“So, kita makan lagi atau kamu mau istirahat dulu,” ucap Taka sambil meraih wanita itu ke dalam pelukannya.
“Aku lapar lagi, makan dulu yu sebelum perutku bernyanyi panjang,” ucap wanita bernama Wisang itu kepada Taka dengan manjanya.
“Okay, just of to you, honey,” bisik Taka sangat lembut.
“Mulai deh, gombal,” ucap Wisang sambil mencubit kecil pinggang pria tersebut.
Mereka kemudian berjalan ke arah restoran yang berada tidak jauh dari hotel tersebut. Dengan menggunakan sebuah koridor penghubung, mereka bisa mengakses restoran berkelas itu dengan sangat mudah.
Pilihan Wisang pun berakhir pada sebuah restoran Sunda yang menyuguhkan berbagai suguhan khas bumi Parahyangan ini.
“Aku suka nasi liwet komplitnya, bagaimana?” ucap Wisang kepada Taka meminta persetujuan pria tersebut.
“Terserah, aku ikut saja,” jawab Taka seperti biasa.
“Ah, dan dua porsi sundae ice cream untuk penutupnya ya,” ucap Wisang dengan tanpa segan memesankan menu makan siang mereka kali ini.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, keduanya kemudian saling bertukar kabar.
“Bagaimana kabarmu?” ucap Taka sambil menggenggam erat tangan kiri Wisang.
“Seperti yang terlihat, begini saja,” jawab Wisang dengan irisan perih yang mendadak menusuk relung hatinya mengingat sang suami yang hingga saat ini masih asyik dengan kehidupannya sendiri dan terus mengabaikannya.
Taka menatap jauh ke dalam mata indah Wisang. Apa yang kurang dari wanita ini sebenarnya? Hidung mancung kecil yang mempesona. Kulit sawo matang khas wanita Jawa yang memang eksotik. Bibir tipis berwarna pink yang bisa dibilang menggoda. Hasilnya, tidak ada yang kurang dari pengamatan singkat Taka. Wanita di depannya ini cantik luar dan dalam.
"Terima kasih sudah membantuku dan Genta."
"Genta, iya. Tapi, kamu? Perasaan aku ga bantu apa pun deh? " tanya Wisang sambil memakan potongan buah yang tersedia di meja mereka.
"Ada lah, " balas Taka sambil menatap tajam ke arah Wisang. Entahlah, Taka menyukai berlama-lama melihat wajah Wisang sekarang ini. Sejak mengetahui ada yang tidak beres dengan pernikahannya Dimas, membuat Taka memperhatikan Wisang. Lebih jauhnya menyelidiki.
Sekali lagi hasilnya nihil. Wisang adalah wanita baik-baik dan dari keluarga baik-baik juga. Lalu alasan apa lagi yang dimiliki Dimas? Dan wanita yang dia dengar, Taka sangat yakin itu wanita lain.
"Apa? " tanya Wisang penasaran.
"Tanpa kamu tahu. Kehadiranmu saja di rumahku yang sepi sudah merubah atmosfer orang yang tinggal di dalamnya. "
"Uhhh… manis sekali. Biasanya kalo manis begini ada udang di balik batu! " Wisang mencoba tidak terpengaruh dengan perkataan Taka. Baginya lelaki sama saja. Pada akhirnya seperti Dimas.
Taka seakan tahu arti dari ekspresi Wisang, dia langsung memegang tangan Wisang yang tampak kecil di tangannya yang lebar. Agar Wisang tahu, dia berbeda.
"Kecil sekali tanganmu, Wisang? "
"Terus aku harus balik ke perut emak gitu? Tanyain kenapa bikin tanganku kecil begini? " ujar Wisang sehingga membuatku tergelak.
"Maksud aku… tangan kecil ini tampak pantas di tanganku."
Deg…
Desiran itu menghantam Wisang kembali. Apa yang dikatakan Taka sebenarnya membuatnya jatuh pada kumpulan bunga yang harum dan tidak ingin bangkit.
"Kenapa Taka? Kamu bisa dapatin wanita lain yang lebih dari aku. Aku cuma tutor dan aku istri sahabatmu. "
"Aku tidak mau mencampuri urusanmu dengan Dimas. Aku hanya menyukaimu."
