauhnya menyelidiki.
Sekali lagi hasilnya nihil. Wisang adalah wanita baik-baik dan dari keluarga baik-baik juga. Lalu alasan apa lagi yang dimiliki Dimas? Dan wanita yang dia dengar, Taka sangat yakin itu wanita lain.
"Apa? " tanya Wisang penasaran.
"Tanpa kamu tahu. Kehadiranmu saja di rumahku yang sepi sudah merubah atmosfer orang yang tinggal di dalamnya. "
"Uhhh… manis sekali. Biasanya kalo manis begini ada udang di balik batu! " Wisang mencoba tidak terpengaruh dengan perkataan Taka. Baginya lelaki sama saja. Pada akhirnya seperti Dimas.
Taka seakan tahu arti dari ekspresi Wisang, dia langsung memegang tangan Wisang yang tampak kecil di tangannya yang lebar. Agar Wisang tahu, dia berbeda.
"Kecil sekali tanganmu, Wisang? "
"Terus aku harus balik ke perut emak gitu? Tanyain kenapa bikin tanganku kecil begini? " ujar Wisang sehingga membuatku tergelak.
"Maksud aku… tangan kecil ini tampak pantas di tanganku."
Deg…
Desiran itu menghantam Wisang kembali. Apa yang dikatakan Taka sebenarnya membuatnya jatuh pada kumpulan bunga yang harum dan tidak ingin bangkit.
"Kenapa Taka? Kamu bisa dapatin wanita lain yang lebih dari aku. Aku cuma tutor dan aku istri sahabatmu. "
"Aku tidak mau mencampuri urusanmu dengan Dimas. Aku hanya menyukaimu."
"Tapi kenapa? Alasannya? Menyukai seseorang butuh alasan. Dan di umur kita yang bisa dibilang tidak muda ini kurasa kejujuran lebih penting, kan?”
"Karena itu… karena kita dua orang dewasa yang sebenarnya tidak perlu repot untuk menyukai seseorang yang memang layak untuk di sukai."
Jawaban Taka yang pelan dan menusuk itu seperti pedang yang terhunus tajam ke dalam hati Wisang.
Dia memikirkan … banyak sekali … sampai dia bingung sendiri mau memilih apa sebagai jawaban untuk Taka.
Taka menyentil dahi Wisang dan berkata, "ga usah banyak mikir. Nanti cepet tua! " Seakan tahu apa dipikirkan wanita itu.
Setelah makan mereka selesai, Taka memutuskan mengajak Wisang bermain ke tempat yang lebih tenang.
"Kita mau kemana? " tanya Wisang sambil menatap jalanan yang dipenuhi pohon jati yang menjulang tinggi.
"Adalah… healing. Aku butuh itu. "
Wisang menatap Taka yang sedang menatap lurus ke depan.
"Jangan lama-lama ngeliatin. Nanti jatuh cinta. "
Sontak wajah Wisang memerah, dia tidak mau berpikir apa pun. Nyatanya dia dan Taka adalah teman.
'Teman… ya teman… ' batin Wisang.
Rupanya Taka mengajak Wisang ke spot yang tersembunyi dan sedikit saja yang tahu. Taka suka ke sini, jika sedang suntuk dengan pekerjaannya yang menumpuk.
Mereka turun dan Wisang mengikuti jalan setapak yang Taka tunjukan.
"Mana tanganmu? "
Karena Wisang bingung dan terpaku, membuat Taka tak sabar dan langsung menyambar tangan mungil itu untuk dia genggam.
"Licin di sini. Nanti kamu jatuh. "
Mendengar hal itu membuat Wisang tersenyum. Di balik sosok yang kadang tidak bisa Wisang tebak keadaan hatinya itu tersimpan sosok lelaki yang penuh perhatian dan luar biasa menggoda.
Jangan tanya sudah berapa kali Wisang memfantasikan Taka dalam keadaan Topless. Pikiran gila itu datang begitu saja dan dia mengutuk dirinya sendiri karena tampak sangat mudah menjadi wanita.