"Tapi kenapa? Alasannya? Menyukai seseorang butuh alasan. Dan di umur kita yang bisa dibilang tidak muda ini kurasa kejujuran lebih penting, kan?”
"Karena itu… karena kita dua orang dewasa yang sebenarnya tidak perlu repot untuk menyukai seseorang yang memang layak untuk di sukai."
Jawaban Taka yang pelan dan menusuk itu seperti pedang yang terhunus tajam ke dalam hati Wisang.
Dia memikirkan … banyak sekali … sampai dia bingung sendiri mau memilih apa sebagai jawaban untuk Taka.
Taka menyentil dahi Wisang dan berkata, "ga usah banyak mikir. Nanti cepet tua! " Seakan tahu apa dipikirkan wanita itu.
Setelah makan mereka selesai, Taka memutuskan mengajak Wisang bermain ke tempat yang lebih tenang.
"Kita mau kemana? " tanya Wisang sambil menatap jalanan yang dipenuhi pohon jati yang menjulang tinggi.
"Adalah… healing. Aku butuh itu. "
Wisang menatap Taka yang sedang menatap lurus ke depan.
"Jangan lama-lama ngeliatin. Nanti jatuh cinta. "
Sontak wajah Wisang memerah, dia tidak mau berpikir apa pun. Nyatanya dia dan Taka adalah teman.
'Teman… ya teman… ' batin Wisang.
Rupanya Taka mengajak Wisang ke spot yang tersembunyi dan sedikit saja yang tahu. Taka suka ke sini, jika sedang suntuk dengan pekerjaannya yang menumpuk.
Mereka turun dan Wisang mengikuti jalan setapak yang Taka tunjukan.
"Mana tanganmu? "
Karena Wisang bingung dan terpaku, membuat Taka tak sabar dan langsung menyambar tangan mungil itu untuk dia genggam.
"Licin di sini. Nanti kamu jatuh. "
Mendengar hal itu membuat Wisang tersenyum. Di balik sosok yang kadang tidak bisa Wisang tebak keadaan hatinya itu tersimpan sosok lelaki yang penuh perhatian dan luar biasa menggoda.
Jangan tanya sudah berapa kali Wisang memfantasikan Taka dalam keadaan Topless. Pikiran gila itu datang begitu saja dan dia mengutuk dirinya sendiri karena tampak sangat mudah menjadi wanita.
Sesampainya di tempat yang dituju.
Langkah keduanya terhenti pada sebuah batuan besar di antara deretan hutan jati yang menjulang dan juga sebuah sungai dangkal yang mengalirkan airnya dengan sangat tenang. Gemerincik air ditambah kicauan burung yang bersahutan, menjadi suara alam yang ikut mewakili lantunan syahdu jiwa keduanya yang kini mulai terhempas dalam sebuah gejolak.
Wisang, pasrah menikmati sentuhan hangat Taka yang kini tak hanya menggenggam tangannya saja.
Pria itu, merengkuhnya dalam pelukan yang sukses memberikan rasa nyaman untuk Wisang.
Duduk di atas batuan besar yang dikelilingi rindangnya perdu berbunga biru dan dinaungi teduhnya dedaunan jati yang merimbun ke arahnya, membuat keduanya merasa relaks dan semakin nyaman.
“Apa kau suka?” tanya Taka sambil mengeratkan rangkulannya. Membawa tubuh Wisang semakin dekat ke dalam dirinya.
Hati Wisang mendesir hebat, mengalirkan gairah yang aneh dan sulit dihentikannya.
“Maaf, tapi ini pertama kalinya,” ucap Wisang sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh Taka yang terasa seperti candu baginya.
Keduanya terdiam, menikmati getaran hebat yang terus mengalir di dalam urat nadinya. Taka yang lama sendirian setelah kematian sang istri, untuk pertama kalinya berada sedekat ini dengan seorang perempuan yang diam-diam menjadi pengisi tahta hatinya ini.
Sebanding lurus dengan Taka, Wisang yang belum pernah berdekatan seintens ini dengan seorang lelaki menjadi salah tingkah dan sangat gugup karenanya.
Wanita ini merasa nafasnya kian tak beraturan, seolah ada yang menyekat rongga nafasnya dan membuatnya sangat sulit bernafas.