Sesampainya di tempat yang dituju.
Langkah keduanya terhenti pada sebuah batuan besar di antara deretan hutan jati yang menjulang dan juga sebuah sungai dangkal yang mengalirkan airnya dengan sangat tenang. Gemerincik air ditambah kicauan burung yang bersahutan, menjadi suara alam yang ikut mewakili lantunan syahdu jiwa keduanya yang kini mulai terhempas dalam sebuah gejolak.
Wisang, pasrah menikmati sentuhan hangat Taka yang kini tak hanya menggenggam tangannya saja.
Pria itu, merengkuhnya dalam pelukan yang sukses memberikan rasa nyaman untuk Wisang.
Duduk di atas batuan besar yang dikelilingi rindangnya perdu berbunga biru dan dinaungi teduhnya dedaunan jati yang merimbun ke arahnya, membuat keduanya merasa relaks dan semakin nyaman.
“Apa kau suka?” tanya Taka sambil mengeratkan rangkulannya. Membawa tubuh Wisang semakin dekat ke dalam dirinya.
Hati Wisang mendesir hebat, mengalirkan gairah yang aneh dan sulit dihentikannya.
“Maaf, tapi ini pertama kalinya,” ucap Wisang sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh Taka yang terasa seperti candu baginya.
Keduanya terdiam, menikmati getaran hebat yang terus mengalir di dalam urat nadinya. Taka yang lama sendirian setelah kematian sang istri, untuk pertama kalinya berada sedekat ini dengan seorang perempuan yang diam-diam menjadi pengisi tahta hatinya ini.
Sebanding lurus dengan Taka, Wisang yang belum pernah berdekatan seintens ini dengan seorang lelaki menjadi salah tingkah dan sangat gugup karenanya.
Wanita ini merasa nafasnya kian tak beraturan, seolah ada yang menyekat rongga nafasnya dan membuatnya sangat sulit bernafas.
“Kau gugup?” ucap Taka sambil menengadahkan wajah Wisang dengan tangannya.
“Aku,” ucap Wisang dengan wajah kemerahannya menatap Taka yang kini menatap teduh kepadanya.
Aliran hebat membuat keduanya semakin tersengat gairah yang begitu cepat meruntuhkan pertahanan iman keduanya.
“Wisang, kau … sangat manis,” ucap Taka sambil mendekatkan wajahnya kepada Wisang.
Napas keduanya saling memburu, uap hangat menyentuh wajah mereka masing-masing. Wisang yang kian merasa kepanasan membuat wanita itu membuka perlahan bibirnya. Namun hal ini justru membuat Taka semakin tergoda.
Pria itu mengecupnya lembut, menahannya beberapa saat dan kembali mengecup lebih kuat.
“Ta ..” ucap Wisang tercekat karena kini bibir Taka sudah melumat bibirnya dengan sangat hebat. Memainkan setiap belahannya dengan sangat bergairah. Membuat Wisang menggeserkan duduknya demi memberikan akses;lebih terhadap pria itu yang barus aja memberikannya pengalaman hebat yang mendebarkan.
“Wisang, maaf … aku … “ ucap Taka sesaat setelah melepaskan pagutannya sambil menyeka sudut bibir wanita itu yang kini basah oleh saliva keduanya.