“Kau gugup?” ucap Taka sambil menengadahkan wajah Wisang dengan tangannya.
“Aku,” ucap Wisang dengan wajah kemerahannya menatap Taka yang kini menatap teduh kepadanya.
Aliran hebat membuat keduanya semakin tersengat gairah yang begitu cepat meruntuhkan pertahanan iman keduanya.
“Wisang, kau … sangat manis,” ucap Taka sambil mendekatkan wajahnya kepada Wisang.
Napas keduanya saling memburu, uap hangat menyentuh wajah mereka masing-masing. Wisang yang kian merasa kepanasan membuat wanita itu membuka perlahan bibirnya. Namun hal ini justru membuat Taka semakin tergoda.
Pria itu mengecupnya lembut, menahannya beberapa saat dan kembali mengecup lebih kuat.
“Ta ..” ucap Wisang tercekat karena kini bibir Taka sudah melumat bibirnya dengan sangat hebat. Memainkan setiap belahannya dengan sangat bergairah. Membuat Wisang menggeserkan duduknya demi memberikan akses;lebih terhadap pria itu yang barus aja memberikannya pengalaman hebat yang mendebarkan.
“Wisang, maaf … aku … “ ucap Taka sesaat setelah melepaskan pagutannya sambil menyeka sudut bibir wanita itu yang kini basah oleh saliva keduanya.
“Kau membuatku basah,” ucap Taka sambil menarik tubuh Wisang ke dalam dekapannya.Wisang yang mulai mencium bau hormon berkembang sejak masuk ke kamar bungalow ini tidak bisa lagi menampik tatapan sendu Taka.“Keringat maksudku!” ujar Taka sambil menyentil dahi Wisang untuk kesekian kalinya.“Awww … seneng banget nyentil jidat orang sih? Sakit, tau!” balas Wisang dengan bibir yang sudah manyun. Membuat Taka semakin gemas pada istri orang ini.Wisang tersenyum, jeda berikutnya dia justru memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Taka. Dia mencondongkan tubuhnya hingga membuat Taka harus memundurkan tubuh untuk memberikan Wisang ruang.“Cium aku lagi,” ucap Wisang yang entah mendapatkan keberanian dari mana melakukannya.Wanita itu terus menatap Taka dengan intens, membiarkan gairah kembali menyapa mereka berdua kali ini.“Ayo Taka, aku menginginkannya,” ucap Wisang dengan semakin menghimpit pria itu.Dua buntalan kembar Wisang yang berada di balik kemeja berkancing wanita itu kini sem
“Sialan lu. Gue kaget tau!” balas Taka sambil melempar pulpen dari saku nya. Untung saja lemparan Taka meleset. Jika tidak, sudah dipastikan jidat Dimas sebagai tempat mendarat yang sempurna.“Lagian gue panggil dari tadi lu diem aje.”Taka hanya tertawa melihat sahabatnya yang semakin lama semakin berisi itu.“Sejak nikah gendutan, Lu?”“Susunya cocok dong!!” jawab Dimas memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi.Jawaban Dimas menggelitik batin Taka, jika saja dia tidak tahu kondisi rumah tangga Dimas, dipastikan dia akan ikut tertawa. Nyatanya Taka malah bersikap datar setelah tadi sempat tertawa. Dia melihat Dimas sebagai sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab sekarang. Meskipun dia sendiri juga bukan lelaki baik karena mengajak istri sahabatnya sendiri berselingkuh.“Ngapain lu kesini?” tanya Taka setelahnya.“Lu ikutan tender kain batik yang diminta Pak Menteri?” tanya Dimas mulai serius. Dimas tahu sepak terja
“Wisang … Wisang …!!” Terdengar suara mertua Wisang di balik pintu, membuat ciuman itu berhenti dan Taka menjerit karena bibirnya digigit Wisang.“Auuww …!!”“Shut! Diem Taka… sana cepet ke kamar aku dan ngumpet!! Ada mertua aku!”Taka langsung melotot dan lari terbirit-birit ke dalam kamar diikuti Wisang dan menyimpan Taka di lemarinya. “Jangan keluar sampai aku datang ya!” perintah Wisang yang membuat Taka mengernyit.“Kaki aku ga muat, Sayang!”“Tekuk aja udah. Cepet Taka!!”Taka langsung mendesah dan langsung menekuk kakinya agar muat di lemari Wisang yang memang tidak mempunyai ruang yang besar.“Ampun deh! Sempit banget!!” Umpat Taka pasrah saat Wisang langsung menutup lemari itu dan menguncinya.Sambil membereskan wajah dan bajunya yang sempat berantakan akibat ulah Taka, Wisang menenangkan degup jantungnya dan sebisa mungkin santai menghadapi mertuanya.Wisang membuka pintu itu dan ber
Bagai petir di siang bolong. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Taka, dan bukan suaminya membuat Wisang benar-benar dilanda dilema. Wisang hanya wanita yang membutuhkan kata-kata seperti itu. Merasa dibutuhkan? Siapa yang tidak seperti itu? Tapi kenapa harus Taka yang mengatakannya?Kenapa bukan suaminya sendiri? Wisang benar-benar muak terhadap kisah cintanya yang kandas. Jika pun Taka menganggap dia hanya pelarian?“Kau bukan pelarian,” ucap Taka seakan tahu apa yang sedang di pikirkan Wisang.“Benarkah?” balas Wisang dengan suara pasrahnya. “Mungkinkah aku akan terluka untuk kali kedua?” Taka menatap jauh ke dalam mata bulat milik Wisang. Dia mencoba mencari alasan mengapa Dimas memperlakukan Wisang sedemikian rupa? Salah apa wanita ini sampai Dimas sama sekali tidak berhasrat padanya. Wisang menurut pandangan Taka seratus delapan puluh derajat berbeda.“Sampai saat ini … aku tidak ada alasan untuk melukaimu! Jangan bertanya masa depan padaku, karena yang aku tahu saat
Desah dan lenguh terus terdengar silih berganti, membuat kamar luas yang berada di lantai atas rumah mewah bergaya minimalis ini mendadak terasa panas.Suhu AC yang menunjukkan angka 20°C nyatanya terasa panas untuk kedua insan yang kini tengah dimabuk gelora membara ini.Mereka tak juga berhenti saling memuaskan dahaga yang seakan baru saja menemukan pemiliknya."Tidak Mas, aku lelah." Wisang menahan tubuh kekar yang kini sedang menindihnya itu dengan kedua tangannya saat si pemilik tubuh hendak kembali mencumbunya."Maafkan aku, sayang." Taka pun mengubah cumbuannya menjadi kecupan lembut pada kening Wisang.Setelahnya, Taka kemudian melepaskan penyatuan mereka dan berbaring di sebelah Wisang."Kemarilah," ucap Taka sambil merentangkan tangan kanannya dan membawa Wisang berbaring di atasnya.Keduanya berpelukan dengan tenang, sementara kedua tangan mereka masih saling menggenggam."Tidurlah.""Kau mau tidur disini?""Ya, tentu saja." Taka menjawab sambil mengusap lembut kepala Wisan
Wisang merasa terpukul dengan tuntutan Dimas yang begitu tiba-tiba. Dia merasa seperti semua yang dia bangun selama ini runtuh dalam sekejap. Namun, di balik keputusasaan, ada api keberanian yang mulai berkobar di dalam dirinya. Dia tahu dia harus bertahan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depannya. Dengan gemetar, tapi dengan tekad yang bulat, Wisang menolak untuk menandatangani surat cerai itu."Dimas, aku tidak akan menandatangani ini. Aku akan melawanmu, aku tidak akan membiarkanmu mengambil segalanya dariku," ucap Wisang dengan suara gemetar, tetapi penuh dengan tekad.Dimas terkekeh sinis, tetapi juga bisa merasakan bahwa Wisang tidak lagi menjadi wanita yang mudah ditekan seperti sebelumnya. Dia menyadari bahwa perlawanan dari Wisang tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja."Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Aku sudah bersiap untuk segala kemungkinan. Dan video itu... aku akan menghadapinya dengan kepala tegak. Aku tidak akan mem