“Kau membuatku basah,” ucap Taka sambil menarik tubuh Wisang ke dalam dekapannya.Wisang yang mulai mencium bau hormon berkembang sejak masuk ke kamar bungalow ini tidak bisa lagi menampik tatapan sendu Taka.“Keringat maksudku!” ujar Taka sambil menyentil dahi Wisang untuk kesekian kalinya.“Awww … seneng banget nyentil jidat orang sih? Sakit, tau!” balas Wisang dengan bibir yang sudah manyun. Membuat Taka semakin gemas pada istri orang ini.Wisang tersenyum, jeda berikutnya dia justru memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Taka. Dia mencondongkan tubuhnya hingga membuat Taka harus memundurkan tubuh untuk memberikan Wisang ruang.“Cium aku lagi,” ucap Wisang yang entah mendapatkan keberanian dari mana melakukannya.Wanita itu terus menatap Taka dengan intens, membiarkan gairah kembali menyapa mereka berdua kali ini.“Ayo Taka, aku menginginkannya,” ucap Wisang dengan semakin menghimpit pria itu.Dua buntalan kembar Wisang yang berada di balik kemeja berkancing wanita itu kini sem
“Sialan lu. Gue kaget tau!” balas Taka sambil melempar pulpen dari saku nya. Untung saja lemparan Taka meleset. Jika tidak, sudah dipastikan jidat Dimas sebagai tempat mendarat yang sempurna.“Lagian gue panggil dari tadi lu diem aje.”Taka hanya tertawa melihat sahabatnya yang semakin lama semakin berisi itu.“Sejak nikah gendutan, Lu?”“Susunya cocok dong!!” jawab Dimas memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi.Jawaban Dimas menggelitik batin Taka, jika saja dia tidak tahu kondisi rumah tangga Dimas, dipastikan dia akan ikut tertawa. Nyatanya Taka malah bersikap datar setelah tadi sempat tertawa. Dia melihat Dimas sebagai sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab sekarang. Meskipun dia sendiri juga bukan lelaki baik karena mengajak istri sahabatnya sendiri berselingkuh.“Ngapain lu kesini?” tanya Taka setelahnya.“Lu ikutan tender kain batik yang diminta Pak Menteri?” tanya Dimas mulai serius. Dimas tahu sepak terja
“Wisang … Wisang …!!” Terdengar suara mertua Wisang di balik pintu, membuat ciuman itu berhenti dan Taka menjerit karena bibirnya digigit Wisang.“Auuww …!!”“Shut! Diem Taka… sana cepet ke kamar aku dan ngumpet!! Ada mertua aku!”Taka langsung melotot dan lari terbirit-birit ke dalam kamar diikuti Wisang dan menyimpan Taka di lemarinya. “Jangan keluar sampai aku datang ya!” perintah Wisang yang membuat Taka mengernyit.“Kaki aku ga muat, Sayang!”“Tekuk aja udah. Cepet Taka!!”Taka langsung mendesah dan langsung menekuk kakinya agar muat di lemari Wisang yang memang tidak mempunyai ruang yang besar.“Ampun deh! Sempit banget!!” Umpat Taka pasrah saat Wisang langsung menutup lemari itu dan menguncinya.Sambil membereskan wajah dan bajunya yang sempat berantakan akibat ulah Taka, Wisang menenangkan degup jantungnya dan sebisa mungkin santai menghadapi mertuanya.Wisang membuka pintu itu dan ber
Bagai petir di siang bolong. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Taka, dan bukan suaminya membuat Wisang benar-benar dilanda dilema. Wisang hanya wanita yang membutuhkan kata-kata seperti itu. Merasa dibutuhkan? Siapa yang tidak seperti itu? Tapi kenapa harus Taka yang mengatakannya?Kenapa bukan suaminya sendiri? Wisang benar-benar muak terhadap kisah cintanya yang kandas. Jika pun Taka menganggap dia hanya pelarian?“Kau bukan pelarian,” ucap Taka seakan tahu apa yang sedang di pikirkan Wisang.“Benarkah?” balas Wisang dengan suara pasrahnya. “Mungkinkah aku akan terluka untuk kali kedua?” Taka menatap jauh ke dalam mata bulat milik Wisang. Dia mencoba mencari alasan mengapa Dimas memperlakukan Wisang sedemikian rupa? Salah apa wanita ini sampai Dimas sama sekali tidak berhasrat padanya. Wisang menurut pandangan Taka seratus delapan puluh derajat berbeda.“Sampai saat ini … aku tidak ada alasan untuk melukaimu! Jangan bertanya masa depan padaku, karena yang aku tahu saat