Dengan wajah merah padam dan penuh amarah, Dimas berdiri dan menampar Wisang keras-keras. Wisang terhuyung ke belakang, merasakan panas di pipinya. Sandra hanya tertawa kecil di sudut ruangan, menikmati tontonan di depannya.“Kau akan menyesal sudah melawan aku, Wisang!” teriak Dimas sambil mengusap kopi dari wajahnya. Wisang merasa sakit hati, marah, dan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar dari apartemen. Air mata bercucuran di pipinya saat dia menuju mobilnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi yang pasti dia harus menjauh dari Dimas dan Sandra.Dengan tangan gemetar, Wisang menghidupkan mesin mobilnya dan melaju kencang di jalanan kota yang ramai. Pikirannya kacau, penuh dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan Dimas selanjutnya. Saat itu, dia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin, untuk mencari perlindungan.Namun, nasib berkata lain. Di sebuah persimpangan jalan, dalam kondisi emosional yang tidak stabil, Wisang tidak melihat sebuah truk besar
Satu pekan kemudian. Dimas murka dan langsung berdiri, berjalan cepat menghampiri Wisang dengan mata yang penuh amarah. Dia meraih pergelangan tangan Wisang dengan kasar, mencengkeramnya erat hingga Wisang meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan, hah? Kau pikir bisa melawanku begitu saja?" Dimas menggeram, wajahnya merah padam. "Aku sudah muak denganmu. Kau tidak akan pernah menang, Wisang. Kau mendengar itu?" Wisang menatap Dimas dengan penuh keberanian, meski hatinya berdebar kencang. "Aku tidak akan pernah tunduk padamu lagi, Dimas. Kau bisa mengancamku, memindahkan Kakek, atau bahkan mencoba memanfaatkan Taka. Tapi aku tidak akan pernah menyerah." Dimas tertawa sinis, mendorong Wisang hingga terjatuh ke lantai. "Kau wanita bodoh, Wisang. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi." Sebelum Dimas bisa berkata lebih banyak, pintu apartemen terbuka dengan keras. Taka berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh determinasi dan kemarahan. "Dimas, lepaskan dia sekarang!" Taka mengan
Keesokan harinya, Taka dan Wisang bertemu dengan tim keamanan untuk merencanakan langkah selanjutnya. Mereka memutuskan untuk meningkatkan pengamanan, bukan hanya di rumah, tetapi juga saat mereka bepergian. Taka memutuskan untuk tidak membiarkan Dimas melihat ketakutan mereka, tetapi lebih memilih untuk menunjukkan sikap tenang dan terkontrol.Di sisi lain, Dimas tidak berhenti mengawasi. Setiap langkah Taka dan Ghenta dipantau dengan cermat. Namun, Dimas juga menyadari bahwa Taka semakin berhati-hati dan mulai menyusun langkah yang lebih strategis.Pada suatu sore, ketika Taka dan Wisang sedang berbincang di ruang kerja, seorang pengacara dari firma hukum Taka datang membawa kabar penting. Ternyata, Dimas telah mulai menggerakkan pengaruhnya untuk mengancam bisnis Taka dengan berbagai cara—baik melalui penyebaran rumor maupun dengan memanipulasi pasar.“Ini sudah di luar dugaan kita,” kata pengacara itu. “Dimas telah membeli saham dari beberapa perusahaan sekutu Taka dan mulai membe
Seminggu berlalu dengan persiapan penuh kecemasan dan antisipasi. Ghenta, anak semata wayang Taka, akhirnya tiba di Indonesia.Di bandara, Taka berdiri dengan Wisang di sampingnya. Kedua pria itu sama-sama tampak cemas namun penuh harapan. Ketika pintu kedatangan internasional terbuka, seorang bocah lelaki berusia sekitar 10 tahun muncul, membawa koper kecil dengan ekspresi penuh kegembiraan.“Papa!” serunya sambil berlari menuju Taka.Ghenta memandang Wisang dengan mata penuh rasa ingin tahu.Taka berdiri, menepuk bahu Ghenta dengan lembut. “Dia lebih dari sekadar sahabat Papa, Nak. Nanti Papa ceritakan.”Ghenta mengangguk kecil, lalu kembali memegang tangan Taka. “Aku lapar, Papa. Bisa kita makan sesuatu dulu?”Taka dan Wisang saling pandang sebelum mengangguk serempak. “Tentu. Ada kafe kecil yang Papa suka di dekat sini. Yuk, kita ke sana,” kata Taka sambil membawa koper Ghenta.---Di kafe, mereka duduk di meja sudut yang tenang. Ghenta dengan antusias menceritakan kehidupan di Er