Desah dan lenguh terus terdengar silih berganti, membuat kamar luas yang berada di lantai atas rumah mewah bergaya minimalis ini mendadak terasa panas.Suhu AC yang menunjukkan angka 20°C nyatanya terasa panas untuk kedua insan yang kini tengah dimabuk gelora membara ini.Mereka tak juga berhenti saling memuaskan dahaga yang seakan baru saja menemukan pemiliknya."Tidak Mas, aku lelah." Wisang menahan tubuh kekar yang kini sedang menindihnya itu dengan kedua tangannya saat si pemilik tubuh hendak kembali mencumbunya."Maafkan aku, sayang." Taka pun mengubah cumbuannya menjadi kecupan lembut pada kening Wisang.Setelahnya, Taka kemudian melepaskan penyatuan mereka dan berbaring di sebelah Wisang."Kemarilah," ucap Taka sambil merentangkan tangan kanannya dan membawa Wisang berbaring di atasnya.Keduanya berpelukan dengan tenang, sementara kedua tangan mereka masih saling menggenggam."Tidurlah.""Kau mau tidur disini?""Ya, tentu saja." Taka menjawab sambil mengusap lembut kepala Wisan
Wisang merasa terpukul dengan tuntutan Dimas yang begitu tiba-tiba. Dia merasa seperti semua yang dia bangun selama ini runtuh dalam sekejap. Namun, di balik keputusasaan, ada api keberanian yang mulai berkobar di dalam dirinya. Dia tahu dia harus bertahan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depannya. Dengan gemetar, tapi dengan tekad yang bulat, Wisang menolak untuk menandatangani surat cerai itu."Dimas, aku tidak akan menandatangani ini. Aku akan melawanmu, aku tidak akan membiarkanmu mengambil segalanya dariku," ucap Wisang dengan suara gemetar, tetapi penuh dengan tekad.Dimas terkekeh sinis, tetapi juga bisa merasakan bahwa Wisang tidak lagi menjadi wanita yang mudah ditekan seperti sebelumnya. Dia menyadari bahwa perlawanan dari Wisang tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja."Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Aku sudah bersiap untuk segala kemungkinan. Dan video itu... aku akan menghadapinya dengan kepala tegak. Aku tidak akan mem
Dengan wajah merah padam dan penuh amarah, Dimas berdiri dan menampar Wisang keras-keras. Wisang terhuyung ke belakang, merasakan panas di pipinya. Sandra hanya tertawa kecil di sudut ruangan, menikmati tontonan di depannya.“Kau akan menyesal sudah melawan aku, Wisang!” teriak Dimas sambil mengusap kopi dari wajahnya. Wisang merasa sakit hati, marah, dan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar dari apartemen. Air mata bercucuran di pipinya saat dia menuju mobilnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi yang pasti dia harus menjauh dari Dimas dan Sandra.Dengan tangan gemetar, Wisang menghidupkan mesin mobilnya dan melaju kencang di jalanan kota yang ramai. Pikirannya kacau, penuh dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan Dimas selanjutnya. Saat itu, dia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin, untuk mencari perlindungan.Namun, nasib berkata lain. Di sebuah persimpangan jalan, dalam kondisi emosional yang tidak stabil, Wisang tidak melihat sebuah truk besar
Satu pekan kemudian. Dimas murka dan langsung berdiri, berjalan cepat menghampiri Wisang dengan mata yang penuh amarah. Dia meraih pergelangan tangan Wisang dengan kasar, mencengkeramnya erat hingga Wisang meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan, hah? Kau pikir bisa melawanku begitu saja?" Dimas menggeram, wajahnya merah padam. "Aku sudah muak denganmu. Kau tidak akan pernah menang, Wisang. Kau mendengar itu?" Wisang menatap Dimas dengan penuh keberanian, meski hatinya berdebar kencang. "Aku tidak akan pernah tunduk padamu lagi, Dimas. Kau bisa mengancamku, memindahkan Kakek, atau bahkan mencoba memanfaatkan Taka. Tapi aku tidak akan pernah menyerah." Dimas tertawa sinis, mendorong Wisang hingga terjatuh ke lantai. "Kau wanita bodoh, Wisang. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi." Sebelum Dimas bisa berkata lebih banyak, pintu apartemen terbuka dengan keras. Taka berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh determinasi dan kemarahan. "Dimas, lepaskan dia sekarang!" Taka mengan
Subuh masih menggantung di langit, meninggalkan sisa embun dan hawa dingin yang menempel di kulit. Wisang, Taka, Kompol Arief, dan Ipda Santi melaju dalam kendaraan taktis menuju lokasi cadangan yang tak tercatat dalam sistem manapun—sebuah rumah aman milik intelijen yang bahkan sebagian besar anggota kepolisian pun tidak tahu keberadaannya.Mobil berhenti di bawah jembatan layang tua di luar Jakarta, lalu masuk ke jalur servis tersembunyi. Gerbang besi terbuka otomatis setelah Arief mengirimkan kode melalui perangkat satelit. Di balik gerbang itu, sebuah bangunan beton sederhana berdiri. Tak mencolok, tapi dijaga ketat oleh pasukan tak berseragam.Begitu masuk, mereka langsung diarahkan ke ruang brifing. Peta besar Jakarta dan sekitarnya terpajang di dinding, disertai titik-titik merah menyala yang berkedip—menunjukkan pergerakan musuh yang sedang dilacak.Kompol Arief menatap Wisang. “Mulai sekarang, kita harus main cepat. Wira tidak hanya mengincarmu, tapi juga nama besar keluarga
Wisang bergerak cepat. Ia menggenggam tangan Taka dan menariknya ke belakang, menuju dapur yang terhubung langsung dengan pintu keluar belakang vila.“Jangan panik. Kita harus cari jalan keluar, bukan buka pintu,” bisiknya.Namun belum sempat mereka melangkah lebih jauh, suara dentuman keras terdengar. Pintu depan tidak diketuk lagi—melainkan didobrak paksa.BRAK!Taka menjerit tertahan. Wisang segera meraih pisau dapur sebagai alat pertahanan seadanya. Langkah kaki bergema memasuki ruang utama vila, diiringi desisan suara laki-laki yang jelas tidak mereka kenal.“Ayo keluar, Wisang... Taka. Jangan bikin aku membuang waktu.”Wisang memberi isyarat kepada Taka untuk berlari ke luar lewat pintu belakang, namun suara di luar semakin ramai. Setidaknya ada tiga orang lain di luar sana—dan mereka tidak datang dengan niat baik.Tiba-tiba, bunyi tembakan terdengar. Satu peluru melesat menembus jendela kaca dapur, membuat mereka tersentak mundur.“Kita terjebak,” gumam Wisang.Taka mulai gemet