Taka menghela napas keras, tetapi menuruti permintaan Wisang. Dia kembali duduk, meski tubuhnya masih tegang seperti busur yang siap memanah. "Baik. Arka, lanjutkan."Arka menelan ludah, suaranya bergetar ketika dia mulai berbicara lagi. “Mereka memberiku tugas untuk mendapatkan informasi. Apa pun tentang keuangan yayasan, jaringan relasi kalian, bahkan proyek-proyek kecil. Mereka ingin tahu kelemahan kalian.”Wisang menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit. "Jadi, semua data yang bocor beberapa bulan terakhir... itu ulahmu?"Arka mengangguk pelan, rasa bersalah terpancar jelas di wajahnya. "Aku tidak punya pilihan, Wisang. Mereka mengancam keluargaku. Aku... aku hanya ingin melindungi mereka."Taka mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap tajam ke dalam mata Arka. "Dan sekarang, kamu akan menebus kesalahanmu. Kamu akan memberikan setiap nama, setiap detail, dan semua bukti yang kamu miliki. Jika tidak, aku sendiri yang akan memastikan kamu tidak bisa menyentuh ke
Taka berdiri di depan jendela, matanya menatap mobil yang terbakar di luar dengan tatapan yang keras. Suasana malam itu terasa semakin menegangkan. Wisang berdiri di sampingnya, tangan terkepal erat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, namun juga tekad yang membara.“Dimas... ini sudah di luar kendali,” bisik Wisang, suara bergetar, meski dia mencoba menenangkan dirinya sendiri.Taka mengalihkan pandangannya ke Wisang, kemudian berbalik menghadapnya dengan tatapan penuh rasa waspada. "Tidak, ini bukan hanya Dimas. Ini lebih dari itu, Wisang. Kita tahu siapa yang berusaha menjatuhkan kita, tapi sekarang mereka semakin berani."Wisang menggelengkan kepala, kebingungan merayapi pikirannya. “Tapi bagaimana bisa mereka tahu kita sedang mencari bukti tentang Arka? Bagaimana mereka bisa mendekati kita tanpa kita ketahui?”Taka menggenggam bahu Wisang, menatapnya dengan serius. “Ada seseorang di dalam kita. Seseorang yang mendekatkan diri untuk mendapatkan kepercayaan kita. Dan dia sekarang be
Meskipun Taka dan Wisang mulai menemukan kebahagiaan mereka setelah melalui banyak cobaan, bayang-bayang masa lalu yang penuh intrik dan pengkhianatan tetap mengintai di sudut kehidupan mereka. Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, kedamaian yang mereka bangun mulai terganggu oleh sebuah ancaman yang tak terduga.Sebuah kabar buruk datang melalui surat yang dikirimkan ke kantor yayasan mereka. Surat itu berisi ancaman yang jelas: "Kalian pikir kalian sudah menang? Tidak akan ada yang bisa melarikan diri dari masa lalu. Semuanya akan runtuh, satu per satu."Taka dan Wisang merasa ketegangan mulai kembali merayapi hidup mereka. Meski mereka berpikir bahwa Dimas sudah tidak memiliki kekuatan lagi setelah kejatuhannya, surat ini jelas mengindikasikan bahwa seseorang, mungkin dari lingkaran Dimas yang masih memiliki sisa-sisa pengaruh, berusaha untuk merusak mereka lagi.Taka menggelengkan kepalanya, matanya tajam menatap surat itu. “Ini pasti dari seseorang yang ingin membalas dendam.