Salah satu polisi itu, yang mengenakan seragam lengkap dengan tanda nama bertuliskan “F. Alvaro,” menatap mereka dengan sorot waspada.“Maaf kami datang tiba-tiba,” katanya tegas, “tapi kami mendapat informasi kredibel bahwa Anda berdua masuk dalam daftar target ancaman dari sindikat kejahatan keuangan lintas negara. Kami perlu membawa Anda ke tempat aman sementara penyelidikan dilanjutkan.”“Tempat aman?” Wisang menggenggam tangan Taka erat. “Apa yang sedang terjadi sebenarnya?”Polisi lain, yang lebih muda dan mengenalkan diri sebagai Briptu Maya, mengangguk. “Ada kemungkinan kelompok ini sudah mengetahui posisi Anda sejak beberapa minggu lalu. Penangkapan Dimas memicu pergerakan baru dari pihak-pihak yang ingin mengamankan diri mereka sendiri... dan mungkin menghabisi saksi-saksi kunci.”Taka menarik napas tajam. “Mereka menganggap kita saksi kunci?”“Lebih dari itu, Pak Taka,” jawab Briptu Maya serius. “Anda berdua adalah potongan utama dalam rangkaian besar yang sedang coba kami
Taka mendekat pelan, duduk di samping Wisang. Ia meraih tangan Wisang dan menggenggamnya erat, memberi ruang untuk tenang tanpa perlu bicara. Tapi detik berikutnya, ponsel Wisang kembali bergetar.Pesan masuk dari nomor tak dikenal.Satu foto. Satu kalimat.“Sudah saatnya kamu tahu siapa Dimas sebenarnya.”Wisang dan Taka menatap layar yang sama.Foto itu memperlihatkan dua remaja laki-laki berseragam sekolah internasional di luar negeri. Salah satunya adalah Dimas. Dan satunya lagi...“Taka?” Wisang menatap pria di sampingnya. “Itu... kamu?”Taka menegang. Rahangnya mengeras.Ia berdiri, menjauh, lalu menyandarkan diri ke dinding.“Wisang…” katanya pelan. “Aku nggak pernah cerita soal masa laluku di Swiss. Aku sempat sekolah di sana. Dan Dimas—dia temanku. Teman dekat. Satu asrama. Tapi juga orang pertama yang bikin aku sadar bahwa nggak semua orang datang buat niat baik.”Wisang menatapnya tajam. “Jangan bilang kalau kalian pernah—”“Tidak.” Taka buru-buru menepis. “Tapi aku pernah
Taka terlihat terdiam, tak langsung menjawab pertanyaan Dira. Sorot matanya bergerak dari wajah Wisang ke Dira, lalu kembali ke Wisang—seolah sedang memohon izin untuk bicara jujur.“Dira nggak ada di daftar itu,” ujar Taka pelan. “Kamu satu-satunya yang dari awal aku anggap pelindung Wisang. Saksi hidup... kalau dia masih punya seseorang yang peduli sebelum aku datang.”Dira mengerutkan dahi, emosi yang tadi memuncak perlahan menurun, meski belum sepenuhnya percaya. “Tapi lo tetap ngelakuin semua itu di belakang dia, Tak.”“Aku tahu,” jawab Taka, nyaris berbisik. “Dan aku siap tanggung semua risikonya.”Sebelum ada yang sempat menimpali…Ponsel Wisang berdering keras. Ia melihat nama di layar—Pak Rendra, tetangganya dulu saat masih tinggal bersama Dimas. Dengan keraguan, ia menjawab panggilan itu, dan seisi ruangan langsung hening.“Pak Rendra? Ada apa pagi buta begini?”Suara berat pria itu terdengar panik, tapi jelas. “Wisang… kamu udah tahu kabar Dimas belum?”“Belum. Kenapa?” Jan
Ketukan di pintu menginterupsi keheningan pagi itu. Lembut, tapi cukup untuk membuat Wisang dan Taka menoleh bersamaan.Taka bangkit refleks. “Aku yang bukain,” katanya cepat, mencoba menjaga kendali atas situasi.Wisang membiarkan.Saat pintu dibuka, sosok perempuan dengan hoodie oversized dan celana training abu-abu muncul di ambang pintu—Dira.“Pagi,” sapa Dira, wajahnya terlihat gelisah. “Aku... nggak tahu harus ke mana. Jadi, maaf banget kalau tiba-tiba datang.”Taka mengerutkan kening. “Dira? Ada apa?”Wisang mendekat, sedikit bingung. “Masuk dulu.”Dira melangkah masuk, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha tetap tenang. Ia duduk di tepi sofa, menunduk. Taka duduk di hadapannya, Wisang berdiri tak jauh.“Gue kabur dari rumah,” katanya akhirnya. “Bokap gue maksa gue nikah sama calon yang dia pilih. Buat nutup-nutupin proyek yang dia gagal handle. Semacam... barter nama baik keluarga.”Taka menghela napas berat. “Dan lo nggak bisa bilang ke nyokap?”“Nyokap gue udah nyerah. Lo
Layar ponsel memantulkan wajah Dira yang tersenyum samar—bukan senyum hangat, tapi senyum penuh rahasia. Suara di seberangnya tenang, bahkan nyaris manis."Aku tahu kamu mungkin mikir aku ini cuma masa lalu Taka yang belum move on," ujar Dira, matanya menatap lurus ke arah kamera. "Tapi kamu salah, Wisang. Aku bukan cuma masa lalu. Aku bagian dari hidup Taka yang dia sembunyikan, dan itu... termasuk dirimu."Wisang menegang. "Maksudmu apa?"Taka yang duduk tak jauh di belakang, tampak mulai panik. Wajahnya pucat. “Dira, hentikan. Kamu nggak tahu apa-apa—”"Aku tahu semuanya, Tak," potong Dira tajam. "Dan kamu nggak bisa tutup-tutupin ini selamanya."Ia kembali menatap Wisang. "Taka nggak ngaku, kan? Kalau dia dulu pernah ikut dalam proyek 'Clean List'? Program bersih-bersih sosial yang waktu itu dijalankan pemerintah secara diam-diam. Termasuk pencatatan data penyintas trauma dan orang-orang yang dianggap ‘bermasalah secara mental dan moral’?"Wisang mengernyit, bingung. Tapi Dira ter
Malam itu, setelah kepulangan dari kejaksaan dan pertemuan tak terduga dengan Dira, Wisang dan Taka memutuskan untuk singgah di rumah Wisang. Rumah itu kini lebih hangat, dengan aroma lavender di ruang tamu dan foto-foto kecil yang Wisang gantung kembali di dinding—kenangan yang dulu ia singkirkan ketika semuanya terasa hancur.Taka duduk di sofa, menatap foto lama Wisang saat masih menjadi guru les privat, tersenyum pada anak-anak yang memeluknya dalam potret. “Kamu kelihatan bahagia di sini,” gumamnya.Wisang menyeduh dua cangkir teh jahe dan menyerahkannya pada Taka. “Aku memang bahagia saat itu. Tapi bukan karena mereka... tapi karena aku merasa dihargai. Diperlukan. Dan... dicintai dengan tulus oleh diriku sendiri.”Taka menatapnya. “Aku bikin kamu kehilangan itu, ya?”Wisang tidak menjawab langsung. Ia duduk di sebelah Taka, lalu berkata pelan, “Bukan kamu yang membuat aku kehilangan diriku, Tak. Tapi semua yang kita alami... rasa takut, rasa sayang, semua bercampur sampai aku s
Beberapa hari setelah pertemuan itu…Wisang kembali ke rutinitasnya, mencoba menata hidup di rumah barunya. Ia mulai mengajar les lagi, membuka kelas daring, dan menata hari-harinya agar tetap sibuk. Tapi pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Tatapan Dimas, cara Taka meminta maaf, semua itu terus berputar dalam benaknya.Dan benar saja…Malam itu, saat Wisang baru saja selesai membersihkan dapur, pintu rumahnya diketuk keras.Dug… dug… dug…Ia mengintip dari jendela—jantungnya langsung melompat.Dimas. Lagi.Namun kali ini, ekspresinya jauh berbeda. Wajahnya tampak marah. Sorot matanya tajam. Seperti seseorang yang datang membawa dendam.Wisang membuka pintu dengan hati-hati. “Apa lagi, Dim?”“Boleh aku masuk?” tanya Dimas, tanpa senyum.“Kalau kamu datang buat bikin keributan, lebih baik kamu pulang.”“Bukan. Aku cuma mau kasih kamu sesuatu.”Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat besar.Wisang ragu, tapi ia mengambilnya. Begitu dibuka, matanya membelalak.“Ini…?”Foto-foto. Bebera