Pesan itu membuat jantung Wisang berdetak kencang. Dia tahu bahwa Dimas pasti sudah mendapatkan informasi tentang mereka. Meskipun dia berusaha menenangkan dirinya, ketegangan kembali melanda. “Taka, kita harus lebih berhati-hati. Dimas tahu apa yang kita lakukan. Dia sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar,” ujar Wisang dengan suara tegang.Taka mengerutkan kening, merasakan dorongan kemarahan yang tiba-tiba. “Kami tidak akan mundur sekarang, Wisang. Ini saatnya untuk membuat langkah berani. Dimas tak bisa terus mendikte hidup kita. Kita harus hadapi dia dengan cara yang lebih besar.”Malam itu, mereka memutuskan untuk mempercepat proses investigasi dan mempersiapkan langkah hukum yang lebih tegas. Mereka tidak hanya ingin membersihkan nama yayasan, tetapi juga memberikan pelajaran kepada Dimas tentang betapa berbahayanya kebohongan dan manipulasi yang ia sebarkan.Namun, mereka tidak bisa bekerja sendirian. Dalam pertemuan rahasia dengan beberapa sekutu yang mereka percayai, me
Minggu-minggu berikutnya terasa penuh dengan ketegangan bagi Taka dan Wisang. Mereka terus berusaha untuk membersihkan nama yayasan dari tuduhan palsu yang dilontarkan Dimas. Setiap langkah mereka diawasi dengan cermat oleh para pihak yang ingin melihat mereka gagal. Namun, meskipun beban yang mereka tanggung semakin berat, mereka berdua tetap saling mendukung, berpegangan tangan dengan kuat dan saling memberi semangat.Sementara itu, Dimas semakin terobsesi dengan menghancurkan mereka. Ia tahu bahwa jika ia bisa mengalahkan Taka dan Wisang, ia akan bisa merebut kembali kekuasaan yang pernah ia miliki dan menjadikan mereka sebagai sasaran untuk balas dendam. Dengan pengaruh yang masih dimilikinya, Dimas mulai merancang serangan-serangan lebih licik, memanfaatkan celah di dunia bisnis dan politik untuk memanipulasi keadaan demi keuntungannya.Pada suatu malam, Taka dan Wisang duduk bersama di kantor yayasan, melihat laporan investigasi yang telah mereka susun bersama tim pengacara. Tak
Hari itu, setelah hampir seminggu penuh dengan pertemuan hukum dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan kebakaran, Wisang dan Taka akhirnya punya waktu untuk duduk bersama, beristirahat sejenak dari segala keruwetan. Mereka berada di sebuah kafe kecil yang sepi, di sudut kota yang sering mereka kunjungi sejak dulu. Tempat itu memiliki kenangan tersendiri bagi mereka, kenangan akan masa-masa sulit yang telah mereka lewati bersama.Wisang duduk dengan tenang, menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Taka yang terlihat lelah namun tetap tegar. "Kamu sudah melalui banyak hal, Taka. Aku terkejut melihat bagaimana kamu bisa tetap teguh menghadapi semuanya."Taka menatap Wisang, senyumnya penuh kehangatan. "Karena aku tahu, aku tidak sendirian. Kamu ada di sini dengan aku. Itulah yang membuatku bisa bertahan."Wisang terdiam sejenak, hatinya dipenuhi oleh perasaan yang sulit diungkapkan. Mereka sudah melalui banyak hal bersama: kebangkitan yayasan, konfrontasi dengan Dimas, dan ket
Setelah percakapan emosional mereka, Wisang dan Taka memutuskan untuk menghadapi skandal ini bersama. Namun, usaha mereka untuk mengatasi masalah itu belum selesai. Dimas masih menjadi ancaman besar. Sementara itu, berita tentang kebakaran perusahaan Taka mulai menyebar, membawa konsekuensi yang lebih besar dari sekadar kerusakan fisik.Dua hari kemudian, Taka menerima laporan dari tim investigasi kebakaran. Dokumen yang diserahkan kepadanya mengungkapkan sesuatu yang mencurigakan: kebakaran itu bukan kecelakaan. Ada jejak bahan bakar yang tidak biasa ditemukan di lokasi.“Ini sabotase,” kata Taka, menggenggam laporan itu dengan tangan gemetar. “Seseorang sengaja menghancurkan ini.”Wisang, yang berada di sampingnya, mencoba menenangkan Taka. “Kita harus melapor ke polisi dan mengusut ini sampai tuntas.”Namun, Taka menggeleng. “Tidak semudah itu. Kalau kita membawa ini ke pihak berwajib sekarang, reputasi perusahaan yang tersisa akan hancur. Investor akan pergi, dan aku akan kehilang